Monday, December 03, 2012

[EnjoyJakarta] Rumah Si Pitung, Warisan Budaya Pesisir di Jakarta Utara

Rumah Si Pitung adalah obyek wisata sejarah dan budaya yang terletak di Marunda Pulo, Cilincing, Jakarta Utara. Rumah yang terletak di lahan seluas 700 meter persegi ini sebenarnya bukan rumah kelahiran atau milik keluarga Si Pitung, melainkan milik Haji Syafiuddin, seorang pengusaha “sero” yang menurut masyarakat setempat pernah dirampok oleh Pitung, jawara Betawi yang terkenal akan perjuangannya melawan ketidakadilan penguasa Hindia Belanda di Betawi, dengan merampok orang-orang kaya dan membagikan hasil rampokannya kepada rakyat miskin. Berdasarkan peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 9 tahun 1999, rumah ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya.

Rumah Si Pitung berbentuk rumah panggung dengan gaya arsitektur Bugis. Gaya arsitektur rumah panggung ini sesuai dengan lokasi rumah yang hanya berjarak 50 meter dari bibir pantai, sehingga berpotensi terkena ombak besar atau banjir rob. Dari sumber yang mengatakan bahwa rumah ini dirampok Pitung pada tahun 1883, rumah ini diperkirakan berdiri pada abad 19. Rumah panggung sepanjang 15 meter, lebar 5 meter dengan tinggi 2 meter ini ditopang oleh 40 buah tiang setinggi 2 meter, sehingga penduduk menyebutnya sebagai Rumah Tinggi. Rumah ini dilengkapi dengan dua buah beranda, masing-masing di sisi depan dan belakang rumah yang dilengkapi tangga setinggi 1,5 meter. Rumah ini memiliki empat buah pintu dan sepuluh buah jendela.
Saat ini di dalam Rumah Si Pitung terdapat beberapa perabot khas Betawi, seperti kursi tamu, tempat tidur, meja rias, permainan congklak, dan peralatan dapur. Sebagian perabot kuno ini bukan berasal dari interior asli rumah, melainkan sumbangan dari berbagai pihak. Di dinding rumah terdapat panel yang menceritakan kisah Si Pitung, yang diambil dari artikel “Si Pitung, Perampok atau Pemberontak?” yang ditulis Ridwan Saidi dan dimuat di Majalah Tani pada tahun 2009.

Rumah ini pernah direnovasi beberapa kali. Renovasi pertama dilakukan pada tahun 1972, dengan tetap mempertahankan bentuk aslinya. Beberapa penggantian yang dilakukan pada renovasi ini adalah perubahan interior rumah dari semula memiliki 3 kamar menjadi tinggal 1 kamar, penggantian lantai bambu menjadi lantai kayu jati, dan pengecatan dinding kayu rumah dengan warna merah delima. Renovasi terakhir dilakukan pada tahun 2010, dengan penambahan panggung beton setinggi 50 cm, untuk memastikan rumah ini tidak terendam banjir saat air pasang menggenangi pekarangan dan kolong rumah.

Untuk mencapai Rumah Si Pitung, bisa menggunakan kendaraan pribadi atau menggunakan angkutan umum arah Marunda. Patokannya adalah papan petunjuk menuju kampus Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, Jl. Marunda Makmur, Cilincing. Jika menggunakan angkutan umum, turun di depan jalan masuk Kampus STIP, sedangkan jika menggunakan kendaraan pribadi, telusuri jalan di samping kampus menuju ke arah pantai. Di sisi kanan akan tampak tanah lapang dengan warung-warung yang dijadikan tempat parkir untuk kendaraan pribadi. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menyeberangi jembatan beton di atas Sungai Blencong ke arah Marunda Pulo. Rumah Si Pitung berjarak kurang lebih 300 meter dari jembatan Sungai Blencong, menelusuri pematang beton yang melintasi rawa-rawa.

Sunday, August 12, 2012

[Love Journey] - Kembali ke Bukittinggi


Saya sudah banyak melakukan perjalanan ke berbagai penjuru Nusantara, namun baru kali ini ada sebuah destinasi wisata yang memberikan perasaan seperti “jatuh cinta pada pandangan pertama”, dan tempat itu adalah Bukittinggi. Ya, ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di kota ini di tahun 2007, saya langsung jatuh cinta pada keindahan alamnya. Sayangnya waktu itu saya hanya punya waktu satu malam, sehingga saya tak sempat menjelajahi Bukittinggi yang juga terkenal dengan berbagai peninggalan sejarahnya. Saya pun bertekad suatu hari saya harus kembali lagi untuk menjelajahi Bukittinggi. 

Akhirnya, setahun setelah kunjungan pertama saya, saya berhasil mengajak keluarga saya untuk berwisata di Bukittinggi, tentu saja dengan bujukan-bujukan yang mengatakan bahwa banyak tempat menarik yang bisa dilihat di sana. Persiapan kami lakukan kurang lebih selama sebulan untuk mengatur itinerary, tiket pesawat, transportasi dan akomodasi selama di sana. Dan akhirnya, bertepatan dengan libur Hari Natal tahun 2008, saya dan keluarga menginjakkan kaki ke Bukittinggi.

Setelah mendarat di Bandara Internasional Minangkabau, dengan menggunakan kendaraan sewaan kami langsung berangkat ke Bukittinggi. Sepanjang perjalanan menuju Bukittinggi, kami melewati jalur Padang-Padangpanjang-Bukittinggi yang berbukit-bukit. Dengan pemandangan yang begitu hijau dan rimbun, membuat anggota keluarga saya yang lain langsung ikut jatuh cinta pada panorama alam Sumatra Barat. Pertama kali kami berhenti di Aia Tajun Lembah Anai. Berbeda dengan air terjun yang umumnya terletak jauh di dalam hutan atau kebun raya, air terjun setinggi 30 meter ini terletak di pinggir jalan utama, sehingga melihatnya saja sudah memberikan sensasi tersendiri, apalagi saat kami turun dan menyentuhkan tangan di air yang dingin. Perasaan ini ditambah dengan suasana segar di sekitar air terjun, serta pemandangan dramatis berupa paduan jembatan rel kereta api dan jalan raya yang melintas area dekat Aia Tajun Lembah Anai. Sulit mencari pemandangan seperti ini di tempat lain yang pernah kami kunjungi.

Setelah 2 jam perjalanan dari Bandara Minangkabau, kami tiba di Bukittinggi. Sebelum memasuki kota, dari kejauhan terlihat panorama Gunung Singgalang, salah satu gunung yang mengapit Kota Bukittinggi. Begitu kami keluar dari kendaraan, terasa hawa dingin khas pegunungan. Bukittinggi memang kota paling dingin di Sumatra Barat, dengan ketinggian 930 meter di atas permukaan laut, dan suhu udara pada rentang 16-25 derajat Celcius. Saya teringat kembali saat pertama kali menginjakkan kaki di kota ini dan menghirup udara dingin beraroma bersih dan segar, mungkin hal inilah yang membuat saya jatuh cinta dan ingin kembali ke Bukittinggi.

Ketika kami meletakkan barang-barang di hotel dan membuka jendela, terlihat panorama kota yang penuh bangunan, yang merupakan perpaduan bangunan modern dan bangunan bergaya tradisional. Yang membuat lebih menarik, bangunan-bangunan ini berpadu dengan panorama alam berupa gunung yang mengelilingi Kota Bukittinggi. Rasanya tidak bosan melihat pemandangan yang unik seperti ini. Namun kami tak bisa berlama-lama di hotel, karena tak sabar lagi untuk menjelajahi Kota Bukittinggi.

Salah satu tujuan kami ke Bukittinggi adalah melakukan wisata sejarah, sebuah kegiatan wisata yang merupakan passion kami. Banyak bangunan lama dan peninggalan sejarah yang masih terawat di kota ini, di antaranya adalah Fort de Kock, Rumah Kelahiran Bung Hatta, Museum Rumah Adat Baanjuang, dan Lubang Jepang. Tempat yang menjadi tujuan pertama kami adalah Taman Bundo Kanduang, untuk melihat Fort de Kock dan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Benteng Fort de Kock berdiri di atas Bukit Jirek, didirikan oleh Captain Bauer pada tahun 1825. Sebenarnya nama asli dari Fort de Kock adalah “Sterreschans”, yang berarti bintang pelindung. Sedangkan yang disebut sebagai “Fort de Kock” sebenarnya adalah area di sekitar benteng Sterreschans, yang sekarang menjadi Kota Bukittinggi. Nama Fort de Kock diambil dari nama Jendral Baron Hendrik Markus De Kock yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Gubernur Jendral Hindia Belanda. 

