Monday, December 10, 2007

Bandung : Kota Kembang (???)

9 Desember 2007, my beloved grandma has passed away. Kami seluruh keluarga besar berduka, dan kami sudah mengikhlaskan beliau untuk kembali ke Rahmatullah. Mudah-mudahan perjalanan beliau di alam barzah memperoleh kemudahan, dan dikaruniai surga yang indah di sisi-Nya, aamiin...

Karena almarhumah tinggal di Bandung, dan beliau berwasiat untuk dimakamkan di Bandung di sisi almarhum kakekku, jadi kami semua berangkat ke Bandung. Jam 10 malam, baru kepikir, kita belum beli bunga tabur untuk di makam dan melati untuk dirangkai di keranda jenasah-nya. Jadi kita langsung keluar mencari bunga. Katanya, tadi siang ibu-ibu sudah banyak yang mencari di pasar Wastukencana, tapi katanya tidak ada. Menurut budeku yang perias pengantin, bulan-bulan ini lagi banyak perkawinan, jadi cari bunga agak susah, ooo.... Tapi Bandung khan kota kembang, mestinya nggak susah ya cari bunga.

Pertama-tama, kita mencoba lagi di pasar Wastukencana. Walah, cari bunga tabur, apalagi mawar, ternyata susah bo! Kita udah masuk dari toko ke toko, ternyata pada nggak punya bunga tabur yang mawar, dan pedagang bunganya juga nggak mau ngasih alternatif mencari di tempat lain (walaupun akhirnya kami menemukan 1 toko yang menjual dengan harga relatif murah --> soalnya ternyata bunga di Bandung itu mahal! --> soalnya dibandingkan dengan di Jawa Tengah, dengan harga yang sama, di Bandung cuman dapet 1 keranjang kecil, di Jawa Tengah bisa dapet 2 karung...). Akhirnya aku meng-SMS salah satu temanku yang lama tinggal di Bandung, dan dapet alternatif untuk pergi ke Jl. Pandu.

Di Jl. Pandu, ternyata cuman ada 1 toko yang jualan mawar, itu pun harganya gak bisa dibilang murah. Setelah dengan sedikit "perang urat saraf" dalam tawar menawar (untungnya mang penjualnya baik, dan dia punya melati), akhirnya kami memborong beberapa ikat mawar aneka warna, dan 1 kg melati. Untungnya (lagi), besok paginya, mawar-mawar aneka warna itu mekar dengan indahnya, dan kakak-kakak sepupuku menata bunga-bunga tabur itu demikian cantik, untuk mengiringi kepergian nenek tercinta kami ke peristirahatan terakhirnya.

Dengan pengalaman cari bunga di Bandung yang syusyah banget, aku jadi mikir, apakah Bandung masih layak dinamai "Kota Kembang"? Atau memang ada "kembang" lain yang lebih mudah dicari di Bandung?

PS. Ini salah satu fotoku dengan my beloved grandma, waktu kami ziarah ke makam bu Tien Suharto di Karanganyar, Jawa Tengah, dalam rangka reuni besar Varia Orang Jauhari tahun 1996.


Tuesday, September 25, 2007

Manado, Kota Tinutuan

Belum ada seminggu mendarat dari Banda Aceh, udah harus berangkat lagi ke Manado, eleuh-eleuh... Tapi ya gimana lagi, demi tugas (tepatnya demikian...), harus berangkat deh.

Hari Minggu, perjalanan dimulai dari bandara Cengkareng terminal 1 (again!). Kali ini terbangnya naik Batavia, dan katanya direct Jakarta-Manado, nggak pake' mampir-mampir. Pas nimbang bagasi, alamak, kelebihannya 113 kg! (again!) Tapi ternyata ongkos kelebihan bagasi di Batavia gak semahal waktu Lion ke Banda Aceh (padahal jarak kan kira-kira sama...), jadi kami cuman bayar sekitar 1,8 juta (dan masih tetap lebih mahal daripada tiket sekali jalan Jakarta-Manado, even pake' Garuda sekalipun...).

