Saturday, December 05, 2009

mBatik is ... fun!!!

Setelah sekian lama ditawari untuk ikut kursus mBatik (dan tiap kali tidak jadi ikut karena alasan kesibukan... alasan yang klise, tapi unfortunately itu adalah fakta...), akhirnya tanggal 6 Desember 2009 kemarin saya berkesempatan untuk ikut kursus Mbatik Yuuk yang diberikan oleh ibu Indra Tjahjani.

Dari segi teori, sebelum ikut kursus, saya cukup tahu proses pembuatan batik secara tradisional, mulai dari mencuci kain-pemberian malam-pewarnaan-dijemur-malamnya dikerok-diberi malam lagi-diwarnai lagi-dijemur lagi-malamnya dikerok lagi-dst. Kemudian untuk jenis-jenis batik, saya juga cukup familiar, mengingat keluarga kami adalah penggemar batik.

Namun dengan ikut kursus ini, saya merasakan banyak manfaat, selain kita bisa mendapat tambahan pengetahuan tentang batik, tujuan utamanya adalah merasakan sendiri bagaimana menggunakan canting untuk membubuhi malam pada pola di kain, kemudian melihat proses pewarnaan, dan diperoleh hasil akhir berupa kain yang jadi batik.

Sebelum workshop dimulai, bu Indra memberikan sedikit presentasi tentang batik, apa yang dimaksud dengan "batik". Jadi yang namanya "batik" itu sebenarnya bukan sekedar motifnya, tapi juga proses pembuatannya. Namun dengan perkembangan jaman, ditemukan inovasi baru, dan tidak hanya motifnya yang berkembang, namun proses pembuatannya pun dimodifikasi, membuat batik dapat dikenakan oleh berbagai kalangan. Selain itu, proses membatik juga bisa dijadikan sebagai proses "meditasi", di mana untuk dapat menghasilkan karya yang baik diperlukan ketenangan dan konsentrasi.

Setelah selesai presentasi, maka workshop dimulai. Peserta membatik di atas kain yang sudah diberi pola oleh bu Indra dan tim. Kalo liat teorinya, kaya'nya gampang aja membubuhkan malam di atas kain. Ternyata sama sekali tidak... memakai canting itu ternyata perlu kesabaran, ketelatenan dan kemahiran. Soalnya, salah sedikit, garisnya nggak rata. Miring sedikit, malamnya netes ke kain, menodai pola yang indah! (Huaaa!!) Belum lagi kalau secara tidak sengaja malamnya terciprat ke tangan, wah, panas euy. But it was fun... really fun... apalagi setelah diberi warna dan terlihat hasil akhirnya, waaa... gak nyangka ya... gue bisa membatik... (tapi soal skill sih pasti masih kalah jauh sama para pengrajin tradisional, bayangkan saat mereka membuat batik tulis motif truntum, kaya' apa ya...).

Setelah merasakan sendiri proses membatik yang baik dan benar, saya semakin sadar bahwa betapa sulitnya menghasilkan batik yang sangat halus dengan motif yang indah. Untuk itu mari kita menghargai para pengrajin batik tulis, betapa mereka sangat ahli dan telaten untuk dapat menghasilkan sebuah kain batik yang indah.

Wednesday, November 11, 2009

Samgyetang oh Samgyetang

Beberapa waktu yang lalu, saya lewat di foodcourt Plasa Senayan, dan terhenti di depan counter Han Gang Kitchen. Tiba-tiba saya jadi kangen sama makanan-makanan Korea yang sempat saya cicipi di negara asalnya.

Salah satu makanan yang tidak akan pernah saya lupakan adalah Samgyetang alias sup ayam ginseng. Pertama kali makan Samgyetang adalah waktu city tour di Seoul. Waktu tour guidenya bilang bahwa satu orang akan dapat ayam satu ekor, kok besar ya... udah gitu gak kebayang kaya' apa rasanya, sup ayam dimasak pakai ginseng. Tapi setelah melihat barangnya dan mencicipi rasanya, hmmm... mak nyusss... uenak tenan...

Di waktu yang lain, saya akhirnya mampir ke counter Han Gang Kitchen, dan mencoba Samgyetang yang dijual di situ (kebetulan harganya relatif gak mahal, "cuman" 40 ribu-an per porsi). Pas hidangannya keluar... alamak! (ya iya lah... harga segitu kok mintanya seperti yang asli...) Penampakannya seperti foto di bawah ini.









Ayamnya separo, terus nasinya ga terlalu banyak dan ga lengket (tapi akibatnya nasinya agak susah untuk disendok, karena kepencar-pencar ke mana-mana). Udah gitu yang paling nggak mirip adalah kuahnya. Sejujurnya, kuahnya sebenernya lumayan enak, tapi rasanya sama sekali gak ada mirip-miripnya ama yang asli, malah lebih mirip kuah masakan Jepang. Yang paling "mengganggu" di Samgyetang versi Han Gang Kitchen ini adalah 'lautan' telur dadar, item yang gak ada di versi originalnya. Satu-satunya yang persis sama dengan yang ada di Korea adalah Korean Ice Tea-nya, rasanya benar-benar sama banget dengan teh di Korea.

Sekarang, kita bandingkan dengan versi originalnya :
Klo di versi original, ayamnya satu ekor utuh, terus nasinya agak lengket, jadi gampang disendok. Kuahnya lebih kaya' kuah opor, tapi putih. Kemudian selain ginseng, kita juga menemukan chestnut di dalamnya. Selain itu, kita juga dikasih soju, minuman (wine) khas Korea, yang katanya sih untuk menghilangkan bau amis ayamnya (padahal sih nggak terlalu amis). Katanya kalau nggak mau diminum, boleh dicampurkan ke kuahnya. Aku sih memilih nggak mencampur ke kuah, takut rasa kuahnya hilang. Tapi pas ngicipin sojunya, alamak... soju-nya lumayan "keras" bo...

Anyway, untuk mengobati kerinduan akan Samgyetang yang asli, Samgyetang versi Han Gang Kitchen ini hatur lumayan untuk bernostalgia akan kenikmatan Samgyetang yang asli, paling nggak gak perlu antri kaya' mau naik halilintar di Dufan (foto di bawah ini menunjukkan antrian yang terjadi di luar restoran Samgyetang di Seoul).




Sunday, October 18, 2009

Barang Handicraft di Korea

Beberapa minggu yang lalu, saya ikut training untuk UKM di Ansan, Korea Selatan. Karena jadwal training yang padat, saya tidak sempat jalan-jalan mencari toko yang jual alat-alat handicraft, padahal saya tahu betul Korea punya produk kit kristik (Sodastitch) dan benang rajut (seperti yang dijual di toko Crayon di Bandung).

Korea sangat terkenal dengan kerajinan jahit menjahit. Di majalah di pesawat, saya sempat baca bahwa ada ungkapan di Korea, seorang wanita Korea (tradisional) seumur hidupnya akan menjahit dan menjahit. Ungkapan itu tidak berlebihan adanya, karena hampir semua oleh-oleh khas Korea yang dijual di toko umumnya terbuat dari kain, dan dihias dengan teknik jahit tindas (quilt) atau bordir. Termasuk di antaranya adalah gantungan HP yang bentuknya macam-macam dan dibuat dalam aneka warna.

Waktu ada kesempatan jalan-jalan di Seoul, saya sempat menemukan satu toko grosiran benang rajut di pasar Namdaemun. Suasana pasarnya mengingatkan saya pada Pasar Asemka, jadi toko itu mungkin setara dengan toko Sunflower. Iseng-iseng saya tanya sama yang jual berapa harga benang rajutnya (sambil harap-harap cemas, apakah penjaga tokonya bisa bahasa Inggris...), dia bilang segulung 10.000 won (kalau di-kurs kira-kira Rp 80.000,-). Yah... klo harganya segitu, mendingan beli di tanah air, harganya sama aja, dan gak bikin muatan koper tambah penuh... (hikmah lainnya yang bisa saya ambil : cintailah produk dalam negeri Indonesia!)

