Sunday, November 27, 2022

The Many Faces of Ganapati

Ganapati -- atau lebih kita kenal sebagai Ganesa – adalah Dewa Pengetahuan dan Kecerdasan dalam mitologi Hindu. Ganesa juga dikenal sebagai Dewa Pelindung, Dewa Penolak Bala, dan Dewa Kebijaksanaan. Ganesa dipuja oeh berbagai aliran dalam agama Hindu, tanpa memedulikan golongan. Pemujaan Ganesa amat luas, hingga menjalar ke umat Jaina, Buddha, dan di luar India.

Ganesa di Kenjeran, 2010

Ciri khas Ganesa adalah memiliki kepala gajah, berperut buncit, serta memiliki empat lengan. Tangan kanan bawahnya memegang patahan gading, sedangkan tangan kiri bawahnya membawa cawan berisi kudapan manis yang dicomot dengan belalainya. Gading yang patah melambangkan menghancurkan semua penghalang, sedangkan kudapan manis melambangkan kesuksesan. Sedangkan kedua tangan yang di atas memegang kapak dan jerat. Kapak bermakna untuk menghancurkan kejahatan, sedangkan jerat bermakna memotong nafsu duniawi dan menaklukan emosi. Perwujudan Ganesa ini dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, terutama lukisan, relief, dan arca.  

Banyak versi tentang asal mula kepala gajah Ganesa. Versi pertama adalah Ganesa lahir dengan tubuh dan kepala manusia, Kemudian Siwa memenggalnya ketika Ganesa mencampuri urusan antara Siwa dan Parwati. Siwa Kemudian mengganti kepala asli Ganesa dengan kepala gajah. Versi lain dari kitab Brahmawaiwartapurana menyebutkan ketika Ganesa lahir, Parwati menunjukkannya ke hadapan para dewa. Tiba-tiba, Dewa Sani yang konon memiliki mata terkutuk, memandang kepala Ganesa sehingga kepalanya terbakar menjadi abu. Dewa Wisnu menyelamatkan dan mengganti kepala yang lenyap dengan kepala gajah. Versi lain dalam kitab Warahapurana mengisahkan bahwa Ganesa tercipta langsung oleh tawa Siwa. Karena Siwa merasa Ganesa terlalu memikat perhatian, ia memberinya kepala gajah dan perut buncit.

Ganesa datang ke Nusantara bersama kedatangan para pedagang Hindu dari India ke Nusantara. Hal ini kemungkinan terkait erat dengan Ganesa yang menjadi dewa yang menaungi kesejahteraan dan keberuntungan, sehingga Ganesa disembah oleh para pedagang. Arca Ganesa banyak ditemukan dalam berbagai bentuk di sepanjang wilayah Nusantara, terutama di Jawa, Bali dan Kalimantan.

Koleksi Ganesa di Museum di Tengah Kebun, 2018

Di antara arca-arca Ganesa yang ditemukan di Nusantara, terdapat satu arca besar seberat 3,5 ton yang ditemukan di Kedu. Arca yang diperkirakan berasal dari tahun 800-an saat ini berada di Museum di Tengah Kebun. (alm.) Bapak Sjahrial Djalil, pendiri Museum di Tengah Kebun, menyelamatkan arca ini dengan memindahkannya di malam hari, agar tidak menimbulkan keributan dengan penduduk di sekitar tempat arca. Sebagai gantinya, Pak Sjahrial membangun sekolah beserta kelengkapan fasilitasnya. Arca ini bukan satu-satunya arca Ganesa di Museum di Tengah Kebun, karena masih ada arca Ganesa lain dengan berbagai ukuran dan kisah di baliknya.

Kita juga bisa melihat berbagai arca Ganesa yang menjadi koleksi Museum Nasional Indonesia. Arca-arca ini berasal dari abad 8 hingga abad 15, dan ditemukan di berbagai daerah di Jawa. Dari abad 8-9, kebanyakan Ganesa yang dipamerkan berasal dari Semarang dan Magelang. Sedangkan dari abad 10-15, kebanyakan Ganesa yang dipamerkan berasal dari Surabaya, Kediri, dan Singosari. Arca Ganesa berukuran besar yang menjadi koleksi dari Museum Nasional adalah Ganesa yang ditemukan di Candi Banon, Magelang, dari abad 9 dan replika Ganesa yang ditemukan di Candi Singosari pada abad 13.

Koleksi Ganesa di Museum Nasional Indonesia, 2022

Di Indonesia modern, dengan mayoritas penduduk beragama Islam, Ganesa bukan menjadi sesembahan dari penduduk Indonesia. Namun Ganesa tetap menjadi symbol ilmu pengetahuan, kebijakan, dan Pendidikan, dan dijadikan logo berbagai institusi. Di antaranya adalah logo pemerintah daerah Blitar, Kota Salatiga, dan Kabupaten Kediri, mereka menggunakan Ganesa dalam lambang daerahnya.

