Saturday, October 29, 2011

Situ Babakan, Oase di tengah Jakarta

Barangkali kita tidak pernah membayangkan bahwa di tengah kepadatan kota Jakarta, rupanya masih ada tempat yang bisa menjadi "oase" untuk melepas kejenuhan sekaligus berlibur sambil menikmati menikmati wisata alam yang murah dan mengasikkan.
Salah satu danau di Ibu Kota yang bisa dikunjungi adalah Setu Babakan. Setu Babakan terletak di Jl. Raya Moh. Kahfi II, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Dalam bahasa Betawi, Setu berarti Danau. Setu Babakan merupakan danau buatan dengan luas area 32 hektar, di mana airnya berasal dari sungai Ciliwung. Danau ini dibangun pemerintah kolonial Belanda untuk menanggulangi masalah banjir di Jakarta, sehingga selain sebagai sarana rekreasi dan cagar budaya, keberadaan Setu Babakan juga penting karena fungsinya sebagai daerah penangkap air tanah.
Setu Babakan merupakan salah satu lokasi wisata favorit, banyak orang yang datang dan duduk-duduk di sisi danau untuk menikmawi suasana segar. Setu ini juga dimanfaatkan bagi mereka yang gemar memancing. Bagi yang ingin berwisata air, dapat memanfaatkan sepeda air. Apabila bosan dengan rekreasi air, anda bisa menyewa delman untuk keliling kawasan Setu Babakan yang luasnya 165 hektar.
Selain menjadi tempat wisata alam, Setu Babakan juga merupakan cagar budaya, karena danau ini menjadi bagian dari Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, kawasan perkampungan yang ditetapkan Pemerintah Jakarta sebagai tempat pelestarian dan pengembangan warisan budaya asli Betawi. Di kawasan ini anda dapat melihat lingkungan pemukiman penduduk Betawi, dengan bentuk rumah-rumah khas Betawi yang memiliki teras luas dan bentuk atap yang unik. Sebagai pusat konservasi budaya Betawi, di Setu Babakan sering ditampilkan atraksi pertunjukan seni asli Betawi, mulai dari Qasidah, Marawis, Keroncong, Tajidor, Gambang Kromong, Lenong, Gambus, serta tari Cokek, tari Topeng dan Ondel-Ondel sebagai icon budaya Betawi. Waktu terbaik untuk berkunjung ke Setu Babakan adalah antara bulan Juni-Juli, di mana banyak diadakan festival untuk memperingati HUT kota Jakarta.
Bagi mereka yang hobi wisata kuliner, anda akan menemukan surga masakan Betawi. Di sepanjang pinggiran danau terdapat penjaja makanan tradisional Betawi, seperti soto mie, kerak telor, toge goreng, laksa, gulali, nasi uduk, kue ape, roti buaya, soto betawi, ketoprak, karedok, rujak bebek, rujak cuhi, manisan kolang kaling, sayur gabus pucung, opor jengkol, dan Bir Pletok. Selain wisata kuliner dan wisata budaya, di kawasan Setu Babakan juga terdapat wisata agro. Anda bisa mengunjungi rumah-rumah penduduk yang terdapat tanaman buah khas Betawi. Jika ingin memetik dan membawa pulang buah-buah tersebut, anda bisa minta ijin kepada pemilik rumah dan membayar buah yang anda petik.
Kawasan Setu Babakan terbuka untuk umum, dari pagi hingga sore hari pukul 18.00 WIB. Mengingat tempat ini merupakan bagian dari cagar budaya tradisi Betawi dengan adat ketimuran yang kental, sangat disarankan untuk mengenakan pakaian yang sopan dan tidak terbuka.

Saturday, October 22, 2011

Museum Mainan Anak Kolong Tangga

Museum Mainan Anak Kolong Tangga barangkali merupakan salah satu museum yang paling jarang didengar. Museum ini terletak di Yogyakarta, tepatnya di dalam kompleks Taman Budaya, Jl. Sriwedani No. 1. Saya sendiri sempat kesulitan mencari letak museum ini, padahal Taman Budaya ternyata terletak di belakang Taman Pintar/Benteng Vredeburg. Sudah sampai di Taman Budaya pun masih harus cari-cari karena tidak ada petunjuk museum ini ada di gedung mana. Untung pak Satpam berbaik hati menunjukkan tempat museum ini pada saya...

Pada akhirnya, saya berhasil menemukan museum ini, yang terletak di lantai 2 gedung Taman Budaya. Rupanya nama "Kolong Tangga" memang mencerminkan posisi museum, walaupun tidak benar-benar di bawah kolong tangga. Museum ini terletak di bawah auditorium, di belakang 2 buah tangga menuju auditorium, jadi terlihat seolah-olah di kolong tangga. Tiket masuk museum juga tidak mahal, hanya Rp 4.000. Tapi di dalam museum tidak boleh memfoto koleksi, kecuali ada obyek orangnya... (berarti foto narsis boleh ya?) Sayang sekali, saya datang sendirian, jadi tidak bisa berfoto di dalam museum.

Koleksi museum ini memang unik dan berbeda dengan museum pada umumnya, karena berupa mainan anak-anak. Tadinya saya pikir museum ini hanya menyimpan koleksi mainan anak dari seluruh wilayah Indonesia, namun ternyata koleksi mainan di museum ini berasal dari seluruh dunia! Wow! Salah satu tampilan di museum ini adalah penjelasan dan foto-foto permainan anak-anak dari seluruh dunia. Saya rasa bukan cuman anak-anak yang senang diajak ke museum ini untuk melihat berbagai jenis mainan, bahkan saya pun bisa mendapat pengetahuan baru tentang berbagai mainan dan permainan anak yang ada di dunia ini.

Salah satu koleksi museum yang paling saya ingat adalah 1 lemari berisi mainan dengan tema Winnie The Pooh, dan tentu saja ada Eeyore, si keledai biru yang selalu muram. Eeyore is my favorite, so I love this collection!

Penerbitan Buku Indie

Di posting yang lalu, saya memperkenalkan buku self-publishing pertama saya, "Catatan Kecil dari Pojok Nusantara". Ini salah satu percobaan penerbitan buku secara Indie, dan ternyata tidak sulit untuk menerbitkan buku secara Indie. Postingan ini merupakan editan dari postingan original di grup Ibu-Ibu Doyan Nulis DKI :

Ide untuk menerbitkan buku secara self-publishing muncul setelah saya ikut Kursus Menulis Online yang diselenggarakan Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN) pimpinan teteh Indari Mastuti.
Kemarin waktu saya ikut KMO, iseng-iseng saya tanya tentang penerbitan Indie, berapa modal yang harus dikeluarkan, dlsb dlsb. Teh Indari merekomendasikan untuk menghubungi mas Anang Yb, karena beliau ada paket produk Rp 800.000 utk 40 eksemplar. Dari mas Anang saya diteruskan ke Red Carpet Studio (http://redcarpetstudio.net).


Setelah saya mempelajari websitenya Red Carpet dan banyak bertanya sama bagian marketingnya, di situ ada ketentuan bahwa paket itu terbatas untuk buku maksimum 100 halaman A5, black-white, belum termasuk pengurusan ISBN, desain cover dan ongkos kirim. Tentu saja kita bisa punya desain cover sendiri untuk lebih hemat, ato mau ngurus ISBN sendiri juga bisa langsung dateng ke Perpustakaan Nasional karena prosesnya tidak sulit.... Paket ini belum termasuk editing dan layout, jadi kita harus mengedit dan melayout sendiri. Mereka ada juga jasa edit dan layout, tapi harus bayar lagi... Mereka juga "mengencourage" bahwa selain hasil cetakan ini bisa dijual secara Indie, buku cetakan ini juga bisa dilampirkan untuk penawaran naskah kita ke penerbit yang sudah mapan, jadi calon penerbit tidak hanya melihat proposal naskah, tapi sudah lihat "dummy"nya. (ada beberapa testimoni pelanggan mereka di website)


Jadi saya putuskan iseng-iseng mencoba mencetak buku di Red Carpet Studio, dengan tema antologi perjalanan wisata. Saya ambil paket yang "reguler" untuk mencetak 40 eksemplar buku. Cover saya minta dari Red Carpet yang mendesain, jadi ada tambahan biaya. Bagi saya, cover itu penting karena memberikan kesan pertama, jadi tidak masalah jika saya minta mereka saja yang mendesain cover. Dokumen yang siap dicetak dibuat dalam format PDF, kemudian dikirim ke mereka. Lama pengerjaan kira-kira 2 minggu-an. 

Keuntungan dari penerbitan Indie model Red Carpet Studio ini, buku sudah tercetak, kita bisa menentukan harga sendiri, dan kendali pemasaran serta distribusi sepenuhnya ada pada kita. Memang tidak mudah memasarkan buku secara online, biarpun sudah dibantu di blog sama web social networking. Saya membuktikan sendiri, setelah 2 bulan naik cetak, buku yang laku belum ada separo dari 40 eksemplar. Tapi kalau kita sudah tahu 40 eksemplar buku ini mau diapakan (apakah kita titipkan di jaringan distribusi, toko buku, untuk hadiah, atau untuk portofolio), saya kira penerbitan model begini lebih cocok.


Model lain adalah Print-On-Demand (POD), seperti yang dilakukan oleh Leutikaprio. Seperti tertulis di http://www.leutikaprio.com, untuk bisa menerbitkan buku dengan mereka, kita memodali Rp 500.000 untuk edit typo dan EYD (tidak mengedit isi), layout, cover, ISBN, 1 jam konsultasi, 1 kali proofing, serta 1 eksemplar contoh buku terbit. Mereka juga akan bantu promo buku kita di web mereka dan FB. Harga buku ditentukan oleh Leutikaprio, dan penulis akan dapat royalti 15% dari harga buku.

