Saturday, December 25, 2010

Destinasi Wisata Pesisir : gemana seh???

Sebenernya niatan saya untuk menelusuri destinasi wisata di Jakarta Utara berawal dari keisengan semata : pengen tahu di mana ujung tol JORR di sisi Cilincing (karena sepengetahuan saya saat ini tol itu belum 'nyambung' dengan tol Wiyoto Wiyono). Berhubung sudah sampai daerah sana, masak cuman ngukur jalan, jadi kami merencanakan untuk mengunjungi beberapa obyek wisata di Jakarta Utara.

Baca-baca di website ini, dan menemukan 'iklan' di tol layang Wiyoto Wiyono, rupanya ada 12 Destinasi Wisata Pesisir di Jakarta Utara : Taman Margasatwa Muara Angke, Sentra Perikanan Muara Angke, Kawasan Sunda Kelapa, Kampung Luar Batang, Sentra Belanja Mangga Dua, Taman Impian Jaya Ancol (TIJA), Bahtera Jaya Ancol, Stasiun Tanjung Priok, Jakarta Islamic Center, Gereja Kampung Tugu, Kampung Marunda, Sentra Belanja Kelapa Gading (mungkin lebih tepat klo sebutannya sentra wisata kuliner, soalnya klo belanja di Kelapa Gading kan mahal ya bo...). Karena kalau dilihat di peta yang paling dekat dengan tol JORR itu daerah Marunda, jadi kami memutuskan untuk pergi ke Marunda, rencananya pengen liat Rumah si Pitung.

Berbekal keterangan dari internet dan keterangan pada buku "99 tempat liburan akhir pekan di pulau JAWA dan MADURA", begitu keluar dari tol JORR mulailah kami mencari Rumah si Pitung. Tapi ketika kami menyeberang jembatan Marunda, melihat STIP Marunda, dan mulai mencari papan berwarna kuning yang ada tulisan "Mesjid Al Alam, Rumah Pitung, Pantai Marunda" (seperti petunjuk pada buku "99 tempat liburan"), ga ketemu... bahkan kami sudah sempat menyeberang perbatasan masuk wilayah Jawa Barat yang tidak jauh lagi dari STIP Marunda. Langsung kami putuskan untuk memutar balik, logikanya sederhana aja : ga mungkin rumah si Pitung masuk wilayah Jawa Barat. (kok petunjuknya salah ya? Padahal Mbak-Mbak penulis bukunya jelas-jelas masukin foto papan kuningnya...)

Akhirnya kami memfokuskan diri pada petunjuk penting lainnya : di belakang STIP Marunda. Jadi dengan logika barangkali di sekitar STIP Marunda ada jalan keliling, kami masuk ke jalan masuk STIP Marunda (dan setelah kami perhatikan, memang tidak ada petunjuk sedikit pun di jalan masuk STIP Marunda mengenai keberadaan rumah si Pitung). Menelusuri jalan itu, sampailah kami pada jalan buntu, tepatnya jembatan yang hanya bisa dilewatin motor. Dah sempet bingung, akhirnya tanya sama penjaga warung, rupanya kami berada di jalan yang benar... jadilah mobil diparkir dekat warung, dan kami berjalan kaki ke menyeberangi jembatan yang hanya terbuat dari bambu dan kayu, menuju rumah si Pitung. Suasana di sekitar lokasi sangat unik karena berbentuk rawa-rawa, ada orang yang sedang mencari ikan, dan terlihat pohon bakau di tengah rawa.

Setelah tiba di sebuah rumah panggung (yang menurut perkiraan kami mestinya ini rumah si Pitung), ternyata rumah itu lagi direnov, banyak banget tukang yang lagi kerja. Sempat ragu-ragu, kami bertanya pada pak Satpam yang ada di situ, rupanya benar ini rumah si Pitung (akhirnya ketemu juga!). Tapi rumah itu lagi direnovasi, dan mereka ga bisa memastikan kapan renovasinya selesai. Jadi ya sudahlah, kami kembali ke mobil, dan berencana untuk kembali lagi di lain waktu (habis mau difoto juga isinya tukang bangunan sama tumpukan semen...).

Ketika kami menelusuri jalan kembali menuju jalan raya, kami masih penasaran dengan papan kuning yang katanya ada itu. Tapi sampai kembali ke jalan raya dan masuk Jl. Cilincing, sama sekali tidak ada papan kuning tersebut... Setelah baca-baca lagi buku "99 tempat liburan", di buku itu tidak ada tahun penerbitannya, jangan-jangan keterangan di buku itu yang udah kadaluwarsa... ternyata setelah dibaca lagi dengan seksama, di buku itu mbak-mbak penulisnya pergi ke Madura masih pake feri dan ada foto jembatan Suramadu masih proses konstruksi, berarti buku itu diterbitkan sebelum Juni 2009, pantes aja infonya ada yang kadaluwarsa...

Karena sudah sampai di daerah Cilincing, iseng-iseng saya mencari Krematorium Cilincing. Hampir salah masuk jalan kembali ke Jl. Akses Marunda, karena papan petunjuk jalan yang tidak jelas (doh, payah deh...). Namun akhirnya kami menemukan Jl. Cilincing Lama, dan berhasil menemukan jalan menuju Krematorium. Krematoriumnya sih biasa saja, dan sebenarnya saya ingin turun masuk jalan-jalan ke klenteng Wan Lin Chie dan vihara Lalitavistara yang ada di jalan masuk Jl. Cilincing Krematorium. Tapi ketika kami berputar di lapangan parkir krematorium dan melihat tukang parkir di parkiran Krematorium (dengan gaya seperti mau narik biaya parkir), tiba-tiba kami mengurungkan niat dan kembali ke jalan raya... O ya, kalau liat Indomaret yang ada di jalan itu, ditulis "Cilincing Rekreasi". I wonder, apakah itu merupakan jalan ke pantai Cilincing yang dulu tersohor itu ya...

Next destination, Stasiun KA Tanjung Priok. Waktu kecil, saya ingat kalau pergi ke TIJA untuk berenang, pasti lewat stasiun Tanjung Priok, jadi tidak sulit untuk menemukan stasiun itu. Pas masuk, kok sepi ya... apa stasiunnya masih beroperasi? Namun pertanyaan saya segera terjawab, karena terlihat papan harga tiket yang masih baru, dan di situ tercantum nama dan harga tiket KA yang masih beroperasi, OK, berarti stasiunnya fully operated.



Memasuki peron stasiun, serasa tidak berada di salah satu stasiun KA di Indonesia. Di sisi kiri terdapat panel yang menceritakan sejarah perkeretaapian di Indonesia. Kami sempat foto-foto ke arah peron. Tapi ketika kami mau foto peron yang ada perkantorannya, kami dicegat pak Satpam, ditanya buat apa foto-foto, ya buat koleksi pribadi Pak... katanya kalau mau foto-foto bagian peron yang ada kantornya, harus didampingi orang kantor. Berhubung kami males berdebat, kami pergi aja dan mengurungkan niat untuk foto-foto lebih lanjut. Katanya destinasi wisata, tapi kok nggak boleh foto-foto? Emang harus bayar ya? Males dah... kalau mau disuruh bayar, sekalian aja pasang tarif karcis foto di loket! (seperti di kraton Yogyakarta, jadi bayarnya resmi, bukan sekedar salam tempel) Atau kalau nggak boleh foto, pasang aja rambu larangan berfoto, kita kan bisa baca...

