Tuesday, April 06, 2021

150 Tahun Gajah Museum Nasional Indonesia

Sebelum masa pandemi Covid 19, semenjak kantor saya bedol ke kawasan Tanah Abang di tahun 2016, hampir setiap hari saya melewati “gajah” yang berdiri tegak sejak lebih dari 100 tahun yang lalu di depan Museum Nasional. Terkadang iseng sekadar menyapa, saya mengabadikan gajah ini dalam berbagai situasi: pagi yang cerah, langit agak mendung, sore yang penuh kesenduan, bahkan kadang di malam hari, ketika para pegawai sepertinya lupa akan waktu, gajah ini seperti mengingatkan bahwa sudah waktunya pulang ke rumah untuk bertemu keluarga…

Patung Gajah di pagi hari
Patung Gajah di malam hari

Tanpa terasa, ternyata gajah itu sudah berada di depan bangunan museum selama 150 tahun. Wauw… Mungkin lebih tepatnya, di bulan Maret 2021, Sang Gajah menandai 150 tahun kedatangan Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand ke Hindia Belanda pada tahun 1871, untuk mempelajari ilmu pemerintahan modern dari Hindia Belanda dan membangun kerajaan Siam yang modern. Pada kunjungan tersebut, pada 31 Maret 1871 Raja Chulalongkorn khusus berkunjung ke Museum van Het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Museum van Het BGKW -- sekarang Museum Nasional Indonesia) untuk melihat koleksi arca Buddha. 

Patung Gajah di cuaca cerah


Patung Gajah di cuaca mendung

Raja Chulalongkorn sangat terkesan dengan kunjungannya ke Hindia Belanda, sehingga setelah kembali ke Thailand beliau memerintahkan untuk membuat patung gajah dari perunggu, sebagai ucapan terima kasih telah disambut dengan hangat dan meriah. Mengapa kerajaan Thailand memberi patung gajah? Gajah merupakan simbol kerajaan Thailand, sekaligus hewan nasional Thailand, karena merupakan lambang kekuatan, kehormatan, keberuntungan, dan kebijaksanaan. 

Tidak diketahui kapan persisnya patung gajah tersebut diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda, namun yang diketahui bahwa patung tersebut diserahkan oleh utusan kerajaan Thailand bernama Praya Samutburamurak kepada pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1872. Sejak awal, ditetapkan bahwa patung tersebut akan dipasang di depan halaman Museum van Het BGKW

Dua puluh tujuh tahun kemudian, pada tahun 1896 Raja Chulalongkorn kembali mengunjungi Museum van Het BGKW. Beliau memuji bahwa patung tersebut diletakkan di sebuah pilar dengan desain batu Borobudur yang diukir indah. Seperti kita ketahui, pilar tersebut masih seperti desain awalnya, di keempat sisinya terdapat prasasti yang menerangkan asal patung, yang ditulis dalam bahasa Belanda, Indonesia, Arab dan Jawa. Namun banyak juga yang berpendapat bahwa patung gajah ini “dibayar terlalu mahal”, karena sebagai “imbalan” kunjungan pada tahun 1896, pemerintah kolonial Hindia Belanda mengijinkan 9 gerobak arca dari masa klasik Jawa diangkut ke Bangkok. Mungkin salah satu arca tersebut yang dapat dilihat di Grand Palace Bangkok.

Arca Buddha dari Indonesia di Grand Palace Bangkok

Tapi tahukah Anda, bahwa patung gajah perunggu ini sebenarnya memiliki kembaran di Singapura? Jadi pada tahun 1871, selain datang ke Hindia Belanda, Raja Chulalongkorn juga mengunjungi Singapura. Setelah menyelesaikan lawatan ke Singapura dan Hindia Belanda, Raja Chulalongkorn membuat dua patung gajah. Satu patung adalah yang diletakkan di depan Museum Nasional Indonesia, sedangkan satu patung lagi dikirimkan pada pemerintah colonial Inggris di Singapura. 

Jika patung gajah perunggu yang ada di Indonesia tidak berpindah tempat selama 150 tahun, beda halnya dengan “kembaran”nya di Singapura. Ketika pertama kali diserahkan pada tahun 1872, patung ini diletakkan di halaman balai kota (Victoria Memorial Hall). Tahun 1919, patung gajah ini dipindahkan ke Art House, atau Old Parliament House, dan di tempat yang lama digantikan oleh patung Sir Thomas Stamford Raffles, pendiri Singapura. Nampaknya, patung gajah di Singapura ini kalah popular dibandingkan dengan “kembaran”nya di depan Museum Nasional Indonesia…