Ketika kami memasuki area benteng, kami mendapatkan sebuah “kejutan” : mana bentengnya? Tadinya saya berharap akan melihat sebuah bangunan yang kokoh, atau setidaknya sisa bangunan tersebut. Kami hanya menemukan menara air, beberapa meriam dan parit perlindungan di atas bukit. Jadi sepertinya yang disebut benteng Fort de Kock adalah area berkontur tinggi yang digunakan sebagai sarana pertahanan terhadap serangan Kaum Paderi di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol. Setelah puas melihat-lihat di Fort de Kock, kami menyeberangi jembatan cantik yang dihiasi tiang beratap gonjong (atap khas rumah gadang) bernama Jembatan Limpapeh. Saking cantiknya, saya mencoba memotret jembatan ini dari berbagai sudut, untuk bisa memperoleh foto yang “sempurna”. Dari atas jembatan, kami menikmati pemandangan yang menakjubkan : keindahan alam Bukittinggi dengan gunung dan sawah menghijau, berpadu dengan keramaian Jl. Ahmad Yani yang berada di bawah jembatan. Rasanya tidak bosan-bosan kami melintas bolak-balik di atas jembatan yang cantik ini.

Di sisi seberang jembatan, kami menuju Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Kebun binatang ini satu-satunya kebun binatang di Sumatra Barat, dan merupakan salah satu kebun binatang tertua di Indonesia. Area ini dibangun pada tahun 1900 oleh Controlleur Strom Van Govent, dan dijadikan kebun binatang oleh Dr. J Hock pada tahun 1929. Di dekat kebun binatang, terdapat rumah gadang yang merupakan tempat Museum Rumah Adat Baanjuang. Rumah adat Minangkabau ini dibangun oleh Mr. Modelar Countrolleur di tahun 1935, untuk menghimpun benda-benda sejarah dan budaya Minangkabau. Di museum ini kami melihat bukti-bukti kekayaan budaya khas Minangkabau, seperti pakaian adat, alat musik, alat ketrampilan, dan senjata.

Keluar dari Taman Bundo Kanduang, kami bergegas menuju Jam Gadang, landmark Bukittinggi yang terletak di Taman Sabai Nan Aluih, tepat di pusat Kota Bukittinggi. Ibaratnya, belum ke Bukittinggi kalau belum menginjakkan kaki di Jam Gadang. Pada kunjungan saya untuk pertama kalinya di tahun 2007, saya hanya berkesempatan melihat landmark ini di malam hari. Namun ketika saya datang lagi, melihat menara Jam Gadang yang begitu megah dan unik, saya tahu bahwa saya tidak akan pernah bosan untuk mengunjungi tempat ini. Secara harfiah, “Jam Gadang” berarti jam besar, dan tidak mengherankan karena diameter jam ini berukuran 80 centimeter, jauh lebih besar daripada ukuran jam pada umumnya. Menara Jam Gadang setinggi 26 meter ini didirikan oleh Controlleur Rook Maker pada tahun 1926, sebagai tempat untuk meletakkan jam besar yang merupakan hadiah dari Ratu Belanda. Bangunan menara yang ada sekarang memiliki bentuk atap gonjong khas rumah adat Minangkabau, dan merupakan rancangan Jazid dan Sutan Gigih Amen. Karena saat itu suasana tidak terlalu ramai, kami pun berfoto-foto dalam berbagai posisi, sekaligus untuk menunjukkan bahwa tak hanya London yang punya Big Ben, Bukittinggi pun punya Jam Gadang.

Setelah makan siang, kami pergi ke Taman Panorama. Sebelum menikmati keindahan Ngarai Sianok, kami mengunjungi Lubang Jepang. Walaupun namanya berawal dengan kata “lubang”, tempat ini sebenarnya adalah jaringan terowongan buatan yang digunakan tentara Jepang sebagai markas di Kota Bukittinggi. Terowongan ini dibuat pada tahun 1942 di bawah pimpinan Jendral Watanabe, dan ditinggalkan saat Jepang menyerah pada Sekutu di tahun 1945. Tahun 1946, penduduk secara tak sengaja menemukan terowongan ini. Pemda Bukittinggi kemudian merenovasi terowongan dan menambahkan fasilitas seperti tangga, lampu dan pemandu bersertifikat, sehingga wisatawan dapat masuk ke dalam terowongan dengan nyaman, sekaligus mendapatkan informasi mengenai kisah sejarah terowongan tersebut.
Hari itu kami dipandu pak Jeffri, pemandu bersertifikat di Taman Panorama. Ia menjelaskan bahwa Lubang Jepang merupakan jaringan terowongan di kedalaman 50 meter dengan total panjang mencapai 1470 meter, membuat Lubang Jepang sebagai gua Jepang terpanjang di Indonesia. Untuk memasuki terowongan, pak Jeffri membawa kami ke pintu masuk yang terletak di Taman Panorama. Pintu ini sebenarnya adalah lubang ventilasi, yang kemudian diperbesar dan diberi anak tangga berjumlah 128 buah. Ketika kami menuruni anak tangga tersebut, ternyata 40 meter itu tidak dekat, karena rasanya tidak sampai-sampai.
Di dalam terowongan, Pak Jeffri menjelaskan bahwa terowongan ini dibangun dengan tangan manusia tanpa menggunakan alat berat. Terowongan ini tak hanya berupa lorong-lorong, tetapi juga terdapat beberapa ruangan seperti barak militer, tempat tidur, ruang amunisi, ruang makan romusha dan ruang sidang. Sebagai pelengkap, terdapat ruang dapur dan ruang penjara. Pak Jeffri bercerita bahwa di dekat ruang dapur terdapat lubang tempat pembuangan sampah dapur dan mayat tahanan tentara Jepang yang sudah tewas. Rasanya merinding membayangkan keadaan pada masa itu, mengingat para romusha bekerja membangun terowongan dengan tangannya, serta bagaimana para tahanan tewas dengan mengenaskan dan dibuang keluar. Setelah melihat-lihat di sepanjang terowongan, kami pun kembali mendaki anak tangga sejauh 40 meter, dan rasanya lega sekali setelah kami tiba di permukaan.
Keluar dari Lubang Jepang, mulailah kami menikmati panorama Ngarai Sianok, “The Grand Canyon of Indonesia”. Ngarai Sianok adalah lembah curam sedalam 100 meter yang terletak di jantung kota Bukittinggi, dan memanjang sejauh 15 km dari selatan Koto Gadang hingga Palupuh, Agam. Nama “Sianok” berarti diam, yang diberikan karena pada jaman dahulu di dasar ngarai banyak ditemukan jenasah korban penyiksaan tentara Jepang, yang hanya ‘membisu’ ketika dilempar dari atas ngarai. Di dasar ngarai, terdapat sungai Batang Sianok yang jernih. Kami berkesempatan untuk naik ke menara pandang, agar dapat menyaksikan pemandangan Ngarai Sianok dengan lebih leluasa. Melihat betapa panjang dan luasnya Ngarai Sianok, hati ini bergetar, betapa indahnya panorama Kota Bukittinggi.

Paduan keindahan panorama alam yang menakjubkan, hawa sejuk segar tanpa polusi, serta banyaknya peninggalan sejarah dan kekayaan budaya Bukittinggi, membuat sulit untuk tidak jatuh cinta pada kota ini. Sayang sekali, waktu kami di Bukittinggi terbatas, sehingga kami belum bisa menjelajahi seluruh penjuru kota. Masih banyak obyek peninggalan sejarah yang belum sempat kami kunjungi, seperti Rumah Kelahiran Bung Hatta dan Museum Perjuangan Eka Sapta Darma. Seandainya diberi kesempatan lagi, saya ingin sekali kembali ke Bukittinggi, untuk meneruskan penjelajahan di kota yang penuh romansa ini.


Note : Kenang-kenangan posting di Multiply untuk ikut lomba travelling blog [Love Journey], pindahan dari : http://tathagati.multiply.com/journal/item/111/Love-Journey-Kembali-ke-Bukittinggi

Tuesday, July 10, 2012

Mencari Sangkuriang di Tangkubanparahu

Hampir semua orang yang (pernah) tinggal di Bandung mengenal tahu gunung Tangkubanparahu. Ya, saat cuaca cerah, di sisi utara Bandung akan terlihat jelas gunung yang berbentuk seperti perahu “nangkub” (terbalik) itu. Gunung Tangkubanparahu merupakan salah satu tujuan wisata favorit di Bandung, baik oleh wisatawan domestik dan mancanegara dari berbagai kalangan. Terutama bagi wisatawan mancanegara, umumnya mereka takjub bahwa tak jauh dari Kota Bandung yang ramai ternyata terdapat gunungapi yang masih aktif.