Namun saya cukup beruntung, karena menjelang kembali ke Jakarta, kami sempat mampir di toko buku, dan saya dapat buku kristik berbahasa Korea yang harganya 15.000 won (dikurs sekitar Rp 120.000,-, masih lebih murah dibandingkan buku-buku di Kinokuniya, mengingat buku yang saya dapat lumayan besar dan tebal), itu pun dikorting lagi menjadi 5.800 won (sekitar Rp 47.000,-). Setelah sampai di rumah dan saya lihat-lihat lagi, rupanya bukunya dikorting karea di bagian belakang ada pola yang terlipat, di situ rupanya robek. Padahal robekannya di bagian yang kosong (jadi tidak mengganggu gambarnya), sementara bagian dalam bukunya saya lihat mulus-mulus aja. Lumayan...

Ada hal yang menarik yang saya temukan. Di asrama tempat kami menginap di Ansan, beberapa mobil menggantung hiasan kristik di kaca depan mobilnya, tepatnya di pojok kiri (kalau dilihat dari dalam mobil). Tadinya saya pikir untuk gaya-gayaan aja, sampai saya melihat ada sederet angka, dan angkanya beda-beda tiap mobil. Begitu saya bandingkan dengan mobil lain yang tidak menggantung hiasan kristik, rupanya di tempat yang sama terpasang stiker dengan sederet angka, mungkin itu semacam stiker langganan parkir atau apa lah. Ohhh... lucu juga ya...

Tuesday, August 18, 2009

"Merah-Putih" : Nasionalisme vs. Hollywood

Tanggal 17 Bulan 8 Tahun 2009, aku memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia dengan menonton film Merah Putih. Sejujurnya, salah satu alasan utamaku menonton film ini adalah karena yang main adalah Lukman Sardi (sambil ngebatin terus menerus, duh, dia main jadi apa lagi ya???). Selain itu, pengen tahu juga tentang film ini, secara menurut saya film ini termasuk salah satu terobosan yang cukup berani, dengan menampilkan film bertema perjuangan di antara film-film horror dan komedi gak jelas yang saat ini merajai bioskop di Indonesia.

Setelah menonton filmnya, ternyata... tidak seperti yang dibayangkan (Eits, ini tidak berarti sesuatu yang negatif!). Mungkin karena referensi film perjuangan yang dulu saya tonton adalah film seperti Janur Kuning, ato karena udah sempet tahu bahwa film ini diilhami oleh Peristiwa Lengkong pada tahun 1946 (which is sebenernya tidak ada kaitannya dengan alur cerita film), atau aku juga (terlanjur) berusaha mencocokkan kejadian di film Merah Putih dengan catatan sejarah bangsa Indonesia pada masa itu, jadi filmnya tidak cocok dengan praduga awalnya. Beberapa hal yang cukup mengganggu bagiku antara lain :
(1) Pada jaman itu, tentara di Indonesia sudah bersatu dalam wadah Tentara Nasional Indonesia (tepatnya 3 Juni 1947), jadi saat Tomas diusir oleh petugas pendaftaran dan disarankan untuk pindah ke kelompok Tentara Sipil... hmmm... ada ya kelompok Tentara Sipil? Bukannya k'lo sipil itu udah pasti bukan militer? Mungkin buku sejarahnya harus sama-sama dibuka lagi...
(2) Di dalam catatan sejarah Indonesia, rasanya Tentara Belanda tidak pernah menang kalau perang melawan gerilya di dalam hutan. Belanda itu hanya menang dalam pertempuran frontal (e.g. Puputan Margarana), ato di meja perundingan (bahkan mereka "menunggangi" Sekutu waktu mau masuk Surabaya, ya tho?). Kalau di film ini digambarkan Tentara Belanda bisa menghabisi seluruh pasukan Mayor Taufik di hutan dan menyisakan 4 pemeran utama saja... kaya'nya tentara kita nggak segitunya deh.
(3) Pas udah sampe' rumah, baru aja mau cerita apa yang ditonton, rupanya bokap memperhatikan pada waktu melihat preview filmnya di TV, properti yang dipakai tidak sesuai dengan apa yang dipakai tentara Indonesia pada masa itu. Memang betul senjatanya berasal dari jaman Perang Dunia II, tapi tentara Indonesia belum punya, maklum... masih pake' senjata peninggalan/rampasan dari Jepang...

Tapi rupanya semua itu bisa dijelaskan oleh Yadi Suganda, sang sutradara. Rupanya memang baik ceritanya maupun properti pendukungnya di-fiksi-kan, sehingga para pembuat film tidak perlu melakukan riset yang sangat teliti, dan memungkinkan untuk melakukan berbagai "pelanggaran legal" tanpa mengurangi nilai ceritanya (dan mudah-mudahan lanjutan sequelnya gak terlalu melenceng juga dari sejarah, aamiin).

Mengutip pernyataan Darius Sinathrya, pemeran Marius, yang bangga dan kecewa untuk film ini, aku sepakat dengan Darius. Bangga karena pada akhirnya ada yang membuat film dengan tema perjuangan dan nasionalisme, sedikit kecewa karena... ya itu, kok idenya, pembuat ceritanya, bahkan sampai tim produksinya banyak yang "produk impor", padahal di negeri kita ini dari jaman baheula sampai saat ini sangat banyak insan perfilman yang mampu membuat film yang sangat berkualitas.

Anyway, dari sisi filmnya sendiri (terlepas dari apakah ceritanya nyambung dengan sejarah perang kemerdekaan atau tidak), film ini adalah film yang layak untuk ditonton. Dengan biaya produksi yang tinggi (konon mencapai Rp 60 miliar), tentunya penonton mengharapkan film yang berkualitas, paling tidak dari sisi sinematografinya. Dari sisi pengambilan gambar, oke banget, walaupun gayanya memang gaya film Amerika banget... (dan berhubung aku penggemar film produksi Amerika, jadi buatku nggak ada masalah, tentu saja selama kualitasnya oke!). Kemudian akting para pemainnya juga top abis! Lagi-lagi two thumbs up buat Lukman Sardi, tiap kali dia main film baru, kita tidak pernah ingat perannya di film sebelumnya. Awal-awal di film ini memang terlihat senyumannya yang khas banget, namun makin ke belakang yang terlihat bukan seorang Lukman Sardi ato Umar si Pengemudi Bajaj ato Tito si Pendaki Gunung, tapi Letnan Amir. Yang lain juga oke banget, sampe' kita membahas, yang main Tomas dan Dayan itu bukan orang Manado dan orang Bali beneran khan?? Keren... Apalagi Darius, aktingnya poll... poll "nyebelin", apalagi pas melihat Marius lari dengan ketakutan meninggalkan Soerono yang hampir tewas... two thumbs up buat Darius!

So... setelah melihat filmnya dan membaca berbagai komentar di web, berikut adalah kesimpulannya :
(1) Film ini belum layak disebut sebagai film perjuangan, karena bisa dibilang kaitannya kurang kuat dengan sejarah Indonesia masa itu (bandingkan dengan Enam Jam di Yogya, Kereta Api Terakhir, Doea Tanda Mata, ato film-filmnya Usmar Ismail, konon propertinya jauh lebih teliti, dan keterkaitan dengan sejarah Indonesia jauh lebih kuat)
(2) Sebagai film yang mengangkat tema nasionalisme, film ini sudah memperlihatkan nilai-nilai yang pada saat itu diperjuangkan oleh para pejuang, termasuk di antaranya mengesampingkan segala perbedaan baik suku, agama, status, dan kemudian bersatu untuk mengusir penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan. Dan terus terang, setelah menonton filmnya, film ini masih cukup "Indonesia", dan tidak terjebak menjadi film "Rambo".
(3) Bagi mereka yang mencari tontonan berkualitas, rugi kalau nggak nonton... sinematografi oke, akting pemainnya oke, ceritanya lumayan... stylenya memang cenderung ke arah film Hollywood, tapi itu berarti memperkaya khasanah film Indonesia, ya kan?