Untungnya, penerbangannya tepat waktu. Ternyata kita naik pesawat Airbus A319 (yang tidak segede Airbus 330, cuman lebih gede sedikit daripada Boeing 737 seri 400). Pesawatnya lumayan enak, jarak antar kursi cukup lebar, cukup buat leyeh-leyeh ... dan yang penting, masih dapet kue kotak (biarpun cuman roti dan lemper, tapi kan nggak cuman aqua gelas doank!). Dan ternyata, memang kita terbang direct dari Jakarta ke Manado, tanpa transit. Pilotnya cukup informatif dengan memberi informasi rute penerbangan, ditambah sedikit keterangan " di atas Kalimantan cuaca berawan dan sangat mungkin terjadi goncangan-goncangan kecil..." (walaupun goncangannya cukup sering, tapi ternyata nggak terlalu parah kok...)

Mendarat di Manado, ternyata bandara Sam Ratulangi sudah jadi bandara yang canggih dan modern (ditandai dengan banyaknya garbarata di mana-mana). Dari bandara Sam Ratulangi menuju hotel Sahid Kawanua kita menggunakan taksi. Di sana ternyata taksi nggak terlalu ramai, dan walaupun dilengkapi dengan argo, tapi harus pake' "argo mulut" alias tawar-menawar (macam bajaj saja!). Dan ternyata hotelnya terletak persis di depan kantor Pertamina Cabang Manado, jadi kalau mau ke Pertamina, tinggal kepleset sajah...

Berhubung perjalanan dari bandara menuju ke hotel kita melintasi daerah yang agak berbukit-bukit, dalam bayangan kita Manado hawanya agak dingin. Ternyata, salah besar... Hotelnya itu cuman sepelemparan batu dari pantai, dan hawanya luar biasa panas... panasnya makin terasa karena matahari bersinar terik, dan jarang ada angin, hhh.... Makanya selama 3 hari di sana, jalan-jalannya baru setelah matahari terbenam, selain menunggu setelah buka puasa dan shalat Maghrib, juga sambil nunggu hawanya lebih bersahabat.

Mumpung udah di Manado, aku mencari tahu tentang tempat wisata di sana. Ternyata k'lo di dalam kota, nggak ada tempat wisata yang spesifik, dan tempat tujuan wisata yang disebut ya selalu B yang satu itu : BUNAKEN (yang mana masih harus naik kapal sekitar 30-45 menit dari pelabuhan...). Di kota Manado, adanya malah mall dan pertokoan di Jl. Boulevard (yang katanya merupakan hasil reklamasi pantai), dan isinya mah sama kaya' mall di Jakarta. Tapi wisata kulinernya lumayan lengkap... dan ternyata di kota Manado tidak susah mencari makanan halal, masih banyak rumah makan Padang, Cotto Makassar dan ikan bakar di mana-mana (dan jaraknya dari hotel juga gak jauh, masih bisa ditempuh dengan jalan kaki). Unfortunately, lagi-lagi karena bulan puasa, jadi belum sempat mencicipi Tinutuan alias Bubur Manado yang tersohor itu, karena katanya adanya cuman di pagi hari sampai tengah hari (wah, harus balik ke Manado lagi nih...).

Hari Senin, mulailah kita siap-siap di kantor Pertamina Cabang Manado. Ternyata di dalam kantornya lebih "sauna" daripada di luar, karena AC sentralnya tidak dinyalakan (tepatnya, AC cuman dinyalakan di ruangan-ruangan, karena setelah restrukturisasi di Pertamina Penjualan, kantornya yang begitu besar jadi kosong, pegawai organiknya tinggal beberapa orang, jadilah harus berhemat listrik...). Untung Kepala Cabangnya berbaik hati untuk menambah 1 AC lagi di ruangan training, supaya ruangannya nggak terlalu panas.

Malamnya, kami makan di resto seafood di Malalayang. Kata yang nganterin, jenis ikannya adalah ikan karang. Tapi pas kita konfirmasikan sama mbak-mbak pelayannya, dia aja nggak tau itu ikan jenis apa.... Ikannya besar, kita aja cuman makan sepotong dari badannya (lengkap dengan sambal dabu-dabu dan sayur pepaya, slurp!) udah kekenyangan.... Di luar, sempat kelihatan juga ada orang yang jalan-jalan di pantai mencari ikan dengan lampu TL, dan juga terlihat lampu-lampu dari pantai yang direklamasi, cantiknya...

Hari Selasa, training dimulai. Waktu kita mendata peserta, ternyata yang puasa mencapai 50%, wow... untung konsumsinya sudah disiapkan dalam kotak, jadi bisa dibawa pulang dengan mudah. Sempet 2x kebagian mati lampu, wah, wah... Dan walaupun AC-nya sudah ditambah satu, tapi ternyata tetep aja hawanya panas. Untungnya peserta terlihat cukup aktif, jadi instrukturnya cukup senang.