Salah satu institusi yang terkenal dengan logo Ganesa-nya adalah Institut Teknologi Bandung (ITB). ITB secara resmi berdiri pada 2 Maret 1959, setelah melepaskan statusnya sebagai Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam Universitas Indonesia. Namun demikian, kampus utama ITB yang dikenal sebagai Kampus Ganesha telah berdiri sejak tahun 1920, sebagai Technische Hoogeschool te Bandoeng. Dengan berdiri sendiri sebagai ITB, tentunya ITB memerlukan lambang baru, menggantikan lambang pohon ilmu pengetahuan yang digunakan Universitas Indonesia. 

Di awal tahun 1960-an, para guru besar ITB, di antaranya Prof. Ir. Soetedjo, Prof. Sjafei Soemardja, Prof. Soemono, dan Prof. Ir. Raden Otong Kosasih, berjalan-jalan sekitar kampus untuk mencari ide. Mereka melihat dua buah patung Ganesha kecil di bawah jam di gerbang depan kampus. Patung tersebut merupakan hasil temuan arkeolog asing di situs candi Jawa Tengah yang belum didaftarkan ke Museum Nasional, Jakarta. Dari patung ini, para guru besar sepakat mengembangkan Ganesa sebagai lambang ITB. 

Ganesa di Gerbang Ganesa, 2017

Prof. Sjafei Soemardja sebagai Ketua Pelaksana Pendirian Institut Teknologi Bandung kemudian menunjuk Srihadi Soedarsono Adhikoesoemo, seorang pelukis muda lulusan baru dari Jurusan Seni Rupa ITB , untuk mengolah patung tersebut menjadi bentuk dua dimensi. Srihadi kemudian mendesain logo ITB dengan beberapa perubahan dalam makna atribut yang melekat pada Ganesa. Misalnya cawan (patta) berisi kudapan manis yang melambangkan kesuksesan, diubah maknanya menjadi berisi ilmu pengetahuan yang dihirup dengan belalai, mengambarkan ilmu yang tidak ada habisnya. Gading yang patah yang semula melambangkan penghancur semua penghalang, beralih makna menjadi pengorbanan diri untuk memecahkan masalah yang menghambat kemajuan ilmiah. Jerat yang bermakna memotong nafsu duniawi diganti menjadi tasbih yang melambangkan kebijaksanaan. Demikian juga teratai yang menjadi alas duduk Ganesa, digantikan dengan buku yang melambangkan ilmu pengetahuan.

Lambang Ganesa secara resmi dipakai pada tahun ajaran 1963-1964, ketika lambang ini pertama kali muncul pada Kartu Tanda Mahasiswa ITB. Selanjutnya dilakukan penyempurnaan logo Ganesa di decade 1980-an, di masa kepemimpinan Prof. Hariadi P. Soepangkat, PhD sebagai rektor. Hal ini disebabkan penggunaan logo Ganesa yang seringkali salah dalam proporsi, atau menggunakan atribut yang keliru. Lambang Ganesa buatan Srihadi kemudian disempurnakan oleh studio Desain Grafis ITB, dan dilengkapi buku panduan pemakaian lambang di semua bentuk yang diperlukan.

Menariknya, jauh sebelum ITB memutuskan menggunakan Ganesa sebagai lambang, pada tahun 1920 berdirilah Bandoengsch Studenten Corps (BSC), organisasi resmi mahasiswa tertua di TH Bandoeng, sekaligus organisasi mahasiswa tertua di Hindia Belanda (mungkin seperti Himpunan Mahasiswa di ITB saat ini). Sejak tahun 1922, BSC menerbitkan majalah dwibulanan dengan nama “Ganesa”, yang diberi logo bergambar dewa berkepala gajah berbadan manusia dalam mitologi Hindu. Keberadaan majalah ini menjadi ajang para mahasiswa melatih menulis secara ilmiah dan tertata baik. Saya justru jadi punya pertanyaan: apakah keberadaan majalah tersebut merupakan salah satu pemicu ide penggunaan Ganesa sebagai lambang ITB?

Saturday, February 05, 2022

[Travel Writing Mash-Up] The Many Faces of Indonesian Stone Guardian

Beberapa kebudayaan di Asia memiliki patung-patung penjaga gerbang. Patung-patung tersebut umumnya ditempatkan di gerbang tempat-tempat penting seperti candi, kuil, atau bangunan lain untuk melindungi tempat suci di dalamnya. Umumnya patung-patung penjaga ini dibuat dari batu, agar tahan terhadap cuaca. Terbukti, beberapa patung ini bertahan hingga berabad-abad. 