Mudah-mudahan, setelah Trilogi Merdeka ini keluar, banyak produsen film Indonesia yang "terpancing" untuk membuat film sejenis dengan kualitas yang juga oke... paling tidak bisa dimulai dengan me-remake film-film perjuangan Usmar Ismail... Badai Pasti Berlalu kan udah di-remake, sekarang giliran film perjuangan donk...

Kembali ke Yogyakarta

"Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu...Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat,
Penuh selaksa makna...
Terhanyut aku akan nostalgi...
Saat kita sering luangkan waktu,
Nikmati bersama, suasana Yogya..."

Akhirnya, setelah sekian lama, aku berkesempatan untuk menginjakkan kaki (lagi) di Yogyakarta. Sebenernya pengen juga keliling ke lebih banyak tempat, namun berhubung waktu yang terbatas (dan lagi "rada pelit"... bokek sih nggak, cuman lagi mode "aji pengiritan"), jadi kuputuskan untuk mengunjungi salah satu tempat wisata di Yogya yang paling te-o-pe be-ge-te sebagai landmark DI Yogyakarta : Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.


Perjalanan dimulai dengan KA Pramex dari Solo Balapan pukul 7, "mendarat" di stasiun Tugu pukul 8. Dari Tugu, mulailah diriku menyusuri jalan Malioboro dengan berjalan kaki (memang sudah diniatin, jadi nuwun sewu kepada pak becak, kusir delman, supir taksi dan tukang ojek yang sudah sibuk menawarkan jasanya untuk mengantar...). Eits, rupanya adikku mengajak sarapan dulu, jadi mampirlah di sebuah warung tenda di depan kantor DPRD untuk makan gudeg.

Dalam perjalanan menuju keraton, sempat juga mampir di Mirota, cari selendang-selendang lucu (soalnya k'lo di toko lain, biasanya selendangnya licin banget, ato bergaya ibu-ibu banget). Tapi berhubung "aji pengiritannya" masih cukup kuat (dan lagi mode "backpacker", jadi ga bisa bawa barang banyak-banyak), terpaksalah gak bisa beli banyak-banyak. Sungguh beruntung diriku, waktu itu karena ada promo dari salah satu kartu kredit terbitan bank lokal terkemuka, diriku mendapat diskon lumayan bo... tahu gitu belanja lagi...

Setelah menyebrang alun-alun utara (sambil berusaha menolak dengan sopan tawaran pak becak, malah ada yang berusaha ngibulin dengan bilang kraton lagi tutup, enak aja, kata siapa kraton tutup?!), akhirnya tibalah diriku di sitihinggil. Sambil melihat-lihat, sempat ngebatin juga, kok perasaan dulu kratonnya lebih besar ya... selidik punya selidik, ternyata bagian kraton yang besar (bagian dalam kraton) ada di belakang (musti jalan lagi kira-kira 200 meter), dan musti beli karcis lagi! Ouh... Pas beli karcis masuk ke bagian dalam, Mbak-Mbak penjaga loketnya kaya'nya sempat bingung karena aku datang sendiri, terus dia menyuruh aku bergabung dengan rombongan lain. Ndak usah bingung tho Mbak, selama masih ada yang bisa bicara bahasa Indonesia (dan bahasa Jawa huruf latin), kan ada yang bisa ditanya...


Ternyata, di bagian dalam Kraton suasananya lebih rame daripada di sitihinggil, dan isinya kebanyakan turis asing (dan keluarganya). Bahkan rombongan anak sekolah pun jumlahnya lebih sedikit daripada turis asingnya. Sempet bingung, sekaligus bangga, ternyata para turis asing itu masih banyak yang berani berwisata di tanah air, biarpun sempat ada serangan bom di JW Marriot dan Ritz Carlton...

Sempat juga nonton kelompok gamelan. Sebenernya emang niatnya menunggu pertunjukan wayang orang di pendopo yang diadakan tiap hari Minggu jam 11. Tapi pada waktu yang ditentukan, ternyata tarian pembukanya aja udah makan waktu 1 jam sendiri, lah terus kapan cerita wayangnya mulai?? Dah keburu laper nih... Akhirnya setelah look around di dalam kraton, lihat-lihat Museum Batik dan Museum HB IX, dan sempat "menghibur" Abdi Dalem yang mencoba memperlihatkan tipuan optik di lukisan para Sultan terdahulu, akhirnya aku menyudahi kunjunganku di kraton. Senangnya melihat warisan budaya kita masih terpelihara...



Waktu aku berjalan kembali menuju alun-alun utara, di sisi kiri terlihat ada Museum Kareta Karaton (demikian yang tertulis di papan namanya). Masuk dulu ahhh... (sebenarnya yang membuat tertarik bukan keretanya, tapi karena ada 2 patung kepala kuda di pintu masuk museum...). Tapi walaupun museumnya kecil (lebih tepatnya museum itu adalah "garasi"nya kereta milik kraton), isinya luar biasa... keretanya antik-antik, sambil membayangkan di masa lalu kereta itu diimpor dari Eropa, kemudian digunakan untuk pelesir, ato untuk upacara.

Keluar dari Museum Kereta, lah kok ada 2 ekor kuda di dalam kandang... setelah ditanya lebih lanjut sama orang-orang di sekitar situ, rupanya itu bukan kudanya keraton, tapi kuda penarik delman wisata, ohh... sempat aku men(curi)dengar salah satu guide di dalam museum kereta, konon pada waktu dilakukan salah satu upacara, dibutuhkan 8 ekor kuda berwarna putih, dan kuda-kuda itu didatangkan dari pasukan kavaleri di Bandung. Oalah, ternyata bukan hanya keretanya saja yang diimpor dari seberang lautan, kudanya juga diimpor dari propinsi tetangga!

Pas mau keluar, ada delman lagi parkir di halaman museum. Eh, kok ada ibu-ibu penjual minuman menawarkan barangkali aku mau foto sama delmannya. Eh lah kok aku meng-iya-kan... untung mas-mas kusirnya baik, dia mau mengambilkan foto, jadilah aku foto dengan delman (dan jaran, eh, kuda-nya...).

Puas melihat museum, aku kembali menelusuri alun-alun utara, masih sambil menolak tawaran pak becak. Bukan apa-apa, emangnya pak becak bersedia nggenjot dari alun-alun sampai Jl. Kaliurang?? Jauh lho Pak... Akhirnya di Jl. A. Yani, aku menghentikan sebuah taksi yang mengantarku ke hotel di Jl. Kaliurang.

Dalam perjalanan pulang ke Jakarta via bandara Adisucipto, rupanya diriku berkesempatan "mencicipi" pesawat 737 seri 800 NG keluaran terbaru milik Garuda. Jarak antar kursinya sebenarnya lebih sempit dibandingkan 737 seri 300, 400 ato 500 yang biasa dipake' Garuda, tapi ada TV-nya di masing-masing tempat duduk... tapi aku "gak sempat" menikmati TV-nya, soalnya ternyata yang duduk di sebelahku adalah kakak kelasku yang sempat nyanyi bareng di ITB Voice Night, lebih seru ngobrolnya tho daripada acara TV-nya...


Kapan ya ke Jogja lagi...

"Walau kini kau t'lah tiada tak kembali...
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi...
Ijinkanlah aku untuk s'lalu pulang lagi...
Bila hati mulai sepi tanpa terobati..."
(KLa Project - Yogyakarta)

Wednesday, June 17, 2009

Star Trek XI : Pro dan Kontra

Star Trek XI : The Future Begin mulai main di bioskop-bioskop di Indonesia sejak 9 Juni 2009. Dan di luar dugaan, "nasib"nya jauh lebih baik daripada "pada pendahulu"nya, reaksi publik sangat positif, karena selama beberapa minggu film ini tayang di bioskop, studio bioskop selalu terisi penuh, bahkan di hari kerja sekalipun. Entah apa yang membuat orang berminat untuk menonton, apakah karena penasaran (mengingat promonya yang sedemikian gencar), bosan dengan film yang "itu-itu aja", atau karena memang sudah lama merindukan kelanjutan dari Star Trek sejak terakhir Star Trek X beredar (dan saya cukup yakin dari sekian banyak penonton, mungkin maksimal hanya 40% yang beneran Trekker atau Trekkies, sisanya ya temen-temennya... :-) )

Dari berbagai review (dan spoiler) di milis Star Trek Indonesia, banyak yang pro, kontra, ataupun dua-duanya. Yang pasti, semua membandingkan film ST XI ini dengan serial dan film Star Trek yang universe-nya sudah dikenal sejak dulu. Bagi saya pribadi, secara sinematografis filmnya bagus (sangat mungkin ini yang bikin orang non-Trekker/non-Trekkies bisa menikmati filmnya). Dari ceritanya pun lumayan lah, gak terlalu berat sampai harus mikir, tapi gak terlalu cetek alias murahan. Dan yang lebih penting, ceritanya memang pantas untuk dijadikan film layar lebar.