Destinasi berikutnya : Gereja Tugu. Sebenernya tadinya tidak berencana mau ke Gereja Tugu, tapi setelah membaca buku "99 tempat liburan", eh, ternyata deket aja, cuman "di belakang" Depot Pertamina Plumpang! Setelah mencari-cari, sebenarnya gerejanya langsung ketemu, hanya karena hari kami berkunjung ini adalah Hari Natal, pasti gerejanya lagi sibuk banget melayani jemaat (dan kami tidak ingin dikira mau berziarah atau kebaktian...), jadi kami hanya menandai tempat ini di peta untuk dikunjungi di lain waktu.

Kesimpulan hasil kunjungan hari ini : program "12 Destinasi Wisata Pesisir Jakarta Utara" saat ini perlu dipertanyakan. Keterangan dan petunjuk jalan yang tidak jelas (bahkan keterangan di website, buku dan peta bisa menyesatkan, seperti ketika mau ke Rumah Pitung), suasana kurang nyaman, dan petugas yang tidak kooperatif (seperti Satpam di stasiun KA Tj Priok) membuat saya bertanya-tanya, sebenernya seberapa besar niat pemerintah (terutama Pemda Jakarta Utara) untuk menjadikan lokasi-lokasi yang katanya Destinasi Wisata ini mudah, layak, dan menyenangkan untuk dikunjungi? Beberapa lokasi memang sedang berbenah (I hope so, seperti Rumah Pitung, mudah-mudahan hasil renovasi menjadikan lokasi tersebut mudah untuk dicapai), tapi lokasi yang sudah siap, seperti Stasiun Tanjung Priok, malah menyulitkan orang yang mau berwisata, mau foto-foto aja susah. Gimana industri wisata Indonesia mau maju kalau caranya seperti ini...

Tugu Pahlawan Surabaya

Saya sering banget dinas ke Surabaya, tapi belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di Tugu Pahlawan, icon-nya kota Surabaya. Abis setiap kali ada yang diajak ke sana, ada aja alasannya : entar liat apa, cuman gitu-gitu aja, rame, panas dlsb. Cuman sekali aja saya pernah menginjakkan kaki ke daerah sana waktu malam hari untuk membeli nasi bebek Tugu Pahlawan yang tersohor itu, hohoho... tapi memang bebeknya mak nyusss, gak nyesel harus berdesak-desakan untuk membeli nasi bebek rasa petis seharga Rp 10.000 per porsi itu, hmmm... yummy...
Dan akhirnya, di suatu hari Minggu ketika saya berdinas ke Surabaya, saya iseng-iseng pergi ke Tugu Pahlawan. Supir Blue Bird yang saya tumpangi pun tampaknya agak-agak heran, ngapain saya pergi ke Tugu Pahlawan?? (mungkin dia pikir saya turis dari luar kota yang aneh...) Namanya juga iseng, Pak... Begitu tiba di sana, ternyata suasananya memang ramai banget. Kalo yang tahu bazaar yang tiap hari Minggu pagi digelar di lapangan Gasibu Bandung, kira-kira suasananya mirip seperti itu : banyak kaki lima yang menggelar dagangan, sehingga jalan di sekitar Tugu Pahlawan mirip pasar tumpah di Pantura (hanya belum serapat dan serame di lapangan Gasibu).

Untuk masuk ke area Tugu Pahlawan, tidak dipungut biaya. Di satu-satunya pintu masuk, terdapat patung Bung Karno dan Bung Hatta, sedang membacakan Proklamasi di antara tiang-tiang yang seolah merupakan bekas bangunan terkena pertempuran. Sayang, banyak orang nongkrong di situ, jadi malas mau foto. Banyak (sekali) orang yang duduk-duduk di dalam area Tugu Pahlawan, ada yang piknik keluarga, ada yang satu gank anak-anak muda, dan ada juga yang sibuk memadu kasih (seolah dunia jadi milik sendiri...). Terdapat 6 patung tokoh-tokoh terkemuka di Surabaya yang berperan ketika peristiwa 10 November 1945. Saya hanya sempat memfoto salah satu patung, dan kebetulan saya memilih patung Bung Tomo, yang menurut saya paling saya kenal di antara yang lain.


Di dalam area Tugu Pahlawan, terlihat ada 3 bangunan menyerupai piramid, rupanya itu museum yang menjadi bagian kelengkapan tugu tersebut. Dengan membayar tiket seharga Rp 2000, saya masuk ke museum, yang letaknya di bawah tanah (tepatnya tidak satu level dengan tugu). Di dalam museum terdapat berbagai diorama dan peninggalan sejarah yang terkait dengan peristiwa 10 November 1945, termasuk bendera, senjata, foto-foto, dan replika bambu runcing. Salah satu "benda unik" yang dipamerkan adalah diorama besar yang dilengkapi rekaman suara Bung Tomo pada tanggal 9 November 1945 malam dan 10 November 1945 pagi yang bertujuan untuk menyemangati rakyat Surabaya dalam menghadapi ultimatum tentara Sekutu. Sayangnya, ada diorama besar dalam teater kecil yang dilengkapi dengan special effect sepertinya sudah tidak berfungsi, hanya filmnya saja yang masih bisa ditonton. Walaupun demikian, ruangan berisi diorama besar itu tetap penuh dengan penonton (it's nice to see many Indonesian families go to museum!).



Setelah puas melihat-lihat dan foto-foto sebentar, saya memutuskan untuk melakukan perjalanan selanjutnya : memfoto Kantor Pos Krembangan Selatan, Jl. Kebonrojo. Tidak ada alasan lain selain alasan emosional : pada tahun 1950, Kakek saya pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Pos Surabaya. Karena hari Minggu, kantor posnya tutup, dan karena lahan parkirnya cukup luas, saya bisa memfoto bagian depan kantor pos dengan leluasa.
Baru saja saya menoleh ke tempat lain, saya melihat poster : pameran arkeologi yang bertempat di Kantor Pos Surabaya, dan tanggalnya masih belum terlewat! Hohoho... harus dikunjungi nih. Setelah mencari-cari sebentar, rupanya ruang pamerannya ada di sisi belakang kantor pos. Rupanya pamerannya bukan pameran benda-benda sejarah (ada sih, tapi sedikit...), lebih banyak menampilkan panel berisi keterangan-keterangan. Bagi mereka para penggemar wisata sejarah, isi pameran ini sangat menarik, karena menceritakan berbagai relief di beberapa candi di Jawa, antara lain kisah Karmawibangga di candi Borobudur dan kisah-kisah fabel di candi Penataran. Ketika saya mengisi kesan-pesan di buku tamu, ada bapak-bapak penjaga pameran yang mungkin terheran-heran melihat saya, dikira saya mahasiswa yang lagi berlibur (bukan Pak, saya pegawai yang lagi dinas dan iseng jalan-jalan mau foto kantor pos...). Eh, pulangnya malah dapet buku gratis! Ma kasih ya Pak...

Rupanya bonus "keajaiban" hari itu belum berakhir, karena ketika saya menyetop taksi untuk pergi ke toko Mirota di Jl. Sulawesi, Surabaya, supir taksinya gak tahu jalan! Haduh... untung ada teknologi GPS, dengan sedikit mencari-cari jalan menggunakan HP (sambil mencoba mengingat-ingat jalan yang biasa dilewati kalau mau ke toko itu), akhirnya ketemu juga toko Mirota. Dan untung supirnya baik, coba dia tidak mengaku gak tahu jalan, bisa-bisa aku diputar-putar gak jelas di Surabaya...