Gunung Tangkubanparahu setinggi 2084 meter di atas permukaan laut berada dalam kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Tangkubanparahu. Kawasan seluas 90 hektar ini terletak di perbatasan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang, sekitar 25 km ke arah utara Kota Bandung, meliputi desa Sagalaherang, Subang dan desa Cikole, Lembang. Suhu rata-rata harian di sekitar Gunung Tangkubanparahu adalah 17derajat C pada siang hari, dan mencapai 2 derajat C pada malam hari. Gunung Tangkubanparahu tergolong gunung api aktif, yang ditandai dengan munculnya gas belerang dan adanya sumber air panas di kaki gunung, seperti sumber air panas yang terkenal di Desa Ciater, Kabupaten Subang. Keunikan gunung ini adalah bentuknya yang memanjang dari arah timur-barat sepanjang kurang lebih 1100 meter, sehingga jika dipandang dari jauh bentuknya seperti perahu terbalik. Namun jika diperhatikan baik-baik, bentuk gunung yang seperti perahu terbalik ini hanya terlihat dari sisi selatan saja, tepatnya dari Kota Bandung, sedangkan dari sisi lain bentuknya serupa seperti gunung pada umumnya.


Perjalanan ke Tangkubanparahu
Gunung Tangkubanparahu dapat dikunjungi dari arah Bandung maupun Subang. Apabila kita berjalan dari arah Subang, kita akan melewati Wisata Air Panas Ciater. Dari Ciater ke arah Tangkuban Perahu, kita bisa menikmati perkebunan teh Ciater yang dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara VIII. Sedangkan kalau kita berasal dari Bandung, kita akan melewati Kota Lembang dan Cikole. Gerbang kawasan TWA Gunung Tangkubanparahu terletak tepat di perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang.

Tiket masuk TWA Tangkubanparahu saat ini adalah Rp 13.000/orang. Jika menggunakan kendaraan pribadi, tiket masuk kendaraan adalah Rp 10.000/kendaraan. Keunikan dari Gunung Tangkubanparahu adalah adanya jalan menuju puncak gunung, yang dibangun pada tahun 1906 atas prakarsa Bandoeng Vooruit, sehingga Anda bisa membawa kendaraan Anda hingga ke puncak gunung. Di sepanjang jalan menuju puncak, terdapat panorama pepohonan pinus yang rimbun serta bunga-bunga terompet yang cantik. Namun untuk kendaraan besar seperti bis, hanya bisa mencapai terminal Jayagiri. Dari terminal tersebut terdapat shuttle resmi dari pengelola TWA Tangkubanparahu untuk menuju ke puncak gunung dengan tariff Rp 2.500 per orang sekali jalan.

Bunga Lili di Sepanjang Jalan
 Untuk mencapai gerbang kawasan TWA Tangkubanparahu dengan kendaraan umum, dapat dilakukan dengan beberapa alternatif rute :
•    Dari Terminal Subang menggunakan elf jurusan Bandung
•    Dari Terminal Leuwipanjang Bandung menggunakan elf jurusan Indramayu via Subang
•    Dari Terminal Ledeng Bandung menggunakan elf jurusan Subang
Untuk mencapai puncak gunung, Anda bisa menyewa angkot dari gerbang, dengan tariff Rp 30.000 sekali jalan sampai puncak.

Wisata Vulkanik Tangkubanparahu
 Tak hanya memiliki bentuk yang unik, keistimewaan Gunung Tangkubanparahu yang lain adalah jumlah kawahnya yang cukup banyak. Gunung ini termasuk gunung yang aktif, dan tercatat pernah beberapa kali meletus, hingga menghasilkan Sembilan kawah yang ada saat ini. Kesembilan kawah tersebut adalah Kawah Ratu, Upas, Domas, Jarian, Badak, Siluman, dan Kawah Baru. Letusan pertama yang tercatat terjadi di Kawah Ratu dan Kawah Domas pada tanggal 4 April 1829. Saat ini aktivitas Gunung Tangkubanparahu terus dipantau, dan terkadang wisatawan tidak diperbolehkan mendaki apabila ditemukan indikasi peningkatan aktivitas vulkanik.

Kawah utama dan yang terbesar dari Gunung Takubanperahu adalah Kawah Ratu. Kawah ini dikenal juga dengan nama Kawah Pangguyangan Badak. Kawah ini berdiameter 800 meter, dan bentuknya seperti mangkuk raksasa yang luas dan dalam. Nama Kawah Ratu diberikan oleh penduduk, karena kawah ini dipercaya merupakan tempat Dayang Sumbi membenamkan diri ke dalam perut bumi karena tidak sudi dipersunting oleh Sangkuriang, anak kandungnya sendiri. Untuk mengunjungi kawah Ratu, mobil pribadi bisa mencapai ke atas dan parkir tepat di bibir kawah. Di bibir kawah terdapat pembatas pagar kayu yang dipasang untuk mencegah pengunjung terjatuh. Saat cuaca cerah, kita bisa melihat dengan jelas dasar kawah dan lekukan-lekukan di dinding kawah, disertai asap yang keluar dari kawah, menciptakan pemandangan yang spektakuler dan menggetarkan hati. Tanah di sekitar kawah Ratu berwarna putih, dengan beberapa batu belerang berwarna kuning. Untuk turun ke dasar kawah, perlu dipertimbangkan resiko adanya akumulasi gas beracun yang keluar dari kawah.

Kawah Ratu Saat Cuaca Cerah
Kawah Ratu yang Tidak Kelihatan Saat Cuaca Berkabut
Kawah Upas terletak bersebelahan dengan Kawah Ratu, dan merupakan kawah tertua di gunung Tangkuban Perahu. Kawah ini bentuknya lebih kecil dan dasarnya lebih dangkal dan datar dibandingkan Kawah Ratu. Kawah Upas dapat ditempuh dengan berjalan kaki kurang lebih 25 menit dari Menara Pandang, mengitari tepi Kawah Ratu dengan arah berlawanan jarum jam. Di salah satu sisi dasar kawah, kita bisa melihat pepohonan liar tampak banyak tumbuh, namun di sisi barat kita bisa melihat sisa pepohonan yang hancur karena terpapar uap sulfur secara terus menerus. Dari sisi Kawah Upas, kita bisa melihat pemandangan Kawah Ratu dari sisi yang berbeda, karena terdapat sisi Kawah Ratu dan Kawah Upas yang menyatu dalam satu jalur pendakian.

Kawah Domas terletak lebih bawah daripada Kawah Ratu. Terdapat 2 cara menuju Kawah Domas, bisa melalui pintu gerbang menuju Kawah Domas yang terletak di bawah, atau jika dari kawasan Kawah Ratu menggunakan jalur menurun kurang lebih 1200 meter. Atraksi yang menarik dan unik dari kawah ini adalah adanya sumber mata air panas di dasar Kawah Domas, sehingga jika kita memasukkan telur ke dalam kawah, maka telur tersebut akan matang menjadi telur rebus. Sepanjang jalan menuju Kawah Domas, banyak warung yang menjual telur ayam dan bebek mentah, yang biasanya ditawarkan untuk “direbus” dalam air Kawah Domas. Telur yang direbus di Kawah Domas ini mengandung belerang, sehingga dinamakan “telur dewa”, dan konon berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit kulit. Untuk mencapai Kawah Domas memakan waktu ¾ sampai 1 jam, dan disarankan untuk menggunakan jasa pemandu karena banyak rerimbunan semak dan tumbuhan serta anjing-anjing liar berkeliaran di jalur menuju kawah tersebut.

Gunung Tangkubanparahu sangat ideal untuk dinikmati ketika cuaca sedang cerah, sehingga selain cuaca lebih hangat dan ramah. akan terlihat bentuk kawah dan kepulan asap yang menandakan bahwa gunung tersebut masih aktif. Namun jika Anda kurang beruntung dan menemukan kabut pekat sedang menutupi Gunung Tangkubanparahu, jangan buru-buru kecewa karena Anda tak bisa menikmati panorama kawah-kawah di Gunung Tangkubanparahu tersebut. Anda tetap bisa menikmati sensasi berada di puncak gunung di sela-sela kabut yang mungkin sulit Anda temui di tempat lain.