Tapi k'lo dibandingkan dengan Star Trek Universe yang sudah dikenal sebelumnya... I miss so many things! Satu hal besar yang hilang dari film ini adalah "nyawa" Gene Roddenberry, orang yang bertanggungjawab atas lahirnya Star Trek. Sekian puluh tahun saya menonton Star Trek (bahkan hingga serial dan film yang dibuat saat Gene Roddenberry sudah tiada), "nyawa" itu selalu ada. Kalau kita simak baik-baik, Star Trek mencerminkan cita-cita Roddenberry akan sebuah alam semesta yang (hampir) ideal, di mana hampir semua serial dan film Star Trek menggambarkan tentang bagaimana nilai-nilai kemanusiaan berhadapan dengan semua permasalahan di alam semesta. Dan nilai ini nyaris hilang di film ST XI, yang bagi saya, akhirnya membuat ST XI lebih terlihat seperti film action (yang, sejujurnya, terlihat *sedikit* lebih sadis dibandingkan film-film Star Trek sebelumnya). But nothing wrong with that. Di beberapa artikel, JJ Abrams, sutradara ST XI memang menyatakan bahwa ia kurang menyukai membuat film yang slow pace, maka dia membuat ST XI dengan gaya yang cepat.

Saya juga sempat membaca sinopsis/spoiler dari Internet Movie Data Base, dan sekilas saya sempat "berburuk sangka", jangan-jangan nanti filmnya malah jadi seperti Star Wars, ups... Star Trek is not equal to Star Wars! Tapi setelah menonton sendiri filmnya, untungnya prasangka saya tidak terbukti... ST XI masih tetap sebuah "film Star Trek", karena (menurut saya) karakter, cerita dan dialog-dialognya masih "Star Trek banget".

Memang untuk jalan ceritanya, mungkin banyak yang mempertanyakan, kok kaya'nya beda sama 'universe' Star Trek yang kita kenal selama ini. Namun setelah membaca berbagai argumen, akhirnya saya menyetujui suatu kesimpulan bahwasanya ST XI ini bukan merupakan prequel dari ST:TOS yang kita kenal selama ini, tapi merupakan alternate universe, dan itu sah-sah aja siy.

Nonton ST XI juga membangkitkan banyak kenangan dari serial dan film Star Trek sebelumnya (walaupun mungkin hanya para Trekkers/Trekkies yang punya kenangan akan hal ini). Banyak adegan yang mengingatkan kita pada karakter di ST:TOS (Star Trek : The Original Series) atau dialog atau kejadian dari film-film sebelumnya. Misalnya saja ketika Kirk bertanya pada Sulu dia bisa berkelahi dengan apa, Sulu menjawab dia bisa main anggar (this one is funny, karena mengingatkan saya pada adegan Sulu di ST:TOS yang bermain anggar saat terjangkit virus). Dialog paling te-o-pe yang membuat saya mengenang kembali film-film Star Trek sebelumnya adalah dialog ketika Ambassador Spock (Leonard Nimoy) di planet bersalju berhadapan dengan Kirk (Chris Pine) yang tidak percaya bahwa Kirk dan Spock (akan) bersahabat baik : "I will, and always be your friend." Kalimat ini pernah diucapkan Spock (Leonard Nimoy) kepada Kirk (William Shatner) di Star Trek II, ketika Spock mengorbankan diri untuk memperbaiki warp core Enterprise NCC 1701 agar bisa melarikan diri dari ledakan pesawat Khan.

Yang kata orang-orang masih belum 'pas' adalah karakternya, karena katanya masih kurang mirip dengan karakter di ST:TOS yang asli. Well... secara yang main udah beda gitu loh, selain pastinya gak gampang, mungkin juga emang karena permintaan sutradara... Yang main Kirk (Chris Pine) dan Spock (Zachary Quinto) dari segi fisik lumayan mirip lah, k'lo dari segi karakter, Kirk-nya cukup 'Kirk' (cukup banyak adegan berkelahi dan wanita... hehehe...), cuman untuk Spock jadi agak terlalu emosional, karena as far as I know, Spock itu Vulcan yang selalu berusaha nunjukin bahwa dia itu logis banget, walaupun sesekali ditunjukin juga pergolakan emosinya dari sisi manusianya (mungkin ini yang mau diangkat sama sutradaranya).
Yang paling gak mirip dari segi fisik adalah McCoy (perasaan Dr. Mc Coy di ST:TOS gak terlalu tinggi dan kecil, kok di ST IX dia tiba-tiba tinggi dan berbodi ya? Tapi kesinisannya sih dah lumayan mirip). Yang agak berlebihan mungkin Pavel Chekov (rasanya Chekov dulu logatnya gak berlebihan seperti itu, udah gitu secara fisik gak mirip), but I have to admit that he gives the fun side of the movie! Sedangkan yang karakternya paling nggak sama dari karakter aslinya adalah Montgomerry Scott, di mana Scotty-nya kurang Inggris banget... (no bloody 'bloody'...).

Ada beberapa fakta menarik di film ST XI ini :
1. Randy Pausch (alm), dosen yang terkenal dengan The Last Lecture, mendapat 1 peran figuran sebagai salah satu kru USS Enterprise
2. Christopher Doohan, putra dari James Doohan (alm.), pemeran Scotty, ikut main dalam film ini
Trivia-trivia lainnya bisa dilihat di sini.

Kesimpulannya, secara keseluruhan, film ini cukup bagus (4 dari skala 5), jadi kalau ada yang mau mengajak saya nonton lagi, boleh lah...

Friday, May 22, 2009

Oleh-oleh dari Gunung Kareumbi

Beberapa waktu yang lalu, saya ikut orang tua saya ke Taman Buru Masigit Kareumbi untuk mengikuti Dies 45 tahun Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri. Satu hal yang membuat saya berminat untuk melihat ke kawasan Masigit-Kareumbi ini terutama karena informasi bahwa wilayah itu sedang menjalankan Program Konservasi, dan akan dikembalikan ke tujuan awalnya kawasan ini dibuat, yaitu sebagai Kawasan Berburu.

Perjalanan dimulai dari Jakarta, masuk tol Cikampek-Purbaleunyi, dan keluar di pintu tol Cileunyi. Dari pintu tol itu kita menuju ke arah Cicalengka, kira-kira pada jarak 11 km dari pintu tol Cileunyi, ada tanda jalan menuju Curug Cindulang (rambunya cukup besar), kita belok ke arah Curug Cindulang. Jarak dari jalan raya Cicalengka ke kawasan Gunung Kareumbi kurang lebih 12 km, jadi kita akan melewati Curug Cindulang.

Kondisi jalan saat memasuki belokan ke Curug Cindulang lumayan bagus, hanya jalannya agak sempit, sehingga kalau 2 mobil berpapasan harus cukup sabar untuk saling bermanuver. Menjelang masuk ke kawasan Gunung Masigit-Kareumbi, jalan mulai berbatu, dan sinyal telpon seluler mulai hilang (sangat cocok bagi mereka yang mau menghilang sejenak dari keriuhan komunikasi), kecuali dari ProXL (itu pun katanya hanya di beberapa titik).

