Thursday, November 21, 2013

[Wonderful Indonesia] Harta Karun Destinasi Wisata Budaya di Lombok

Siapa yang tak kenal Lombok? Pulau Pedas yang terkenal dengan kecantikan panoramanya ini telah menarik hati wisatawan, baik dari domestik maupun mancanegara. Pantai-pantai Lombok yang berpasir putih dengan laut yang biru bagaikan ratna mutu manikam telah memanggil para pecinta pantai di seluruh dunia untuk mengunjunginya. Ditambah kemegahan Gunung Rinjani dengan telaga berwarnanya seolah menjadi saksi bisu keaslian dan keasrian alam di Pulau Lombok.

Pantai Malimbu
Namun destinasi wisata di Lombok tidak terbatas pada kekayaan panorama alamnya. Lombok juga memiliki obyek wisata budaya yang unik dan menarik untuk dikunjungi. Kekayaan dan keunikan wisata budaya ini tak lepas dari sejarah dan peradaban yang ada di Pulau Lombok . Di satu sisi, Lombok memiliki penduduk asli Suku Sasak yang umumnya memeluk agama Islam. Di sisi lain, sebagian wilayah Pulau Lombok pernah menjadi bagian dari Kerajaan Karangasem, sehingga banyak peninggalan dari Kerajaan Karangasem dan umat Hindu yang terdapat di pulau ini.

Desa Adat Sade
Salah satu destinasi wisata budaya yang diperkenalkan oleh laman web pariwisata resmi Indonesia.Travel adalah Desa Adat Sade. Desa Adat Sade terletak di Kecamatan Rembitan, Kabupaten Lombok Tengah, 20 menit perjalanan ke arah selatan dari Bandara Internasional Lombok di Praya. Desa adat yang merupakan tempat tinggal Suku Sasak ini telah berdiri selama 600 tahun. Untuk berkeliling di Desa Sade, Anda akan dipandu para pemuda Sasak yang akan membawa Anda memasuki Bale Tani atau rumah tinggal Suku Sasak. Salah satu keistimewaan Bale Tani adalah perawatan lantainya yang digosok menggunakan kotoran kerbau. Menurut kepercayaan Suku Sasak, kotoran kerbau dapat mengusir serangga, menghangatkan lantai rumah, serta berfungsi untuk menangkal serangan magis. Saat mengunjungi Desa Adat Sade, Anda juga bisa membeli cenderamata berupa pernak-pernik dari tanduk kerbau, atau tenunan songket hasil karya wanita Suku Sasak.

Taman Narmada
Anda juga bisa mengunjungi Taman Narmada di Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, kurang lebih 15 menit perjalanan ke arah timur dari Kota Mataram. Taman seluas 2 hektar ini dibangun oleh Rasa Anak Agung Ngurah Karang Asem pada tahun 1727, sebagai istana musim panas tempat keluarga Kerajaan Mataram Karangasem beristirahat. Filosofi dari arsitektur di taman ini adalah miniatur Gunung Rinjani, yang dibangun untuk melaksanakan ritual Upacara Pakelem, atau upacara kurban untuk minta hujan. Sebelumnya, Upacara Pakelem dilaksanakan di puncak Gunung Rinjani, namun karena usia Raja sudah terlalu tua, maka Taman Narmada dibangun sebagai miniatur Gunung Rinjani, dan Upacara Pakelem dilaksanakan di tempat ini. Selain memiliki bangunan kuno dengan hawa khas taman yang sejuk, Taman Narmada juga memiliki sumber air suci dan Pura Kalasa, yang saat ini masih digunakan sebagai sarana ibadah umat Hindu.

Pura Lingsar
Masih di Kecamatan Narmada, tak jauh dari Taman Narmada, terdapat Kompleks Pura Lingsar, yang telah berdiri sejak abad ke-15. Walau disebut “pura”, namun tempat ini tidak hanya digunakan oleh umat Hindu, tetapi juga digunakan sebagai tempat ibadah pemeluk IslamWetu Telu. Tradisi unik khas Pura Lingsar yang diadakan setiap tahun adalah Perang Topat, yang diselenggarakan secara bersama-sama oleh penganut agama Hindu dan Islam Wetu Telu sebelum masa menanam padi, sebagai perwujudan rasa syukur atas limpahan karunia dari Sang Pencipta.