Suasana Tangkubanparahu Saat Cerah
Suasana Tangkubanparahu Saat Berkabut
Jangan khawatir mengenai fasilitas umum di sekitar puncak Gunung Tangkubanparahu. Di dekat Menara Pandang terdapat pusat informasi wisata di mana wisatawan bisa bertanya mengenai Tangkubanparahu dan wisata Bandung lainnya. Tersedia pula fasilitas toilet dan mushola, serta atraksi kuda tunggang mengitari kawah yang menjadi favorit anak-anak. Bagi mereka yang ingin membeli cemilan, tersedia makanan dan minuman hangat seperti mie rebus, bandrek, ketan bakar, dan lain sebagainya. Anda bisa juga membawa oleh-oleh seperti syal, kupluk, tas, pernik asesoris, pajangan dari kayu, atau bubuk belerang dan akar pohon pakis naga yang bermanfaat untuk obat.
Kuda Tunggang di Tepi Kawah Ratu
  
Legenda Sangkuriang
Gunung Tangkubanparahu tidak bisa lepas dari legenda Sasakala Sangkuriang. Dikisahkan Sangkuriang adalah anak Dayang Sumbi dengan seekor anjing bernama Tumang. Suatu hari Sangkuriang membunuh Tumang, dan Dayang Sumbi mengusirnya dari rumah. Beberapa tahun kemudian, Sangkuriang kembali ke desanya, dan ia jatuh cinta dan bermaksud mempersunting Dayang Sumbi yang tetap awet muda, tanpa menyadari bahwa Dayang Sumbi adalah ibu kandungnya. Untuk menggagalkan niat anaknya menikahinya, Dayang Sumbi mengajukan syarat bahwa Sangkuriang harus bisa membuat perahu dalam semalam sebelum fajar terbit. Menjelang terbit fajar, Dayang Sumbi berlari ke puncak bukit sambil mengibarkan selendangnya, membuat ayam jantan mengira hari telah pagi, dan ia mulai berkokok. Karena perahu yang dibuat Sangkuriang belum selesai ketika ayam berkokok, Sangkuriang dinyatakan gagal. Ketika usahanya gagal, Sangkuriang marah dan menendang perahu itu, sehingga mendarat dalam keadaan terbalik, dan kemudian mengejar Dayang Sumbi. Dalam usahanya melarikan diri, Dayang Sumbi melompat ke dalam dalam perut bumi, dan meninggalkan lubang yang sangat besar. Perahu yang terbalik kemudian membentuk Gunung Tangkubanparahu, sedangkan lubang yang ditinggalkan Dayang Sumbi kemudian menjadi kawah yang dikenal sebagai Kawah Ratu.

Relief Legenda Sangkuriang di Menara Pandang
 Legenda Sangkuriang menjadi daya pikat tersendiri bagi Gunung Tangkubanparahu, sehingga dua orang guru besar geologi berkebangsaan Belanda dari Technische Hogeschool (sekarang Institut Teknologi Bandung), Prof. H. Th. Klompe dan Prof. George Adrian de Neve, pernah mewasiatkan agar abu jenazahnya disebarkan ke dalam Kawah Ratu. Namun ternyata kisah Sangkuriang tidak berhenti sebagai sekedar legenda. Berdasarkan penelitian mengenai pembentukan Gunung Tangkubanparahu, para ahli geologi justru mengkaitkan legenda tersebut dengan teori Gunung Sunda purba. Mereka meyakini bahwa legenda Sangkuriang yang merupakan cerita masyarakat di sekitar kawasan Tangkubanparahu diyakini merupakan sebuah dokumentasi masyarakat kawasan Gunung Sunda purba terhadap peristiwa geologis pada saat itu yang kemudian membentuk Lembah Bandung dan menyisakan Gunung Tangkubanparahu sebagai sisa Gunung Sunda purba tersebut.


Disertakan pada lomba Blog Dalam Rangka HUT Komunitas Blogger Nganjuk ke-3 http://kotaangin.com

Thursday, June 28, 2012

Kota Lama Yogyakarta, Kota Paling Indonesia

Mencari sesuatu hal yang paling Indonesia ternyata susah-susah gampang. Ketika kita membicarakan sebuah produk budaya Indonesia, jika ditelusuri hingga ke akarnya ternyata banyak produk budaya Indonesia yang merupakan hasil serapan dari budaya bangsa-bangsa lain di dunia, termasuk di antaranya bahasa, tari-tarian, bahkan batik yang telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya non-benda milik bangsa Indonesia. 

Namun akhirnya saya menemukan sebuah hal yang menurut saya sangat Indonesia, yaitu Kota Lama Yogyakarta. Kota Lama Yogyakarta merupakan salah satu kota tua di Indonesia yang dirancang dengan sangat jenius, berlandaskan falsafah kehidupan masyarakat Jawa. Berbeda dengan kota-kota tua di Indonesia yang umumnya dirancang oleh pemerintah Hindia Belanda sebelum masa kemerdekaan, tata letak Kota Lama Yogyakarta merupakan hasil rancangan Sultan Hamengkubuwono I, pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Kota Lama Yogyakarta membentang dari selatan (Panggung Krapyak) sejauh 7 km ke arah utara (Tugu Yogyakarta), yang dihubungkan oleh poros imajiner, yang menghubungkan antara Gunung Merapi, Tugu, Keraton Yogyakarta dan Pantai Parangtritis. Hampir semua wilayah atau bangunan asli di sepanjang titik tersebut memiliki makna. Secara sederhana, banyak yang menafsirkan bahwa Tugu Yogyakarta merupakan perwujudan dari lingga yang melambangkan laki-laki, Panggung Krapyak dianggap perwujudan yoni yang melambangkan perempuan,  dan Keraton dianggap badan jasmani manusia yang berasal dari keduanya. Jika makna dari seluruh bagian kota lama ini dirangkaikan, akan menyiratkan falsafah “Sangkan Paraning Dumadi (dari mana manusia berasal dan ke mana manusia akan kembali). Dengan falsafah yang sangat dalam inilah, maka tata letak Kota Lama Yogyakarta diakui sebagai tata letak kota terbaik di dunia.

Untuk melihat filosofi Sangkan Paraning Dumadi secara komprehensif, penelusuran dapat dimulai dari Panggung Krapyak. Panggung Krapyak merupakan sebuah bangunan 2 lantai yang terbuat dari bata merah berlapis semen cor setinggi 10 meter, dan dahulu berfungsi sebagai menara pandang sekaligus tempat berburu. Wilayah di sekitar bangunan ini semula dikenal sebagai Hutan Krapyak. Poros Panggung Krapyak hingga Keraton menggambarkan perjalanan manusia sejak dilahirkan dari rahim ibu hingga dewasa. Di sisi utara Panggung Krapyak terdapat Kampung Mijen, yang dapat dianggap sebagai lambang benih manusia sejak masih di dalam kandungan. 
Panggung Krapyak
Bergerak sejauh 2 km ke arah utara, terdapat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Keraton dapat dimaknai sebagai lambang jasmani manusia. dengan Sultan sebagai lambang jiwa sejati yang hadir ke dalam badan jasmani. Kata “Keraton” berasal dari kata “ke-Ratu-an”, yang berarti tempat Ratu (istilah bahasa Jawa halus untuk Raja). Seperti layaknya sebuah istana, Keraton memiliki dua fungsi, yaitu sebagai pusat pemerintahan sebuah kerajaan, sekaligus sebagai tempat tinggal Raja dan keluarganya. Kompleks bangunan keraton dibangun antara tahun 1755-1756 dengan arsitek Sri Sultan Hamengkubuwono I (HB I), pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keraton Yogyakarta mulai digunakan pada tanggal 7 Oktober 1756, dan menjadi istana resmi Kesultanan Yogyakarta sampai dengan tahun 1950, ketika pemerintah Republik Indonesia menjadikan wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman sebagai sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bagian depan Keraton Yogyakarta
 Jika ditinjau dari segi arsitekturnya, bangunan-bangunan di Keraton Yogyakarta merupakan perwujudan arsitektur Jawa tradisional, dengan sedikit sentuhan gaya Eropa dan Cina di beberapa sudut. Setiap bagian dari Keraton, termasuk lokasi, bangunan, patung, relief, bahkan jenis tumbuhan, memiliki filosofi yang mendalam, melambangkan berbagai aspek kehidupan manusia menurut cara pandang masyarakat Jawa tradisional. Salah satunya adalah Regol (pintu gerbang) Danapertapa yang dikawal oleh sepasang patung Dwarapala bernama Cinkorobolo di sebelah kanan (perlambang kebaikan) dan Bolobuto di sebelah kiri (perlambang kejahatan).Sepasang Dwarapala ini bermakna bahwa manusia harus dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat. Contoh lainnya adalah sepasang Waringin Sengker (Beringin Kurung) yang terletak di alun-alun utara yang bernama Kyai Dewandaru dan Kyai Janandaru, kedua pohon beringin ini melambangkan dualisme antara makrokosmos dan mikrokosmos, antara rakyat dan pemimpin, serta antara manusia dan sang pencipta. Demikian pula pohon sawo kecik yang berada di dalam kopleks Keraton, sawo kecil memiliki makna “sarwo becik” dalam bahasa Jawa, yang berarti manusia harus hidup dengan penuh kebaikan.
Dwarapala di Keraton Yogyakarta
Dari Keraton menuju Tugu akan melalui jalan yang lurus (Jl. Ahmad Yani-Jl. Malioboro-Jl. Pangeran Mangkubumi). Jalan yang lurus ini dapat diartikan sebagai proses manusia menuju kesempurnaan melalui mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, di mana di kiri-kanannya penuh dengan godaan. Godaan-godaan ini disimbolkan oleh Pasar Beringharjo, Gedung Kepatihan,  serta bangunan-bangunan buatan pemerintah kolonial Belanda (benteng Vredeburg dan Gedung Agung). Pasar Beringharjo melambangkan godaan duniawi secara fisik berupa barang-barang mewah, perhiasan, makanan lezat, wanita cantik atau lelaki tampan. Gedung Kepatihan merupakan simbol godaan duniawi berupa kekuasaan. Sedangkan  Benteng Vredeburg dan Gedung Agung yang ditambahkan kemudian ditafsirkan sebagai godaan berupa pengaruh asing.
Benteng Vredeburg
Khususnya Jalan Malioboro, sejak pertama kali jalan ini dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono I bersamaan dengan pembangunan Keraton Yogyakarta, kawasan ini merupakan pusat perdagangan di Yogyakarta. Terdapat beberapa dugaan mengenai nama “Malioboro”, salah satunya adalah Malioboro berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti karangan bunga, dikarenakan jalan ini biasanya penuh dengan karangan bunga saat sedang ada acara di keraton. Sumber lain mengatakan bahwa nama “Malioboro” berasal dari kata Maliya saka Bara atau Mulia dari Pengembaraan. Apakah kemuliaan dari pengembaraan yang dimaksud adalah pengembaraan manusia dalam mencari kemanunggalan dengan Sang Pencipta, Wallahualam.