Patung penjaga gerbang yang banyak terdapat di kebudayaan Siwa dan Buddha di Indonesia adalah Dwarapala (Bahasa Sanskreta untuk “penjaga pintu”). Dwarapala umumnya digambarkan sebagai raksasa yang menyeramkan, berperawakan gemuk, digambarkan dalam posisi tubuh setengah berlutut dan menggenggam senjata gada. Di bangunan kuno, dwarapala banyak ditemukan di gerbang candi. Saat ini dwarapala banyak juga ditempatkan di bangunan-bangunan baru. 

Dwarapala di Candi Plaosan Lor

Di antara dwarapala yang ada di Indonesia, salah satu dwarapala yang unik adalah dwarapala yang terdapat di kompleks Candi Plaosan Lor. Berbeda dengan dwarapala pada umumnya yang menghadap ke arah luar, setiap pasang dwarapala di Candi Plaosan dibuat saling berhadapan. Salah satu patung memegang gada di tangan kanan, dengan tangan kiri tertumpang di atas lutut. Sedangkan patung yang lain memegang ular di tangan kanan, dengan gada dipegang di tangan kiri menghadap ke bawah. Dwarapala digambarkan memiliki ekspresi dengan mata melotot, taring besar, serta senyum tipis yang menyiratkan keramahan sekaligus ketegasan secara bersamaan. 

Dwarapala Raksasa di Singosari

Dwarapala terbesar di Jawa terdapat di Singosari, 200 meter dari Candi Singosari. Dwarapala ini terbuat dari batu andesit utuh setinggi 4 meter dengan berat 15 ton. Dwarapala ini memiliki keunikan gadanya menghadap ke bawah, serta memiliki ekspresi tersenyum. 

Dwarapala di Bali

Di Bali, dwarapala yang ada di gerbang-gerbang bangunan memiliki gaya yang berbeda dengan yang ada di Jawa. Dwarapala di Bali umumnya mengenakan kain poleng yang berwarna hitam putih. Dwarapala diyakini sebagai cerminan manusia yang akan memasuki tempat suci. Ekspresinya diharapkan dapat mengingatkan umat untuk berintrospeksi, membersihkan pikiran, perkataan dan perbuatan sebelum memasuki tempat suci. Tidak seperti di Jawa di mana dwarapala umumnya berbentuk raksasa kembar, dwarapala di Bali bisa terdiri dari pasangan tokoh seperti kakak adik Subali-Sugriwa, pasangan suami-istri Pan Brayut-Men Brayut, atau pasangan ayah dan anak Merdah-Tualen. Pasangan dwarapala Bali juga dapat mengikuti tatanan aturan atau tradisi di lingkungan setempat. 

Kiri: Patung Singa di Borobudur.
Kanan: Patung Singa di Vihara Mendur

Sedikit berbeda dengan di candi-candi lain, Candi Borobudur tidak memiliki dwarapala. Tetapi mereka memiliki patung singa, yang dipercaya sebagai symbol penjaga dharma atau ajaran Sang Buddha. Dalam kebudayaan kuno India, singa merupakan hewan yang dihormati. Patung Budha sebagai Manjusri digambarkan sedang menunggang seekor Singa Asia. Singa juga digunakan sebagai motif hiasan pada tempat duduk Bodhisattva, dan sepasang patung singa juga mulai diletakkan sebagai pelindung Bodhisattva. Singa dianggap memiliki kekuatan untuk menghalau kejahatan, sehingga singa diletakkan untuk menjaga gerbang. 

Salah Satu Pasangan Shishi di Klenteng Sam Poo Kong, Semarang

Selain dwarapala dan patung singa di Candi Borobudur, Indonesia juga memiliki berbagai jenis Shishi, atau patung singa penjaga gerbang khas kebudayaan Tiongkok. Shishi biasanya dibuat berpasangan dan menghadap ke arah luar. Di sisi kanan adalah patung shishi jantan yang menggenggam bola dunia, melambangkan kekuasaan atau kesuksesan. Sedangkan di sisi kiri adalah patung shishi betina yang mengasuh anak shishi, melambangkan kesuburan atau keluarga. 

Shishi memiliki bentuk seperti singa, karena pengaruh agama Buddha yang masuk di Tiongkok melalui Jalur Sutra. Walaupun saat itu orang Tiongkok sudah mengetahui bentuk fisik singa yang sebenarnya, pembuat Shishi mengombinasikan bentuk fisik singa dengan Qilin (sejenis binatang dalam mitologi Tiongkok) atau binatang-binatang lain dalam legenda Tiongkok hingga menjadi model Shishi yang kita kenal sekarang. 