Kalau kita melihat sekilas di kawasan hutannya, kelihatannya pohonnya cukup rimbun, namun menurut keterangan beberapa pihak, masih ada beberapa titik gundul akibat illegal logging di masa lalu yang harus dihijaukan. Beberapa pihak bahkan sudah mulai ikut menghijaukan beberapa bukit secara massal, sebut saja ada hutan BNI dan bukit TOP (alumni sekolah St. Aloysius, Bandung). Banyaknya peminat ini membuat pengelola menjadi sedikit kewalahan sekaligus senang, karena berarti mereka harus menyediakan bibit dalam jumlah cukup untuk memenuhi permintaan tersebut. Kita juga bisa ikut serta dalam program Baby Tree ini dengan biaya Rp 50.000 untuk setiap pohon yang akan ditanam. Biaya ini akan digunakan untuk pemeliharaan setiap bibit pohon selama 5 tahun, sejak bibit pohon ditanam hingga pohon mencapai usia aman.

Salah satu bukit yang baru saja diresmikan adalah bukit Yusril Djalinus. Almarhum Yusril Djalinus (beliau wafat pada tanggal 2 Februari 2009) adalah seorang wartawan senior yang juga sekaligus komisaris majalah Tempo, dan beliau juga anggota Wanadri dari angkatan Pelopor, sehingga peresmian bukit ini menjadi salah satu agenda acara Dies 45 tahun Wanadri. Bukit ini rencananya akan ditanami 999 pohon, dan di atasnya akan dibangun saung untuk tempat beristirahat.

Rencana lain untuk kawasan Taman Buru Masigit Kareumbi adalah menjadikan kawasan itu menjadi kawasan berburu, sesuai peruntukannya saat tempat ini dibangun. Untuk itu, telah dibangun kandang rusa, di mana saat jumlah rusanya cukup, rusa akan dilepas ke hutan untuk dijadikan sasaran berburu. Kami sempat melihat-lihat ke kandang rusa. Mungkin ekspektasi saya terlalu berlebihan, karena saya pikir rusanya sudah cukup banyak (seperti yang sering kita lihat di kebun binatang atau Istana Bogor). Namun ternyata rusanya baru ada 6 ekor... kok dikit ya? Setelah diingat-ingat lagi, pihak pengelola kan sudah pernah bilang, kalau mau dijadikan kawasan berburu, masih harus menunggu 10 tahun lagi kok... sabar ya... :-)


Bagi mereka yang senang bertualang, di kawasan ini disediakan juga camping ground (lengkap dengan MCK) dan rumah pohon sebanyak 5 buah. Sayangnya, saya belum sempat melihat rumah pohon dari dekat, karena jaraknya yang lumayan jauh dari lokasi acara Dies dan harus memasuki kawasan yang penuh pohon.


Oh, ya, saya juga menemukan "barang aneh" di dekat kandang rusa, saya menyebutnya "Gazebo Doyong". Mungkin ini salah satu peninggalan pengelola kawasan Masigit-Kareumbi yang dulu, dan entah karena memang sudah rusak, atau kesalahan konstruksi saat membangun, gubuk ini tidak bisa berdiri tegak, dan kemiringannya mirip seperti menara Pisa.

Thursday, April 16, 2009

Bangun Pagi Murah Rejeki!

Banyak sesepuh kita yang berkata, "bangun pagi murah rejeki". Dan itu yang saya rasakan hari ini, ketika pagi-pagi saya "terdampar" di mall Ambasador...

Hari ini saya berencana untuk membeli beberapa barang elektronik "titipan", dan setelah malam sebelumnya saya browsing dan survey mengenai keberadaan dan harga barang tersebut, saya memutuskan untuk membelinya di mall Ambasador.

Kendala pertama yang saya temui adalah : saya datang kepagian! Yah, berhubung jam kantor saya di Simprug dimulai pukul 7, jadi pukul 7 lebih dikit saya sudah sampai di kantor klien di Kramat dan dengan sukses menemui beberapa klien saya. Setelah urusan dengan klien sudah selesai, dalam perjalanan pulang ke Simprug saya "mampir" ke mall Ambasador. Ternyata jam 9 pagi di mall Ambasador, tokonya masih pada tutup, gelap bo... untung resto Chow King sudah buka dan menyediakan menu sarapan, jadi sambil menunggu jam 10 (di mana aktivitas mall dimulai) saya nongkrong dulu di Chow King.

Jam 10, rupanya belum semua toko pada buka (bahkan ada satu toko baju yang saya sempat hampiri karena pintunya terbuka, penjaganya 'mengusir' saya dan berkata toko belum buka, ealah...), jadi mampir dulu deh ke Trimedia. Dari Trimedia, saya melihat masih banyak toko-toko elektronik (baca : toko komputer dan toko handphone) yang belum buka. Di beberapa toko yang sudah mulai buka, saya mulai survey-survey sedikit mengenai keberadaan barang yang sedang saya cari. Dan ternyata, toko yang kemarin saya survey di internet belum ada yang buka! Akhirnya saya 'mendarat' di salah satu toko (toko ini tidak ada di list saya), dan saya mendapat salah satu barang yang saya cari dengan harga yang ekonomis! Yah... saya pikir kami berdua sama-sama beruntung, saya dapat barang dengan harga ekonomis, toko itu dah dapat penglaris pagi-pagi. Coba dia belum buka, pasti saya nggak jadi beli di situ dech... Sambil menunggu barangnya diproses, saya nanya-nanya, kok toko yang lain belum buka? Para penjaga toko itu bilang, kalau toko-toko lain ada yang baru buka jam 12. Lah... masa' aku disuruh nungguin dia buka?? Capek deh... mending cari di toko lain!

Saya jadi terpikir, toko tempat saya beli barang itu sungguh beruntung, karena dia buka pagi-pagi, jadi saya bisa beli di toko dia. Terbukti memang kata para sesepuh, "bangun pagi murah rejeki"... gak cuman toko dapat pembeli, kita juga terhindar dari macet, masuk kantor tidak telat, ketemu klien juga bisa lebih santai dlsb dlsb.

(tapi... susah banget ya untuk bangun pagi-pagi... :P)

Monday, March 09, 2009

Opera Ganesha Dies Emas ITB 2009

Setelah setahun 'vakum' dari dunia entertainment dan lebih banyak berkutat di dunia proyek (halah!), akhirnya tanggal 8 Maret 2009 ini saya 'manggung lagi bersama PSM ITB, kali ini untuk acara Opera Ganesha, dalam rangka Dies Natalis Emas ITB.

Banyak yang bertanya-tanya, kok ITB umurnya baru 50 tahun? Padahal katanya udah berdiri sejak 1920?? Jadi begini : pendidikan tinggi teknik di Indonesia memang dimulai tahun 1920, dengan berdirinya jurusan Teknik Sipil di kampus Ganesha 10. Jadi, kampus di Jl. Ganesha No. 10 itu memang sudah sejak 1920, tapi resmi bernama Institut Teknologi Bandung sejak tahun 1959, begicu...

Opera yang judulnya Opera Ganesha ini temanya adalah "Napak Tilas Gajah Kencana Meniti Kala", alias perjalanan gajah emas dari waktu ke waktu. Pengisi acaranya umumnya para mahasiswa, yang tergabung dari berbagai unit kesenian, termasuk angklung, seni tari & karawitan, kesenian Minang, marching band, orkestra, dan juga paduan suara. Ini pun masih ditambah dengan orkestranya kang Purwacaraka. Secara singkat, Opera ini isinya adalah tentang 'gajah', karena baik kostum maupun properti yang digunakan oleh para penari malam itu bertema gajah (mulai dari gagajahan, gajah lumping, dan semua penari mengenakan topeng gajah). Jadilah, malam itu Sasana Budaya Ganesha penuh dengan 'gajah-gajah berwarna emas' menari di atas panggung (hmm... I wonder, barangkali Way Kambas pas tanggal 8 Maret 2009 itu kosong melompong, karena gajahnya dipanggil semua ke Bandung, hwehehe...).

