Saturday, September 21, 2019

Sabar Menanti: Pelajaran Dari Seekor Rakun

Memotret satwa merupakan kegiatan yang susah-susah gampang, karena satwa tidak bisa diatur sebagaimana manusia. Selain tahu momen yang tepat, perlu kesabaran ekstra menunggu para satwa menunjukkan momen, gaya, ekspresi, atau emosi yang menarik untuk dipotret. Sepanjang pengalaman saya memotret satwa, lama kelamaan kita paham karakteristik masing-masing satwa, mana yang mudah untuk dipotret, dan mana yang perlu kesabaran dan kejelian. Seperti jerapah, mereka relatif mudah dipotret karena pergerakannya yang lambat. Ada juga satwa tertentu yang sulit dipotret karena mereka sangat dinamis dan tak terduga, misalnya burung unta, atau kocheng (ya, di Kebun Binatang Ragunan banyak kocheng berkeliaran di luar kandang!).


 


Tapi ada satwa yang sulit dipotret karena hobi ngumpet. Ya, rakun – hewan berwarna abu-abu berekor belang bermata panda yang diimpor dari Kanada - sudah menjadi penghuni Kebun Binatang Ragunan sejak tahun 2010. Tapi 3 tahun pertama keberadaannya di Ragunan, saya tidak melihat keberadaannya, sampai dengan ketika pengelola Ragunan memindahkan kandangnya ke bagian depan dekat pintu masuk Utara. Itu pun saya masih jarang melihat penampakannya, sampai dengan di penghujung tahun 2013, baru saya melihat penampakan fisik sang rakun. Ternyata karena dia hobi ngumpet, agak sulit untuk menemukannya di kerumunan tumbuhan di dalam kandang. Baru di awal tahun 2014 saya berhasil mendapatkan foto si rakun, itu pun saya beruntung karena saat itu ia sedang anteng dan tidak banyak bergerak, sehingga mudah untuk dipotret.



Tahun 2019, saya iseng hunting foto lagi di Kebun Binatang Ragunan, dan lagi-lagi ingin menjenguk kawan abu-abu berekor belang bermata panda ini. Namun hari itu ternyata dia memilih untuk bobok siang di balik pepohonan, mungkin karena cuaca sangat panas dan tidak bersahabat untuk dirinya yang berasal dari Kanada… Jadi dengan amat sangat terpaksa saya mengabadikan dirinya sedang “menjepitkan” diri di batang pohon sekaligus berteduh di balik daun-daunan… hhh…



Seminggu kemudian, saya berkesempatan ke Ragunan lagi, dan pagi-pagi iseng menjenguk kandang si kawan abu-abu ini. Dia sudah tidak bersembunyi di balik pohon, tapi dia leyeh-leyeh sambil memamerkan pantat dan ekornya yang belang-belang! Hadeuh… macam mana ini? Akhirnya saya memutuskan untuk olahraga dulu, mana tahu nanti agak siangan si kawan abu-abu ini sudah lebih aktif.



Selesai olahraga, saya kembali mampir ke kandang si kawan abu-abu. Mungkin karena hari semakin siang, sang rakun mulai lebih aktif. Terlihat dia mulai menggali-gali tanah, dan sesekali terlihat seperti membersihkan kedua kaki depannya, lebih mirip orang yang mencuci tangan. Nah, finally… eh tapi belum bisa dapat foto dengan momen yang pas ini.



Setelah saya duduk selama kurang lebih 5 menit untuk minum dan melap keringat, ketika saya berdiri, lah kok mukanya sang rakun pas menghadap ke saya dengan pose yang unyu? Tanpa buang waktu saya ambil kamera, dan voila! Tertangkap sebuah potret rakun yang menggemaskan!