Tugu Yogyakarta yang merupakan bagian dari falsafah “Sangkan Paraning Dumadi” ini bukanlah tugu yang kita kenal sekarang. Tugu yang asli setinggi 25 meter berbentuk silinder (gilig) dengan puncak berbentuk bulat (golong), sehingga sering disebut Tugu Golong-Gilig. Tugu ini bermakna “Manunggaling Kawulo Gusti”, atau bersatunya Sang Pencipta dengan mahluknya. Di masa lalu ketika belum ada bangunan, dari singgasana Sultan di Siti Hinggil Keraton, Sultan dapat memandang Gunung Merapi sekaligus puncak tugu yang berbentuk golong.  Sebagian ahli berpendapat bahwa jalan poros Keraton sampai Tugu ini dapat diartikan sebagai simbol kesempurnaan raja dalam proses kehidupannya, yang dilandasi dengan keimanannya kepada Sang Pencipta, serta kesatuan tekad dengan rakyatnya (Tugu Golong-Gilig). Namun banyak yang mengartikan tugu ini sebagai semangat persatuan antara rakyat dan penguasa (dalam hal ini Kesultanan Yogyakarta) untuk melawan penjajah Belanda. Sayangnya, tugu yang asli rusak akibat gempa dahsyat pada tanggal 10 Juni 1867. Setelah terbengkalai kurang lebih 20 tahun, pemerintah kolonial Belanda membangun tugu yang baru dengan bentuk yang kita kenal sekarang. Tugu setinggi 15 meter ini dinamakan De Witt Paal atau Tugu Pal Putih.
Tugu (Pal Putih) Yogyakarta
Setelah memahami makna dari tata letak Kota Yogyakarta yang menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak lahir hingga mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, saya rasa tidak berlebihan jika Kota Lama Yogyakarta dianggap sebagai salah satu produk bangsa Indonesia yang begitu jenius, karena mampu mengintegrasikan antara tata letak kota dengan falsafah kehidupan yang begitu luhur. Bagi saya, Kota Lama Yogyakarta dapat dianggap sebagai salah satu hal paling Indonesia yang pernah saya temukan dan rasakan. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita melestarikan peninggalan-peninggalan masa lalu di kota ini dan kota-kota lainnya, sebagai bekal dan pelajaran bagi kehidupan bangsa Indonesia di masa mendatang.


Disertakan pada Lomba Blog Paling Indonesia dari http://angingmammiri.org/  
 

Friday, June 15, 2012

Menelusuri Jejak Akhir Majapahit di Candi Cetho



Candi Cetho terletak di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, pada ketinggian 1496 meter di atas permukaan laut. Dalam bahasa Jawa, kata ‘cetho’ berarti jelas. Nama ini diberikan pada dusun tempat candi ini berada, karena dari tempat ini kita dapat melihat pemandangan ke berbagai arah dengan jelas. Bersama Candi Sukuh, Candi Cetho merupakan obyek pariwisata andalan Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah.

Candi Cetho merupakan kompleks bangunan yang dibuat pada lahan bertingkat. Dari ciri-ciri berupa lingga dan lambang surya Majapahit yang ditemukan di Candi Cetho, diketahui bahwa candi ini merupakan candi  agama Hindu dan berasal dari abad ke-15, kurang lebih pada masa akhir pemerintahan Majapahit. Candi ini pernah dipugar pada tahun 1975-1976, dan hasilnya adalah candi yang dapat dilihat pada saat ini. Hingga hari ini, Candi Cetho masih digunakan sebagai tempat ibadah oleh penduduk sekitar candi yang beragama Hindu, serta dijadikan tempat meditasi bagi para penganut kepercayaan Kejawen.

Memasuki kompleks Candi Cetho, akan ditemukan banyak keunikan candi ini yang tidak ditemukan pada candi-candi Jawa Tengah pada umumnya. Keunikan pertama yang ditemui adalah gapura besar berbentuk candi bentar, serupa dengan gapura kompleks candi di Jawa Timur. Saat mendaki dari loket tempat membeli karcis menuju gapura besar tersebut, kita akan menemui beberapa arca. Berbeda dengan arca dwarapala yang biasa menyambut di bangunan-bangunan tradisional, arca yang menyambut kita sebelum gerbang Candi Cetho memiliki bentuk yang berbeda, dengan pembuatan yang kurang halus dan bergaya primitif. Dari gaya serta kehalusan pembuatan arca tersebut, para ahli menduga bahwa arca beserta kompleks bangunan Candi Cetho tidak dibuat oleh para pekerja dan seniman istana, melainkan oleh para penduduk dari desa sekitar candi.

 Melangkahkan kaki memasuki gapura besar, dari teras pertama terlihat bahwa Kompleks Candi Cetho terletak pada lahan berteras-teras, sehingga bentuknya menyerupai pundek berundak. Jumlah total teras ketika candi ini ditemukan adalah 14 teras, namun setelah pemugaran tahun 1976 hanya tersisa 9 teras. Masing-masing teras dibatasi oleh tembok batu dan memiliki gapura. Semakin tinggi terasnya, maka pintu gapuranya semakin sempit. Menurut salah satu juru kunci Candi Cetho, teras yang bertingkat-tingkat ini melambangkan perjalanan menuju nirwana, semakin tinggi tingkatannya maka tingkat kesulitan untuk mencapainya pun semakin tinggi.

Obyek yang menjadi primadona di Candi Cetho adalah tataan batu mendatar di permukaan tanah teras ketiga, yang menggambarkan simbol phallus (simbol kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dan kura-kura raksasa. Berdasarkan interpretasi para ahli, phallus merupakan simbol penciptaan manusia, sedangkan kura-kura merupakan simbol penciptaan alam semesta. Obyek lain yang juga menarik adalah jajaran batu yang memuat relief kisah Sudhamala di teras keempat. Kisah Sudhamala adalah kisah pewayangan yang mendasari upacara ruwatan, berkisah tentang Sadewa yang berhasil merawat Uma (istri Batara Syiwa) yang dikutuk menjadi Durga. Dari keberadaan lambang phallus, kura-kura dan relief Sudhamala, maka para ahli menduga bahwa Candi Cetho dibangun dengan tujuan untuk upacara ruwatan.


 Naik terus menuju teras tertinggi melalui gapura-gapura yang semakin sempit, di teras kedelapan terdapat 2 buah arca yang diletakkan di dalam pondok kecil. Masyarakat setempat mempercayai bahwa kedua arca ini adalah perwujudan Sabdopalon dan Nayagenggong, abdi sekaligus penasehat spiritual Prabu Brawijaya V, raja terakhir dari kerajaan Majapahit. Sedangkan di teras kesembilan terdapat 2 buah arca yang diletakkan dalam pondok kecil. Arca yang terletak di sisi utara berbentuk lingga, sedangkan arca yang terletak di sisi selatan dipercaya merupakan arca Prabu Brawijaya V dalam wujud Mahadewa. Arca-arca di teras kedelapan dan kesembilan ini tidak sehalus arca yang ditemukan di candi-candi Jawa Tengah, Jawa Timur atau Bali, namun memberikan ciri khas tersendiri.


Di teras tertinggi, terdapat bangunan batu berbentuk punden berundak, yang diberi pintu teralis yang terkunci. Di dalam bangunan tersebut terlihat sebuah bangunan batu persegi empat yang ujungnya terlihat dari luar. Pengunjung boleh masuk ke dalam bangunan tersebut untuk berdoa atau bermeditasi di dalamnya, dengan minta izin kepada juru kunci. Di dalam bangunan, akan terlihat bahwa bangunan batu persegi empat yang ada di dalamnya diberi kain merah putih mengelilingi keempat sisinya. Agar doanya terkabul, juru kunci akan minta pengunjung untuk mengelilingi bangunan batu tersebut sebanyak tiga kali sebelum memanjatkan doa.


