Sunday, August 21, 2011

Prambanan-Ratu Boko Trip

Siang itu, saya memutuskan untuk pergi ke Candi Prambanan. Semula saya tidak berniat ke Kompleks Kraton Ratu Boko, karena niat awal saya adalah mengunjungi 4 candi yang ada di Kompleks Candi Prambanan. Namun ketika saya hendak membeli tiket, saya melihat pengelola memiliki paket untuk pergi ke 2 kompleks candi tersebut, dan disediakan kendaraan untuk berpindah dari Kompleks Candi Prambanan dan Kompleks Kraton Ratu Boko. Wah, kebetulan sekali, ga perlu repot keluar dan pindah tempat sendiri! Saya kemudian membeli tiket dan menuju tempat menunggu yang disediakan oleh pengelola.

Setelah agak lama menunggu, akhirnya sarana transport yang mengangkut saya dan beberapa peserta paket hemat ini tiba, dan langsung mengangkut kami menuju Kompleks Kraton Ratu Boko. Ternyata perjalanan Prambanan-Ratu Boko tidak sedekat yang saya bayangkan. Dan yang lebih seru lagi, jalan masuk ke kompleks Ratu Boko ternyata sempit dan menanjak! Wah wah wah... sudah betul keputusan saya untuk beli paket hemat ini, mobil-mobil mereka semua bermesin diesel, kalau pakai Avanza bensin, jangan-jangan nanti ada acara dorong-mendorong untuk sampai ke tempat parkir! (Ehm, kayanya lebay deh...)

Setibanya di Kompleks Kraton Ratu Boko, eh, belum, setibanya di kantor pengelola kompleks Kraton Ratu Boko, saya tidak langsung masuk ke area candi, melainkan menarik nafas terlebih dahulu sambil menikmati pemandangan di plaza yang disediakan. Pelataran tersebut menghadap ke arah Candi Prambanan, jadi saya bisa melihat pemandangan Candi Prambanan di sisi Kali Opak, sambil membayangkan barangkali raja yang dulu bertahta di kompleks keraton ini melihat pemandangan yang serupa (tentunya tanpa rumah-rumah penduduk dan jalan raya...). Kalau cuaca cerah, kita bisa melihat Gunung Merapi di kejauhan, ah, so romantic...


Pemandangan Candi Prambanan dari Plaza Keraton Ratu Boko

Akhirnya, setelah mengumpulkan kekuatan, saya mulai melangkahkan kaki memasuki Kompleks Keraton Ratu Boko. Ternyata... jarak dari loket sampai ke bangunan pertama jauh banget! Akhirnya dengan ngos-ngosan, saya tiba di gerbang pertama Keraton Ratu Boko. Begitu melihat kemegahan bangunan gerbang tersebut, ngos-ngosannya langsung sirna seketika... Tak terbayangkan, di masa lalu, dengan teknologi yang (supposed to be) masih sederhana, nenek moyang kita sudah mampu membuat bangunan di puncak bukit seperti ini. Setelah gerbang pertama, masih ada gerbang kedua, yang lebih besar daripada gerbang pertama. Pengennya sih ngambil foto yang perfect (yang bangunannya aja), apa daya, ada orang pacaran sambil duduk di gerbang tersebut, sehingga saya harus mencari angle yang perfect supaya dua "nyamuk" itu tidak muncul di foto saya...


Gerbang Keraton Ratu Boko (tanpa "2 nyamuk")

Setelah mengambil foto, saya melangkahkan kaki masuk ke dalam kompleks candi. Di sisi kiri sebelah bawah terdapat bangunan Candi Batu Putih, karena pondasinya terbuat dari batu putih. Niatnya sih pengen lihat lebih dekat, tapi melihat 5 ekor kambing sedang bercengkrama di bangunan tersebut, ga jadi aja deh... ga sebanding sama resikonya...