Shishi di Museum Tanjungpandan, Belitung

Salah satu Shishi yang unik di Indonesia adalah Shishi yang terdapat di Museum Tanjungpandan. Shishi setinggi 1,5 meter ini semula “mengawal” rumah Kapitan Ho A Jun, kepala komunitas Tionghoa pertama pada tahun 1852. Bentuk dan gaya patung Shishi yang ada di museum ini berbeda dengan gaya patung sejenis yang pernah saya lihat di tempat lain. Jika patung Shishi umumnya memiliki ornamen yang detail dan kaya warna, patung Shishi ini justru sangat sederhana. Ini mungkin merupakan representasi masyarakat Tionghoa yang ada di Belitung berasal dari pekerja pertambangan yang sederhana.

Tuesday, April 06, 2021

150 Tahun Gajah Museum Nasional Indonesia

Sebelum masa pandemi Covid 19, semenjak kantor saya bedol ke kawasan Tanah Abang di tahun 2016, hampir setiap hari saya melewati “gajah” yang berdiri tegak sejak lebih dari 100 tahun yang lalu di depan Museum Nasional. Terkadang iseng sekadar menyapa, saya mengabadikan gajah ini dalam berbagai situasi: pagi yang cerah, langit agak mendung, sore yang penuh kesenduan, bahkan kadang di malam hari, ketika para pegawai sepertinya lupa akan waktu, gajah ini seperti mengingatkan bahwa sudah waktunya pulang ke rumah untuk bertemu keluarga…

Patung Gajah di pagi hari
Patung Gajah di malam hari

Tanpa terasa, ternyata gajah itu sudah berada di depan bangunan museum selama 150 tahun. Wauw… Mungkin lebih tepatnya, di bulan Maret 2021, Sang Gajah menandai 150 tahun kedatangan Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand ke Hindia Belanda pada tahun 1871, untuk mempelajari ilmu pemerintahan modern dari Hindia Belanda dan membangun kerajaan Siam yang modern. Pada kunjungan tersebut, pada 31 Maret 1871 Raja Chulalongkorn khusus berkunjung ke Museum van Het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Museum van Het BGKW -- sekarang Museum Nasional Indonesia) untuk melihat koleksi arca Buddha. 

Patung Gajah di cuaca cerah


Patung Gajah di cuaca mendung

Raja Chulalongkorn sangat terkesan dengan kunjungannya ke Hindia Belanda, sehingga setelah kembali ke Thailand beliau memerintahkan untuk membuat patung gajah dari perunggu, sebagai ucapan terima kasih telah disambut dengan hangat dan meriah. Mengapa kerajaan Thailand memberi patung gajah? Gajah merupakan simbol kerajaan Thailand, sekaligus hewan nasional Thailand, karena merupakan lambang kekuatan, kehormatan, keberuntungan, dan kebijaksanaan. 

Tidak diketahui kapan persisnya patung gajah tersebut diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda, namun yang diketahui bahwa patung tersebut diserahkan oleh utusan kerajaan Thailand bernama Praya Samutburamurak kepada pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1872. Sejak awal, ditetapkan bahwa patung tersebut akan dipasang di depan halaman Museum van Het BGKW

Dua puluh tujuh tahun kemudian, pada tahun 1896 Raja Chulalongkorn kembali mengunjungi Museum van Het BGKW. Beliau memuji bahwa patung tersebut diletakkan di sebuah pilar dengan desain batu Borobudur yang diukir indah. Seperti kita ketahui, pilar tersebut masih seperti desain awalnya, di keempat sisinya terdapat prasasti yang menerangkan asal patung, yang ditulis dalam bahasa Belanda, Indonesia, Arab dan Jawa. Namun banyak juga yang berpendapat bahwa patung gajah ini “dibayar terlalu mahal”, karena sebagai “imbalan” kunjungan pada tahun 1896, pemerintah kolonial Hindia Belanda mengijinkan 9 gerobak arca dari masa klasik Jawa diangkut ke Bangkok. Mungkin salah satu arca tersebut yang dapat dilihat di Grand Palace Bangkok.

Arca Buddha dari Indonesia di Grand Palace Bangkok

Tapi tahukah Anda, bahwa patung gajah perunggu ini sebenarnya memiliki kembaran di Singapura? Jadi pada tahun 1871, selain datang ke Hindia Belanda, Raja Chulalongkorn juga mengunjungi Singapura. Setelah menyelesaikan lawatan ke Singapura dan Hindia Belanda, Raja Chulalongkorn membuat dua patung gajah. Satu patung adalah yang diletakkan di depan Museum Nasional Indonesia, sedangkan satu patung lagi dikirimkan pada pemerintah colonial Inggris di Singapura. 