Untuk cara penerbitan seperti Leutikaprio, tentu ada plus minusnya juga. Di satu sisi, resiko buku tidak terjual bisa diperkecil, karena belum dicetak secara banyak. Di sisi lain, kita sudah keluar modal tapi gak langsung dapat bukunya. Cuman untuk Leutikaprio, dari keterangan di webnya mereka, ada potensi bahwa buku yang diterbitkan di Leutikaprio ini "berpindah" ke penerbit besar di grup Leutika.

Model lain untuk penerbitan secara Indie adalah dengan membuat e-book (format ePub) via Papataka.com. Dari segi resiko, karena tidak ada buku yang harus dicetak, sehingga resiko biaya baik bagi penulis maupun bagi Papataka sangat minim. Tapi... saat ini e-book belum terlalu populer di Indonesia, jadi e-book terbitan "indie" di Papataka masih belum laku keras. Memang ada saja yang beli, tapi tidak sebanyak buku-buku cetak.


Masih banyak penerbitan Indie yang lainnya, yang juga patut untuk dicoba. Mengenai anda mau memilih model yang mana, tinggal tergantung mana yang lebih cocok. Semua ada plus minusnya, tinggal cari mana yang paling cocok, apakah model cetak sedikit seperti Red Carpet Studio, model POD seperti Leutikaprio, atau e-book seperti Papataka.




Wednesday, September 07, 2011

My First Indie Book : Catatan Kecil dari Pojok Nusantara

Ini buku pertama saya yang diterbitkan secara Indie...

Buku ini berisi kumpulan artikel wisata dan perjalanan yang pernah dimuat di beberapa media, sekaligus sebagai catatan perjalanan ke tempat-tempat tersebut. Tak hanya menampilkan data teknis mengenai lokasi wisata dimaksud, anda juga diajak “berjalan-jalan” ke tempat-tempat tersebut, serta menikmati keunikan berbagai tempat wisata tersebut.

Jadikan buku ini teman perjalanan anda, and be inspired to visit many beautiful places in Indonesia!

Untuk pemesanan, hubungi : arini_che@yahoo.com

Sunday, August 21, 2011

Prambanan-Ratu Boko Trip

Siang itu, saya memutuskan untuk pergi ke Candi Prambanan. Semula saya tidak berniat ke Kompleks Kraton Ratu Boko, karena niat awal saya adalah mengunjungi 4 candi yang ada di Kompleks Candi Prambanan. Namun ketika saya hendak membeli tiket, saya melihat pengelola memiliki paket untuk pergi ke 2 kompleks candi tersebut, dan disediakan kendaraan untuk berpindah dari Kompleks Candi Prambanan dan Kompleks Kraton Ratu Boko. Wah, kebetulan sekali, ga perlu repot keluar dan pindah tempat sendiri! Saya kemudian membeli tiket dan menuju tempat menunggu yang disediakan oleh pengelola.

Setelah agak lama menunggu, akhirnya sarana transport yang mengangkut saya dan beberapa peserta paket hemat ini tiba, dan langsung mengangkut kami menuju Kompleks Kraton Ratu Boko. Ternyata perjalanan Prambanan-Ratu Boko tidak sedekat yang saya bayangkan. Dan yang lebih seru lagi, jalan masuk ke kompleks Ratu Boko ternyata sempit dan menanjak! Wah wah wah... sudah betul keputusan saya untuk beli paket hemat ini, mobil-mobil mereka semua bermesin diesel, kalau pakai Avanza bensin, jangan-jangan nanti ada acara dorong-mendorong untuk sampai ke tempat parkir! (Ehm, kayanya lebay deh...)

Setibanya di Kompleks Kraton Ratu Boko, eh, belum, setibanya di kantor pengelola kompleks Kraton Ratu Boko, saya tidak langsung masuk ke area candi, melainkan menarik nafas terlebih dahulu sambil menikmati pemandangan di plaza yang disediakan. Pelataran tersebut menghadap ke arah Candi Prambanan, jadi saya bisa melihat pemandangan Candi Prambanan di sisi Kali Opak, sambil membayangkan barangkali raja yang dulu bertahta di kompleks keraton ini melihat pemandangan yang serupa (tentunya tanpa rumah-rumah penduduk dan jalan raya...). Kalau cuaca cerah, kita bisa melihat Gunung Merapi di kejauhan, ah, so romantic...


Pemandangan Candi Prambanan dari Plaza Keraton Ratu Boko

Akhirnya, setelah mengumpulkan kekuatan, saya mulai melangkahkan kaki memasuki Kompleks Keraton Ratu Boko. Ternyata... jarak dari loket sampai ke bangunan pertama jauh banget! Akhirnya dengan ngos-ngosan, saya tiba di gerbang pertama Keraton Ratu Boko. Begitu melihat kemegahan bangunan gerbang tersebut, ngos-ngosannya langsung sirna seketika... Tak terbayangkan, di masa lalu, dengan teknologi yang (supposed to be) masih sederhana, nenek moyang kita sudah mampu membuat bangunan di puncak bukit seperti ini. Setelah gerbang pertama, masih ada gerbang kedua, yang lebih besar daripada gerbang pertama. Pengennya sih ngambil foto yang perfect (yang bangunannya aja), apa daya, ada orang pacaran sambil duduk di gerbang tersebut, sehingga saya harus mencari angle yang perfect supaya dua "nyamuk" itu tidak muncul di foto saya...


Gerbang Keraton Ratu Boko (tanpa "2 nyamuk")

Setelah mengambil foto, saya melangkahkan kaki masuk ke dalam kompleks candi. Di sisi kiri sebelah bawah terdapat bangunan Candi Batu Putih, karena pondasinya terbuat dari batu putih. Niatnya sih pengen lihat lebih dekat, tapi melihat 5 ekor kambing sedang bercengkrama di bangunan tersebut, ga jadi aja deh... ga sebanding sama resikonya...


Kambing-kambing yang sedang leyeh-leyeh di Candi Batu Putih
 
Akhirnya, saya sampai di tempat yang tampaknya merupakan alun-alun. Di sisi kiri terdapat tanah yang lebih tinggi, dan di atasnya ada candi pembakaran jenazah. Sayang, candinya sedang direnovasi, jadi saya kembali mengurungkan niat untuk melihat lebih dekat. Saya menyeberangi alun-alun dan menuju situs candi yang lain. O ya, walaupun kompleks ini  sudah dikelola oleh pengelola Borobudur Park, tapi di dalam masih ditemukan penduduk yang berjualan minuman, baik penjual keliling maupun warung. Tapi mengingat kompleks ini sangat luas dan terbuka, rasanya memang perlu ada para penjual minum ini. Yang nggak nahan sebenarnya bukan para pedagang minuman, tapi kambing-kambing yang pada merumput di situs ini, duh... paling takut kalau tiba-tiba kambingnya lari terus menyeruduk, males banget deh...
 
Karena waktu terbatas, dan saya masih ingin mengunjungi candi Prambanan sebelum tutup, setelah melihat Kaputren dan Paseban saya kembali menuju pintu masuk. Wah, padahal masih ada Gua Lanang dan Gua Wadon yang konon ada simbol lingga dan yoni-nya... next time harus balik ke sini lagi kayanya... Dan akhirnya, saya kembali meluncur menggunakan transportasi yang disediakan pengelola menuju ke kompleks Candi Prambanan.
 
Di kompleks Candi Prambanan, wisata jalan kaki kembali dilanjutkan. Ketika melangkan menuju Candi Prambanan, saya baru "donk", ternyata dari tadi ada pengumuman mengenai candi-candi yang berada di bawah pengelolaan Kompleks Candi Prambanan. Jadi di kompleks ini ada 4 candi : Candi Prambanan, Candi Lumbung, Candi Bubrah dan Candi Sewu. Candi Prambanan dibuat oleh Rakai Pikatan dari kerajaan Mataram Kuno dan merupakan candi Hindu. Uniknya, 3 candi yang lain (Lumbung, Bubrah, Sewu) adalah candi Buddha. Ini mencerminkan bahwa di masa lalu sudah terwujud kerukunan antar umat beragama di Indonesia.


Candi Prambanan

Sesampainya di Candi Prambanan, ternyata saya harus kecewa. Bukan kecewa karena sulit mendapat spot foto yang sempurna (saking banyaknya pengunjung, bahkan ada turis Jepang yang sangat excited di depan arca Nandi di dalam candi Wahana, dia terus bertanya kepada guide yang mendampingi, sementara teman-temannya sudah pindah ke lain candi), tapi karena beberapa candi tidak bisa dimasuki, karena sedang proses renovasi akibat gempa Yogyakarta tahun 2006 (so sad....). Salah satu candi yang tidak bisa dimasuki adalah candi Siwa, padahal arca Durga yang lebih dikenal sebagai arca Roro Jonggrang yang tersohor itu ada di dalamnya, hiks...


Matahari yang nyaris terbenam di balik salah satu candi

Ketika saya keluar dari Candi Prambanan, jam tangan saya sudah menunjukkan pukul 16.30, 30 menit sebelum waktu tutup. Yah, tampaknya 3 candi yang lain masih harus menunggu lain waktu... Tadinya mau mengejar kereta kelinci yang keliling, apa daya ketinggalan kereta. Jadi, setelah berjalan kaki agak jauh, akhirnya saya sampai juga ke Candi Lumbung. Namanya sudah sore, candi Lumbungnya sepiiii banget, apalagi dengan banyak batang-batang bambu untuk perbaikan, membuat penampakannya terlihat mengenaskan.


Candi Lumbung yang sedang direnovasi

Dalam perjalanan menuju pintu keluar, saya masuk ke museum Arkeologi. Museum ini merupakan museum pendukung Kompleks Candi Prambanan, dan berisi penemuan arca di situs-situs sekitar candi. Di bagian akhir museum, dijelaskan sejarah penemuan dan restorasi candi Prambanan. Rupanya pekerjaan restorasi ini  sudah dimulai sejak jaman kolonial Belanda, karena beberapa lukisan menunjukkan proses restorasi candi yang cantik ini. Ah, kapan-kapan saya harus kembali kemari lagi...