Kambing-kambing yang sedang leyeh-leyeh di Candi Batu Putih
 
Akhirnya, saya sampai di tempat yang tampaknya merupakan alun-alun. Di sisi kiri terdapat tanah yang lebih tinggi, dan di atasnya ada candi pembakaran jenazah. Sayang, candinya sedang direnovasi, jadi saya kembali mengurungkan niat untuk melihat lebih dekat. Saya menyeberangi alun-alun dan menuju situs candi yang lain. O ya, walaupun kompleks ini  sudah dikelola oleh pengelola Borobudur Park, tapi di dalam masih ditemukan penduduk yang berjualan minuman, baik penjual keliling maupun warung. Tapi mengingat kompleks ini sangat luas dan terbuka, rasanya memang perlu ada para penjual minum ini. Yang nggak nahan sebenarnya bukan para pedagang minuman, tapi kambing-kambing yang pada merumput di situs ini, duh... paling takut kalau tiba-tiba kambingnya lari terus menyeruduk, males banget deh...
 
Karena waktu terbatas, dan saya masih ingin mengunjungi candi Prambanan sebelum tutup, setelah melihat Kaputren dan Paseban saya kembali menuju pintu masuk. Wah, padahal masih ada Gua Lanang dan Gua Wadon yang konon ada simbol lingga dan yoni-nya... next time harus balik ke sini lagi kayanya... Dan akhirnya, saya kembali meluncur menggunakan transportasi yang disediakan pengelola menuju ke kompleks Candi Prambanan.
 
Di kompleks Candi Prambanan, wisata jalan kaki kembali dilanjutkan. Ketika melangkan menuju Candi Prambanan, saya baru "donk", ternyata dari tadi ada pengumuman mengenai candi-candi yang berada di bawah pengelolaan Kompleks Candi Prambanan. Jadi di kompleks ini ada 4 candi : Candi Prambanan, Candi Lumbung, Candi Bubrah dan Candi Sewu. Candi Prambanan dibuat oleh Rakai Pikatan dari kerajaan Mataram Kuno dan merupakan candi Hindu. Uniknya, 3 candi yang lain (Lumbung, Bubrah, Sewu) adalah candi Buddha. Ini mencerminkan bahwa di masa lalu sudah terwujud kerukunan antar umat beragama di Indonesia.


Candi Prambanan

Sesampainya di Candi Prambanan, ternyata saya harus kecewa. Bukan kecewa karena sulit mendapat spot foto yang sempurna (saking banyaknya pengunjung, bahkan ada turis Jepang yang sangat excited di depan arca Nandi di dalam candi Wahana, dia terus bertanya kepada guide yang mendampingi, sementara teman-temannya sudah pindah ke lain candi), tapi karena beberapa candi tidak bisa dimasuki, karena sedang proses renovasi akibat gempa Yogyakarta tahun 2006 (so sad....). Salah satu candi yang tidak bisa dimasuki adalah candi Siwa, padahal arca Durga yang lebih dikenal sebagai arca Roro Jonggrang yang tersohor itu ada di dalamnya, hiks...


Matahari yang nyaris terbenam di balik salah satu candi

Ketika saya keluar dari Candi Prambanan, jam tangan saya sudah menunjukkan pukul 16.30, 30 menit sebelum waktu tutup. Yah, tampaknya 3 candi yang lain masih harus menunggu lain waktu... Tadinya mau mengejar kereta kelinci yang keliling, apa daya ketinggalan kereta. Jadi, setelah berjalan kaki agak jauh, akhirnya saya sampai juga ke Candi Lumbung. Namanya sudah sore, candi Lumbungnya sepiiii banget, apalagi dengan banyak batang-batang bambu untuk perbaikan, membuat penampakannya terlihat mengenaskan.


Candi Lumbung yang sedang direnovasi

Dalam perjalanan menuju pintu keluar, saya masuk ke museum Arkeologi. Museum ini merupakan museum pendukung Kompleks Candi Prambanan, dan berisi penemuan arca di situs-situs sekitar candi. Di bagian akhir museum, dijelaskan sejarah penemuan dan restorasi candi Prambanan. Rupanya pekerjaan restorasi ini  sudah dimulai sejak jaman kolonial Belanda, karena beberapa lukisan menunjukkan proses restorasi candi yang cantik ini. Ah, kapan-kapan saya harus kembali kemari lagi...