Candi Cetho merupakan sebuah cagar budaya sekaligus obyek wisata yang menarik untuk dikunjungi karena keunikannya. Walaupun letaknya cukup jauh dari Kota Surakarta sebagai kota besar terdekat (kurang lebih 40 km), namun akses menuju ke sana cukup mudah, karena tersedia angkutan umum menuju ke Desa Cetho. Bagi yang membawa kendaraan sendiri, tersedia lahan parkir. Tiket masuk ke candi ini pun cukup murah, untuk wisatawan domestik Rp 3.000,- dan untuk wisatawan mancanegara Rp 10.000. Di hari-hari biasa, obyek wisata ini cukup sepi, namun di hari-hari libur seperti Hari Raya Idul Fitri, obyek ini ramai dikunjungi tak hanya oleh penduduk sekitar, namun juga wisatawan dari kota-kota lainnya.



Disertakan pada lomba Blog Dalam Rangka HUT Komunitas Blogger Nganjuk ke-3 http://kotaangin.com






Thursday, April 26, 2012

Social Media dan Complaint Handling

Kemarin malam, saya dan keluarga pergi ke sebuah toko roti yang selalu woro-woro di social media (socmed) bahwa setelah pukul 6 sore produk mereka didiskon. Sampai di toko roti itu, yang ada kami "dipermalukan" oleh kasir, katanya hanya produk tertentu yang didiskon, dan produk yang sudah terlanjur kami beli tidak termasuk (saat itu kami merasa tertipu oleh promo yang digembargemborkan di socmed!). Belakangan, ketika kami tanyakan kembali, ternyata harusnya produk yang kami beli bisa didiskon, namun kasir hanya meminta maaf dan tidak bersedia mengembalikan kelebihan pembayaran kami. Yang membuat ibu saya sangat kesal adalah sikap kasir yang plin plan dan hanya cengar-cengir tanpa mencari solusi masalah tersebut, jadi kami mendapat kesan kasirnya ternyata bego.

Karena kesal, kami pergi dari toko tersebut sambil menggerutu, dan langsung mereply pengumuman di socmed tentang promo diskon toko tersebut dengan menyampaikan keluhan kami. Baru 1 jam kemudian keluhan tersebut ditanggapi. Sayangnya, tanggapannya adalah mereka menjanjikan akan memberi diskon dan mengembalikan uang kami. Dari tadi kemana aja? Dan sayangnya, solusinya yang ditawarkan menurut saya tidak masuk akal. Kami sudah pergi dari toko itu sejak 1 jam yang lalu, bagaimana caranya dia mau menemukan kami untuk mengembalikan uang kami? Saya langsung tepok jidat sendiri, kok cara menanggapi keluhannya bego begini. Saya balas lagi, bukan masalah uangnya yang membuat kami kesal, tapi sikap dan perlakuan kasir yang menjadi sumber kekesalan kami. Jadi begitu saya mendapat tanggapan keluhan yang sama-sama bego, langsung deh ambil kesimpulan, ternyata manajemen tokonya bego juga... Baru belakangan mereka minta kami mengirimkan data diri untuk mengembalikan uang kami, tapi kami sudah keburu ill-feel karena kebegoaan mereka, jadi kami sudah malas menanggapi posting yang minta kami mengirimkan data diri. Perasaan tertipu oleh promo yang digembar-gemborkan di socmed dan perasaan marah karena perlakuan kasir dan cara penanganan admin socmed yang bego jauh lebih menyakitkan daripada nilai uang yang mau mereka kembalikan.

Saya tiba-tiba teringat tim trainer kami yang selalu mengajarkan kepada murid-muridnya masalah penanganan keluhan pelanggan. Kami selalu mengingatkan pada para siswa, bahwa terkadang pelanggan tidak perlu solusi yang njelimet, mereka kadang-kadang hanya perlu didengar. Terkadang mengatakan maaf saja sudah menyelesaikan masalah, kecuali jika keluhan tersebut menjadi berkepanjangan. Lebih jauh lagi, kita seharusnya menghindari keluhan pelanggan dengan menjalankan SOP dengan baik. Saya lalu berpikir, apakah kasus kami di atas merupakan cerminan bahwa toko roti itu tidak punya SOP pelayanan pelanggan yang benar? Apakah manajemen pemilik toko sudah menginformasikan program promo mereka dengan benar kepada seluruh pekerjanya? Jika tidak, berarti kesalahan bukan semata-mata pada kasir yang bloon, tetapi manajemen pemilik tokonya juga tidak peduli pada moment-of-truth saat pelanggan ada di toko, dan hanya peduli dengan masalah promo-promo di socmed. Pada akhirnya, moment-of-truth kepuasan pelanggan terjadi saat pelanggan berinteraksi langsung dengan penjual, bukan melalui promo-promonya.

Ini bukan pertama kali internet dan socmed digunakan untuk menyampaikan keluhan dan menyebarkan ketidakpuasan pelanggan atas sebuah layanan. Kita masih ingat kasus Prita yang berbuntut panjang, karena Prita menceritakan keluhannya atas pelayanan yang tidak menyenangkan dari sebuah rumah sakit. Walaupun pada akhirnya Prita yang didakwa bersalah, namun rumah sakit tersebut pastinya sudah mengalami kerugian, baik moril maupun materiil. Memanfaatkan internet dan socmed untuk promo memang berbiaya rendah dan efektif, tapi kalau sudah ada komplain, ya efeknya juga tersebar ke mana-mana. Kalau mau memanfaatkan socmed, belajarlah dari perusahaan-perusahaan lokal besar yang sudah memanfaatkan jasa socmed, salah satunya adalah perusahaan taksi berlogo burung berwarna biru. Mereka memanfaatkan socmed untuk mendapat suara pelanggan. Sebagian besar pelanggan menyatakan puas, tapi saya pernah juga komplain masalah aplikasi mereka yang baru, dan cara mereka menanggapi keluhan saya membuat saya yakin bahwa perusahaan sebesar mereka sudah siap untuk memanfaatkan internet dan socmed sebagai sarana berkomunikasi dengan pelanggan.

Sebenarnya dengan saya menyampaikan keluhan melalui socmed, tanpa sengaja saya membuat black campaign. Saya sebenarnya tidak ingin melakukannya, tapi saya pikir kalau hal ini tidak disampaikan, berapa banyak lagi pelanggan yang akan "tertipu" dengan program promo yang tidak konsisten? Harus diingat, pelanggan yang kesal dan merasa tertipu bisa melakukan apa saja. Mungkin tidak semua pelanggan yang tidak puas akan menulis di socmed, tapi mereka bisa bercerita pada teman-temannya dan mengajak teman-temannya untuk tidak berbelanja di tempat itu. Berdasarkan teori, jumlah pelanggan yang tidak puas dan tidak menyampaikan keluhan jauh lebih banyak daripada yang menyampaikan keluhan. Jika keluhan di socmed ditanggapi dengan pernyataan yang "bodoh", sebuah produk tengah "menggali lubang" dan membuat black campaignnya semakin parah. Ingat, berita di socmed menyebar jauh lebih cepat daripada infotainment.

Jadi, saran saya, kalau Anda belum bisa konsisten melakukan SOP pelayanan pelanggan, dan belum bisa menangani keluhan pelanggan dengan bijak, nggak usah sok-sokan bikin program-program promo lewat socmed. Bisa jadi, socmed justru jadi bumerang jika Anda tidak bisa melayani pelanggan dengan benar.

Sunday, March 18, 2012

Batik Keraton, Salah Satu Cikal Bakal Batik Indonesia

Batik Indonesia merupakan warisan leluhur bangsa Indonesia, yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sebagai sebuah kerajinan, batik merupakan bagian dari budaya Indonesia, dan memiliki nilai seni tinggi.

Kata “batik” berasal dari kata bahasa Jawa “amba” yang berarti “menulis” dan “titik”, yang bermakna bahwa motif batik dibuat dengan menulis rangkaian titik pada kain. Batik sebenarnya merujuk pada teknik pembuatan kain bercorak yang dilakukan dengan menuliskan titik malam pada kain menggunakan canting. Ketika kain tersebut dicelupkan pada zat warna, bagian kain yang tertutup malam tidak terkena zat warna, sehingga meninggalkan pola ragam hias pada kain. Namun saat ini batik juga merujuk pada pola ragam hias yang menjadi ciri khas batik. Di masa lalu, ketrampilan membatik menggunakan canting hanya dikuasai oleh para wanita. Baru setelah ditemukan teknik membatik dengan cap pada awal abad 20, kegiatan membatik juga dilakukan oleh kaum laki-laki.

Batik telah dikenal sejak Jaman Majapahit, dan terus berkembang pada masa-masa berikutnya. Salah satu pengembangan batik Majapahit yang kemudian menjadi dasar hampir semua Batik Indonesia khususnya di Jawa adalah Batik Keraton. Batik Keraton mendapatkan namanya karena batik ini mula -mula berkembang di kalangan keraton, dan hanya dikenakan oleh raja, keluarga keraton, dan para abdi dalemnya, terutama pada upacara resmi kerajaan. Batik biasanya dikenakan untuk jarit (kain panjang), kain dodot, dan kain kemben.

