Saturday, October 22, 2011

Penerbitan Buku Indie

Di posting yang lalu, saya memperkenalkan buku self-publishing pertama saya, "Catatan Kecil dari Pojok Nusantara". Ini salah satu percobaan penerbitan buku secara Indie, dan ternyata tidak sulit untuk menerbitkan buku secara Indie. Postingan ini merupakan editan dari postingan original di grup Ibu-Ibu Doyan Nulis DKI :

Ide untuk menerbitkan buku secara self-publishing muncul setelah saya ikut Kursus Menulis Online yang diselenggarakan Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN) pimpinan teteh Indari Mastuti.
Kemarin waktu saya ikut KMO, iseng-iseng saya tanya tentang penerbitan Indie, berapa modal yang harus dikeluarkan, dlsb dlsb. Teh Indari merekomendasikan untuk menghubungi mas Anang Yb, karena beliau ada paket produk Rp 800.000 utk 40 eksemplar. Dari mas Anang saya diteruskan ke Red Carpet Studio (http://redcarpetstudio.net).


Setelah saya mempelajari websitenya Red Carpet dan banyak bertanya sama bagian marketingnya, di situ ada ketentuan bahwa paket itu terbatas untuk buku maksimum 100 halaman A5, black-white, belum termasuk pengurusan ISBN, desain cover dan ongkos kirim. Tentu saja kita bisa punya desain cover sendiri untuk lebih hemat, ato mau ngurus ISBN sendiri juga bisa langsung dateng ke Perpustakaan Nasional karena prosesnya tidak sulit.... Paket ini belum termasuk editing dan layout, jadi kita harus mengedit dan melayout sendiri. Mereka ada juga jasa edit dan layout, tapi harus bayar lagi... Mereka juga "mengencourage" bahwa selain hasil cetakan ini bisa dijual secara Indie, buku cetakan ini juga bisa dilampirkan untuk penawaran naskah kita ke penerbit yang sudah mapan, jadi calon penerbit tidak hanya melihat proposal naskah, tapi sudah lihat "dummy"nya. (ada beberapa testimoni pelanggan mereka di website)


Jadi saya putuskan iseng-iseng mencoba mencetak buku di Red Carpet Studio, dengan tema antologi perjalanan wisata. Saya ambil paket yang "reguler" untuk mencetak 40 eksemplar buku. Cover saya minta dari Red Carpet yang mendesain, jadi ada tambahan biaya. Bagi saya, cover itu penting karena memberikan kesan pertama, jadi tidak masalah jika saya minta mereka saja yang mendesain cover. Dokumen yang siap dicetak dibuat dalam format PDF, kemudian dikirim ke mereka. Lama pengerjaan kira-kira 2 minggu-an. 

Keuntungan dari penerbitan Indie model Red Carpet Studio ini, buku sudah tercetak, kita bisa menentukan harga sendiri, dan kendali pemasaran serta distribusi sepenuhnya ada pada kita. Memang tidak mudah memasarkan buku secara online, biarpun sudah dibantu di blog sama web social networking. Saya membuktikan sendiri, setelah 2 bulan naik cetak, buku yang laku belum ada separo dari 40 eksemplar. Tapi kalau kita sudah tahu 40 eksemplar buku ini mau diapakan (apakah kita titipkan di jaringan distribusi, toko buku, untuk hadiah, atau untuk portofolio), saya kira penerbitan model begini lebih cocok.


Model lain adalah Print-On-Demand (POD), seperti yang dilakukan oleh Leutikaprio. Seperti tertulis di http://www.leutikaprio.com, untuk bisa menerbitkan buku dengan mereka, kita memodali Rp 500.000 untuk edit typo dan EYD (tidak mengedit isi), layout, cover, ISBN, 1 jam konsultasi, 1 kali proofing, serta 1 eksemplar contoh buku terbit. Mereka juga akan bantu promo buku kita di web mereka dan FB. Harga buku ditentukan oleh Leutikaprio, dan penulis akan dapat royalti 15% dari harga buku.

Untuk cara penerbitan seperti Leutikaprio, tentu ada plus minusnya juga. Di satu sisi, resiko buku tidak terjual bisa diperkecil, karena belum dicetak secara banyak. Di sisi lain, kita sudah keluar modal tapi gak langsung dapat bukunya. Cuman untuk Leutikaprio, dari keterangan di webnya mereka, ada potensi bahwa buku yang diterbitkan di Leutikaprio ini "berpindah" ke penerbit besar di grup Leutika.

Model lain untuk penerbitan secara Indie adalah dengan membuat e-book (format ePub) via Papataka.com. Dari segi resiko, karena tidak ada buku yang harus dicetak, sehingga resiko biaya baik bagi penulis maupun bagi Papataka sangat minim. Tapi... saat ini e-book belum terlalu populer di Indonesia, jadi e-book terbitan "indie" di Papataka masih belum laku keras. Memang ada saja yang beli, tapi tidak sebanyak buku-buku cetak.


Masih banyak penerbitan Indie yang lainnya, yang juga patut untuk dicoba. Mengenai anda mau memilih model yang mana, tinggal tergantung mana yang lebih cocok. Semua ada plus minusnya, tinggal cari mana yang paling cocok, apakah model cetak sedikit seperti Red Carpet Studio, model POD seperti Leutikaprio, atau e-book seperti Papataka.




1 comment:

Unknown said...

maaf ni mbak Arin's, jika mau info tentang Rafflesia silakan kunjungi website kita www.rafflesia.or.id
kita ada komunitas yg sedang mengiatkan penyelamatan Puspa langka terutama Rafflesia