Jika patung gajah perunggu yang ada di Indonesia tidak berpindah tempat selama 150 tahun, beda halnya dengan “kembaran”nya di Singapura. Ketika pertama kali diserahkan pada tahun 1872, patung ini diletakkan di halaman balai kota (Victoria Memorial Hall). Tahun 1919, patung gajah ini dipindahkan ke Art House, atau Old Parliament House, dan di tempat yang lama digantikan oleh patung Sir Thomas Stamford Raffles, pendiri Singapura. Nampaknya, patung gajah di Singapura ini kalah popular dibandingkan dengan “kembaran”nya di depan Museum Nasional Indonesia…





Sunday, May 17, 2020

[Travel Writing Mash-Up] Dari Gedung Stovia Hingga Salemba 6

Indonesia merupakan negara pertama di Asia Tenggara yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran modern. Pendidikan kedokteran di Indonesia berawal di pertengahan abad ke-19, atas prakarsa dr. Willem Bosch, Kepala Dinas Jawatan Kesehatan (Tentara dan Sipil) Hindia Belanda. Saat itu muncul berbagai wabah penyakit, dan tenaga medis pemerintah Hindia Belanda kewalahan memberantas wabah penyakit tersebut, salah satunya adalah karena kekurangan tenaga. Dr. Bosch mengusulkan untuk mendirikan korps kesehatan dengan tenaga Bumiputera, yang direspon dengan keputusan Gubernemen tahun 1849 untuk mendidik 30 pemuda Jawa di rumah sakit militer untuk menjadi asisten dokter dan “vaccinateur” (mantri cacar).

Fasad Gedung STOVIA yang menjadi Museum Kebangkitan Nasional

Tanggal 1 Januari 1851 berdirilah Onderwijs van Inlandsche Eleves voor de Geneeskunde en Vaccine (Sekolah Pendidikan Vacinateur), yang diselenggarakan di rumah sakit militer Weltevreden (saat ini RSPAD Gatot Soebroto). Tahun 1853, pendidikan tersebut berganti nama menjadi Sekolah Dokter Jawa, dan para lulusannya diberi gelar Dokter Djawa. Lulusan Sekolah Dokter Jawa kemudian dipekerjakan sebagai mantri cacar, diperbantukan di rumah sakit, dan membantu dokter militer merangkap dokter sipil. Beberapa lulusan Sekolah Dokter Djawa yang terkenal adalah dr. Wahidin Sudirohusodo dan dr. Abdoel Rivai, yang kemudian memegang peran penting dalam perjuangan pergerakan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.

Diorama Suasana Kelas Terbuka di STOVIA
Tahun 1896, dr. Hermanus Frederik Roll, seorang dokter militer, dipercaya untuk memimpin sekolah ini. Di masa kepemimpinannya sekolah ini berkembang dengan pesat dalam pendidikannya. Tahun 1898, Sekolah Dokter Jawa berganti nama menjadi STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) atau Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera dengan lama pendidikan 9 tahu, dan lulusannya dapat melanjutkan pendidikan ke universitas di Belanda. Agar tidak mengganggu aktivitas rumah sakit militer, atas usul dr. Roll pada tahun 1899 dibangun gedung baru di sebelah rumah sakit militer, tepatnya di Hospitaalweg. Gedung baru ini mulai beroperasi pada tahun 1902, dan dilengkapi dengan asrama.

Batu Nisan HF Roll di Museum Taman Prasasti
Sekolah ini menjadi saksi pada hari Minggu tanggal 20 Mei 1908, di salah satu ruang kelas STOVIA yang biasa digunakan untuk mata kuliah anatomi, Soetomo menyatakan bahwa hari depan bangsa dan tanah air ada di tangan mereka, dan menjelaskan gagasannya untuk mendirikan organisasi. Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Soeraji, dan para pelajar STOVIA lainya kemudian mendeklarasikan berdirinya organisasi modern pertama Boedi Oetomo, yang menjadi cikal bakal pergerakan Indonesia menuju kemerdekaan.

Diorama suasana Ruang Anatomi saat deklarasi berdirinya Boedi Oetomo 
Selama beroperasi di Hospitaalweg, STOVIA telah meluluskan beberapa dokter bumiputera, termasuk di antaranya dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dr. R. Soetomo (pendiri Boedi Oetomo), dr. Jacob Bernadus Sitanala (peneliti kusta), dr. Achmad Mochtar (orang Indonesia pertama yang menjadi kepala lembaga Eijkman), dan dr. RM Djoehana Wiradikarta (orang Indonesia pertama yang menjadi kepala lembaga Pasteur).