Sunday, November 14, 2010

Noiseless Bencoolen

Membaca artikel mengenai tempat wisata di mancanegara dengan tajuk yang diawali dengan kata “noiseless”, ingatan saya melayang waktu berkunjung ke Bengkulu. Walaupun menyatakan diri sebagai Kota Semarak, namun kata “noiseless” lebih tepat untuk menggambarkan situasi Bengkulu. Dengan jumlah penduduk kota hanya 400 ribu orang, Bengkulu dapat dikatakan merupakan ibukota propinsi paling sepi di wilayah Indonesia bagian Barat.

Hening dan damai. Itulah kesan pertama ketika keluar dari gerbang bandara Fatmawati Soekarno. Tujuan pertama : Museum Propinsi Bengkulu. Begitu sampai di museum, udah tahu nih, sama kaya tipikal museum-museum propinsi lainnya, pasti museumnya sepi. Benar saja, bahkan penjaga loketnya pun susah banget dicari...

Memasuki museum propinsi Bengkulu, nggak kaya museum lainnya yang banyak benda bersejarah, di museum ini justru lebih banyak mengenai benda kebudayaan Bengkulu. Bahkan untuk mencari keterangan lengkap tentang bunga Rafflesia pun tidak ada... Namun demikian, saya nggak menyesal masuk ke museum ini, karena ternyata banyak keterangan tentang suku lokal yang tinggal di Bengkulu, menggambarkan betapa beraneka ragam manusia yang tinggal di propinsi Bengkulu.

Koleksi yang menurut saya a must see adalah replika barang-barang yang digunakan dalam Upacara Tabot, yaitu upacara tradisional mengenang kepahlawanan Hasan dan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW yang gugur pada perang melawan bala tentara Ubaidillah bin Zaid di Padang Karbala. Upacara ini masuk dalam agenda tahunan wisata Bengkulu. Bahkan menara yang digunakan untuk Upacara Tabot dijadikan lambang “tidak resmi” kota Bengkulu, karena hampir di setiap sudut kota dapat ditemukan menara tabot yang dijadikan hiasan kota.

Kami juga melihat mesin cetak merek “Golden Press” buatan USA tahun 1931. Mesin ini pada tahun 1947 pernah digunakan oleh percetakan Dukhery Populer sebagai mesin pencetak “uang merah”, sejenis Oeang Republik Indonesia (ORI) yang dikenal sebagai Uang Merah / Mandat PMR (Persediaan Makanan Rakyat), dan berfungsi sebagai alat tukar yang sah untuk wilayah keresidenan Bengkulu. Selain itu mesin ini juga pernah digunakan oleh Soekarno, presiden pertama Indonesia untuk mencetak naskah dan undangan grup tonil Monte Carlo.


Salah satu benda koleksi museum yang unik dan menyita perhatian kami adalah replika tongkat Raja Bengkulu. Tongkat yang terbuat dari bahan bambu kibut dan logam ini bentuknya menyerupai ular dengan bentuk badan meliuk dan ujung seperti kepala ular. Tongkat ini adalah kenang-kenangan dari raja Bengkulu kepada residen Inggris Yoseph Hurlock Esquire pada tahun 1752. Pada masa pemerintahan gubernur Razie Yahya tahun 1993, tongkat ini dikembalikan lagi ke Bengkulu. Tapi saya kok melihat tongkatnya agak-agak spooky ya... jadi takut mau foto... :( Ada juga patung yang digunakan untuk menari yang bentuknya mirip ondel-ondel, namanya Barong Landong. Boneka ini digunakan oleh suku Lembak untuk menari dalam upacara adat.

Selesai dari museum, atas saran dari salah satu pegawai museum untuk mengambil rute perjalanan yang paling efisien, kami menuju Pantai Panjang. Mobil berhenti di ujung Pantai Panjang, dan kami berkesempatan untuk menjejakkan kaki di pantai landai berpasir putih itu, sambil melihat langsung pemandangan ke arah Samudra Hindia. Pantainya bersih, dan sepi... tukang dagangan sih ada, tapi karena hari itu hari Sabtu, maka jumlahnya sedikit sekali, dan gak model ngejar-ngejar wisatawan, membuat kunjungan ke pantai ini sangat menyenangkan, sayang masih banyak obyek yang harus dikunjungi. Ketika hari Minggu-nya kami melewati lagi pantai Panjang, pantainya jauh lebih ramai, banyak tukang dagangan, dan ada berbagai atraksi untuk anak-anak, seperti odong-odong dan gajah tunggang. Namun demikian, masih terlihat banyak tempat yang kosong, tidak seperti pantai Ancol di Jakarta yang pada hari libur nyaris tidak ada lahan yang tersisa.
Keunikan dari pantai ini, sejauh mata memandang, kami tidak melihat pohon kelapa, melainkan pohon cemara. Sebenarnya bukannya tidak ada pohon kelapa sama sekali, tapi pohon kelapa pertama yang kami temui jaraknya beberapa ratus meter dari bibir pantai... Satu hal yang menarik, ketika saya mengambil foto dan mencoba mengirimnya ke salah satu situs jejaring sosial, rupanya sinyal 3G Indosat di pantai ini full!! Keren... (dan setelah mengelilingi kota Bengkulu, satu2nya tempat yang sinyal 3G Indosatnya penuh ya di pantai Panjang... tapi mungkin karena yang pakai internet tidak banyak, hampir di setiap titik di kota Bengkulu, biar kata masuk Edge, speednya cepet bou...)

Setelah puas bermain air dan foto-foto sejenak, kami melanjutkan perjalanan. Menyusuri pantai, baru kami tahu alasan pantai ini diberi nama Pantai Panjang, karena panjangnya yang mencapai 7 km. Di beberapa tempat, pantai cukup lebar, sehingga banyak keluarga yang bermain air, atau anak-anak bermain bola di pantai. Namun anda tidak akan menemukan orang yang mandi-mandi di laut. Konon ada legenda yang terkait dengan Putri Gading Cempaka yang membuat orang tak berani mandi-mandi di pantai ini, namun mungkin juga bukan karena itu, mengingat pantai ini langsung berhadapan dengan Samudra Hindia yang arus bawahnya sangat kuat sehingga berbahaya jika kita berenang.

Semula dari Pantai Panjang kami langsung menuju Benteng Marlborough yang tersohor, namun sayang cuaca mendung, sehingga kami mengurungkan niat dan melanjutkan perjalanan menuju obyek selanjutnya. Tibalah kami di rumah pengasingan Bung Karno. Bengkulu punya romantisme tersendiri dalam perjalanan hidup Bung Karno, karena selama di pengasingan di Bengkulu beliau bertemu dengan Fatmawati, yang di kemudian hari menjadi Ibu Negara pertama Republik Indonesia.

Waktu kami tiba rumah pengasingan Bung Karno, tiba-tiba hujan! Kami lari-lari untuk berteduh ke dalam rumah. Bersamaan dengan kedatangan kami, terdapat serombongan anak sekolah yang juga berlari-lari untuk berteduh, membuat rumah yang kecil itu menjadi penuh. Rupanya mereka juga bermaksud untuk melakukan kunjungan, karena tidak lama kemudian guru pendamping mereka menyusul dan mengumpulkan mereka di beranda belakang rumah tersebut.