Sebagai (mantan) penari dan penyanyi, saya salut kepada semua pengisi acara (orkestra, musik tradisional, penari, dlsb), secara umum penampilannya lumayan banget (nilai 8 dari skala 10), bisa dibilang tidak ada 'kecelakaan' selama penampilan, walaupun latihannya dah mepet banget. Terutama salut kepada para penari, yang siangnya sempat (atau 'terpaksa'?) gladi bersih sampai 2 kali, cuman beberapa jam sebelum tampil! Staminanya bol-jug, euy! Tapi di satu sisi, saya kasian juga ama penarinya, udah tampil keren, tapi sepanjang pertunjukan harus pakai topeng gajah... duuh...

Tapi saya merasa bahwa Opera-nya sendiri tidak terlalu berkesan. Konsep Opera-nya kaya'nya kurang mantap, soalnya instead of 'perjalanan gajah kencana meniti kala', aku malah melihat ceritanya cuman seputar "gerakan mahasiswa", dan terkesan terlalu menonjolkan jaman-jaman kejadian era tahun 1970-an (a.l. peristiwa Rene Conrad dan saat tentara masuk kampus 1978). Bagi saya pribadi, ITB bukan cuman 'Rene Conrad' dan 'Buku Putih', ITB itu jauh lebih besar daripada itu! Udah gitu, biarpun judulnya 'Opera', tapi ternyata yang dapet porsi sangat besar adalah tim orkestra dan penari. Jadi ada juga penonton yang bertanya-tanya : mana operanya?

Saya jadi ingat waktu kami latian paduan suara, hampir semua penyanyi bertanya-tanya, ini Opera-nya tentang apa sih? Kita nyanyi di bagian mana? Tapi nggak ada yang bisa jawab (termasuk pimpro yang ada di Bandung), dan pada akhirnya jawabannya baru ditemukan last minute pas pertunjukannya! Capek deh... Belum lagi banyak perubahan yang terjadi waktu last minute... waduh, kaya'nya persiapannya ga mateng, ya... tapi kembali lagi, alhamdulillah final performance-nya lumayan baik, jadi persiapan yang kurang mateng itu gak terlalu keliatan.

Tapi saya tidak menyesali keputusan untuk ikut dalam grup paduan suara yang mendukung Opera Ganesha ini. Biarpun kami cuman nyanyi 3 lagu (sebenernya yang SATB cuman 2, yang satu kan mengiringi bapak Ketua Panitia bernyanyi unison, secara lagunya baru diganti 1 minggu sebelum acara...), tapi penampilan PSM ITB kali ini sangat khusus dan unik. Kapan lagi bisa ngumpulin penyanyi dari angkatan 1961 sampai angkatan 2008, untuk nyanyi bareng di acara-nya ITB?? Kalau diliat latar belakang, jurusannya, profesinya, etnisnya, kita beda-beda semua (ada yang mahasiswa baru masuk, ada yang dosen, ada yang pekerja kantoran, ada yang pekerja lapangan, ada yang freelance, ada juga yang pak Deputi Menteri), kita cuman sama dalam 2 hal : mahasiswa (atau minimal pernah jadi mahasiswa) ITB, dan anggota PSM ITB. Sebenernya, panitia sudah menghimbau Unit Kesenian pengisi acara lainnya untuk mendatangkan alumninya juga (secara ini kan acara Dies Emas ITB gitu loh!), tapi ternyata yang terkumpul (dan kebetulan cukup banyak) ya cuman PSM ITB. Konon kabarnya, ini lebih karena emang kitanya yang 'banci tampil' dan 'demam panggung', alias demam k'lo ga naik panggung....

Salah satu penyanyi, Jukie, sudah menulis tentang apa yang ia rasakan setelah melihat penampilan kami di Opera Ganesha, katanya "Hanya PSM ITB yang bisa begini", dan saya sangat setuju dengannya. Dengan bernyanyi, kita menyatukan perbedaan di antara kita, dan menjadi satu identitas : PSM ITB. Belum tentu sebulan, setahun, bahkan sepuluh tahun lagi kita bisa mengumpulkan anggota dan bernyanyi di occasion yang unik seperti ini lagi, and I'd love to be part of it!

One more things, pemilihan lagu Naik Delman, yang walaupun menurut saya gak nyambung sama sekali dengan narasi di Opera-nya, itu oke banget. Lagu ini diaransir oleh alm. pak Sudjoko, sesepuh PSM ITB yang aransemennya sangat khas (walaupun pak Djoko seringkali 'menabrak' kaidah-kaidah kepaduansuaraan, but that's pak Djoko!). Biarpun banyak suara-suara protes terutama dari penyanyi sepuh yang merasa bahwa lagunya jadi 'kurang pak Djoko' (karena ada pemotongan sedikit di sana-sini), tapi karena musik pengiringnya diaransir sedemikian rupa, kemudian ditambah iringan tradisional dari angklung dan gamelan, it sounds great!

Trip to Bandung, March 2009

Bandung is always a hometown for me. In fact, it is my "second hometown". If everybody goes to Bandung for shopping or eating, I go to Bandung just for "moving to the other bedroom" (a.k.a. 'pindah tidur').

On March 2009, my trip to Bandung is a different one than usual. I planned to go to Bandung by train. It was a nostalgic trip, since before the era of Cipularang tollroad, I always go from-to Bandung by Parahyangan train, at Business class (as students at that time, we have to be very economist, hehehe). But after the tollroad is opened, there were lot of travel, and we prefer use travels since it cut the trip duration significantly.

So, in the morning of March 6th 2009, I went to the Gambir station, bought Parahyangan ticket, and enjoyed the trip. It really a nostalgic one... The scene is a little bit different from the last time I went to Bandung by train. The towers, the train station buildings, and the trees still looks the same, only this time we could see many tall bridges of Cipularang tollroad across the hills. What a scene! Maybe trip by train is not as fast as by travel, but the sensation is still different. And if you took trip by train, you can enjoy the trip, even you can open your laptop and get work done while you still on the road (you may not do this on travel, it can disturb the person who sit next to you!).

Here are some photos from my trip to Bandung by train :


Situation outside and inside the executive wagon


Tall buildings of Jakarta


Train passed bridge crossing above the Cipularang tollroad (around Purwakarta).


Jatiluhur lake from the distance



Terrasering rice field at Purwakarta



Cikubang tollroad bridge (length 520 meter, height 60 meter) , viewed from Sasaksaat railway bridge


Cipada tollroad bridge (length 600 meter, height 45 meter)


Near Cikamuning tollgate, we can see the arteri road (Padalarang-Purwakarta old route) and Cipularang tollroad side-by-side


Bandung train station tower


Train monument at old Bandung train station.

I also took some walking at Braga street, and bought the book about Braga at Djawa bookstore, the famous small old bookstore at the middle of Braga steet. After reading the book, I just realized, there are not much different between the people at 1900 era and 2000 era, they all come to Bandung for some refreshment and entertainment, including shows performance, fashion shopping, and last but not least : culinary tourism! The different only if at the 1900 era the visitor are Dutchs from the plantation, but in nowaday, the visitor is Indonesian who came from many places, especially Jakarta.

But when I returned to Jakarta by car, things is really different. The Cipularang tollroad was very full, it was the longest traffic jam I ever seen! At 16.00 WIB, we enter the Pasteur tollgate, and near the Cimahi/Baros tollgate, the traffic just started to stuck. I turned on the radio, and found out that the traffic jam occur along the Cipularang tollroad until km 57 of Cikampek tollroad! Oooo... if we continue the trip, we would trapped in the traffic jam, and it must be a tired one. So we decide to turn back and return to my grandma's home, waiting until the traffic is not so crowded. At last, we start the trip back to Jakarta at 02.00 WIB in the middle of the night, and we safely arrive at our home at 06.00 WIB in the morning, phew... (and the traffic is not so clear at all, since we still found the jam at Karawang for several kilometres).

Sunday, February 08, 2009

The Cold & Freezing Jakarta

I wonder, why last week Jakarta was so so cold. At first, I thought the cold temperature only occur every time we got rain or windy weather. But I just realized that the water also very very cold (it rarely happened in Jakarta), as if someone put giant ice cube to chill it. That make me feel I was taking a bath in Bandung everytime I took a bath. So cold! Can't believe it ever happened at Jakarta!