Lembaga Eijkman di RSCM
dr. Achmad Mochtar adalah salah satu asisten dr. Christian Eijkman dalam meneliti penyakit beri-beri. Di masa pendudukan Jepang, dr. Mochtar bersama koleganya ditahan Kempetai dengan tuduhan mencemari vaksin TCD sehingga menyebabkan kematian para romusha. dr. Mochtar mengajukan diri untuk melindungi koleganya, sehingga koleganya dibebaskan dan sejak itu dr. Mochtar tak diketahui nasibnya. Pencarian jejak dr. Mochtar dilakukan oleh prof Sangkot dan Kevin Baird, hingga menemukan bahwa dr. Mochtar telah menjadi korban kekejaman Kempetai dan dimakamkan di Ereveld Ancol.

Nisan Makam Prof. dr. Achmad Mochtar di Ereveld Ancol
Tahun 1916, pemerintah Hindia Belanda mulai memikirkan untuk memindahkan STOVIA ke lokasi baru. Lokasi baru dipilih di Salemba, untuk mendirikan bangunan sekolah yang lebih representatif dan rumah sakit terpadu yang dapat menampung lebih banyak pelajar. Peletakan batu pertama Gedung di Salemba dilaksanakan pada tanggal 26 Agustus 1916 oleh istri gubernur jenderal Hindia Belanda Catharina Maria Rolina van Limburg Stirum.

Prasasti Peletakan Batu Pertama Gedung GHS di Salemba (koleksi iMuseum FKUI)
Pada tahun 1919 berdiri Rumah Sakit Pusat Centrale Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ, sekarang menjadi RSCM), yang merupakan rumah sakit pendidikan pelajar STOVIA, karena sarana dan prasarananya lebih lengkap dan modern. Selanjutnya dibangun gedung baru di sebelah CBZ sebagai tempat pendidikan. Tanggal 5 Juli 1920, dengan berdirinya gedung pendidikan kedokteran di sebelah Rumah Sakit Pusat CBZ, seluruh fasilitas Sekolah Pendidikan Dokter Hindia dipindahkan ke gedung tersebut (sekarang dikenal sebagai Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia). Adapun gedung STOVIA lama sempat dipergunakan sebagai asrama pelajar, karena para pelajar STOVIA diberi kebebasan untuk memilih tetap tinggal di asrama STOVIA, atau kos di rumah penduduk di sekitar Salemba.

Tanggal 9 Agustus 1927, STOVIA resmi berubah menjadi Geneeskundige Hoogeschol (pendidikan tinggi kedokteran), dan syarat masuknya semakin diperketat, yaitu minimum lulusan Hogere Burger School (HBS) atau Algemene Middelbare School (AMS). Lulusan GHS bergelar Arts dan setara dengan dokter dari Belanda. Beberapa lulusan GHS yang terkenal di antaranya adalah dr. Johannes Leimena (wakil perdana menteri 2 kabinet Soekarno), dr. Abdoel Patah, dr. Moewardi, dr. Abdulrachman Saleh (bapak faal Indonesia, perintis radio, dan tokoh AURI), dan dr. Julie Sulianti Saroso.

Patung dr. Abdulrachman Saleh di FKUI Salemba 
Ketika masa kolonialisme Belanda di Hindia Belanda berakhir pada tahun 1942, GHS sempat ditutup selama beberapa waktu, sebelum pemerintah Jepang mendirikan sekolah kedokteran Ika Daigaku. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, pada 19 Agustus 1945 Ika Daigaku berubah menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran, yang merupakan salah satu fakultas Badan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (BPTRI). Saat tentara NICA menguasai Jakarta, BPTRI “mengungsi” ke Klaten, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang. Tahun 1946, NICA mendirikan Geneeskundige Faculteit-Nood Universiteit di Jakarta. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia di akhir tahun 1949, BPTRI kembali ke Jakarta. Pada tahun 1950 Perguruan Tinggi Kedokteran dan Geneeskundige Faculteit-Nood Universiteit dilebur menjadi satu, menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang berkedudukan di Jl. Salemba 6.

Saturday, September 21, 2019

Sabar Menanti: Pelajaran Dari Seekor Rakun

Memotret satwa merupakan kegiatan yang susah-susah gampang, karena satwa tidak bisa diatur sebagaimana manusia. Selain tahu momen yang tepat, perlu kesabaran ekstra menunggu para satwa menunjukkan momen, gaya, ekspresi, atau emosi yang menarik untuk dipotret. Sepanjang pengalaman saya memotret satwa, lama kelamaan kita paham karakteristik masing-masing satwa, mana yang mudah untuk dipotret, dan mana yang perlu kesabaran dan kejelian. Seperti jerapah, mereka relatif mudah dipotret karena pergerakannya yang lambat. Ada juga satwa tertentu yang sulit dipotret karena mereka sangat dinamis dan tak terduga, misalnya burung unta, atau kocheng (ya, di Kebun Binatang Ragunan banyak kocheng berkeliaran di luar kandang!).