Di rumah ini tersimpan beberapa perabot seperti kursi tamu, tempat tidur dan lemari yang dipakai keluarga Bung Karno, serta sepeda yang pernah digunakan oleh Bung Karno. Banyak juga foto-foto selama Bung Karno beraktifitas dalam pengasingan di Bengkulu. Selain itu terdapat 2 lemari yang berisikan seragam kelompok tonil Monte Carlo, grup sandiwara asuhan Bung Karno. Namun yang paling berharga dari koleksi tersebut adalah buku-buku Bung Karno yang mencapai ratusan buah, sayangnya kondisinya sebagian besar rapuh atau hancur termakan usia. Di beranda belakang rumah, terdapat kios yang menjual oleh-oleh khas Bengkulu dan buku-buku terbitan terbaru tentang Bung Karno. O ya, di halaman belakang rumah terdapat sumur keramat, konon barang siapa yang mencuci muka di sumur itu akan memperoleh kesuksesan, wallahu alam...
Usai dari rumah pengasingan Bung Karno, kami mencoba mencari rumah keluarga Ibu Fatmawati. Sayang, supir mobil rental yang membawa kami kurang mengetahui letak rumahnya, rupanya tempat ini kalah beken dibandingkan rumah pengasingan Bung Karno. Akhirnya dengan dipandu informasi dari internet, kami mencoba mencari rumah tersebut, dan untungnya ketemu, tak jauh dari pusat kota (dan ternyata tak terlalu jauh dari rumah pengasingan Bung Karno). Namun saat itu kami tak menemukan penjaga sama sekali, jadi kami tak berani masuk. Baru keesokan harinya kami berhasil bertemu penjaganya dan masuk ke dalam rumah. Koleksi di dalam rumah ini tidak sebanyak di rumah pengasingan Bung Karno. Walaupun sepi, rumah ini bersih dan cukup terawat. Terdapat beberapa perabot dan foto milik pribadi keluarga Ibu Fatmawati. Di salah satu kamar, kami juga melihat mesin jahit yang digunakan ibu Fatmawati untuk menjahit bendera pusaka.

Setelah pada hari itu kami tidak berhasil masuk rumah Ibu Fatmawati, cuaca mulai cerah, sehingga kami buru-buru mengunjungi Benteng Marlborough, takut keburu hujan lagi. Sebelum sampai benteng, kami mampir dulu ke monumen Thomas Parr, yang berjarak hanya 600 meter dari benteng Malrborough. Monumen yang juga dikenal sebagai Kuburan Bulek ini dibangun Inggris untuk memperingati peristiwa pembunuhan residen Inggris Thomas Parr pada tahun 1807. Konon Thomas Parr dibunuh oleh orang Bugis yang menjadi salah satu anggota keamanan East India Company (EIC), karena berusaha mengurangi peranan mereka di anggota keamanan EIC.

Selain monumen Parr, di Bengkulu juga terdapat tugu Hamilton. Tugu ini konon merupakan nisan dari Captain Robert Hamilton, kapten Angkatan Laut Inggris, namun sudah dipindahkan dari tempatnya semula dan diletakkan di pertigaan Jl. Soekarno-Hatta. Belakangan kami baru menyadari bahwa tugu ini tidak sepopuler monumen Thomas Parr, karena supir mobil rental yang membawa kami semula tidak bisa mengidentifikasi lokasi tepatnya dari tugu ini, padahal sudah beberapa kali kami melewatinya!

Akhirnya, kami berhasil mencapai Benteng Marlborough! Benteng ini merupakan benteng peninggalan Inggris, didirikan oleh EIC pada tahun 1713-1719. Pada masanya, benteng ini merupakan benteng terkuat Inggris di daerah Timur setelah benteng St. George di Madras, dan menjadi benteng terbesar Inggris di Asia Tenggara. Waktu kami bayar karcis masuk, mas-mas penjaga loketnya menawarkan jasa pemandu, dan akhirnya kami didampingi oleh pemandu dari dinas pariwisata yang bernama mas Leo. Mas Leo sangat sabar dan detail dalam menjelaskan sejarah benteng Marlborough, dimulai dari fakta bahwa benteng ini pernah berpindah tangan dan dikuasai oleh 4 negara : Inggris, Perancis, Belanda, Jepang. Benteng seluas 44100 meter persegi ini didirikan di atas bukit buatan, yang dibangun dengan menimbun karang dengan tanah. Desain dasar benteng ini berbentuk segi empat dan menyerupai kura-kura, ditandai dengan empat bastion di sudut benteng berbentuk seperti kaki, serta satu kelompok bangunan (yang sekarang menjadi pintu masuk) menyerupai bagian kepala kura-kura. Benteng dikelilingi parit selebar 3,6 meter dengan kedalaman 1,8 meter, dan pintu masuk benteng tersambung dengan jembatan ke gerbang dalam.

Di salah satu ruangan, rupanya ada eksebisi mengenai sejarah Bengkulu, sejarah kehadiran Inggris di Bengkulu, bagaimana EIC mulai beraktifitas di Bengkulu, termasuk Raffless dan penyerahan Bengkulu ke tangan Belanda. Well... saya menduga Raffless mungkin sudah melihat kalau Singapura jauh lebih strategis daripada Bengkulu, makanya dia mau aja menyerahkan Bengkulu kepada Belanda ya...

Di salah satu ruangan yang pernah dijadikan sel tawanan, kami melihat gambar kompas yang digambar oleh orang Belanda yang ditawan oleh Jepang, serta pesan yang ditulis dalam bahasa Belanda, yang kalau diterjemahkan kira-kira bunyinya “Barang siapa mengamati kompas ini janganlah memarahi yang membuat kompas ini, ingatlah bahwa kesengsaraan dan waktu lah yang membuat saya mencoret-coret dan waktu saya menulis ini.” Waduh… tak terbayangkan bagaimana perasaan si tawanan ketika ia menggambar kompas di dinding dekat jendela…

Naik ke bastion benteng yang menghadap ke pantai Tapak Paderi, kami melihat meriam yang bisa berputar 360°. Meriam buatan Belanda ini memiliki kaki yang dapat dipasang pada rel berbentuk lingkaran, yang memungkinkan meriam berputar. Bisa dibayangkan, jaman dulu meriamnya pasti lebih berat daripada sekarang, gimana coba memutarnya... Dari bastion ini, kita bisa melihat pantai Tapak Paderi dengan leluasa. Di masa lalu, pantai Tapak Paderi merupakan pelabuhan alami kota Bengkulu. Menurut mas Leo, orang-orang tua Bengkulu lebih mengenal pelabuhan alam ini sebagai Pelabuhan Bom, konon karena banyaknya bom yang dilontarkan ke pelabuhan ini ketika musuh menyerbu benteng Marlborough. Dari kejauhan, kami bisa melihat bunker buatan Jepang tepat di area parkir mobil di pantai.

Sore hari, ketika berjalan-jalan menikmati angin laut di pantai Tapak Paderi, kami sempat berfoto di papan nama jalan bertuliskan “Bencoolen Street”. Barangkali pernah dengar jalan Bencoolen Street di Singapura, nama jalan ini sengaja diberikan oleh Raffles untuk mengenang kehadiran Inggris di Bengkulu. Namun tak perlu jauh-jauh ke Singapura jika ingin ke Bencoolen Street, mampir saja ke pantai Tapak Paderi dan temukan papan nama jalan tersebut.