Monday, January 26, 2009

Plesiran Tempo Doeloe Kota Tua Batavia : not worthed...

Minggu, 25 Januari 2009, aku dan adik-adikku ikut Plesiran Tempo Doeloe di Kota Tua Batavia. K'lo liat dari milis dan websitenya, acaranya menarik banget, apalagi diselenggarakan dengan jalan kaki, wah, pasti banyak yang bisa diliat nih. Belum lagi setelah baca novelnya ES Ito si Rahasia Meede, sapa tahu beneran ketemu ada terowongan di bawah (ex-)Stadhuis, huehehehe...

Sehari sebelum acara, aku iseng-iseng mengemail koordinatornya, nanya berapa jumlah pesertanya. Dijawablah : 900-an orang. (DOINK!!!!) Banyak banget?! Ini teh mau plesir ato mau lomba gerak jalan? (diinget-inget, perasaan jaman karyawisata dulu, k'lo 1 sekolah mau karyawisata, jumlahnya per angkatan max 600-an orang, itu pun udah dibagi jadi 3 gelombang @ 200-an peserta max) Tapi ya udahlah... cuman bisa berdoa, mudah-mudahan panitia cukup siap menghadapi peserta yang segini banyak.

Pas dateng ke tempat kumpul di Museum Bank Mandiri, terlihat panitia udah membagi peserta ke loket-loket sesuai dengan nomor pendaftarannya. Ohh... lumayan... gak perlu berebut daftar ulang. Tapi ternyata, nomor terakhir pendaftaran itu 1100!! (DOINKINKINK!!!) Buset, dah... lebih mirip orang mau kampanye ato demo deh kaya'nya... Udah gitu pas jam 7, panitia keliatan belum siap, jadi aja peserta yang jumlahnya 1000-an itu pada berkeliaran di Museum Bank Mandiri, untung banyak yang diliat di sana, jadi gak bosen-bosen amat.

Akhirnya, setelah beberapa saat, loket dibuka. Alhamdulillah, peserta cukup tertib. Tapi rupanya, mulai ada yang gak 'kena'. Masa' bisa kami tidak kebagian roti buaya buat sarapan, padahal panitia sendiri yang membagi tiap loket dibatasin 100 peserta sesuai nomor pendaftaran??? Memang sih, pada akhirnya roti itu bisa diklaim ke panitia setelah acara presentasi, tapi udah keburu sebel aja (cuman masih belum bete, baru sebeleun).

Setelah proses pendaftaran, peserta "digiring" ke lantai atas untuk mendengarkan presentasi. Eh, gak disediain kursi... jadilah kita duduk di lantai. Kebayang donk, untuk masukin 1100 peserta ke dalam ruangan yang sempit, prosesnya lama... udah gitu presentasinya nggak selesai-selesai. Pas presentasi yang pertama oleh pak Liliek Suratminto, kebetulan beliau gaya presentasinya enak, ditambah yang dijelaskan itu padat-singkat-mengena (mungkin juga karena udah diwanti-wanti bahwa jam 8 harus udah jalan). Salah satu penjelasan pak Liliek yang paling berkesan untuk saya adalah bahwa ternyata JP Coen membangun kota Batavia dengan kanal-kanal seperti di Venezia, tapi kanal-kanalnya kemudian ditimbun oleh Daendels (Gubernur Jendral merangkap "pemborong bangunan") karena menjadi sumber penyakit. Oalah... rupanya bukan cuman orang Indonesia yang suka menggusur tempat-tempat bersejarah, tapi rupanya mental itu diturunkan oleh para penjajahnya jaman dahulu kala... (amit-amit!)

Eh, lah kok udah jam 8.15, presentasi diteruskan oleh pak Andy Alexander! Payah niy yang ngatur jadwal... padahal presentasinya pak Andy cukup panjang (mungkin malah buat saya terlalu panjang...). Jadi aja, jam 9 kurang masih di ruang presentasi. Terang aja semua orang udah pada gelisah, ruangannya sempit, ada 1100 orang (mungkin oksigennya udah mulai berkurang), presentasi gak selesai-selesai, jalan-jalannya gak mulai-mulai. Tiba-tiba, saat presentasi pak Andy kurang 8 slide lagi, power pointnya nggak mau nampilin gambar, malahan pet! Presentasinya tiba-tiba hilang dari layar dan tak mau kembali (mungkin laptop ama LCDnya juga dah bete kali...). Jadi aja, para peserta, yang mungkin sebagian besar udah bosen dan bete, langsung pada berdiri dan bergerak keluar. Himbauan panitia untuk berkelompok sesuai nomor pendaftaran pun udah gak didengerin, semua pengen cepet turun, semua pengen cepet acaranya segera mulai, secara matahari juga udah semakin panas.

Aku sama adik-adikku menunggu sampai peserta yang pada berebutan turun kira-kira hampir habis (jadi mungkin kami ada di rombongan terakhir), dan pada akhirnya, dimulailah acara jalan kaki. Tujuan pertama : Toko Merah. Pas di depan tokonya, halah... gimana mau foto-foto? Beranda Toko Merah dah berubah jadi "Lautan Manusia"! Akhirnya kami cuman bisa foto bangunannya aja, abis ga nemu posisi yang bagus buat foto, terlalu penuh bo...

Tujuan berikutnya : Jembatan Kota Intan. Lagi-lagi, susah banget cari spot foto yang optimum, abis ada 1100 orang ngantri mau foto semua... tapi lebih susah lagi mencari 4 narasumber yang disediakan, soalnya 1100 orang juga pada pengen dengerin penjelasan para narasumber. Akhirnya bisa juga foto di Jembatan Kota Intan, tapi... ya gitu deh, ga optimum (masih ditambah ngeri-ngeri dikit karena ada puluhan orang sekaligus di atas jembatan tua itu...).

Dari Jembatan Kota Intan, rombongan (yang tadinya masih berjalan per 100 orang, tapi udah jadi rombongan besar beranggotakan 1100 orang) berjalan kaki lewat kolong rel KA dan jembatan layang tol menuju ke sisa-sisa Kastil Batavia (yang udah gak bersisa sama sekali). Untuk mendengarkan penjelasan dari para narasumber, kami memilih mengikuti bapak-bapak pemegang speaker (salut sama para bapak yang memegangi speaker sepanjang perjalanan!). Dan ternyata, selain 1100 peserta yang mengikuti penjelasan para narasumber, terdapat beberapa pedagang es krim Walls yang sangat jeli menangkap kebutuhan para peserta yang sedang kepanasan ini... O ya, aku sempat melihat ada salah satu peserta yang menggunakan kursi roda, salut ya Mbak untuk semangatnya.

Dari kolong layang tol, kita bergerak ke arah Museum Bahari, melewati sebuah bangunan tua yang agak tidak begitu jelas apa isinya. Ternyata itu bekas galangan kapal VOC. Tapi galangan kapalnya sendiri udah nggak keliatan bekasnya sebagai galangan, melainkan sudah jadi restoran dan toko-toko. Di sini kami sempat foto di seberang menara syahbandar (soalnya dah kebayang, kalau ada 1100 orang foto di depannya menara syahbandar, bisa-bisa antrian foto baru selesai pas Maghrib... ato Subuh hari berikutnya).

Setelah itu kita masuk ke Museum Bahari. Mau liat-liat di dalam, dah malas, soalnya di dalam penuh banget... (kaya'nya lebih penuh daripada bis PATAS kail ya...) Ceritanya kami duduk-duduk di halaman dalam, sambil mendengarkan penjelasan para narasumber, serta menunggu minuman dingin yang dijanjikan di milis dan website. Tapi sampai akhir kunjungan, minuman dingin itu tak kunjung datang!! Grrrrr.... Ya sudahlah, pasrah aja (bahkan ngeliat kotak mang-mang Walls pun udah gak berminat) ... akhirnya cuman foto di depan jendela antik ini... itu pun karena bentuk jendelanya lucu.