Arca Ganesha di Museum Arkeologi Prambanan


Monday, August 01, 2011

Dan "Kampret" pun Turut Memperkuat Kekuatan Udara Kita

Gara-gara membaca majalah Angkasa edisi koleksi yang berjudul Pesawat Kombatan TNI AU dan membahas pesawat-pesawat tempur milik TNI AU dengan ayah saya, saya jadi terpikir untuk datang kembali ke Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala.

Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala terletak di dalam Kompleks Perumahan TNI AU Wonocatur. Museum ini tidak terlihat dari jalan raya, sehingga untuk mencapai ke museum ini harus mengikuti papan petunjuk. Jalan masuk ke museum adalah melalui Jl. Janti, kemudian mengikuti petunjuk masuk ke dalam kompleks perumahan TNI AU. Sebelum masuk, saya harus melapor dulu kepada petugas di pos jaga, dan membayar tiket mobil sebesar Rp 5000. Sambil mencatat nomor mobil yang mengantar saya, petugas bertanya apakah saya mengantar anak. Saya jawab tidak, sambil bertanya apa hari ini ada rombongan anak sekolah. Rupanya sudah ada 6 bis anak sekolah yang akan berkunjung ke museum! Langsung saya membayangkan, museumnya pasti ramai sekali...

Setelah mobil parkir di halaman museum, saya mulai berkeliling, sambil mencoba mengingat ketika pertama kali saya datang ke museum ini di tahun 1991. Setelah mencoba mengingat-ingat, saya sudah tidak ingat seperti apa dulu museumnya, kecuali koleksi pesawat yang ada di dalam hanggar.Ketika melihat pesawat yang dipasang di luar museum, rasanya seperti anak kecil yang melihat mainan kesayangannya, saya ingin berlari dan memeluk pesawat-pesawat tersebut. O ya, perlu diketahui bahwa kompleks ini sangat dekat dengan bandara Adisucipto, sehingga pemandangan yang ada di foto di bawah ini pasti bukan merupakan pemandangan asing...


Pesawat Bronco, dengan latar belakang Lion Air sedang manuver mendarat

Pesawat pertama yang saya lihat dari dekat adalah Tu-16, pesawat pembom yang pernah digunakan TNI AU dalam Operasi Trikora merebut kembali Irian Barat. Konon pada masanya pesawat ini merupakan salah satu pesawat pembom yang paling ditakuti, membuat Indonesia kala itu menjadi salah satu negara yang paling ditakuti di Asia Tenggara.


It's very big!!!

Koleksi pesawat terbaru milik museum adalah pesawat OV-10 Bronco dengan nomor registrasi TT 1015, yang bergabung menjadi koleksi museum pada bulan Januari 2011. Pesawat ini merupakan pengganti pesawat tempur P-51D Mustang, dan termasuk pesawat militer TNI AU yang paling lama dioperasikan sejak tahun 1976 hingga 2004. Barangkali saking barunya, bahkan terpal penutup kokpit pun belum sempat dicopot.

Ini bukan Bronco, ini A4 Skyhawk

Memasuki ruangan museum, di ruangan pertama, terlihat Panji-panji dan pataka TNI AU, lambang TNI AU dengan semboyan “Swa Bhuwana Paksa”, serta patung empat orang perintis TNI AU : Marsekal Muda Anumerta Iswahyudi, Marsekal Muda Anumerta Abdul Halim Perdanakusuma, Marsekal Muda Anumerta Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, dan Marsekal Muda Anumerta Agustinus Adisutjipto.

Masuk ke ruangan berikutnya, saya melihat replika pesawat ringan WEL-I RI-X, pesawat pertama buatan anak bangsa. Perancang pesawat ini, Wiweko Soepono, merupakan salah satu perintis industri dunia penerbangan Indonesia. Pesawat berawak tunggal yang dikenal dengan nama WEL (Wiweko Experimental Lightplane) ini terbang pertama kali pada tanggal 27 Oktober 1948 di pangkalan udara Maospati Madiun (sekarang pangkalan udara Iswahyudi), dengan menggunakan mesin sepeda motor Harley Davidson 750 cc. Sayang sekali, pesawat ini hancur ketika dimuat dalam gerbong kereta api karena terkena granat pemberontak PKI Madiun. Di ruangan ini juga terdapat foto-foto dan benda-benda terkait peristiwa bersejarah TNI Angkatan Udara.


WEL-I RI-X, pesawat pertama buatan anak bangsa

Memasuki bagian berikutnya, saya melihat foto-foto Operasi Militer yang pernah dilakukan TNI AU, antara lain Operasi Penumpasan DI/TII, Operasi Penumpasan Permesta (yang terkenal dengan peristiwa pengejaran pembom B-25 dengan pilot Allan Pope), Operasi Trikora, Operasi Dwikora, Operasi Penumpasan G-30-S/PKI, dan Operasi Seroja di Timor Timur. TNI AU juga melaksanakan berbagai Operasi Militer selain perang, misalnya dalam menangani bencana alam. Di salah satu vitrin terdapat foto-foto RI-001 Seulawah dan sejarah Indonesian Airways sebagai penerbangan niaga pertama milik Indonesia.

Di ruangan berikutnya, kami melihat berbagai seragam yang dikenakan TNI Angkatan Udara, mulai dari Pakaian Dinas Upacara, Pakaian Dinas Harian, Pakaian WARA (Wanita Angkatan Udara), pakaian penerbang, dan seragam Paskhas. Di bagian tengah ruangan, terdapat benda-benda memorabilia empat pahlawan perintis TNI Angkatan Udara, mulai dari foto-foto, surat keputusan pengangkatan sebagai pahlawan, dan tanda-tanda jasa yang pernah mereka terima.

Setelah melihat-lihat perjalanan sejarah TNI Angkatan Udara, saya memasuki ruangan berikutnya. Ruangan ini merupakan ruangan yang menyimpan dokumentasi berbagai pendidikan yang dilaksanakan oleh TNI Angkatan Udara, antara lain Sesko, Koharmat, Koops AU, Kohanudnas, dan Akademi Angkatan Udara. Di salah satu dinding bahkan terpampang nama lulusan Sekolah Pendidikan Sekbang TNI AU. Tak hanya masalah pendidikan, di tengah ruangan saya melihat patung dada dan berbagai benda milik KSAU dari masa ke masa. Salah satu KSAU yang paling saya ingat adalah Chappy Hakim, yang gemar menulis dan main saksofon. Buku-buku beliau juga ditampilkan dalam museum ini, antara lain yang berjudul “Awas! Ketabrak Pesawat Terbang”.

Dan akhirnya, saya masuk ke bagian hanggar, bagian favorit saya. Hanggar ini penuh sesak dengan koleksi pesawat berjumlah kurang lebih 46 buah, berbagai peralatan radar, dan persenjataan udara. Ditambah lagi para pengunjung yang terdiri dari anak-anak (dan para pengantarnya) turut memenuhi ruangan dan melihat-lihat koleksi pesawat, sehingga suasana menjadi sangat ramai. Saya sempat mengambil foto beberapa pesawat, antara lain adalah Cureng, P-51 Mustang, DC-3 Dakota dan Mig-21. Tiga pesawat yang saya sebut belakangan merupakan pesawat yang sukses di masanya. Khususnya untuk Cureng, pesawat ini merupakan pesawat bersejarah, karena digunakan Agustinus Adisucipto untuk melakukan penerbangan pertama dengan pesawat berbendera merah putih. Di salah satu sudut hanggar terdapat studio foto, yang melayani foto menggunakan seragam penerbang dengan latar belakang pesawat. Studio ini laris manis dirubung anak-anak yang ingin berfoto.

P-51 Mustang, pesawat tempur yang berjaya di masanya

Mig-21, "tanda mata" hubungan RI dengan blok Timur
DC-3 Dakota versi militer
Di salah satu hanggar, terdapat Ruang Hipobarik, atau Ruang Bertekanan Rendah. Ruangan ini digunakan untuk melatih para penerbang mengenai pengaruh ruang tekanan rendah terhadap kondisi fisik maupun kondisi mental awak pesawat, terutama untuk mendeteksi gejala-gejala Hipoksia. Tak hanya ruangannya, bahkan di luar terdapat kompresor yang digunakan untuk mengatur tekanan di dalam Ruang Hipobarik. Karena peralatannya masih utuh, saya jadi penasaran, alat yang di museum ini kira-kira masih dipakai atau tidak ya?

Menjelang pintu keluar hanggar untuk menuju ruang diorama, di dekat pintu terdapat replika Dakota VT-CLA. Dakota VT-CLA adalah kode pesawat yang ditembak Belanda pada 29 Juli 1947 di dusun Ngoto. Peristiwa ini merupakan aksi balas dendam pengeboman di Semarang, Salatiga dan Ambarawa yang dilakukan para kadet AURI pada pagi harinya. Dalam peristiwa ini gugur beberapa tokoh perintis TNI Angkatan Udara, yaitu Agustinus Adisucipto, Abdulrahman Saleh, dan Adisumarmo Wirjokusumo. Replika di museum ini menampilkan bagian ekor pesawat, serta miniatur Monumen Perjuangan TNI-AU. Monumen yang asli berada di dusun Ngoto, desa Tamanan, Banguntapan, Bantul.

Ruangan berikutnya adalah ruang diorama perjuangan, yang berfokus pada sejarah TNI Angkatan Udara Republik Indonesia. Beberapa diorama peristiwa penting yang sempat saya amati adalah Pembentukan TKR Bagian Penerbangan, Pembukaan Pangkalan Angkatan Udara di Gadut Bukittinggi pada tanggal 24 Maret 1947, Penerbangan Pesawat Merah Putih Pertama oleh Agustinus Adisutjipto menggunakan pesawat Cureng peninggalan Jepang pada tanggal 27 Oktober 1945, dan Penerobosan Blokade Udara oleh RI-001 Seulawah dari Birma ke Aceh tanggal 8 Juni 1949. Masih terdapat beberapa diorama lain yang menampilkan operasi militer yang pernah dilaksanakan oleh TNI AU.