Batik Keraton mulai berkembang sejak awal masa kerajaan Mataram Islam, di masa pemerintahan Panembahan Senopati. Kala itu kerajinan batik mulai berkembang di pusat pemerintahan Mataram Islam di Desa Plered. Pada masa itu batik dibuat dengan teknik batik tulis yang sangat halus, dan dikerjakan oleh para wanita, yaitu putri-putri raja dan para pembatik ahli yang hidup di lingkungan keraton. Ketrampilan ini kemudian ditularkan kepada para wanita anggota kerabat keraton lainnya, antara lain istri pada abdi dalem dan istri para prajurit keraton. Setiap motif batik yang dibuat mengandung makna filosofis mendalam sesuai dengan fungsinya. Dengan makna yang mendalam tersebut, beberapa motif batik Keraton terlarang untuk digunakan oleh rakyat biasa.

Pada akhir abad 18 hingga awal abad 19, Kerajaan Mataram Islam terbagi menjadi 4 kerajaan, yaitu Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran dan Pakualaman. Keempat kerajaan ini kemudian mengembangkan Batik Keraton dengan motif dan warna yang menjadi ciri khas masing-masing kerajaan. Batik Kasunanan Surakarta dikenal memiliki warna dominan sogan (coklat kekuningan), dengan motif bentuk geometris berukuran kecil-kecil yang berkesan luwes. Batik Kesultanan Yogyakarta memiliki ciri warna latar terang seperti putih dan krem, dengan motif geometris berukuran besar dan lebih berkesan kuno atau antik. Kadipaten Pakualaman yang berada di wilayah yang berdekatan dengan kesultanan Yogyakarta memiliki batik dengan ciri lebih mirip batik Surakarta, karena KGPA Pakualam VII menikah dengan putri Pakubuwono X, sehingga sang permaisuri membawa budaya batik Surakarta ke kadipaten Pakualaman. Batik Pura Mangkunegaran memiliki ciri motif yang sangat detail, sehingga terlihat sangat cantik. Karena berangkat dari akar budaya yang sama, yaitu kerajaan Mataram Islam, beberapa motif batik di empat wilayah kerajaan tersebut memiliki bentuk dan makna yang hampir sama, walaupun dengan nama yang berbeda.

Motif Batik Keraton merupakan hasil perpaduan budaya asli Jawa, Hindu, dan Islam. Pengaruh budaya asli Jawa terlihat dari bentuk yang digunakan, seperti bentuk flora dan fauna. Unsur budaya Hindu tercermin dari motif-motif khas seperti Sawat, Gurdo/Garuda dan Pohon Meru. Pengaruh budaya Islam terlihat pada motif stilasi benda-benda alam sehingga tidak menyerupai bentuk aslinya. Beberapa motif Batik Keraton tergolong motif larangan atau batik sengkeran, karena di masa lalu motif-motif tersebut khusus dikenakan oleh raja. Di Museum Batik Keraton Yogyakarta, Museum Ullen Sentalu, dan Museum Batik Kuno House of Danar Hadi, kita dapat melihat motif-motif Batik Keraton yang jarang ditiru oleh batik-batik komersial yang ada saat ini.

Beberapa motif Batik Keraton yang masih ditemui saat ini dan digunakan secara luas antara lain adalah :
• Sawat: “sawat” secara harfiah berarti melempar. Motif ini merupakan simbol senjata Batara, dewa hujan dalam mitologi Hindu. Sawat disimbolkan dengan sayap sebelah, dan bermakna barang siapa yang mengenakannya akan mendapatkan perlindungan.
• Gurdo : Gurdo adalah simbol Garuda, burung suci kendaraan Sang Hyang Wisnu, dewa pemeliharaan dalam mitologi Hindu. Motif Gurdo berbentuk dua buah sayap, yang bermakna menaungi kehidupan di bumi.
• Meru : Meru merupakan kependekan dari “Mahameru”, nama gunung suci dalam mitologi Hindu tempat bersemayamnya Dewa Trimurti yaitu Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Brahma dan Sang Hyang Siwa. Dalam mitologi Hindu, terdapat kepercayaan bahwa di puncak Mahameru terdapat air suci bernama Tirta Kamandalu, yang merupakan sumber hidup abadi. Makna dari motif ini adalah siapa pun yang mengenakan batik dengan motif ini akan memperoleh berkah .
• Truntum : pola truntum mencerminkan kuncup bunga melati. Batik pola ini digunakan oleh orang tua pengantin pada hari pernikahan, bermakna orang tua bisa menuntun calon pengantin.
• Sidomukti : “Sido” berarti berkesinambungan, dan “Mukti” berarti kesejahteraan dan kebahagiaan. Batik ini dicirikan dengan motif Gurdo, Meru dan Ukel (motif seperti koma). Kain ini digunakan oleh pengantin saat pernikahan, dengan makna filosofis agar para pengantin senantiasa dikaruniai hidup yang sejahtera dan bahagia.
• Kawung : batik ini dicirikan dengan 4 bentuk elips yang mengelilingi satu titik di tengah, melambangkan raja dan 4 “bawahannya”. Motif ini biasanya dikenakan raja dan keluarga terdekatnyanya sebagai lambang keperkasaan dan keadilan. Kawung juga merupakan kata lain dari “aren”, tumbuhan dengan berbagai macam kegunaan, sehingga banyak yang menafsirkan bahwa filosofi dari motif ini adalah siapa pun yang memakainya harus berguna bagi banyak pihak, seperti pohon kawung.
• Parang : “parang” merupakan senjata yang melambangkan kekuasaan, kekuatan, dan kecepatan, sehingga ksatria yang mengenakan batik ini bisa berlipat kekuasaannya. Status seseorang dapat dilihat dari ukuran motif parang yang dikenakan. Kerabat keraton yang berkedudukan lebih tinggi akan mengenakan batik dengan motif parang lebih besar. Motif Parang merupakan salah satu motif larangan, dan di masa lalu motif ini hanya boleh dikenakan oleh raja atau kerabat keraton.
• Semen : “Semen” berasal dari kata “Semi”, yang berarti mekar, tumbuh. Motif ini bermula dari kepercayaan bahwa di atas gunung Mahameru terdapat beberapa pohon yang selalu mekar dan tumbuh. Makna dari motif ini adalah jika seseorang mengenakannya, diharapkan ia akan selalu didekatkan dengan Yang Maha Kuasa.
• Sekarjagat : nama Sekarjagat berasal dari kata “Kar Jagat”. Kar berarti peta, dan Jagat berarti dunia, sehingga Kar Jagat atau Sekarjagat secara harfiah berarti peta dunia. Ciri dari batik ini adalah adanya banyak motif dalam selembar kain batik. Makna dari motif ini adalah siapa yang memakainya akan menaklukan dunia.
• Cakar : Pola ini dicirikan dengan bentuk motif yang seperti cakar ayam, dan biasa dikenakan pengantin pada upacara pernikahan. Motif ini merupakan symbol agar para pengantin dapat mencari rejeki yang halal, seperti ayam mencari makanan menggunakan cakarnya.
• Motif Udan Liris di Surakarta, atau Rujak Senthe di Yogyakarta. “Udan Liris” secara harfiah berarti “gerimis”. Batik ini biasanya dikenakan dengan harapan agar rejeki bisa datang terus, seperti gerimis yang walaupun kecil namun datang terus menerus.

Perkembangan Batik Keraton dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah adanya peperangan antar wilayah kerajaan, termasuk di antaranya dengan Belanda. Akibat peperangan, banyak kerabat keraton dan para pengrajin batik yang mengungsi dan menetap di daerah baru. Penyebaran terjadi baik ke arah barat dan ke arah timur dari wilayah kerajaan Mataram. Ke arah barat, batik keraton menyebar hingga wilayah Banyumas, Pekalongan, Tegal, Priangan dan Cirebon. Sedangkan ke arah timur, batik keraton menyebar hingga wilayah Mojokerto, Tulungagung, Gresik, Surabaya dan Madura. Batik keraton kemudian berpadu dengan budaya setempat dan menghasilkan motif dan warna khas masing-masing daerah yang dikenal hingga sekarang. Sebagai contoh, batik Madura didominasi warna hitam dan warna merah dengan motif yang lebih egaliter, seperti halnya karakter masyarakat Madura. Batik Priangan di daerah Garut dan Tasikmalaya memiliki motif serupa Batik Keraton, namun didominasi warna cerah. Batik Cirebon mendapat pengaruh Cina, salah satunya seperti yang tercermin dalam motif Mega Mendung.