Dari Museum Bahari, gerombolan 1100 orang berpindah ke pelataran Menara Syahbandar. Ceritanya sih mau sesi tanya jawab, tapi pertanyaan kedua membuatku rada-rada bete, karena si penanya membanding-bandingkan antara Kota Tua Malaka dengan Kota Tua Batavia, dan dia bilang Batavia lebih tua dari Malaka. Salah, Mas... Malaka lebih tua daripada Batavia, secara Malaka tahun 1511 sudah diserbu Portugis, padahal JP Coen baru membangun Batavia sekitar tahun 1619. Yang lebih tua daripada Malaka adalah pelabuhan Sunda Kelapa, bukan Batavia. Pertanyaannya sebenernya nyambung banget (karena mempertanyakan kenapa kita tidak bisa mempertahankan peninggalan sejarah seperti Malaka), cuman sebel aja, kenapa nanyanya di bawah Menara Syahbandar... dah pada kepanasan niy... k'lo di forum lain (terutama yang diselenggarakan di ruangan ber-AC dengan kursi yang nyaman), mungkin pertanyaannya bisa dibahas panjang lebar dan tuntas. Eh, lah kok para narasumber malah bilang "Iya, saya kagum dengan Malaka", oi, rumput tetangga kan emang selalu lebih hijau! Kenapa sih kita malah kagum ama mereka? Daripada terkagum-kagum, ayo kita benahi yang ada di Indonesia ini! Masa' Pemda DKI kalah ama Pemda Sawahlunto, kota yang sepi begitu aja berani membangun museum Goedang Ransum dan bekas tambang dengan sangat menarik, dan mempromosikannya via website... (daripada membandingkan ama Malaka, lebih baik membandingkan ama Sawahlunto, masih sama-sama di tanah Nusantara...)

Dari Museum Bahari, kita lewat Jl. Cengkeh dan Jl. Kopi, langsung menuju Stadhuis alias Museum Fatahillah alias Museum Sejarah Jakarta (one of my favorite!). Sebenernya masih ada 1 site lagi di sekitar Jl. Cengkeh, yaitu tempat batu padrao, ato prasasti perjanjian antara Portugis dengan kerajaan Sunda. Tapi karena hari semakin siang, stamina semakin turun, dan juga perasaan semakin bete (salah satunya karena tidak menemukan minuman dingin yang dijanjikan!), jadi saat narasumber yang dikelilingi oleh para pendengar setianya masih menjelaskan di Jl. Cengkeh, sebagian besar rombongan meneruskan perjalanan ke Stadhuis. O ya, sempat juga liat bangunan Dasad Musin, I wonder, mungkinkah di dalam gedung itu si Kalek dan Batu lagi nyangkul untuk mencari pintu terowongan ke arah Istana Merdeka...

Di Stadhuis, alamak, rame banget!! Rupanya lagi ada lomba burung berkicau, jadi ada 2 tratak besar yang isinya sangkar-sangkar burung, dan para pemiliknya sedang memancing burung-burungnya untuk berkicau. Waduh, serasa kembali ke jaman kolonial, di mana lapangan depan balai kota dipenuhi para pedagang dan rakyat untuk menikmati hiburan (which is di jaman kolonial, menurut keterangan pak Liliek atau pak Andy, salah satu hiburannya adalah hukum gantung, hiii....syerem...). Di depan pintu museum, gak ada panitia yang menunggu, jadi aja para peserta pada kleleran gak jelas di halaman museum. Haduh, makin menambah bete ajah...

Akhirnya, salah satu panitia kelihatan mengarahkan peserta untuk kembali ke Museum Bank Mandiri. Berhubung kami bertiga sudah bosan dengan segala ketidakpastian, kami memutuskan untuk langsung pulang dengan busway... huh...

O ya, buat panitia Plesiran Tempo Doeloe : Kota Tua Batavia yang kebetulan membaca blog ini, jangan marah dulu, ini adalah curahan hati dari segelintir peserta yang mungkin punya ekspektasi ketinggian terhadap acara ini. Kami ngerti kok, kalau rombongannya sangat besar, akan sangat sulit untuk bisa terus mengikuti dan mendengarkan informasi dari narasumber. Tapi paling nggak next time kami berharap pengaturan peserta dan flow acaranya bisa lebih baik daripada yang tanggal 25 Januari 2009 ini, jangan sampe' belum berangkat orang udah pada bete. Ato paling nggak jumlah pesertanya dibatasin. Ato k'lo emang niatnya mau menjaring peserta sebanyak-banyaknya (hmmm... mau dimasukin ke rekor MURI, kah?), peserta bisa dibagi jadi beberapa rombongan besar dengan rute yang berbeda. Anyway, jumlah peserta sebesar 1100 itu sebenernya mencerminkan bahwa masih banyak anak bangsa ini yang peduli terhadap peninggalan sejarah. Jadi acara semacam ini memang perlu diadakan lebih sering lagi, tapi dengan pengaturan yang lebih baik, supaya pada saat acara selesai, kita pulang ke rumah gak cuman bawa foto-foto aja, tapi juga pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik mengenai sejarah bangsa Indonesia. Karena kalau pengaturan acaranya kurang baik, selain kita jadi malas mau ikut lagi, malu juga sama beberapa bule yang ikutan, nanti dia pikir bangsa Indonesia emang mampunya cuman segini doank...

Saturday, January 24, 2009

"Rahasia Meede : Misteri Harta Karun VOC"

Pertama kali lihat dan beli novel Rahasia Meede karya ES Ito di toko buku, sebenernya sekedar iseng-iseng aja, lebih terdorong karena diriku adalah penggemar sejarah Indonesia (walaupun masih di bawah taraf amatir...) yang penasaran, bagaimana VOC, yang sudah bubar sejak 1799, bisa meninggalkan harta karun di Indonesia? (even itu cuman sebuah novel, tapi seru juga membayangkan seandainya VOC benar-benar meninggalkan harta karun di negeri tercinta ini, hehehe).

Begitu tiba di rumah dan bokap melihat novelnya (yang mana bokap adalah penggemar novel-novel terkait sejarah, terutama serial dari Langit Kresna Haryadi), reaksi pertama beliau adalah, "Eh, Bapak baca dulu ya...." OK... gak pa-pa, mudah-mudahan dalam 3 hari novelnya selesai dibaca, en tokh pada waktu itu diriku belum punya waktu untuk membaca. 3 hari jadi 1 minggu, 1 minggu jadi 2 minggu, barulah novel itu kembali padaku. Kok lama ya? Kata bokap, ceritanya seru, makanya nggak kelar-kelar. Waduh, padahal k'lo bokap bilang ceritanya seru... berarti itu seru beneran. Hmmm.... makin penasaran neh...

Akhirnya.... aku berkesempatan membaca novel itu. Halaman pertama, kedua, bab satu, bab dua... dalam waktu semalam novel itu kulalap habis, saking penasarannya. Benar, ceritanya seru banget... Yang membuat ketegangan dalam cerita itu makin seru adalah karena settingnya sangat dekat dengan keseharian kita, yaitu di bumi tercinta Indonesia, terutama di sekitar Jakarta. Banyak hal yang diceritakan dalam novel itu adalah cerminan dari realita yang terjadi di keseharian kita juga. Terlebih lagi, banyak detail-detail dalam novel yang terkait sejarah Indonesia yang membuat kita berpikir, apakah detail ini merupakan fakta atau bukan. Mungkin bisa dibilang bahwa novel ini adalah The Da Vinci Code versi VOC.

Jadi, sementara besok aku mau jalan-jalan mengelilingi Kota Tua Batavia bersama Sahabat Museum (untuk melihat lokasi novel Rahasia Meede sambil mencari terowongan yang ke arah Monas, hmmm.... :P), bokap mulai membaca novel ES Ito yang berjudul Negara Kelima (which is ternyata ini justru novel pertamanya ya?). Hmm... jadi ikutan penasaran, tapi kembali diriku harus sabar menunggu bokap selesai baca.... :-)