Arca Ganesha di Museum Arkeologi Prambanan


Monday, August 01, 2011

Dan "Kampret" pun Turut Memperkuat Kekuatan Udara Kita

Gara-gara membaca majalah Angkasa edisi koleksi yang berjudul Pesawat Kombatan TNI AU dan membahas pesawat-pesawat tempur milik TNI AU dengan ayah saya, saya jadi terpikir untuk datang kembali ke Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala.

Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala terletak di dalam Kompleks Perumahan TNI AU Wonocatur. Museum ini tidak terlihat dari jalan raya, sehingga untuk mencapai ke museum ini harus mengikuti papan petunjuk. Jalan masuk ke museum adalah melalui Jl. Janti, kemudian mengikuti petunjuk masuk ke dalam kompleks perumahan TNI AU. Sebelum masuk, saya harus melapor dulu kepada petugas di pos jaga, dan membayar tiket mobil sebesar Rp 5000. Sambil mencatat nomor mobil yang mengantar saya, petugas bertanya apakah saya mengantar anak. Saya jawab tidak, sambil bertanya apa hari ini ada rombongan anak sekolah. Rupanya sudah ada 6 bis anak sekolah yang akan berkunjung ke museum! Langsung saya membayangkan, museumnya pasti ramai sekali...

Setelah mobil parkir di halaman museum, saya mulai berkeliling, sambil mencoba mengingat ketika pertama kali saya datang ke museum ini di tahun 1991. Setelah mencoba mengingat-ingat, saya sudah tidak ingat seperti apa dulu museumnya, kecuali koleksi pesawat yang ada di dalam hanggar.Ketika melihat pesawat yang dipasang di luar museum, rasanya seperti anak kecil yang melihat mainan kesayangannya, saya ingin berlari dan memeluk pesawat-pesawat tersebut. O ya, perlu diketahui bahwa kompleks ini sangat dekat dengan bandara Adisucipto, sehingga pemandangan yang ada di foto di bawah ini pasti bukan merupakan pemandangan asing...


Pesawat Bronco, dengan latar belakang Lion Air sedang manuver mendarat

Pesawat pertama yang saya lihat dari dekat adalah Tu-16, pesawat pembom yang pernah digunakan TNI AU dalam Operasi Trikora merebut kembali Irian Barat. Konon pada masanya pesawat ini merupakan salah satu pesawat pembom yang paling ditakuti, membuat Indonesia kala itu menjadi salah satu negara yang paling ditakuti di Asia Tenggara.


It's very big!!!

Koleksi pesawat terbaru milik museum adalah pesawat OV-10 Bronco dengan nomor registrasi TT 1015, yang bergabung menjadi koleksi museum pada bulan Januari 2011. Pesawat ini merupakan pengganti pesawat tempur P-51D Mustang, dan termasuk pesawat militer TNI AU yang paling lama dioperasikan sejak tahun 1976 hingga 2004. Barangkali saking barunya, bahkan terpal penutup kokpit pun belum sempat dicopot.

Ini bukan Bronco, ini A4 Skyhawk

Memasuki ruangan museum, di ruangan pertama, terlihat Panji-panji dan pataka TNI AU, lambang TNI AU dengan semboyan “Swa Bhuwana Paksa”, serta patung empat orang perintis TNI AU : Marsekal Muda Anumerta Iswahyudi, Marsekal Muda Anumerta Abdul Halim Perdanakusuma, Marsekal Muda Anumerta Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, dan Marsekal Muda Anumerta Agustinus Adisutjipto.

Masuk ke ruangan berikutnya, saya melihat replika pesawat ringan WEL-I RI-X, pesawat pertama buatan anak bangsa. Perancang pesawat ini, Wiweko Soepono, merupakan salah satu perintis industri dunia penerbangan Indonesia. Pesawat berawak tunggal yang dikenal dengan nama WEL (Wiweko Experimental Lightplane) ini terbang pertama kali pada tanggal 27 Oktober 1948 di pangkalan udara Maospati Madiun (sekarang pangkalan udara Iswahyudi), dengan menggunakan mesin sepeda motor Harley Davidson 750 cc. Sayang sekali, pesawat ini hancur ketika dimuat dalam gerbong kereta api karena terkena granat pemberontak PKI Madiun. Di ruangan ini juga terdapat foto-foto dan benda-benda terkait peristiwa bersejarah TNI Angkatan Udara.