Ruangan berikutnya adalah ruang diorama satelit komunikasi Palapa. Di dalam ruangan terdapat peragaan yang menunjukkan posisi dan cara kerja satelit komunikasi Palapa. Salah satu vitrin menunjukkan miniatur pesawat ulang alik Challenger yang pernah membawa salah satu satelit Palapa ke orbit.

Akhirnya saya tiba di ruangan terakhir. Di ruangan ini terdapat lambang berbagai skuadron milik TNI Angkatan Udara, serta foto-foto perkembangan skuadron dari masa ke masa. Di bagian tengah ruangan, sebelum toko cenderamata, dipajang berbagai miniatur pesawat, yang merupakan sumbangan dari penggemar miniatur pesawat. Setelah puas melihat miniatur pesawat, saya bergegas keluar museum, untuk menuju tempat wisata lain di Yogyakarta.

Setelah membaca tulisan saya di atas, barangkali anda penasaran, “Kampret”nya mana? Ternyata “Kampret” adalah nama glider (pesawat peluncur) GX-001 hasil modifikasi Sekolah Teknik Udara Perwira. Sekolah ini didirikan pada tahun 1951 di bawah pimpinan Letkol Ir. C.W.A. Oyen, dan mereka menyelidiki pembuatan pesawat udara. Glider Kampret merupakan hasil modifikasi glider Gruno-Baby, yang dibuat berdasarkan data glider buatan pabrik Father Belanda di Amsterdam dengan perbaikan dan sedikit perubahan. Uniknya, sang "Kampret" tidak dipajang di bawah bersama pesawat-pesawat lain, melainkan digantung di langit-langit, entah karena hanggarnya sudah penuh sesak, atau memang ia terlihat lebih cantik jika dipajang di langit-langit hanggar.
Inilah si "Kampret", glider buatan anak bangsa

Thursday, July 28, 2011

Museum Sonobudoyo, belajar sejarah wong Jogja

Ingin tahu sejarah orang Yogya secara singkat, jelas dan tepat? Maka tempatnya ada di museum Sonobudoyo. Museum Negeri Sonobudoyo berada di Jl. Trikora No. 6, di depan alun-alun utara Keraton Kesultanan Yogyakarta. Sebenarnya mereka terdiri dari 2 unit, Unit I yang ada di Jl. Trikora, dan Unit II yang ada di Ndalem Candranegaran, tidak jauh dari alun-alun utara. Menurut keterangan petugas museum, koleksi kedua unit ini sama saja, hanya koleksi di Unit II lebih banyak berasal dari DI Yogyakarta, sedangkan koleksi di Unit I ada yang berasal dari Bali dan Madura.

Kalau membaca sejarah museum Sonobudoyo, keberadaan museum ini ternyata jauh lebih tua daripada Republik Indonesia. Museum Sonobudoyo berawal dari Java Instituut yang diresmikan pada tahun 1935 atas prakarsa Sultan Hamengkubuwono VIII. Plakat pendirian museum dalam bahasa Belanda masih terpasang di gerbang masuk museum. Sebenarnya ada 2 plakat, plakat pertama adalah plakat pendirian, sedangkan plakat kedua saya sendiri kurang bisa memahami, karena bentuk gambanya lebih mirip orang Mesir daripada orang Jawa.

Masuk ke pendapa depan museum, kita akan disambut seperangkat gamelan. Ya, gamelan merupakan salah satu pusaka bagi keraton, sehingga mereka pun memberi nama 'Kyai' kepada gamelan tersebut. Kemudian kita akan masuk ke dalam gedung museum, melihat berbagai peninggalan prasejarah dan sejarah khususnya di wilayah DI Yogyakarta.

Beberapa koleksi yang unik di museum ini adalah sarkofagus (peti mati) yang ditemukan di bukit kapur di Gunung Kidul. Sarkofagus ini tidak dipajang seperti koleksi lainnya, melainkan "dipendam" (diletakkan di bawah lantai) dan diberi kaca, sehingga kita bisa melihat bagian dalamnya.



Koleksi lain yang juga banyak dan menarik adalah berbagai jenis wayang yang ada di Indonesia. Wayang yang dipamerkan dalam museum ini tidak terbatas pada wayang kulit yang berkembang di DI Yogyakarta, tetapi juga wayang-wayang lain, seperti Wayang Golek, Wayang Menak dari Tegal dan Karawang, Wayang Purwa Bali, dan juga wayang-wayang modern seperti Wayang Suluh, Wayang Wahyu dan Wayang Kancil.


Di bagian akhir museum, terdapat koleksi peninggalan budaya dari Bali. Selain koleksi patung dan peralatan budaya lainnya, di bagian belakang museum terdapat replika bale-bale di Bali, di mana untuk memasuki bale-bale tersebut harus melewati gapura bentar gaya Bali. Kalau foto di situ, tidak serasa di Yogya deh...



Ketika kami akan keluar museum, di dekat pintu gerbang terdapat meriam yang digunakan oleh pasukan milik Hamengkubuwana III. Tidak seperti meriam peninggalan Belanda, di badan meriam ini tertulis dalam huruf Jawa. Bisa dibayangkan, rupanya persenjataan Kesultanan Yogyakarta di masa lalu tidak kalah canggih dengan pemerintah kolonial Belanda.

Malam harinya, kami kembali ke Museum Sonobudoyo untuk menonton pertunjukan wayang kulit. Tidak seperti wayang kulit klasik yang ditampilkan semalam suntuk, wayang kulit di museum Sonobudoyo ini hanya berdurasi 2 jam, dari pukul 20.00-22.00 WIB. Pertunjukan menampilkan cerita Ramayana yang dibagi dalam 8 episode, masing-masing episode berdurasi 2 jam dan dimainkan secara bergiliran setiap malam. Karena dalang memainkan wayang kulit sesuai pakem, termasuk penggunaan bahasa Jawa yang tidak umum didengarkan sehari-hari, maka bagi mereka yang tidak mengerti jalan ceritanya mungkin akan merasa pertunjukkannya membosankan. Namun saya kebetulan seorang penggemar wayang, sehingga walaupun tidak mengerti bahasanya, saya bisa mengira-ngira jalan ceritanya. Malam itu kami menonton episode Hanoman Duta, di mana Hanoman, kera putih sakti, diutus Sri Rama untuk datang ke Alengka melihat kondisi Sinta yang diculik Rahwana. Setelah bertemu Sinta, dalam perjalanan kembali ke Sri Rama, Hanoman sempat memporak-porandakan dan membakar Alengka. Dari sekian banyak penonton, barangkali selain dalang dan pemain gamelan serta sinden, hanya kami ber-4 yang pribumi, selebihnya adalah turis mancanegara. Namun para turis tersebut silih berganti keluar-masuk ruang pertunjukan, dan di akhir pertunjukan hanya tersisa 2 orang turis yang setia menonton dari awal. Yang menarik dari pertunjukan ini, panggung dibuat sedemikian rupa, sehingga penonton dapat memilih mau menonton dari mana, mau dari belakang dalang atau dari balik layar. Keduanya memberikan sensasi yang berbeda, jika kita menonton dari belakang dalang kita dapat melihat warna tokoh-tokoh wayang dan dapat dengan mudah membedakan masing-masing tokoh, sedangkan jika kita menonton dari balik layar, kita dapat melihat bayangan tokoh-tokoh wayang, di mana tatahan pada kulit membuat bayangan tersebut menjadi indah dan hidup.

Tuesday, July 26, 2011

Ullen Sentalu, Menyingkap Kehebatan Para Putri dari balik tembok Keraton

Hari ini hari Jum'at, jadi setelah selesai Shalat Jum'at kami bergegas menuju ke daerah Kaliurang. Karena kami sempat berhenti dulu untuk makan siang, kami baru tiba di museum Ullen Sentalu pukul 15.00, 1 jam menjelang waktu tutup museum. Ketika kami pergi ke loket untuk membeli tiket, petugas museum berkata bahwa kami belum bisa membeli tiket, karena saat ini museum sedang mati listrik, dan karena museum terletak di bawah tanah, maka kondisi museum akan gelap gulita. Kami sempat kecewa, sudah jauh-jauh kami mencapai museum ini, masa' harus kembali dengan tangan hampa?

Papan Nama Museum Ullen Sentalu

Pada akhirnya, petugas museum menawarkan apakah kami mau masuk ke museum dengan lampu darurat. Pikir punya pikir, tidak ada salahnya juga, barangkali malah jadi petualangan yang seru dan unik, melakukan kunjungan di museum dengan lampu darurat, macam Night of the Museum. Akhirnya kami membeli tiket seharga Rp 25.000,-, dan setelah menunggu sejenak di gerbang museum, kami dijemput mbak Tya, tour guide kami hari ini. Sebelum memasuki museum, di dekat pintu masuk terpasang peraturan yang menyatakan bahwa kami tidak boleh memotret di dalam museum. Yaaaaaa… (sebenarnya sudah tahu sejak lama sih, tapi tetap saja : yaaa..... )

Melangkahkan kaki melewati pintu masuk, kami disambut pemandangan hutan pinus dan hawa khas pegunungan yang sejuk. Duh, serasa masuk dunia lain, sangat berbeda dengan hiruk pikuk kota Yogyakarta. Tempat pertama yang kami masuki adalah Guwa Selo Giri. Sebenarnya ini bukan gua alam, tapi lorong berdinding batu yang dibangun mengikuti bentuk Sumur Gumuling. Dinding lorong ini terbuat dari batu andesit gunung Merapi, dengan rancangan bergaya Gothic. Sebenarnya lorong ini dilengkapi lampu, namun berhubung listriknya (masih) mati, jadi lampu darurat yang dibawa mbak Tya membuat suasana yang sudah gelap menjadi semakin syahdu dan mendebarkan! (serasa ikut syuting Dunia Lain...)