Bagi yang ingin berwisata kuliner, terdapat beberapa buffet dan lepau yang menjual hidangan khas Bengkulu. supir rental yang kami sewa membawa kami ke restoran Inga Raya, Jl. Pantai Pasar Bengkulu, tepat di depan pantai Jakat. Walaupun secara sepintas makanan khas Bengkulu mirip dengan makanan Minang, namun Bengkulu memiliki makanan khas yang tidak ditemukan di tempat lain, seperti bager hiu (semacam rendang dari daging ikan hiu), pendap (dari daun keladi, ikan dan kelapa, mirip seperti buntil), pais ikan kecil-kecil (seperti pepes), lawar (seperti urap), dan balado ikan Beleberan (sejenis ikan kecil-kecil). Mmm… padek nian! Konon untuk memasak pendap, perlu 1 hari penuh untuk memastikan daun keladi yang dimasak bebas dari getah yang membuat gatal.


Jangan lupa beli oleh-oleh khas Bengkulu. Sentra oleh-oleh khas Bengkulu terdapat di Jl. Soekarno-Hatta, Anggut Atas, tidak jauh dari rumah pengasingan Bung Karno. Makanan khas Bengkulu yang biasa dijadikan oleh-oleh antara lain lempuk durian, emping melinjo, gelamai (semacam dodol), perut punai (makanan yang terbuat dari ketan bersalut gula aren), kacang siput, manisan terong, roti bay tat (sejenis pai nanas), dan kopi bubuk. Rata-rata makanan khas Bengkulu rasanya manis dan gurih. Selain makanan, tersedia juga kerajinan khas Bengkulu yang terbuat dari kulit lantung, umumnya dijadikan hiasan dinding, gantungan kunci, atau tas wanita.

Toko oleh-oleh di Anggut Atas juga menjual batik Besurek, batik khas Bengkulu. Besurek artinya ‘bersurat’, karena ciri khas batik ini adalah adanya motif huruf Arab. Konon batik Besurek awalnya adalah kain yang sakral, karena hanya digunakan untuk upacara adat. Dalam pengembangan selanjutnya, untuk memperlihatkan khas Bengkulu, batik ini juga dilengkapi motif bunga Rafflesia. Kebanyakan batik Besurek memiliki warna-warna yang tegas. Tentu saja, saya memilih membeli batik printing, kalau mau beli yang sutra, mana tahan...

Kami menginap di hotel Samudra Dwinka, yang terletak tepat di depan Masjid Jamik. Letak masjid ini sangat unik, karena tepat di tengah pertigaan. Masjid Jamik menjadi cagar budaya yang bersejarah, karena selain merupakan masjid tertua, masjid ini pernah direnovasi oleh Bung Karno ketika beliau berada dalam pengasingan pada tahun untuk 1938. Rancangan atap mesjid ini agak berbeda dengan atap mesjid di Bengkulu yang umumnya bulat, lebih mengingatkan kepada atap mesjid Demak. Keunikan lainnya adalah atap mesjid ini terbuat dari seng. Konon kabarnya atap seng lebih tahan terhadap gempa, sehingga mengurangi resiko kerusakan apabila terjadi gempa, mengingat Bengkulu adalah daerah yang rawan gempa. Selain masjid Jamik, di Bengkulu banyak terdapat masjid di seluruh penjuru kota, mulai dari yang berukuran kecil, sedang, maupun mesjid besar. Ini menakjubkan bagi kami, mengingat penduduk kota Bengkulu hanya 400.000 jiwa, namun mesjidnya banyak dan ada di mana-mana.

Malam itu kami menghabiskan waktu di kamar hotel, dari jendela kami bisa melihat jalan-jalan utama kota Bengkulu yang ramai, namun sama sekali tidak macet. Saat kami membuka internet untuk mengetahui apa yang terjadi di belahan dunia yang lain, kami melihat laporan lalu lintas yang mengatakan hari itu Jakarta macet, bahkan di daerah Lebak Bulus terjadi kemacetan total. Ahhh… rasanya hari itu kami bahagia sekali, karena untuk sejenak bisa lepas dari kemacetan Ibu Kota, mencari kedamaian di noiseless town of Bengkulu…

Saturday, September 11, 2010

Merah Putih II : Darah Garuda

Dalam rangka libur Lebaran 1431 H, banyak film-film baru yang tayang perdana di bioskop, diantaranya adalah Merah Putih II : Darah Garuda. Mengingat diriku sudah (terlanjur) menonton film pertamanya, jadi daku berniat untuk menonton lanjutannya.

Cerita diawali dari usaha Empat Sekawan yang berusaha membebaskan Melati dan Senja di perkebunan kopi Lembongan Lor. Mereka berhasil membebaskan para pekerja perkebunan, namun tawanan mereka, Major van Grotten, berhasil meloloskan diri. Empat sekawan kemudian bergerilya menembus hutan, berusaha mencari pasukan Tentara Nasional Indonesia di bawah pimpinan jendral Sudirman. Setelah menemui pasukan TNI, mereka mendapat misi khusus untuk menghancurkan pangkalan udara yang baru dibangun tentara Belanda. Dalam menunaikan misi tersebut, Empat Sekawan itu menemui berbagai rintangan, termasuk di antaranya pertempuran dengan tentara Belanda, tertangkapnya anggota mereka, pertemuan dengan tentara Islam, dan adanya pengkhianat di antara pasukan TNI. Namun pada akhirnya, misi berhasil mereka tuntaskan.

Melihat film ini, sekali lagi saya harus mengerutkan kening sambil (sekali lagi) berusaha mencamkan dalam hati, ini BUKAN FILM SEJARAH (kan dari awal sutradaranya udah bilang!). Banyak adegan dalam film ini yang tidak cocok dengan tempat dan waktu dalam sejarah Indonesia. Seperti adegan Jendral Sudirman yang memimpin gerilya dari atas tandu, setting film ini adalah di Jawa Tengah, namun setahu saya, pergerakan gerilya Jendral Sudirman baru dimulai pada Desember 1947 ketika mulai clash kedua, dan lebih banyak di wilayah Jawa Timur. Kemudian adanya tentara Islam, setahu saya pada masa itu memang kita menghadapi 2 musuh : NICA dan tentara DI/TII. Namun lagi-lagi setahu saya, tentara DI/TII lebih banyak bergerak di wilayah Jawa Barat, gak cocok lagi khan? Jadi kaya'nya yang menulis cerita memang hanya sekedar memasukkan fakta2 ini untuk menjadi 'bumbu' dalam cerita, dan tidak mencocokkan fakta-fakta tersebut dalam setting cerita.

Tapi, balik lagi, karena dari sejak film pertama sudah dinyatakan dalam disclaimer bahwa trilogi ini merupakan fiksi yang berbasis pada sejarah, jadi sah-sah saja, khan? (anggap aja seperti nonton film Rambo ato Tour of Duty, yang base on perang Vietnam, tapi seperti ga ada hubungannya sama sejarah, hehehe) Sebagai film, sinematografinya menarik, top banget, dan sama seperti film yang pertama, gayanya Hollywood banget. Tidak hanya dalam efek-efek khusus yang ditampilkan (terutama adegan tembak-menembak dan ledakan), namun juga dalam dialog-dialog para pemerannya. Secara keseluruhan, film ini lebih seru dan menegangkan dibandingkan film pertama. Namun di akhir film, saya merasa bahwa film ini tidak sedramatis film yang pertama, mungkin juga karena film pertama dirilis bertepatan dengan 17 Agustus 2009, sehingga pada saat itu tema filmnya lebih sesuai. Bisa juga ini bagian dari strategi pembuat film, supaya film terakhir dari trilogi ini bisa memberikan klimaks yang lebih dramatis.