WEL-I RI-X, pesawat pertama buatan anak bangsa

Memasuki bagian berikutnya, saya melihat foto-foto Operasi Militer yang pernah dilakukan TNI AU, antara lain Operasi Penumpasan DI/TII, Operasi Penumpasan Permesta (yang terkenal dengan peristiwa pengejaran pembom B-25 dengan pilot Allan Pope), Operasi Trikora, Operasi Dwikora, Operasi Penumpasan G-30-S/PKI, dan Operasi Seroja di Timor Timur. TNI AU juga melaksanakan berbagai Operasi Militer selain perang, misalnya dalam menangani bencana alam. Di salah satu vitrin terdapat foto-foto RI-001 Seulawah dan sejarah Indonesian Airways sebagai penerbangan niaga pertama milik Indonesia.

Di ruangan berikutnya, kami melihat berbagai seragam yang dikenakan TNI Angkatan Udara, mulai dari Pakaian Dinas Upacara, Pakaian Dinas Harian, Pakaian WARA (Wanita Angkatan Udara), pakaian penerbang, dan seragam Paskhas. Di bagian tengah ruangan, terdapat benda-benda memorabilia empat pahlawan perintis TNI Angkatan Udara, mulai dari foto-foto, surat keputusan pengangkatan sebagai pahlawan, dan tanda-tanda jasa yang pernah mereka terima.

Setelah melihat-lihat perjalanan sejarah TNI Angkatan Udara, saya memasuki ruangan berikutnya. Ruangan ini merupakan ruangan yang menyimpan dokumentasi berbagai pendidikan yang dilaksanakan oleh TNI Angkatan Udara, antara lain Sesko, Koharmat, Koops AU, Kohanudnas, dan Akademi Angkatan Udara. Di salah satu dinding bahkan terpampang nama lulusan Sekolah Pendidikan Sekbang TNI AU. Tak hanya masalah pendidikan, di tengah ruangan saya melihat patung dada dan berbagai benda milik KSAU dari masa ke masa. Salah satu KSAU yang paling saya ingat adalah Chappy Hakim, yang gemar menulis dan main saksofon. Buku-buku beliau juga ditampilkan dalam museum ini, antara lain yang berjudul “Awas! Ketabrak Pesawat Terbang”.

Dan akhirnya, saya masuk ke bagian hanggar, bagian favorit saya. Hanggar ini penuh sesak dengan koleksi pesawat berjumlah kurang lebih 46 buah, berbagai peralatan radar, dan persenjataan udara. Ditambah lagi para pengunjung yang terdiri dari anak-anak (dan para pengantarnya) turut memenuhi ruangan dan melihat-lihat koleksi pesawat, sehingga suasana menjadi sangat ramai. Saya sempat mengambil foto beberapa pesawat, antara lain adalah Cureng, P-51 Mustang, DC-3 Dakota dan Mig-21. Tiga pesawat yang saya sebut belakangan merupakan pesawat yang sukses di masanya. Khususnya untuk Cureng, pesawat ini merupakan pesawat bersejarah, karena digunakan Agustinus Adisucipto untuk melakukan penerbangan pertama dengan pesawat berbendera merah putih. Di salah satu sudut hanggar terdapat studio foto, yang melayani foto menggunakan seragam penerbang dengan latar belakang pesawat. Studio ini laris manis dirubung anak-anak yang ingin berfoto.