Akhirnya kami tiba di ruangan pertama, yaitu Ruang Selamat Datang. Di ruangan ini terdapat panel yang menjelaskan sejarah pendirian Museum Ullen Sentalu. Dari keterangan mbak Tya, kami tahu bahwa museum ini bertujuan untuk melestarikan peninggalan budaya Jawa yang merupakan keturunan Mataram Islam, yaitu keraton Yogyakarta, keraton Surakarta, pura Mangkunegaran dan puri Pakualaman. Sebagian besar koleksi museum berfokus pada putri-putri keraton, di mana pada masanya kisah tentang peranan mereka tidak pernah muncul dan tersimpan di balik tembok keraton. Di tengah ruangan terdapat patung Dewi Laksmi, atau di Indonesia dikenal sebagai Dewi Sri, dewi tanaman padi yang melambangkan kesuburan. Patung ini berasal dari masa kerajaan Mataram Hindu, barangkali untuk mengingatkan kembali bahwa kerajaan-kerajaan besar di Jawa lahir di sekitar gunung Merapi.

Ruangan berikutnya adalah Ruang Seni Tari dan Gamelan di sisi kanan Ruang Selamat Datang. Masih di tengah kegelapan (dan hanya diterangi lampu darurat, sambil degdegan mudah-mudahan baterainya tidak habis di tengah-tengah...), di tengah ruangan terdapat seperangkat gamelan yang merupakan hibah dari GBPH Yudha Ningrat, adik Sultan HB X dari Yogyakarta. Di dinding terdapat beberapa lukisan yang menampilkan tari-tarian yang diciptakan atau ditarikan oleh keluarga keraton. Rupanya di masa lalu, seorang Raja tidak boleh hanya tahu masalah politik, mereka juga harus menguasai kesenian, sehingga setidaknya mereka menciptakan sebuah tarian. Salah satu lukisan menampilkan tarian ciptaan HB IX mengenai putri dari Jawa dan putri Campa yang memperebutkan pangeran Jayengrono.

Kami melanjutkan perjalanan ke lorong di sisi kiri Ruang Selamat Datang. Ketika mbak Tya mencoba menyalakan lampu, ternyata listrik sudah menyala! Hore, dunia kembali terang! Kami pun kembali menyimak penjelasan mbak Tya. Di sepanjang dinding lorong terpasang foto dan lukisan yang melukiskan raja-raja dan putri-putri dari empat kerajaan keturunan Mataram Islam : Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran dan Pakualaman. Masing-masing foto dan lukisan memiliki cerita yang menarik, misalnya Sultan HB IX yang memiliki nama Belanda Henkie, kemudian Sunan PB XII yang ganteng dan sangat dekat dengan ibundanya, Raden Ayu Kuspariyah - ibunda Sunan PB XII yang merupakan wanita modern dan pintar main piano, Sunan PB X yang merupakan raja terkaya di Jawa, Paku Alam VII dan permaisurinya Gusti Retno Puwoso yang berbusana Jawa dengan gaya modern, Gusti Nurul - putri Mangkunegara VII yang modern dan menolak poligami, serta Gusti Partini - putri Mangkunegara VII yang senang menulis dan pernah menerbitkan cerita rakyat Ande-Ande Lumut dengan nama samaran Antipurbani. Rasanya saya tidak akan bosan jika disuruh mengulang kembali memasuki lorong ini, ternyata begitu banyak peranan dan prestasi para putri di balik suksesnya kerajaan-kerajaan keturunan Mataram ini! Satu hal lagi, ketika mbak Tya mematikan lampu lorong dan kami beranjak meninggalkan lorong yang penuh foto dan lukisan ini, saya bisa menduga kenapa kami tidak boleh memfoto. Bukan karena museum ini takut lukisannya ditiru, tapi lebih karena mereka mengharapkan kita menghargai nilai-nilai yang terkandung dibalik kisah yang melatarbelakangi foto atau lukisan yang dipajang.

Kami kemudian beralih ke lokasi berikutnya, yaitu areal Kampung Kambang. Tempat ini dibangun mengikuti konsep Bale Kambang, di mana setiap ruangan terletak di atas kolam air. Ruangan pertama yang kami masuki adalah Ruang Syair untuk Tineke. Ruangan ini berisi surat-surat untuk GRAj Koes Sapariyam, putri Sunan PB XI, yang memiliki panggilan akrab Tinneke. Surat-surat yang ditulis antara tahun 1939-1947 ini ditemukan dalam buku kecil di ruangan Kaputren Keraton Surakarta, berisi puisi dan syair tersebut ditulis oleh kerabat dan teman-teman beliau dalam bahasa Belanda. Surat-surat ini ditujukan untuk menghibur Tineke yang sedang bersedih hati, karena ibunda beliau, Ibu Ageng, tidak menyetujui kekasih pujaan hatinya. Para putri penulis surat tersebut juga tak lupa menempelkan foto di surat tersebut, ah, rupanya tak hanya pandai dalam seni sastra, mereka pun ingin ikut eksis dalam surat mereka!

Beralih ke ruang berikutnya, kami masuk ke Royal Room Ratu Mas. Ratu Mas adalah permaisuri Sri Susuhunan Pakubuwono X, penguasa Keraton Surakarta. Di dalam ruangan ini dipamerkan lukisan Ratu Mas, foto-foto beliau bersama Sunan PB X dan putri mereka, serta pernak-pernik kelengkapan busana beliau. Salah satu koleksi yang menarik perhatian kami adalah koleksi topi beliau. Konon, topi-topi yang lucu tersebut adalah rancangan beliau sendiri, dan dibuat di Perancis. Wah, ternyata di masa lalu, para permaisuri ini tidak hanya modis dalam berbusana Jawa, mereka pun modis dalam berbusana ala Eropa!

Dari Royal Room Ratu Mas, kami beranjak ke ruangan batik. Terdapat dua ruangan yang menampilkan koleksi batik, satu ruangan khusus batik keraton gaya Surakarta dari masa PB X hingga PB XII, ruangan satunya adalah khusus batik keraton gaya Yogyakarta dari masa HB VII dan HB VIII. Keterangan mbak Tya tentang batik-batik ini mengingatkan kembali pada kami bahwa batik tidak sekedar kain dengan motif hias, namun memiliki makna filosofis yang mendalam. Salah satunya adalah motif Parang Sujen, parang bermakna pedang yang berarti perang, sehingga jika kita ingin menghadap raja, maka jangan sekali-sekali mengenakan motif ini, karena bisa dianggap menentang raja.

Ruangan berikutnya adalah ruangan yang wajib diinikmati, yaitu Ruang Putri Idaman. Ruang ini merupakan album hidup GRAy Siti Nurul Kamaril Ngarasati Kusumawardhani Soerjosoejarso, atau lebih dikenal dengan nama Gusti Nurul. Putri tunggal HRH Mangkunegara VII dengan permaisuri GKR Timur Mursudariyah ini merupakan salah satu putri tercantik di masanya, sehingga banyak pangeran yang ingin meminangnya. Walaupun tinggal di dalam lingkungan keraton, Gusti Nurul memiliki gaya dan pandangan hidup yang cukup modern untuk masa itu. Beliau bersekolah di sekolah Belanda, serta gemar melakukan hal-hal yang tidak lazim dilakukan oleh putri keraton pada masa itu, seperti main tenis, berenang, dan berkuda. Kegemaran berkudanya tidak main-main, karena beliau beberapa kali memenangkan berbagai perlombaan berkuda.

Gusti Nurul juga dikenal dengan keberaniannya dalam mendobrak kebiasaan-kebiasaan lama, salah satu diantaranya adalah beliau berprinsip tidak mau dipoligami. Akhirnya beliau menikah dengan KPH Soerjosoerarso, seorang perwira Angkatan Darat, dan mereka tinggal di Bandung. Saya sendiri pernah melihat Gusti Nurul dari dekat di Keraton Mangkunegaran, ketika sedang mengantarkan nenek saya (almh.) mengikuti acara reuni Varia Orang Jauhari (VOJ) di Solo tahun 1996. Gusti Nurul merupakan salah satu aktivis VOJ di Cabang Bandung, dan bukan main, walaupun usia beliau sudah sepuh, namun aura kebangsawanan beliau masih terpancar dengan jelas!

Akhirnya, kami tiba di area luar museum. Mbak Tya kemudian membawa kami ke Sasana Sekar Bawana, melewati koridor Retja Landa. Koridor ini memajang arca dewa dewi dari abad 8-9 Masehi, atau dari masa perkembangan agama Hindu dan Buddha di tanah Jawa. Salah satu arca yang saya ingat adalah arca Ganesha, dewa ilmu pengetahuan dalam mitologi Hindu.

Di belakang koridor Retja Landa, terdapat ruang Sasana Sekar Bawana. Di dalam ruangan ini terdapat lukisan dan patung. Lukisan pertama yang kami temui adalah lukisan Sri Sultan HB X dan permaisuri Ratu Hemas sedang menerima kunjungan kenegaraan dari Pangeran Charles dan Putri Diana almh. Lukisan ini mencerminkan bahwa hubungan antara Kerajaan Inggris dan Kesultanan Yogyakarta berlangsung sangat harmonis. Di sisi kiri lukisan PB X, terdapat lukisan tari Bedaya Ketawang sedang ditarikan di hadapan Panembahan Senapati. Bedaya Ketawang termasuk tarian yang sakral, dan hanya boleh ditarikan oleh para gadis yang sedang dalam masa suci. Tarian ini ditarikan oleh 9 orang, dan dipercaya bahwa di tengah-tengah tarian, Kanjeng Ratu Kidul akan turut menari sebagai penari ke-10. Dalam lukisan tersebut, kehadiran Kanjeng Ratu Kidul ditampilkan dalam bentuk penari ke-10 yang menerawang di atas penari-penari lainnya.