Banyak juga hal kurang logis yang ditemukan di film ini. Seperti ketika Senja menyamar menjadi bagian dari tentara elite TNI, rasanya tidak mungkin teman-temannya tidak tahu kalau ia ikut, karena mereka berjalan bersama-sama di hutan (walaupun digambarkan Sersan Yanto mengetahui bahwa ada tentara wanita di antara mereka). Kemudian bagaimana Dayan bisa menyusul teman-temannya yang sedang berusaha menghancurkan pangkalan udara Belanda, dan bahkan memberikan elemen kejutan untuk membantu meloloskan diri dari pangkalan udara tersebut.

Kesimpulannya, dari segi cerita, mungkin anda akan menonton sambil sedikit mengernyitkan dahi. Tapi kalau anda terbiasa menikmati film tanpa terlalu memikirkan ceritanya, well, jauh lebih mending nonton film ini daripada nonton film horror atau komedi yang gak bermutu!

Friday, June 18, 2010

Surat Pembacaku Dimuat!

Beberapa waktu yang lalu aku mengirim surat pembaca ke majalah The World of Cross Stitching, menceritakan karyaku yang dibuat dari salah satu pola di majalah itu (pernah kuposting di sini). Kira-kira sebulan setelah aku mengirim e-mail dan fotonya, salah satu redakturnya mengirim balasan minta alamat rumah, rupanya mereka berencana memuat suratku di edisi bulan Juni, dan apabila beneran dimuat, mereka akan mengirim suvenir ke rumah.

Awal Juni, sebelum aku sempat ke toko buku untuk mencari majalahnya, rupanya kiriman suvenirnya sudah tiba di rumah, hore, berarti surat pembacaku dimuat! Suvenirnya "cuman" kain Aida warna hijau (termasuk barang agak langka di sini...), 1 benang sulam DMC (tapi khusus yang diedarkan di Inggris, labelnya agak beda sama yang dijual di sini), sama 1 leaflet pola, tapi seneng bangeeeeettt....

Baru pada akhir minggu aku berkesempatan ke Kinokuniya untuk beli majalahnya, dan setelah melihat surat pembacanya aku baru sadar, ternyata suratku lumayan panjang... dan dikasih komentar sama redakturnya. Nggak tahu apakah kebetulan atau merupakan kesengajaan, mereka memuat suratku berbarengan dengan penerbitan bonus pola Eeyore di edisi Juni itu. Senangnyaaa....

Sunday, May 16, 2010

Berburu Lokasi Training Outdoor




Beberapa waktu yang lalu, kami dapat permintaan untuk membuat training tapi nggak mau di ruang kelas, tapi syaratnya jangan di luar kota, supaya memudahkan peserta untuk datang sendiri ke lokasi training. Jadi kami harus survey ke beberapa lokasi di dalam kota Jakarta yang memungkinkan untuk outdoor training, dengan syarat lokasinya masih di dalam kota Jakarta dan cukup nyaman untuk digunakan sebagai lokasi outing training.

Pemberhentian pertama : Kebun Binatang Ragunan. Kenapa kebun binatang? Soalnya kliennya mengajukan syarat, mintanya temanya alam, jadi berhubung saya tahu banyak orang pernah bikin acara di kebun binatang baik indoor maupun outdoor, jadi saya survey ke sana untuk tahu bagaimana prosedurnya kalau mau sewa ruangan dan menggunakan lahan untuk kegiatan outing training. Well, nggak susah juga, datang aja ke Kantor Rekreasi, nanti di sana ada petugas yang sangat ramah yang membantu menjelaskan prosedur dan biaya-biaya yang dikenakan selama sewa tempat di wilayah Kebun Binatang. Masalahnya cuman satu : rupanya peminatnya sangat sangat banyak, jadi petugasnya sudah mewanti-wanti, kalau mau booking ruangan, harus segera di-DP, karena keburu dipakai sama orang lain.


Pemberhentian berikutnya : Bumi Perkemahan Ragunan. Mungkin nggak banyak yang ngeh bahwa di dalam kota, tepatnya di depan halte busway Deptan di jalur 6, tersembunyi sebuah lokasi camping yang luas dan cukup rindang. Waktu masuk ke sana untuk tanya prosedur pemesanan, petugas yang ada juga cukup ramah dan sangat informatif, hanya saja di sana tidak ada ruangan tertutup yang bisa di sewa (padahal saya butuh ruangan tertutup, karena kita mau memasang "layar tancap"...), adanya aula terbuka. Hmmm... kalau mau training yang full outdoor sih kaya'nya boleh juga tuh dipertimbangkan, biayanya gak mahal kok...


Pemberhentian terakhir : Situ Babakan di Jagakarsa. Rasanya hampir tiap minggu kami lewat Jl. Jagakarsa dan melihat papan petunjuk jalan ke arah Situ Babakan, tapi kok nggak pernah keliatan danaunya bentuknya seperti apa. Akhirnya, setelah meluangkan waktu (dan meneguhkan niat), kami mencoba melihat sendiri seperti apa kondisi Situ Babakan. Begitu melihat tempatnya, untuk jadi tempat piknik ternyata menyenangkan (bayangkan, ada danau yang begitu luas dan rimbun di tengah kota Jakarta! Mmm... not really di tengah kota, tapi di tengah pemukiman, karena danaunya ada di balik rumah-rumah penduduk), tapi untuk tempat training outdoor, rupanya kurang representatif...


Well... sekarang tergantung kliennya, mau di mana. Kalau nggak mau di salah satu tempat di atas, kita ke Cibubur aja... :)

Papan Reklame Aneh


Suatu hari Minggu, saya mengantar adik saya ke bandara Soekarno-Hatta. Sepulang dari bandara, ketika bayar tol di gerbang tol Pluit, mata saya tertumbuk sebuah papan iklan yang membuat saya agak tergelitik. Iklannya sih nggak 'pa-'pa, merk dan produknya juga baik-baik aja (saya tidak punya sentimen pribadi sama merk ato produknya, beneran...), yang menggelitik adalah kombinasi dari merk yang diiklankan (Samsung) dan tulisan di bawahnya : Welcome to Jakarta. Wow... saya pikir saya baru aja mendarat di Seoul!

Kenapa saya jadi tergelitik? Papan iklan itu kebetulan letaknya strategis, karena terletak di depan mata saat keluar gerbang tol Pluit, tidak seperti papan iklan lain yang terletak jauh di atas pandangan di sepanjang jalan tol bandara. Tiba-tiba saya terpikir, kenapa kok bukan perusahaan nasional yang memasang iklan di tempat yang begitu strategis itu... kenapa kok malah iklan perusahaan dari negeri antah berantah? Padahal begitu banyak perusahaan nasional yang memasang iklan di sepanjang jalan tol (cuman letaknya jauh di atas kepala), tapi yang "mengucapkan" selamat datang dan mudah terbaca kok malah perusahaan asing...

Wednesday, April 07, 2010

One Million Giraffes

Di rumah lagi ada trend baru : JERAPAH. Awalnya gara-gara ada a little stuffed animal bernama Giraffe di rumah Bentuknya mirip jerapah beneran, cuman dalam versi kartun. Sejak itu, kami melakukan penelitian lebih mendalam tentang jerapah.

Sejak lama jerapah menarik perhatian manusia, karena "fitur-fitur"nya yang luar biasa. Jerapah merupakan binatang dengan tinggi badan tertinggi yang hidup di darat. Pada waktu laksamana Cheng Ho membawa jerapah untuk dipersembahkan kepada kaisar Tiongkok, karena jerapah persembahan itu tidak bisa melewati gerbang istana, bahkan kaisar pun beranjak dari singgasananya untuk melihat binatang yang menakjubkan ini. Jerapah juga binatang yang selalu ingin tahu, perhatikan kalau di kebun binatang, jerapah di kebun binatang sering menjulurkan kepalanya untuk mendekat ke arah pengunjung.