Dari pengalaman hari ini, jelas kesabaran adalah koentji untuk mendapatkan momen yang pas dari sang rakun. Kalau pas apes, sang rakun bisa tidak terlihat di mana-mana, karena bisa jadi dia sedang bersembunyi di balik pohon untuk menahan terik matahari. Jadi kuncinya adalah sabar menanti selama beberapa menit, kalau perlu pergi dulu dan kembali lagi, hanya untuk memastikan sang rakun sudah kembali aktif dan mendapatkan momen yang tepat. Btw, seandainya rakun ini jinak, rasanya ingin saya bawa pulang saja, soalnya lucu banget, kaya blasteran antara panda dan kucing. Tapi berhubung mereka sejatinya binatang liar – dan memelihara binatang liar merupakan pelanggaran undang-undang -- saya pelihara keluarga rakun ini saja lah…


Saturday, February 09, 2019

U-S-S-D-E-K

No, ini bukan USDEK yang berbau-bau politik Orde Lama. Ini USSDEK yang membawa kenikmatan, alias tata cara jamuan khas Surakarta.

Apa yang dimaksud dengan USSDEK? Rupanya USSDEK merupakan singkatan dari Unjukan-Snack-Sop-Dahar-Es-Kondur. Ini merupakan urutan dari hidangan yang disajikan dalam sebuah jamuan makan, baik dalam sebuah hajatan pernikahan (yang paling umum ditemui) maupun hajatan-hajatan lain. Kemungkinan besar USSDEK merupakan modifikasi tata cara jamuan makan gaya Eropa, yang disesuaikan dengan kearifan lokal Jawa Tengah, sebab banyak kemiripan yang bisa kita temukan. Mari kita bandingkan dengan jamuan makan gaya Eropa, yang kita pelajari di kursus table manner.

Dari sisi perbedaannya, jamuan makan gaya Eropa biasanya dilakukan di round table atau meja panjang, jamuan USSDEK hanya menyediakan tempat duduk saja tanpa meja. Sedangkan dari sisi persamaannya adalah pada menunya. Jika jamuan USSDEK diawali dengan Unjukan (biasanya teh manis hangat), di jamuan gaya Eropa para pelayan akan mengisi gelas-gelas kita dengan air putih. Untuk Snack, di jamuan makan gaya Eropa merupakan appetizer. Sedangkan Sop, di jamuan makan gaya Eropa ya tetap sop. Bedanya kalau jamuan USSDEK sopnya umumnya sop bening, di jamuan gaya Eropa umumnya berbentuk cream soup. Selanjutnya adalah Dahar atau main course. Jika di USSDEK dahar-nya bisa berbentuk selat Solo atau paket nasi dan lauknya, main course di jamuan makan Eropa biasanya adalah steak lengkap dengan ubo rampe-nya. Menu selanjutnya adalah Es atau dessert, dalam bentuk es buah atau puding. Biasanya, kalau Es alias dessert-nya sudah dikeluarkan, para tamu bersiap-siap untuk Kondur alias pulang. Saatnya tuan rumah berdiri di pintu, bersalaman dengan para tamu dan mengucapkan terima kasih atas kehadirannya.

Jamuan makan gaya USSDEK ternyata bukan monopoli wilayah Surakarta. Saya pernah menemui tata cara serupa di daerah Banyumas. Dan jamuan di Banyumas tersebut tidak diselenggarakan di gedung pertemuan, melainkan di rumah. Takjub ketika saya tahu bahwa gaya jamuan seperti ini lumrah dilakukan di daerah lain di Jawa Tengah, karena sebelumnya saya pikir USSDEK hanya ada di daerah-daerah kekuasaan keraton Mataram saja.

Apakah jamuan gaya USSDEK kurang praktis? Mungkin iya untuk beberapa orang yang terbiasa dengan jamuan gaya prasmanan. Apalagi kalau tinggal di Jakarta yang dalam satu waktu harus menghadiri hajatan di 2-3 tempat yang berbeda. Namun menurut saya, itulah keunikan dari USSDEK. Di satu sisi, setiap tamu dihormati karena mereka tinggal duduk manis dan dilayani oleh pelayan. Di sisi lain, dipastikan semua tamu yang hadir akan kebagian makanan, tidak ada issue kehabisan makanan.

Btw, ini salah satu hidangan Snack atau appetizer USSDEK favorit saya: kroket ala Solo. Dan kroket di foto ini dibuat oleh salah satu catering tertua dan terbaik (menurut saya) dalam penyelenggaraan USSDEK di Solo. Mudah-mudahan budaya USSDEK ini jangan hilang ditelan masa...