Jam 11.30, aku harus meninggalkan 2 instrukturku itu kembali ke Jakarta. Sebelum kembali ke hotel untuk mengambil bagasi yang dititipkan di sana, aku menyempatkan diri memotret pal yang menandai titik nol kota Manado (yang ternyata pal-nya tersembunyi di dekat lampu lalu lintas di perempatan jalan, dekat pagar gedung, nyaris tak terperhatikan...). Dari hotel, tadinya mau langsung ke Bandara, tapi setelah iseng-iseng tanya sama pak supir di mana tempat beli oleh-oleh, akhirnya aku mampir sebentar ke toko oleh-oleh, beli kipas Krawang.

Di Bandara Sam Ratulangi, what a surprise! Waktu cek in di counter Garuda, ternyata kalau member GFF Silver di bandara ini ada lounge-nya. Walaupun nggak pakai AC (dan snack-nya nggak bisa dimakan karena lagi puasa), tapi lumayan banget, nggak perlu rebutan kursi dengan penumpang lain di luar. Sengaja pulang ke Jakarta milih naik Garuda, biar merasakan transit di Makassar... Waktu masuk ruang tunggu, tiba-tiba petugas bandara memberi pengumuman : "Para penumpang Garuda dengan tujuan Makasar, Denpasar dan Jakarta..." Ooo... masa' gue mesti transit di Denpasar lagi??? Toloooong..... Tapi ternyata, setelah di dalam pesawat, flight attendant memberi pengumuman yang lebih jelas, bahwa penerbangan ini adalah tujuan Jakarta yang transit di Makasar, thanks God.... (ternyata penumpang yang ke Denpasar itu pindah pesawatnya di Makasar).

Waktu transit di Makasar, proses transitnya jauuuuuh lebih nyaman daripada di Polonia. Tidak ada antrian panjang. Jadi masih sempat liat-liat suvenir, walaupun akhirnya nggak beli apa-apa. Dan akhirnya, setelah terbang kurang lebih 3,5 jam, akhirnya liat Cengkareng lagi.... (dan entah kenapa, akhir-akhir ini cuaca Jakarta kurang begitu bersahabat, sangat berawan, untung pendaratan tidak ada masalah....)

Friday, September 21, 2007

Semalam di NAD

Pergi ke Aceh?? Gak pernah kebayang sebelumnya... apalagi kalau dengar cerita mengenai syariah Islam yang ditegakkan dengan sangat ketat, wah, wah, wah....Tapi ya begitulah, setelah sukses memberangkatkan 2 orang trainer ke wilayah Indonesia Timur (yang ternyata "nggak segitunya"), akhirnya tiba juga giliran para operator SPBU dari ujung Barat Indonesiauntuk mendapatkan training.

Berangkat naik Lion, waktu cek-in di Cengkareng 2 rekan perjalananku dengan gagah perkasanya mengangkat kardus-kardus berisi peralatan training (ceritanya sih mau ngirit biaya portir). Ehhh, pas ditimbang, ternyata 2 dari 5 kardus yang kami bawa itu beratnya 60 kg! Kata mas-mas yang jaga di counternya Lion, kasian kan yang angkat, jadi harus dikasih uang kopi, yah, tetep aja.... Setelah diitung-itung, kelebihannya aja 113 kg (padahal kita udah punya allowance sampe' 90 kg, buseeet....), jadi mesti bayar sekitar Rp 2,5 jt! Ya ampun, lebih mahal dari harga tiketnya...

Nunggu di ruang A-1, maaaak, pinuh pisang! Pasti ada yang delay... Akhirnya kita memutuskan untuk nunggu di luar. Di luar, pengumumannya agak kurang terdengar, sampe takut juga, jangan-jangan udah kelewat panggilannya. Dan ternyata, seperti yang sudah diduga, delay 45 menit (biasa....).