Batik mulai dikenakan masyarakat di luar keraton karena mereka tertarik pada busana yang dikenakan keluarga keraton. Mereka kemudian belajar membatik dari para pengrajin Batik Keraton yang tinggal di luar keraton, dan meniru motif-motif Batik Keraton. Lama kelamaan, masyarakat di luar keraton banyak yang menjadi pengrajin batik, dan batik kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari. Namun rakyat tetap tidak berani mengenakan motif-motif larangan atau batik sengkeran, karena tidak ingin dianggap menghina raja. Sampai saat ini, hal tersebut masih diperhatikan terutama oleh para pengrajin batik di Surakarta dan Yogyakarta. Jika mereka diminta untuk membuat batik dengan motif serupa batik sengkeran, umumnya mereka akan memodifikasi batiknya sehingga tidak betul-betul serupa dengan batik sengkeran.

Di akhir abad 19, muncul Batik Sudagaran, yang dibuat oleh para saudagar batik yang umumnya merupakan pedagang Tionghoa. Para saudagar batik menciptakan motif baru yang sesuai dengan selera masyarakat. Mereka meniru motif Batik Keraton dan memodifikasi bentuknya dengan detail yang lebih halus seperti isen-isen yang rumit, serta memberikan warna yang lebih berani, sehingga menghasilkan batik yang amat indah.

Di masa kini, batik telah menjadi busana nasional Indonesia, dan telah diakui sebagai busana formal. Saat ini semua orang bisa mengenakan batik dalam berbagai bentuk, termasuk batik dengan motif-motif yang meniru motif batik Keraton. Namun pada pelaksanaan upacara di Keraton, para tamu dihimbau tidak mengenakan batik dengan motif khas Keraton, agar tidak dianggap menghina kesakralan upacara tersebut.

Disertakan pada lomba Blog Entry bertema Batik Indonesia, kerja sama Blogfam dan www.BatikIndonesia.com

Wednesday, February 29, 2012

Museum Vulkanologi Gunung Merapi

Museum Vulkanologi Merapi ini termasuk museum baru, karena baru dibuka pada tahun 2010, bahkan ketika saya berkunjung ke sana museum belum seluruhnya terisi lengkap. Namun koleksi yang ada sekarang sudah sangat mewakili misi yang dibawa dalam pendirian museum ini, yaitu untuk mendokumentasikan sejarah gunung Merapi, serta sebagai sarana edukasi mengenai bahaya dan dampak positif dari keberadaan gunung Merapi.

Ketika saya tiba di Museum Vulkanologi Merapi, hari masih pagi, dan museum masih sangat sepi. Tidak heran, karena museum ini tidak terletak di jalan utama menuju tempat wisata Kaliurang. Setelah membeli tiket, saya masuk kedalam museum, dan seorang pemandu menemani saya berkeliling. Koleksi pertama yang kami lihat adalah foto-foto erupsi Merapi pada Oktober 2010. Melihat foto-foto tersebut, saya hanya bisa menyebut : Masya Allah... tak terbayangkan apa yang terjadi di wilayah yang dilewati "Wedhus Gembel". Museum Vulkanologi ini terletak di area yang masuk ring bahaya, sehingga walaupun bukan merupakan jalur yang dilewati Wedhus Gembel, museum ini juga ikut terkena tutup, dan ketika para petugas datang kembali, terlihat bahwa halaman museum kotor karena hujan abu dan pasir.

Kami kemudian melanjutkan ke area dalam museum. Sebelum berbicara mengenai gunungapi, terdapat penjelasan mengenai proses terbentuknya benua dan samudra. Di seberang penjelasan tersebut, terdapat peta yang menggambarkan letak gunung api di dunia. Di sebelahnya terdapat peta yang menggambarkan letak gunung api di Indonesia. Terdapat 80 gunung api aktif di Indonesia, yang aktivitasnya dipantau selama 24 jam. Tampilan berikutnya adalah penjelasan mengenai 6 model erupsi gunung. Dulu saya pernah belajar mengenai hal ini dalam pelajaran Geografi, tapi baru sekarang saya memahami bahwa karena keunikan pola erupsinya, erupsi gunung Merapi dimasukkan dalam 1 tipe tersendiri, yaitu tipe Merapi. Menurut pemandu yang mengantar saya, Merapi sebenarnya adalah gunungapi yang sangat bersahabat, setiap kali sebelum terjadi erupsi selalu ada tanda-tanda. Hanya pada letusan terakhir Oktober 2010, karakteristik Merapi berubah menjadi letusan vulkanik.

Setelah melihat penjelasan mengenai gunungapi secara umum, koleksi berikutnya menjelaskan mengenai sejarah gunung Merapi. Berdasarkan catatan sejarah, gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali sejak tahun 1548, namun pencatatan terhadap aktivitas gunung Merapi baru dimulai sejak tahun 1768. Di tengah ruangan terdapat maket bentuk Merapi. Di dinding terdapat foto-foto satelit mengenai bentuk puncak gunung Merapi yang berubah dari tahun ke tahun. Sebagai gunungapi yang aktif, Merapi terus menerus mengalami pertumbuhan kubah lava, membuat bentuk kawah dan puncaknya senantiasa berubah.

Untuk mengamati aktivitas gunung Merapi selama 24 jam, terdapat 5 pos pengamatan yang terletak di Kaliurang, Babadan, Ngepos (Magelang), Jrakah (Klaten), dan Selo (Boyolali). Pos pengamatan ini masih dibantu dengan 1 pos di Deles, Klaten, yang khusus untuk melihat pertumbuhan kubah lava dari sisi Timur Merapi. Semula terdapat pos pengamatan di Plawangan, namun semenjak tahun 2006 pos ini tidak dipakai lagi.

Tampilan berikutnya adalah mengenai lava gunung Merapi yang mengalir melalui sungai alam yang berhulu di gunung Merapi. Lava ini bercampur dengan air sungai menjadi lahar dingin. Setidaknya terdapat tiga aliran sungai yang “menampung” lava Merapi dan mengalir sebagai lahar dingin, yaitu Kali Gendol, Kali Kuning, dan Kali Adem. Untuk menahan laju lahar dingin, dibangun Sabo Dam. “Sabo” berasal dari bahasa Jepang yang berarti sabuk. Idealnya, jarak antar dam adalah 7 km. Namun pada kenyataannya, sabo dam yang ada di aliran lahar dingin Merapi berjarak kurang dari 7 km, sehingga kurang efektif dalam menahan laju lahar dingin tersebut, dan beberapa sabo dam bahkan mengalami kerusakan ketika diterjang lahar dingin.

Tampilan terakhir menunjukkan lukisan yang menggambarkan bahwa keberadaan gunung Merapi tidak lepas dari keraton Yogyakarta. Dalam mitologi Kraton Yogyakarta, gunung Merapi memiliki tempat tersendiri, dan tidak lepas dari legenda tentang hubungan khusus antara “penunggu” Merapi Kyai Sapu Jagad dengan lingkungan Keraton Yogyakarta. Konon terdapat perjanjian antara Sutawijaya, raja pertama Mataram Islam, dengan Kyai Sapu Jagad. Sutawijaya dan keturunannya bertanggungjawab untuk memberi sesaji, dan sebagai imbalannya rakyat Mataram akan dilindungi dari bencana. Penyerahan sesaji ini diwujudkan dalam bentuk Upacara Labuhan Merapi, yang diselenggarakan setiap tahun sekali pada tanggal 25 bulan Bakdamulud (Maulid Akhir). Upacara Labuan Merapi dipimpin oleh juru kunci yang ditunjuk Keraton Yogyakarta.

Setelah 1,5 jam mengelilingi museum ini, saya kemudian pamit pada pemandu yang mengantar saya berkeliling. Rasanya hari ini saya banyak memperoleh informasi, baik informasi yang terkait ilmu pengetahuan maupun non teknis mengenai gunung Merapi. Dan walaupun museum ini terletak cukup jauh dari kota Yogyakarta, saya melihat setidaknya ada 3 rombongan wisatawan mancanegara yang juga melihat ke museum ini. Rupanya fenomena gunung Merapi juga menarik perhatian internasional.

Dalam perjalanan kembali ke kota Yogyakarta, kami melewati daerah Petung dan Cangkringan. Kami melewati salah satu Sabo Dam yang melintas di atas Kali Kuning. Sabo Dam ini bagian pinggirnya rusak, karena diterjang lahar dingin erupsi Merapi Oktober 2010. Sementara itu, di salah satu Sabo Dam yang melintas di atas Kali Gendol, saya melihat bahwa nyaris tidak ada aliran air yang tersisa di atas Kali Gendol. Masih terlihat beberapa kendaraan berat yang berusaha mengeruk lahar dingin tersebut agar sungai bisa mengalir kembali. Di atas Sabo Dam bahkan terdapat batu besar yang terbawa aliran lahar dingin, dan belum berhasil dipindahkan ke tempat lain. Sungguh pemandangan yang tak terbayangkan sebelumnya...