 


Tapi ada satwa yang sulit dipotret karena hobi ngumpet. Ya, rakun – hewan berwarna abu-abu berekor belang bermata panda yang diimpor dari Kanada - sudah menjadi penghuni Kebun Binatang Ragunan sejak tahun 2010. Tapi 3 tahun pertama keberadaannya di Ragunan, saya tidak melihat keberadaannya, sampai dengan ketika pengelola Ragunan memindahkan kandangnya ke bagian depan dekat pintu masuk Utara. Itu pun saya masih jarang melihat penampakannya, sampai dengan di penghujung tahun 2013, baru saya melihat penampakan fisik sang rakun. Ternyata karena dia hobi ngumpet, agak sulit untuk menemukannya di kerumunan tumbuhan di dalam kandang. Baru di awal tahun 2014 saya berhasil mendapatkan foto si rakun, itu pun saya beruntung karena saat itu ia sedang anteng dan tidak banyak bergerak, sehingga mudah untuk dipotret.



Tahun 2019, saya iseng hunting foto lagi di Kebun Binatang Ragunan, dan lagi-lagi ingin menjenguk kawan abu-abu berekor belang bermata panda ini. Namun hari itu ternyata dia memilih untuk bobok siang di balik pepohonan, mungkin karena cuaca sangat panas dan tidak bersahabat untuk dirinya yang berasal dari Kanada… Jadi dengan amat sangat terpaksa saya mengabadikan dirinya sedang “menjepitkan” diri di batang pohon sekaligus berteduh di balik daun-daunan… hhh…



Seminggu kemudian, saya berkesempatan ke Ragunan lagi, dan pagi-pagi iseng menjenguk kandang si kawan abu-abu ini. Dia sudah tidak bersembunyi di balik pohon, tapi dia leyeh-leyeh sambil memamerkan pantat dan ekornya yang belang-belang! Hadeuh… macam mana ini? Akhirnya saya memutuskan untuk olahraga dulu, mana tahu nanti agak siangan si kawan abu-abu ini sudah lebih aktif.



Selesai olahraga, saya kembali mampir ke kandang si kawan abu-abu. Mungkin karena hari semakin siang, sang rakun mulai lebih aktif. Terlihat dia mulai menggali-gali tanah, dan sesekali terlihat seperti membersihkan kedua kaki depannya, lebih mirip orang yang mencuci tangan. Nah, finally… eh tapi belum bisa dapat foto dengan momen yang pas ini.



Setelah saya duduk selama kurang lebih 5 menit untuk minum dan melap keringat, ketika saya berdiri, lah kok mukanya sang rakun pas menghadap ke saya dengan pose yang unyu? Tanpa buang waktu saya ambil kamera, dan voila! Tertangkap sebuah potret rakun yang menggemaskan!


Dari pengalaman hari ini, jelas kesabaran adalah koentji untuk mendapatkan momen yang pas dari sang rakun. Kalau pas apes, sang rakun bisa tidak terlihat di mana-mana, karena bisa jadi dia sedang bersembunyi di balik pohon untuk menahan terik matahari. Jadi kuncinya adalah sabar menanti selama beberapa menit, kalau perlu pergi dulu dan kembali lagi, hanya untuk memastikan sang rakun sudah kembali aktif dan mendapatkan momen yang tepat. Btw, seandainya rakun ini jinak, rasanya ingin saya bawa pulang saja, soalnya lucu banget, kaya blasteran antara panda dan kucing. Tapi berhubung mereka sejatinya binatang liar – dan memelihara binatang liar merupakan pelanggaran undang-undang -- saya pelihara keluarga rakun ini saja lah…


Saturday, February 09, 2019

U-S-S-D-E-K

No, ini bukan USDEK yang berbau-bau politik Orde Lama. Ini USSDEK yang membawa kenikmatan, alias tata cara jamuan khas Surakarta.

Apa yang dimaksud dengan USSDEK? Rupanya USSDEK merupakan singkatan dari Unjukan-Snack-Sop-Dahar-Es-Kondur. Ini merupakan urutan dari hidangan yang disajikan dalam sebuah jamuan makan, baik dalam sebuah hajatan pernikahan (yang paling umum ditemui) maupun hajatan-hajatan lain. Kemungkinan besar USSDEK merupakan modifikasi tata cara jamuan makan gaya Eropa, yang disesuaikan dengan kearifan lokal Jawa Tengah, sebab banyak kemiripan yang bisa kita temukan. Mari kita bandingkan dengan jamuan makan gaya Eropa, yang kita pelajari di kursus table manner.