Lukisan terakhir yang wajib dilihat adalah lukisan Paes Ageng, atau tata rias pengantin wanita gaya Yogyakarta. Paes Ageng merupakan busana pengantin dari keraton, dan sampai dengan masa pemerintahan Sultan HB VIII hanya boleh digunakan oleh kerabat raja. Namun pada masa pemerintahan Sultan HB IX, Paes Ageng boleh digunakan untuk masyarakat umum. Tak hanya dalam bentuk lukisan, pengantin wanita yang mengenakan Paes Ageng ini juga diabadikan dalam bentuk patung.

Di akhir kunjungan, kami beristirahat sejenak di ruangan Bale Nitik Rengganis. Tak lupa kami disuguhi minuman spesial, resepnya merupakan warisan Gusti Kanjeng Ratoe Mas, permaisuri Sunan PB X. Sambil icip-icip minumannya, kami menduga-duga, barangkali isinya terdiri dari jahe, cengkeh dan gula jawa, serta kandungan lain yang kita tidak tahu. Konon, minuman ini memberi kesehatan dan awet muda.


Bale Nitik Rengganis


Sebelum pulang, kami sempat mampir ke toko souvenir Muse yang terletak di bawah Restoran Beukenhof. Toko Muse menjual berbagai produk UKM yang dibina yayasan Ulating Blencong. Banyak diantara pernik-pernik yang dijual bergambar lukisan-lukisan yang ada di dalam museum, seperti yang tergambar pada gantungan kunci, magnet kulkas, atau mug. Sayang sekali, hari telah senja, dan masih banyak agenda yang harus kami laksanakan di Yogyakarta, sehingga setelah memberi beberapa cenderamata kami bergegas meninggalkan tempat yang indah ini, dengan membawa sejuta kenangan dan pengetahuan yang tak mudah kami lupakan.


Salah Satu Sudut Museum Ullen Sentalu


Tuesday, June 14, 2011

Ke Yogyakarta aku kan kembali

Tulisan ini mengawali rangkaian tulisan wisata keliling Yogyakarta yang baru saya jalani di pertengahan bulan Juni yang lalu. Saya tergelitik untuk membuat "preambule" ini, untuk menampung beberapa pengalaman menarik selama di Yogyakarta yang tak bisa saya masukkan dalam tulisan-tulisan berikutnya.
Berawal dari ketika saya mendarat di Yogyakarta dan naik taksi menuju hotel pertama saya di Jl. Dagen, di sekitar Malioboro. Kenapa hotel pertama? Karena beberapa hari kemudian, saya pindah hotel ke Jl. Parangtritis. Alasan kepindahan ini bukan karena saya tidak suka hotel yang di Jl. Dagen, tapi karena pada hari tersebut saya bergabung dengan rombongan yang lebih besar, dan karena alasan operasional kami memilih menginap di Jl. Parangtritis. Dua daerah ini memiliki atmosfer yang berbeda, dan saya menikmati dua-duanya.
Bagi mereka yang ingin mendekati keramaian, sangat disarankan untuk memilih hotel di dekat Malioboro, seperti Jl. Pasar Kembang (yang terkenal karena... ehm... ehm...), Jl. Sosrowijayan dan Jl. Dagen. Atau kalau memang punya anggaran lebih, silakan menginap di hotel bintang di Jl. Malioboro. Sangat mudah mencari tempat belanja dan tempat makan, karena tempat makan dan toko souvenir, baik dalam bentuk toko permanen maupun pedagang pinggir jalan, umumnya baru tutup pukul 21.00. Ketika mereka tutup pukul 21.00, keberadaan mereka digantikan oleh lesehan. Jam 7 pagi, ketika mall, toko batik dan souvenir belum buka, banyak warung-warung tenda yang menjajakan sarapan pagi, tinggal pilih saja, mau sarapan umum seperti bubur ayam, atau sarapan khas Yogya seperti gudeg?
Ketika pindah ke daerah Jl. Parangtritis, saya merasakan agak sulit untuk memuaskan hasrat berbelanja, karena di sepanjang Jl. Parangtritis jarang terdapat toko yang menjual souvenir atau oleh-oleh. Tak hanya hasrat berbelanja, bahkan untuk makan pun agak sulit mencari tempat yang representatif, karena restoran atau kafe yang ada umumnya dirancang untuk memenuhi kebutuhan para wisman, misalnya suasananya agak remang-remang (duh, males banget deh kalau harus makan di tempat seperti ini!). Hanya ada satu-dua restoran yang representatif, itu pun terkadang harus berjalan kaki agak jauh dari hotel. Namun bagi mereka yang mencari ketenangan dan keteduhan (alih-alih mencari keramaian), atmosfer di daerah Jl. Parangtritis sangat cocok untuk anda kunjungi. Tinggal pilih, mau merenung di hotel yang pakai kolam renang, atau mau menyepi di hotel bergaya rumah Jawa klasik, semua ada di Jl. Parangtritis.
Kembali ke saat pertama saya mendarat di Yogyakarta dan naik taksi ke Jl. Dagen. Ini bukan pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Yogyakarta, namun barangkali baru kali ini saya pergi ke Yogyakarta dengan nawaitu untuk berwisata secara full-time dalam durasi yang panjang. Selama ini saya pergi ke Yogyakarta dengan tujuan untuk berdinas, acara keluarga, atau hanya numpang lewat saat pulang mudik Lebaran. Sangat jarang saya bisa berwisata secara full-time, sehingga kedatangan kali ini cukup istimewa bagi saya. Mungkin karena itu, saya merasakan atmosfer yang agak berbeda ketika melihat suasana sepanjang jalan menuju ke hotel. Selama ini saya beranggapan, Yogya lebih mirip Bali, tempat liburan favorit semua orang, apalagi dengan banyaknya wisman yang berkunjung ke Yogya. Tapi kenapa saya justru merasa kota ini lebih mirip Bandung, yang penuh dengan kreativitas warganya? Mungkin karena sepanjang jalan, saya melihat banyak poster yang mempromosikan acara-acara di kota Yogya, mengingatkan saya pada suasana Jl. Cihampelas. Namun ada satu hal unik yang saya rasakan di Yogya. Saya merasakan bahwa di tengah kota Yogya yang modern, masih terasa hawa tradisional yang sangat kental. Sangat besar kemungkinan hal ini dipengaruhi dengan keberadaan keraton Yogyakarta, di mana kami merasakan sendiri bahwa rakyat Yogya memang bangga terhadap Kesultanan Ngayogyakarta, tak hanya mereka yang masih tinggal di Yogya, tapi juga mereka-mereka yang sudah pindah ke daerah lain. Kebanggaan ini yang tidak saya rasakan di tempat lain, bahkan di "negara tetangga" keraton Solo, rasanya hiruk-pikuk masyarakatnya tidak sedinamis kota Yogyakarta.
Hari pertama di Yogya, saya menikmati sore hari di Jl. Malioboro. Saya sempat mencoba naik delman dengan rute Kotagede-Jl. Rotowijayan-Bakpia Pathuk-kembali ke Jl. Malioboro. Untuk rute sejauh itu, saya membayar Rp 50.000. Tentu saja, pak kusir membawa saya mampir ke toko-toko suvenir, seperti toko kerajinan perak, toko Dagadu, toko batik, dan toko oleh-oleh di Pathuk. Sudah jadi rahasia umum, bahwa pak becak, pak kusir dan supir rental mendapat persenan apabila membawa tamu mengunjungi toko-toko suvenir seperti itu. Yah, namanya sama-sama cari rejeki, mudah-mudahan barokah ya Pak... Ketika saya keluar dari salah satu toko, saya baru memperhatikan, rupanya tiap kali kami berhenti, pak kusir memberi makan kudanya. Tadinya saya pikir rumput dan air itu disediakan oleh pemilik toko, rupanya rumput dan air itu dibawa dalam ember besi, dan digantung di bawah delman! Oalah, kasihan kudanya, sudah harus menarik delman, masih ketambahan beban satu ember besar air dan rumput!
Selama melintas di Jl. Malioboro, saya baru sadar, salah satu keunikan Jl. Malioboro adalah "one-stop-shopping". Bukan sekedar karena semua oleh-oleh khas Yogya (baik makanan maupun barang) bisa diperoleh di Jl. Malioboro, namun di Jl. Malioboro kita bisa menemukan banyak hal : toko souvenir, makanan khas Yogya, pasar tradisional, mall modern, wisatawan lokal, wisatawan mancanegara, kantor pemerintahan, becak, delman, mobil, pengamen bergitar, pengamen angklung, wisata sejarah (ada benteng Vredeburg), budget hotel, dan hotel berbintang. Di mana lagi saya bisa menemukan lokasi selengkap ini?
Salah satu kesulitan dalam mengatur perjalanan di Yogya adalah masalah itinerary. Sebenarnya, jarak antar lokasi di Yogya satu sama lain tidak terlalu jauh. Yang bermasalah justru mengatur waktunya, karena kebanyakan tempat menarik di Yogya buka jam 8-9, dan jam 2 siang sudah tutup, padahal dalam 1 tempat banyaaaak sekali yang harus dilihat. :( Dalam waktu 1 hari, paling-paling hanya bisa ke 1-2 tempat, padahal daftar tunggu yang harus dikunjungi di Yogya sudah sedemikian panjang. Untuk mengatasi ini, mau tidak mau saya harus menyusun prioritas, dan prioritas yang saya buat berdasarkan beberapa hal : tempat tersebut menarik atau tidak, ramai atau tidak, pernah dikunjungi atau tidak, aksesnya susah atau tidak, dlsb. Setelah melakukan survey kecil-kecilan di internet, akhirnya saya memutuskan mencoret beberapa tempat, karena ternyata tempat tersebut tidak ramai dikunjungi orang alias sepi, malas kan kalau harus berwisata di tempat sepi?
Akhirnya, setelah seminggu menikmati suasana kota Yogyakarta, saya berkesimpulan Yogya memang merupakan perpaduan antara Bali dan Bandung, di mana keindahan alam, peninggalan tradisional dan para wisman berpadu dengan kreativitas warga di tengah kehidupan sehari-hari masyarakat Yogyakarta. Dan dengan begitu banyak tempat menarik yang harus dikunjungi (mulai dari museum, desa wisata, tempat kerajinan, dan jangan lupakan wisata kuliner!), rasanya seminggu di Yogya tak cukup, jadi kapan-kapan saya harus kembali lagi ke Yogyakarta...