Lombok dapat dikunjungi dari Jakarta atau Bali dengan menggunakan pesawat udara melalui Bandara Internasional Lombok di Praya. Lombok juga bisa dikunjungi dari Bali dan Sumbawa menggunakan kapal ferry. Untuk menginap, tersedia penginapan mulai dari hotel melati hingga hotel bintang 5. Penginapan terkonsentrasi di pusat Kota Mataram, Pantai Senggigi di sisi barat Lombok, atau Pantai Kuta di sisi selatan Lombok. Untuk berkeliling di tempat wisata seputar Lombok, sangat disarankan untuk menyewa kendaraan, karena keterbatasan rute dan jumlah angkutan umum di Pulau Lombok.

 

Monday, November 04, 2013

Bung Karno Sang Singa Podium


Alhamdulillah, buku ketiga saya akhirnya terbit!

Ternyata saya tak perlu menunggu hingga 5 tahun lagi untuk menerbitkan buku ketiga. Buku "Bung Karno Sang Singa Podium" terbitan Second Hope ini terbit hanya berselang 7 bulan sejak "Travel Writing 101" diterbitkan oleh Elex Media Komputindo.

Penulisan buku ini agak unik, karena berawal dari sebuah peluang yang ditawarkan Agensi Naskah Indscript Creative untuk menulis buku biografi dengan tema pidato Bung Karno. Saya penggemar Bung Karno (namun saya merasa belum pantas disebut sebagai "Sukarnois"), dan bagi saya hal ini adalah salah satu modal utama saya memberanikan diri mengambil peluang yang menurut saya cukup "berat" ini. Sedemikian beratnya topik ini, sehingga saya membutuhkan waktu cukup lama untuk melakukan riset hingga menghasilkan buku setebal 423 halaman ini.

Banyak pertanyaan, mengapa saya menggunakan nama pena "Rhien Soemohadiwidjojo" untuk buku yang satu ini, kenapa saya tidak menggunakan nama asli saya? It's just a matter of "Personal Branding". Semula saya bercita-cita punya personal branding sebagai handicraft lover, yang mempunyai toko online handicraft dan rajin menulis buku-buku handicraft. Namun karena kesibukan pekerjaan di kantor, personal branding saya sebagai handicraft lover ternyata tak berkembang. Belakangan, ternyata personal branding saya lebih kuat sebagai tukang jalan-jalan yang banyak menghasilkan artikel wisata, sehingga saya mencoba mengembangkan personal branding seorang Arini Tathagati sebagai travel writer. Lalu, bagaimana rencana branding awal saya sebagai handicraft lover? Memang sudah terlanjur nama "Arini Tathagati" digunakan untuk menulis buku handicraft, tapi tidak masalah, karena saya masih akan mempertahankan brand handicraft lover tersebut.

Akan tetapi, buku "Bung Karno Sang Singa Podium" ini genrenya sangat berbeda dengan "handicraft lover" dan "travel writer". Saya tidak ingin brand "Arini Tathagati" menimbulkan kerancuan, sebenarnya "Arini Tathagati" itu penulis handicraft, penulis travel, atau penulis buku sejarah? Untuk itulah saya memilih nama pena "Rhien Soemohadiwidjojo" untuk buku-buku ini, serta buku-buku "berat" lain yang (mudah-mudahan) akan saya tulis. Soemohadiwidjojo adalah nama kakek saya, dan penggunaan nama ini adalah sebagai penghormatan kepada almarhum kakek saya yang merupakan penggemar berat Bung Karno. Dapat saya ceritakan juga, sebagian besar referensi yang saya gunakan untuk penulisan buku "Bung Karno Sang Singa Podium" ini adalah buku-buku Bung Karno miliki kakek saya.

Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Teh Indari Mastuti dan Mbak Anisa Januwarti atas dukungan mereka sehingga buku ini bisa terwujud. Terima kasih saya sampaikan juga kepada Bapak Roso Daras dan Kang Asep Kambali dari Komunitas Historia Indonesia yang telah berkenan memberikan endorsement pada buku ini. Saya berharap buku ini bisa memberikan kontribusi bagi para penggemar sejarah mengenai nilai-nilai nasionalisme yang pernah disampaikan Bung karno melalui pidato-pidatonya.