Pada waktu saya mencari-cari informasi tentang jerapah, saya menemukan website ini : One Million Giraffe. Intinya, pemilik website ini (Ola) bertaruh dengan temannya, bahwa melalui internet dia bisa mengumpulkan 1 juta jerapah. Wow... project yang kreatif! Dan saya memutuskan untuk ikut berpartisipasi menyumbang jerapah.

Inilah jerapah pertama yang saya sumbangkan buat Ola, dan masih akan menyusul jerapah-jerapah yang lain.

Sunday, February 28, 2010

Trip to Bumi Sriwijaya

Long weekend Februari 2010, kami melakukan trip ke Palembang. Sebenernya sudah beberapa kali diriku "mendarat" di bumi Sriwijaya, tapi baru perjalanan kali ini tripnya dengan tujuan benar-benar berwisata.

Palembang merupakan kota tertua di Indonesia, yang pendiriannya ditandai oleh prasasti Kedukan Bukit. Hasil interpretasi dari prasasti tersebut memperkirakan bahwa kota Palembang sudah berdiri sejak 16 Juni 682. Banyak yang menjuluki Palembang sebagai "Venesia dari Timur", karena kota ini didominasi oleh perairan. Palembang merupakan kota terbesar kedua di pulau Sumatera (setelah Medan), dan saat ini mulai berbenah untuk menjadi kota bertaraf internasional.

Sejak sebelum berangkat, survey sudah dilakukan untuk mengetahui obyek-obyek wisata unggulan di Palembang dan sekitarnya. Namun survey membuktikan adalah *sulit* untuk memperoleh informasi yang up-to-date mengenai obyek-obyek wisata di Palembang. Padahal saya berharap cukup banyak obyek-obyek menarik yang bisa dikunjungi, secara Palembang merupakan kota tertua di Indonesia, dan di masa silam Palembang merupakan pusat kerajaan Sriwijaya yang sudah terkenal ke mancanegara.

Pada akhirnya, kami sempat berwisata di beberapa obyek "unggulan" di Palembang, yang walaupun belum bisa disamakan dengan obyek-obyek wisata di Yogya atau Bandung, namun cukup mewakili budaya dan ciri khas Palembang. Banyak dari obyek unggulan di Palembang merupakan wisata ziarah ke makam raja-raja Palembang, jadi karena kami tidak berniat untuk ziarah, kami mencoret tempat-tempat wisata ziarah tersebut dari daftar kami. Akhirnya dari sekian banyak pilihan wisata, kami memilih untuk melakukan wisata sejarah.

Pemberhentian pertama adalah museum Balaputradewa. Menurut info dari berbagai website, museum ini dikelola oleh Depdiknas, dan tampaknya kurang terpelihara (apalagi beberapa pemberitaan menyebutkan bahwa telah terjadi pencurian koleksi museum, ironis sekali...). Namun info-info itu juga menyebutkan bahwa koleksi yang terkait dengan kerajaan Sriwijaya disimpan di museum ini, jadi masa' sih nggak ada yang diliat sama sekali? Jadi kami memberanikan diri untuk masuk.

Waktu pertama kali masuk ke museumnya, museumnya sangat sepi sekali (kalimat ini terdengar berlebihan, namun pada kenyataannya hanya kami ber-5 pengunjung di museum itu), tidak ada penjaganya (tepatnya penjaganya baru menghampiri kami ketika mereka melihat kami sedang longok-longok di lobi museum). Setelah membeli karcis, petugas karcis cuma mengatakan supaya kami mengikuti temannya. Kita pikir temannya ini mau jadi guide, eh, ternyata cuman membukakan pintu saja, alahalah...

Ruang koleksi pertama adalah ruangan yang menceritakan tentang Melaka. Rupanya pada masa lalu, Palembang termasuk bagian dari kerajaan Melaka, jadi saat ini pemerintah negara Melaka menjalin kerjasama dengan pemda Sumsel, kemudian mereka membuat 1 ruangan berisi display foto2 peninggalan sejarah di Melaka (yang kata orang-orang pengelolaannya jauh lebih baik daripada di Indonesia, huh....). Masuk ruang koleksi yang berisi peninggalan kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Palembang, gelap bo... (tepatnya lampu ruangan tidak dinyalakan) jadi aja menambah kesan spooky (padahal museum ini termasuk bangunan baru, bukan bangunan lama yang dijadikan museum). Di bagian belakang museum terdapat replika rumah limas, tapi juga cuman bisa dilihat dari luar, tidak bisa melihat dalamnya. Yah, akhirnya paling foto-foto sama patung aja deh...

Patung Budha ini merupakan salah satu bukti bahwa kerajaan Sriwijaya pernah menjadi pusat agama Budha di Asia Tenggara.

Ini patung orang naik gajah, salah satu peninggalan era megalitikum di Palembang. Masyarakat menganggap patung ini merupakan bagian dari legenda Si Pahit Lidah, di mana siapa pun yang dikutuk olehnya akan berubah menjadi batu. Cerita lengkapnya bisa dilihat di sini.
Mau nggak mau akhirnya kami membandingkan dengan museum sejenis seperti Museum Sri Baduga (Museum propinsi Jawa Barat) wah, jauh banget... selain suasana museum Sri Baduga yang lebih terang benderang dan koleksinya juga lebih beragam, kami menemukan banyak anak sekolah yang (sepertinya) mendapat tugas dari sekolah dan melihat-lihat koleksi museum (padahal waktu itu hari Minggu, dan tidak terlihat ada rombongan karyawisata dengan sekolah). Belum lagi museum juga dijadikan tempat berbagai event, jadi museumnya cukup rame. Mungkin faktor lokasi yang kurang menguntungkan juga sangat berpengaruh, karena museum Balaputradewa ini tidak terletak di tepi jalan protokol.

Pemberhentian berikutnya adalah museum Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II). Museum ini dikelola oleh Pemda, dan menempati bangunan tua dan antik bekas kantor residen pada masa kolonial Belanda. Konon kabarnya lokasi tempat berdirinya bangunan ini merupakan situs bekas Benteng Kuto Lamo yang merupakan keraton tempat Sultan Palembang bertahta, yang dibumihanguskan oleh Belanda, untuk kemudian dibangun lagi menjadi bangunan yang kita lihat sekarang. Museumnya jauh lebih kecil daripada Balaputradewa, dengan koleksinya yang kurang lebih sama : replika prasasti, barang-barang kebudayaan Sumatera Selatan, dan sejarah kesultanan Palembang. Tapi kalau kita mencoba mencari di search engine, museum ini jauh lebih populer dibandingkan museum Balaputradewa (531000 entry untuk "museum SMB II", dibandingkan 2450 entry untuk "museum Balaputradewa").

Secara lokasi, museumnya memang jauh lebih mudah ditemukan, karena terletak sangat dekat dengan jembatan Ampera dan Monpera sebagai landmark utama kota Palembang. Kemudian penjaga museumnya lebih mudah ditemukan, sehingga kami tidak kesulitan untuk bertanya dan beli karcis. Suasana di dalam museum pun tidak menyeramkan, karena penerangan lampu yang cukup. Selain itu museum ini juga banyak pengunjung, yang walaupun tidak sepadat museum Geologi di Bandung, namun cukup untuk membuat suasana tidak terlalu sepi.