Friday, May 27, 2011

Surabaya Heritage Track

Beberapa minggu yang lalu saya menyempat(-nyempat)kan diri untuk ikut Surabaya Heritage Track (SHT). Udah lama tahu ada program ini, tapi baru berkesempatan untuk mengikutinya kali ini.
Begitu pesawat mendarat di Juanda, setelah mengambil bagasi dan menemukan mobil rental yang saya pesan sebelumnya, kami meluncur ke kawasan Surabaya Utara, tepatnya ke House of Sampoerna (HoS), sebuah gedung sekaligus museum yang menyimpan benda-benda bersejarah milik PT Sampoerna, salah satu korporasi besar Indonesia yang lahir di Surabaya.
Saya sudah 2 kali ke HoS, dan ini kali ke-3 saya ke sana. Situasi masih tetap sama, ketika memasuki pintu museum, tercium aroma tembakau yang kuat, diiringi musik-musik jazz klasik, ditambah perabot-perabot antik koleksi pendiri PT Sampoerna, membuat saya sejenak kembali ke masa lalu. Benda-benda yang dulu saya lihat sebagian besar masih ada, namun banyak juga yang sudah tidak terlihat, seperti fasilitas multimedia di bagian belakang museum. Ketika saya ke lantai atas untuk liat toko suvenir, perasaan kios yang jualan suvenir ukurannya makin kecil, tapi jualan batik (khususnya batik Madura) malah makin banyak. Berarti batik Madura lagi trend neh...
Namun saya tak bisa berlama-lama menikmati suasana jadul di museum, karena hari itu perjalanan SHT hanya ada 3 kali, dan saya harus segera mendaftar sebelum kehabisan tempat. Benar saja, hampir aja saya kehabisan tempat, untung masih ada tempat untuk 1 orang! Karena hari ini adalah akhir pekan, jadi saya kebagian rute panjang (1,5 jam).
Sebelum berangkat, untuk mengisi waktu saya masuk ke cafe di sisi Timur museum. Bagi mereka yang senang wisata kuliner tradisional, apalagi mencari makanan khas Surabaya/Jawa Timur, cafe ini mungkin kurang cocok, soalnya mereka menjual makanan Asia yang umum, sama makanan Barat. Tapi buat mereka yang suka nongkrong, kafe in te o pe be ge te, karena menampilkan suasana jadul yang cozy, namun dengan pelayanan yang modern. Di saat bersamaan, terdapat 20 orang bule yang lagi makan di sana. Klo liat bahasanya, kemungkinan orang Belanda, tapi kayanya ga mungkin mereka-mereka yang lagi bernostalgia pernah tinggal di Indonesia, soalnya kelihatan relatif muda. Dan kayanya mereka menikmati banget suasana kafe dan makanannya... saya juga kok...
Usai makan, masih ada sedikit waktu menunggu keberangkatan, jadi saya menyempatkan diri melihat pameran di galeri yang terletak di belakang kafe. Rupanya hari itu lagi ada pameran tenun ikat dari suku Sikka, pulau Flores, NTT. Dengan ramah tamah mereka menjelaskan cara membuat tenun ikat, mulai dari panen kapas, memintal benang dari kapas, membuat pola dengan mengikat benang (kira-kira mirip tie-dye, tapi ikatannya kecil-kecil dan banyak), mencelup benang dengan warna alam, baru kemudian ditenun. Seru, karena cara membuatnya diperagakan secara live! Untuk pewarna alam, warna biru mereka dapatkan dari pohon nila, warna merah dari kulit kayu ditambah kemiri, warna kuning dari kunyit dan kulit pohon nangka, warna hijau dari buah nila, kunyit dan daun pohon nangka. Gara-gara melihat ini semua, saya jadi maklum kenapa harga tenun ikat jadi mahal sekali, dan membuat saya makin menghargai karya seni anak bangsa ini.

Jam 14.55, pintu "trem" SHT dibuka (tepatnya itu adalah bis tanggung yang casing-nya dibuat mirip trem, kendaraan umum yang dulu malang melintang di Surabaya), dan para tracker (demikian mereka menyebut peserta SHT) mulai mengambil tempat di trem. Tepat pukul 15.00, trem berangkat dari HoS. Saat berangkat, Mas-Mas Guide menjelaskan bahwa program SHT ini terselenggara atas kerjasama PT Sampoerna dengan Pemda Surabaya (duh, harus ada sponsor dulu ya baru bisa ada program bagus kaya beginian...) Mas-Mas Guide mulai menjelaskan bangunan bersejarah dan gedung-gedung tua (dan terkadang tak terawat :( ) yang ada di seputar Surabaya Utara, mulai dari (mantan) Penjara Kalisosok, gedung Internatio tempat tewasnya Brigjen Mallaby, Jembatan Merah, Tugu Pahlawan, Siola (yang rencananya akan direvitalisasi lagi jadi pusat perbelanjaan), Hotel Majapahit (d/h hotel Oranje tempat perobekan bendera Belanda jadi merah putih), Gedung Grahadi dan Balai Pemuda. Sayang, si Mas-Mas Guide ga mention patung Joko Dolog yang tersembunyi di taman Apsari, yang letaknya kira-kira di depan Gedung Grahadi.
Di Balai Kota, para tracker turun dan dibawa ke lobi Balai Kota untuk melihat patung suro-boyo dan sejarah kota Surabaya (dan gedung balai kota khususnya). Bangunan ini sebenarnya bangunan tua, tapi tidak terlihat jadul. Rupanya terdapat banyak versi tentang asal mula nama suro-boyo, mulai dari versi fabel dari Von Faber, sampai versi sejarah untuk memperingati kemenangan pasukan Majapahit atas serbuan tentara Mongol. Wait, kemaren mas-masnya menyebut kemenangan pasukan Singosari, waduh, kayanya kita harus baca buku sejarah lagi, yang perang ama tentara Mongol itu pasukan Majapahit!

Dari Balai Kota, rombongan bergerak lagi ke pemberhentian selanjutnya di Gedung Cak Durasim. Di perjalanan, Mas-Mas Guide ga lupa menyebutkan titik-titik wisata kuliner terkenal di Surabaya, seperti salah satunya sate klopo Ondemohen. Wah, harus dicoba bo... Mas-mas Guide juga menyebutkan, bahwa HoS kadang-kadang punya program SHT tematik di luar program reguler yang gratisan, misalnya bulan Mei 2011 ini mereka punya program kunjungan ke museum-museum ga umum di Surabaya, seperti Museum Loka Jala Srana (yang terletak di kompleks AAL), Museum Kesehatan (yang lebih dikenal sebagai Museum Santet), dan Museum Perjuangan (1 kompleks dengan Tugu Pahlawan). Tarifnya murah meriah juga, berkisar antara Rp 1500-3000 per orang. Kalau saya hitung-hitung, itu sebenernya cuman untuk mengganti tiket masuk ke museum, tapi kan lumayan, masuk museumnya raramean!
Di Gedung Cak Durasim, para tracker dipersilakan turun lagi. Konon gedung ini tadinya merupakan kraton Kanoman Kadipaten Surabaya, di bawah pimpinan Adipati Jayengsrono. Mengenai kebenarannya, akan kita cek lagi di Wikipedia. Gedung ini merupakan gedung kesenian yang menjadi pusat pengembangan kebudayaan Jawa Timur. Sayangnya, pas kami berkunjung sedang tidak ada event kebudayaan, jadi kami hanya melihat-lihat saja. Sayangnya juga, si Mas-Mas Guide ga menjelaskan siapakah Cak Durasim, dan apa jasanya sehingga namanya diabadikan menjadi nama gedung kesenian tersebut.

Tanpa terasa, sudah 1 jam 20 menit kami keliling Surabaya Utara, dan sudah waktunya mengakhiri perjalanan yang seru ini. Bagi saya, orang luar Surabaya yang cukup sering ke Surabaya (dan pernah melintasi rute tersebut sehingga gedung-gedung itu tidak asing lagi bagi saya), ide tournya OK banget (pengennya di Jakarta juga ada yang kaya begini, ada ga ya?), cuman kurang "nendang" sedikit, perlu tambahan polesan-polesan dan pengetahuan yang lebih dalam, sehingga Mas-Mas Guide-nya bisa "ngoceh" lebih seru lagi mengenai sejarah masing-masing gedung bersejarah itu. Tapi klo melihat para tracker, kayanya cuman saya aja yang bukan orang Surabaya, sisanya adalah orang Surabaya, and they all enjoy the trip, so it's worthed to have the trip!

Saturday, February 26, 2011

Kebun Raya Bogor, Riwayatmu Kini

Hari Sabtu yang lalu, saya akhirnya "berhasil" ke Bogor (secara pergi ke Bogor belum tentu setahun sekali...), dan tentu saja, tak lupa saya mengunjungi Kebun Raya Bogor, the most popular tourist attraction in Bogor.

Sebenernya, dari rumah saya sudah membuat list tempat-tempat menarik untuk dikunjungi selain Kebun Raya Bogor, seperti Museum Peta, Museum Tanah, Museum Etnobotani, dlsb dlsb. Tapi begitu dicek lagi di internet, ternyata museum-museum itu tidak buka pada hari Sabtu atau Minggu! Ooo... (kumaha atuh, niat gak sih memajukan wisata Bogor? Gimana gak kalah populer ama Kota Tua Batavia...) Jadi balik lagi deh ke Kebun Raya, yang udah pasti buka pada hari Sabtu dan Minggu. (btw, pantesan aja Mbak-Mbak penulis buku 99 Tempat Wisata Akhir Pekan di Jawa dan Madura itu ga memasukkan museum-museum ini dalam buku mereka...wong tiap akhir pekan mereka tutup!)