Dari sisi perbedaannya, jamuan makan gaya Eropa biasanya dilakukan di round table atau meja panjang, jamuan USSDEK hanya menyediakan tempat duduk saja tanpa meja. Sedangkan dari sisi persamaannya adalah pada menunya. Jika jamuan USSDEK diawali dengan Unjukan (biasanya teh manis hangat), di jamuan gaya Eropa para pelayan akan mengisi gelas-gelas kita dengan air putih. Untuk Snack, di jamuan makan gaya Eropa merupakan appetizer. Sedangkan Sop, di jamuan makan gaya Eropa ya tetap sop. Bedanya kalau jamuan USSDEK sopnya umumnya sop bening, di jamuan gaya Eropa umumnya berbentuk cream soup. Selanjutnya adalah Dahar atau main course. Jika di USSDEK dahar-nya bisa berbentuk selat Solo atau paket nasi dan lauknya, main course di jamuan makan Eropa biasanya adalah steak lengkap dengan ubo rampe-nya. Menu selanjutnya adalah Es atau dessert, dalam bentuk es buah atau puding. Biasanya, kalau Es alias dessert-nya sudah dikeluarkan, para tamu bersiap-siap untuk Kondur alias pulang. Saatnya tuan rumah berdiri di pintu, bersalaman dengan para tamu dan mengucapkan terima kasih atas kehadirannya.

Jamuan makan gaya USSDEK ternyata bukan monopoli wilayah Surakarta. Saya pernah menemui tata cara serupa di daerah Banyumas. Dan jamuan di Banyumas tersebut tidak diselenggarakan di gedung pertemuan, melainkan di rumah. Takjub ketika saya tahu bahwa gaya jamuan seperti ini lumrah dilakukan di daerah lain di Jawa Tengah, karena sebelumnya saya pikir USSDEK hanya ada di daerah-daerah kekuasaan keraton Mataram saja.

Apakah jamuan gaya USSDEK kurang praktis? Mungkin iya untuk beberapa orang yang terbiasa dengan jamuan gaya prasmanan. Apalagi kalau tinggal di Jakarta yang dalam satu waktu harus menghadiri hajatan di 2-3 tempat yang berbeda. Namun menurut saya, itulah keunikan dari USSDEK. Di satu sisi, setiap tamu dihormati karena mereka tinggal duduk manis dan dilayani oleh pelayan. Di sisi lain, dipastikan semua tamu yang hadir akan kebagian makanan, tidak ada issue kehabisan makanan.

Btw, ini salah satu hidangan Snack atau appetizer USSDEK favorit saya: kroket ala Solo. Dan kroket di foto ini dibuat oleh salah satu catering tertua dan terbaik (menurut saya) dalam penyelenggaraan USSDEK di Solo. Mudah-mudahan budaya USSDEK ini jangan hilang ditelan masa...


Sunday, August 12, 2018

Creating Beautiful Travel Photography

Nowadays, taking photo is the most popular activities doing (almost) by everybody. Especially when travelling, people taking photo of the objects they've seen, people they've met, or just taking selfie for keeping personal memories of the journey. Since everybody wants to keep good memories, how can we create beautiful travel photos?



First of all, travel photography is all about moments. Making a beautiful travel photos mean catching the right moments, i.e. right person, right time, right situation, or combination of them.

But how do you know when you meet the right moments? It depends on your judgement.

To find the right moments, you have to wait patiently and be considerate. Pick point of interest, and wait for the right person, right time, or right situation to come.

Practice make perfect, so taking more photos means practicing your judgement to find the right moments.

Mastering basic photography technique is also important: composition, lighting, exposure.

Composition is the most important, since this is the one that (almost) cannot be manipulated by software. You should master photo composition by practice, practice and practice.

Try to take photo of one object/spot from many angles or point of view, to get the sense of composition.

Never worry about the camera, because travel photography is never about the camera. Whether you use pocket camera, smartphone camera, or sophisticated DSLR camera, all of that can make a good travel photos.

But whatever camera you use, you have to know how to use it very well. Better understand all camera features, so you can maximize it to get the excellent travel photos.

Making travel photography is a fun things to do. But please remember that there are some objects or moments you should avoid. For example, don’t take photo if it disturbing someone’s privacy. Or if you find interesting objects but it related to military or politics, please ask permission before taking photo.

Last but not least, don’t take photo if it threaten your or your object’s safety (i.e. taking photo in the edge of a cliff). Travel photography is fun, of course, but safety also important.