P-51 Mustang, pesawat tempur yang berjaya di masanya

Mig-21, "tanda mata" hubungan RI dengan blok Timur
DC-3 Dakota versi militer
Di salah satu hanggar, terdapat Ruang Hipobarik, atau Ruang Bertekanan Rendah. Ruangan ini digunakan untuk melatih para penerbang mengenai pengaruh ruang tekanan rendah terhadap kondisi fisik maupun kondisi mental awak pesawat, terutama untuk mendeteksi gejala-gejala Hipoksia. Tak hanya ruangannya, bahkan di luar terdapat kompresor yang digunakan untuk mengatur tekanan di dalam Ruang Hipobarik. Karena peralatannya masih utuh, saya jadi penasaran, alat yang di museum ini kira-kira masih dipakai atau tidak ya?

Menjelang pintu keluar hanggar untuk menuju ruang diorama, di dekat pintu terdapat replika Dakota VT-CLA. Dakota VT-CLA adalah kode pesawat yang ditembak Belanda pada 29 Juli 1947 di dusun Ngoto. Peristiwa ini merupakan aksi balas dendam pengeboman di Semarang, Salatiga dan Ambarawa yang dilakukan para kadet AURI pada pagi harinya. Dalam peristiwa ini gugur beberapa tokoh perintis TNI Angkatan Udara, yaitu Agustinus Adisucipto, Abdulrahman Saleh, dan Adisumarmo Wirjokusumo. Replika di museum ini menampilkan bagian ekor pesawat, serta miniatur Monumen Perjuangan TNI-AU. Monumen yang asli berada di dusun Ngoto, desa Tamanan, Banguntapan, Bantul.

Ruangan berikutnya adalah ruang diorama perjuangan, yang berfokus pada sejarah TNI Angkatan Udara Republik Indonesia. Beberapa diorama peristiwa penting yang sempat saya amati adalah Pembentukan TKR Bagian Penerbangan, Pembukaan Pangkalan Angkatan Udara di Gadut Bukittinggi pada tanggal 24 Maret 1947, Penerbangan Pesawat Merah Putih Pertama oleh Agustinus Adisutjipto menggunakan pesawat Cureng peninggalan Jepang pada tanggal 27 Oktober 1945, dan Penerobosan Blokade Udara oleh RI-001 Seulawah dari Birma ke Aceh tanggal 8 Juni 1949. Masih terdapat beberapa diorama lain yang menampilkan operasi militer yang pernah dilaksanakan oleh TNI AU.

Ruangan berikutnya adalah ruang diorama satelit komunikasi Palapa. Di dalam ruangan terdapat peragaan yang menunjukkan posisi dan cara kerja satelit komunikasi Palapa. Salah satu vitrin menunjukkan miniatur pesawat ulang alik Challenger yang pernah membawa salah satu satelit Palapa ke orbit.

Akhirnya saya tiba di ruangan terakhir. Di ruangan ini terdapat lambang berbagai skuadron milik TNI Angkatan Udara, serta foto-foto perkembangan skuadron dari masa ke masa. Di bagian tengah ruangan, sebelum toko cenderamata, dipajang berbagai miniatur pesawat, yang merupakan sumbangan dari penggemar miniatur pesawat. Setelah puas melihat miniatur pesawat, saya bergegas keluar museum, untuk menuju tempat wisata lain di Yogyakarta.

Setelah membaca tulisan saya di atas, barangkali anda penasaran, “Kampret”nya mana? Ternyata “Kampret” adalah nama glider (pesawat peluncur) GX-001 hasil modifikasi Sekolah Teknik Udara Perwira. Sekolah ini didirikan pada tahun 1951 di bawah pimpinan Letkol Ir. C.W.A. Oyen, dan mereka menyelidiki pembuatan pesawat udara. Glider Kampret merupakan hasil modifikasi glider Gruno-Baby, yang dibuat berdasarkan data glider buatan pabrik Father Belanda di Amsterdam dengan perbaikan dan sedikit perubahan. Uniknya, sang "Kampret" tidak dipajang di bawah bersama pesawat-pesawat lain, melainkan digantung di langit-langit, entah karena hanggarnya sudah penuh sesak, atau memang ia terlihat lebih cantik jika dipajang di langit-langit hanggar.
Inilah si "Kampret", glider buatan anak bangsa