Pertama kali mencapai wilayah sekitar Istana Bogor dan Kebun Raya, kami sempat memutari area itu 1x untuk mencari parkir, sebelum akhirnya memutuskan memasukkan mobil ke area Kebun Raya. Ceritanya sebenarnya kami ingin melakukan "green tourism", namanya ke Kebun Raya, harusnya area itu bebas kendaraan bermotor, ya tho? Tapi kenyataannya malah mobil-mobil dan motor-motor pengunjung bisa masuk ke area Kebun Raya, dan justru sepeda, kendaraan yang bebas polusi (tapi tidak bebas ngos-ngosan) ini yang gak boleh masuk! Aneh... tapi ada hikmahnya juga, karena mobil masuk ke area Kebun Raya, Insya Allah bisa parkir di tempat yang enak, ga perlu kuatir lecet kena senggolan angkot-angkot yang berada di jalan raya seputar area Kebun Raya. Kami juga berpikir, mungkin sepeda ga boleh masuk area Kebun Raya, karena takut dipake' untuk off road di antara tumbuh-tumbuhan cantik itu. O ya, kalau mobil boleh masuk dan boleh berkeliling di Kebun Raya, motor pengunjung hanya boleh parkir di dalam dan ga boleh dipake keliling Kebun Raya. Jadi lumayan juga, selama kami berjalan keliling Kebun Raya, walaupun sesekali ada "gangguan" berupa mobil yang mau lewat, tapi tidak ada motor pengunjung, paling-paling ketemu motor petugas Kebun Raya. Bisa kebayang, klo motor pengunjung boleh keliling Kebun Raya, jangan-jangan nanti bikin macet di dalam...

Setelah membayar tiket masuk Rp 9500 per orang dan Rp 15.500 per mobil, kami menuju lokasi pertama : Museum Zoologi. Dulu, sampai dengan tahun 2005 (terakhir kali saya ke sini), Museum Zoologi dikelola secara terpisah dari Kebun Raya Bogor, walaupun pengunjung Kebun Raya bisa masuk ke Museum Zoologi lewat pintu belakang, dan harus beli karcis lagi. Sekarang, karcisnya memang mahal, tapi dengan harga segitu kita bisa masuk ke 2 tempat. Dan dari dulu, Museum Zoologi selalu buka setiap akhir pekan, mungkin karena dari dulu peminatnya cukup banyak, terutama "limpahan" dari pengunjung Kebun Raya. Saat kami datang ke Museum Zoologi, di taman depan area museum sedang ada acara reuni yang cukup ramai. Wah, boleh juga nih idenya, kapan-kapan bikin arisan di Kebun Raya...

Masuk ke Museum Zoologi, sempat berpikir, rasanya kok ada yang aneh... (padahal koleksinya dari dulu tidak berubah, masih itu-itu saja). Ketika saya mencoba menelusuri nomor pajangan secara urut, kelihatannya masih urut kok, cuman arahnya memang jadi rada aneh... Baru ketika kami melewati sebuah ruangan kecil yang tidak ada koleksinya, kami baru sadar, dulu tempat itu adalah lobi/pintu depan Museum Zoologi. Sekarang pintu itu ditutup, dan pengunjung harus masuk lewat Kebun Raya Bogor. Memang koleksi Museum Zoologi dari dulu masih itu-itu saja dan cuman segitu-gitu aja, tapi menurut saya museum ini sangat informatif dan sangat bernilai edukatif. Primadona museum ini adalah (masih) kerangka ikan paus biru yang mati terdampar di Pameungpeuk tahun 1916. Dan yang menyenangkan mengunjungi museum ini, museumnya sangat ramai... Apalagi hari itu ada kunjungan dari beberapa rombongan, salah satunya adalah SMP dari Bekasi, mereka mungkin ada 10 kelas yang lagi karyawisata, membuat museum Zoologi dan Kebun Raya jadi penuh (soalnya hampir di setiap sudut Kebun Raya kami bertemu mereka atau guru-gurunya!).

Kerangka Ikan Paus Biru

Setelah puas melihat-lihat Museum Zoologi, kami lanjut ke Kebun Raya. Target pencarian kami adalah taman-taman yang merupakan peringatan atas jasa-jasa para pendiri dan kepala Kebun Raya terdahulu. Yang menyenangkan adalah Kebun Raya tetap dijaga bersih, tidak jorok atau terlihat banyak sampah di mana-mana. Untuk berjalan santai mengelilingi Kebun Raya, dibutuhkan waktu kurang lebih 2 jam, wah, rasanya keringat sudah di mana-mana. Kami sempat melihat ada makam Belanda yang tersembunyi di antara koleksi tanaman bambu, ketika kami melihat ke sana, tiba-tiba angin bertiup kencang, membuat rumpun-rumpun bambu itu berbunyi seperti menyayat hati... kok jadi merinding ya...

Selama berkeliling Kebun Raya, di setiap sudut terlihat banyak pengunjung melakukan berbagai kegiatan. Ada yang hanya duduk-duduk di tepi danau, ada yang berkumpul sambil berdiskusi, ada juga yang hunting foto, ada juga yang lagi foto gaya (bukan cuman foto narsis, tapi memang foto untuk pre-wed atau model) ada yang berjalan-jalan (terutama kalau ketemu turis asing, biasanya mereka berjalan keliling Kebun Raya), ada juga yang lagi ehem... ehem.... Walaupun sesekali ada mobil melintas, membuat para pejalan kaki ini harus minggir sejenak, tapi pada umumnya hawa di Kebun Raya cukup segar, mengingatkan kita akan kebutuhan untuk berelaksasi di tempat yang menyenangkan setelah selama seminggu dihujani kesibukan.

Ada beberapa spot yang harus dikunjungi, antara lain Monumen Lady Raffless, Kolam Teratai (yang berbatasan langsung dengan bagian belakang Istana Bogor), Taman Mexico (berisi berbagai jenis kaktus yang cantik), Taman Teysmann dan Taman Sujana Kassan (taman terbuka untuk relaksasi), Orchidarium (the real Taman Anggrek, surga para pecinta anggrek), Jalan Astrid (boulevard yang ditanami bunga untuk menyambut kedatangan putri Astrid dari Belgia tahun 1928), dan Jembatan Gantung. Bagi para pecinta tumbuhan, tempat ini bagaikan surga tumbuh-tumbuhan, karena terdapat berbagai macam tumbuhan yang ditanam di sini. Kalau beruntung, anda bisa menemukan Bunga Bangkai yang berbunga setiap 3-4 tahun sekali (biasanya ketika bunga ini mekar, dari pihak Kebun Raya akan mengumumkan, karena bunga ini hanya mekar selama seminggu). O ya, bunga bangkai primadona Kebun Raya ini bukan bunga Rafflesia, walaupun bunga Rafflesia juga seringkali disebut sebagai Bunga Bangkai.

Jalan Astrid

Menjelang pulang dari Kebun Raya, saya menyempatkan untuk mampir ke toko suvenir yang terletak di dekat pintu masuk (sebenernya tadinya gak niat masuk, karena yang kelihatan cuman tumbuh-tumbuhan, tapi rupanya di situ dijual juga suvenir seperti kaos dan buku-buku). Saya membeli pin bergambar Rafflesia Patma (karena gak nemu pin bundar bergambar Bunga Bangkai yang satunya). Doh, kemaren dah jauh-jauh ke Bengkulu, kok nemu pin Rafflesia-nya malah di sini... Klo menurut Mbak penjaga toko suvenir, Kebun Raya Bogor punya koleksi Rafflesia Patma, dan merupakan satu-satunya bunga Rafflesia yang tumbuh di luar Bengkulu. Hanya saja, bunga itu tumbuhnya 81 tahun setelah ditanam... (duh, berapa puluh tahun lagi kami harus menunggu bunga itu mekar di Kebun Raya Bogor?)

Monday, February 21, 2011

Another Episode of Mbatik Yuk : Batik dengan Cap

Tanggal 21 Februari 2011 yang lalu, saya berkesempatan (lagi) untuk ikut kursus Mbatik Yuuk yang diberikan oleh ibu Indra Tjahjani. Kali ini temanya lain dari yang lain : membatik dengan cap. Duh, jadi penasaran...

Sebelum acara cap-capan dimulai, bu Indra kembali memberikan sedikit presentasi tentang batik, apa yang dimaksud dengan "batik", dan jenis-jenis batik yang populer serta maknanya. Ternyata, batik cap masih bisa dikategorikan "batik", karena walaupun tidak menggunakan canting, namun proses pembuatannya kurang lebih sama seperti batik tulis : malam diletakkan membentuk pola di atas kain-kain diberi warna-malamnya di"lorot" (tepatnya dilarutkan dengan air panas), and... voila! Jadilah batik cap!

Selesai presentasi, mulailah kami bereksperimen dengan cetakan batik cap. Pas liat mas-mas yang memperagakan, kok kayanya gampang ya... begitu mencoba sendiri, haduh, ternyata cetakannya panas, euy... mana kalau malamnya kebanyakan, langsung membentuk "noda-noda yang tak diinginkan". Tapi itu tidak mengurangi semangat para peserta untuk mencoba men-cap-kan malam di atas kainnya masing-masing. Setelah acara cap-capan selesai, kainnya masih boleh dihias menggunakan canting atau parafin, sebelum kemudian diberi pewarna. Pas dikasih pewarna terus malamnya dilorot, eh, lumayan juga hasilnya, hehehe...

Lagi-lagi, setelah merasakan sendiri bagaimana (susahnya) membuat batik cap, kembali saya harus menyampaikan rasa kagum kepada bapak-bapak pengrajin batik cap. Cetakan yang mereka pakai jauh lebih besar dari yang kami gunakan saat kursus (dan tentunya lebih berat), namun mereka bisa membatik dengan cepat dan rapih, luar biasa khan? Kesimpulan dari workshop ini adalah : mari kita semakin menghargai hasil karya para pengrajin batik!