Di sisi kanan museum terdapat Benteng Kuto Besak, yaitu benteng pertahanan buatan Belanda, yang juga menjadi salah satu landmark kota Palembang. Benteng ini dibangun oleh Sultan Mahmud Badaruddin I pada tahun 1780 selama 17 tahun. Sayangnya, benteng ini tidak dibuka untuk umum, karena digunakan untuk kantor Kodim. Kalau melihat sisi benteng yang menghadap Sungai Musi, tampilannya sih oke. Tapi kalau melihat sisi benteng yang menghadap Jl. Rumah Bari / Kantor Ledeng, halah... mbok ya temboknya itu dicat... abis keliatan dekil... :(

Kami juga sempat mengunjungi Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS) di daerah Bukit Siguntang dan Bukit Besar, yang diduga merupakan situs pusat kerajaan Sriwijaya, karena di daerah tersebut banyak ditemukan benda-benda peninggalan sejarah. Kalau lihat penjelasan di website dan informasi di hotel, sepertinya Taman Purbakala ini menarik untuk dikunjungi. Tapi kalau menurut supir rental mobil yang kami tanya (dan keterangan dari pelaku wisata yang pernah mengunjungi Bukit Siguntang), katanya kok cuman tempat pacaran aja. Ah, udah sampai Palembang kok nggak nyobain ke situ...

Ternyata... apa yang dikatakan supir rental mobil itu benar adanya... (hiks...) Di TPKS Bukit Siguntang, kami cuman melihat pohon dan pohon (dan orang pacaran...). Memang ada makam Putri Kembang Dadar, tapi karena kami tidak berniat wisata ziarah, jadi kami juga nggak berziarah ke makam keramat tersebut. Tidak ada keterangan atau tanda-tanda yang menunjukkan bahwa tempat itu merupakan tempat menemukan peninggalan sejarah. Ato paling nggak mereka menaruh replika prasasti atau patung di tempat semula ditemukan. Sayang banget... Pada akhirnya, tempat ini bisa berfungsi sebagai "hutan kota", lumayan lah...

Di Bukit Besar (daerah Kedukan), kita malah disambut dua acara pernikahan. Wow... kondisinya kurang lebih sama seperti TPKS Bukit Siguntang, yang kelihatan hanya pohon dan pohon (dan tamu-tamu undangan pernikahan). Sebenarnya kami melihat bangunan museum Sriwijaya, tapi kok tutup dan kaya nggak terawat gitu? Gak jadi (lagi) deh... Tanpa sadar saya membandingkan kondisi ini dengan kondisi Candi Borobudur dan Candi Prambanan (serta candi-candi lain di Jateng dan DIY) sebagai situs bekas kerajaan Mataram Hindu, kok pengelolaan situs sejarah ini nggak bisa seperti candi-candi itu ya? Sayang aja, mengingat Sriwijaya merupakan negara besar yang sudah terkenal ke mancanegara, namun di tempat di mana diduga merupakan letak kerajaan Sriwijaya tersebut malah tidak bisa "mengangkat" kembali kebesaran Sriwijaya tersebut.

Wisata lain yang juga menjadi andalan kota Palembang dan sangat menarik untuk dicoba adalah wisata Musi. Sungai sepanjang 750 km yang membelah kota Palembang ini merupakan sungai terpanjang di pulau Sumatera, dan juga berperan sebagai sarana transportasi. Di atas sungai Musi membentang jembatan Ampera sebagai sarana menghubungkan Seberang Ulu dan Seberang Ilir dari kota Palembang. Jembatan ini juga menjadi landmark kota Palembang. Jembatan ini dibangun pada tahun 1962 atas prakarsa Bung Karno, dan semula diberi nama Jembatan Bung Karno. Pada masa itu, jembatan ini merupakan jembatan terpanjang di Asia Tenggara. Namun pada masa awal orde baru, jembatan ini berganti nama menjadi Jembatan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera). Pada awalnya badan jembatan ini bisa diangkat sehingga kapal besar bisa melintas di bawahnya, namun sejak tahun 1970 tidak pernah diangkat lagi karena mengganggu lalu lintas. Untuk mengurangi kepadatan lalu lintas dan beban jembatan Ampera, saat ini terdapat Jembatan Musi II, dan rencananya akan dibangun juga Jembatan Musi III.
Di depan museum SMB II terdapat dermaga Benteng Kuto Besak, di mana kalau kita ingin wisata menyusuri sungai Musi, banyak tukang perahu yang menawarkan kapalnya. Selain itu Pemda Sumsel juga menyediakan KM Putri Kembang Dadar yang melayani wisatawan untuk menyusuri sungai Musi setiap Sabtu, Minggu dan hari libur nasional, dengan harga tiket Rp 70.000 per orang. Waktu mendarat di Palembang, sebenarnya kami ingin langsung naik KM Putri Kembang Dadar, namun ketika menghubungi petugasnya, rupanya kapalnya sudah dicarter oleh salah seorang pejabat negeri ini yang merupakan putra daerah Sumatera Selatan. Yah, suds lah... sering-sering aja ya Pak, biar tamu-tamu dan teman-temannya makin kenal Palembang dan sungai Musi, hehehe...

Akhirnya, 2 hari kemudian kami berkesempatan juga naik kapal ini. Naik KM Putri Kembang Dadar, banyak hal menarik yang ditemukan, antara lain rumah rakit yang menjadi pemukiman penduduk, PT Pusri, pelabuhan, Kompleks Perumahan Pertamina Bagus Kuning, dan pulau Kemaro (sayangnya kapal KM Putri Kembang Dadar tidak bisa merapat di pulau Kemaro, jadi kalau mau ke pulau itu disarankan untuk memanfaatkan jasa sewa perahu perorangan berupa kapal kayu atau speedboat dari dermaga Benteng Kuto Besak). Hal menarik lainnya adalah kita bisa melihat bahwa masih banyak masyarakat di Sumsel yang memanfaatkan sungai Musi sebagai sarana transportasi. Kami melihat beberapa kapal tradisional mengangkut bahan makanan, termasuk gas LPG dalam tabung 3 kg, dalam kapal-kapal tersebut.



Wisata lain yang wajib dicoba di Palembang adalah wisata kuliner. Mulai dari pempek sebagai makanan khas Palembang, mulai dari kapal selam, lenjer, adaan, pistel, dan pempek keriting. Belum lagi "kawan-kawan"nya pempek : model tekwan, laksan, celimpungan, burgo, dlsb. Banyak jenis pempek yang tidak bisa dibawa sebagai oleh-oleh jarak jauh, jadi cara menikmatinya ya harus makan di tempat. :) Kemudian ada mie celor, dengan mie yang besar-besar berkuah dan diberi udang. Ada juga sambal tempoyak, tapi unfortunately kami nggak doyan duren, maaph ya... Ada juga martabak Har, yang isinya fully egg (sangat beda dengan martabak telur yang kita kenal), bisa milih mo telur ayam atau telur bebek. Jangan lupa juga mencoba es kacang (merah), hmmm...
Yang top markotop adalah masakan pindang dari berbagai daerah Sumsel (ada 4 macam pindang : Palembang, Musi Rawas, Meranjat, Pegagan) yang bisa diperoleh warung sederhana di pinggir jalan Kertapati-Indralaya, sampai ke restoran besar seperti RM Sri Melayu di Jl. Lebar Daun. Pindang ini bisa dibuat dari ikan (biasanya ikan patin), daging (disebut pindang tulang), ato udang. Kalau belum makan pindang di Palembang, hmmm.... belum lengkap bo!

So, where will we go for the next trip??