Perjalanan ke Aceh ditempuh dalam waktu 4 jam (sebenernya sih 3 jam, yang 1 jam untuk transit di Medan). Naik Lion?? Hhhh.... jarak antar tempat duduk cuman 20 cm!! Tapi gimana, for the sake of penghematan, gimana lagi... Akhirnya, dengan posisi kaki terjepit, dan duduk terjepit di 11E (dan terpisah dari 2 temanku yang lain), diriku menempuh perjalanan selama 3 jam di udara. Udah gitu, selama di pesawat, flight attendantnya "lumayan" cerewet, dikit-dikit ada pengumuman, tapi pengumumannya gak tuntas. Masak waktu turun di Medan, sama sekali gak ada pengumuman tentang yang transit untuk ke Aceh, jadi seolah-olah kita ini pesawat jurusan Jakarta-Medan, terus yang mau ke Aceh gak jelas, akan naik pesawat yang sama, atau pindah pesawat. Yang parahnya, pesawat belum mendarat dengan sempurna, masa' udah terdengar ada HP yang bunyi!! Please donk! Di Bandara Polonia, gak kalah kacau, antrian transit panjang banget, sampe' pada waktu kita masuk ruang tunggu, masih ngantri di X-Ray kedua, ehhh, udah dipanggil naik ke pesawat! Gak sempet window shopping neh!

Begitu mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, liat kiri-kanan dulu, kok gak pada pake' kerudung ya? Oh, mungkin belum lewat "batas suci", hehehe. Di Bandara, setelah dijemput sama orang Pertamina (dan yang mana barang-barang kita yang begitu banyak ternyata cukup dalam 1 bagasi Kijang Innova... memang, Kijang tiada duanya...), kita ke kantor Pertamina Cabang Pemasaran Banda Aceh. Begitu memasuki batas kota, langsung deh, kerudungnya dipake (hahaha!). Setelah koordinasi kiri dan kanan, akhirnya kita berangkat ke Hotel Sulthan (konon satu-satunya hotel bintang 3 yang tersisa setelah tsunami, dan ternyata lumayan deket dari kantor Pertamina).

Setelah puas leyeh-leyeh di hotel, tibalah saatnya untuk ngabuburit. "Cilaka"nya, tadi pagi kan sahurnya masih ikut waktu Jakarta, bukanya kan harus ikut waktu setempat, which is 45 menit lebih lambat daripada Jakarta! Alamak! Jadilah, ngabuburit sore itu kita jalan-jalan ke Mesjid Baiturahman (yang ternyata nggak terlalu jauh dari hotel, jalan kaki paling 20 menit...). Tadinya sih mau cari ta'jil gratisan di mesjid, tapi kok gak ada tanda-tandanya ya?? Jam 18.00 WIB (di mana di Jakarta sudah waktu buka), masih terang donk... Akhirnya jam 18.40, kira-kira 5 menit sebelum buka, kita ber-3 udah nongkrong di tukang es campur di depan mesjid Baiturahman. Ditunggu-tunggu, kok nggak ada bunyi beduk atau adzan... Ternyata penanda waktu berbuka puasa-nya nggak pake' beduk, tapi pake' sirine, dan lama juga, ada kali 2-3 menit bunyi sirinenya sebelum adzan.

Balik ke hotel, shalat, terus jam 9 baru cari makan malam. Berhubung di deket hotel tidak ada yang jualan mie Aceh, akhirnya masuk aja ke tukang jualan sate Lamongan. Ternyata pas pesen soto, sotonya more spicy daripada yang di Jawa... Tapi suasananya emang... gimana gitu ya, mau berkeliaran sendiri rasanya nggak nyaman, apalagi pasti ketahuan bukan orang lokal (belum lagi k'lo pas apes, ditangkap gara-gara pergi sama bukan muhrimnya, wah, jangan sampe' deh...)

Besok paginya, sahur di hotel. Lumayan banyak pilihan, karena hotelnya nyediain buffet, dan yang sahur juga lumayan banyak, serasa jam breakfast aja. Pagi-pagi, tadinya dah SMS minta dijemput dari Pertamina, tapi kok gak dijawab-jawab ya? Akhirnya dengan gagah berani, kita jalan kaki ke Pertamina Cabang Banda Aceh (which is ternyata jauh, bo.... puasa gitu loh...), dan begitu sampai di Cabang Banda Aceh, untungnya mereka belum jadi ngirim mobil untuk menjemput....

Pembukaan training, biasa-biasa aja. Pesertanya juga keliatan gak bersemangat, entah karena bulan puasa, atau karena dasarnya emang begitu (padahal instrukturnya sudah cukup bersemangat...). Waktu break (yang tanpa coffee, karena lagi bulan puasa), aku turun ke lapangan parkir, khusus untuk memotret pompa dispenser model super jadul, seperti yang ada di foto sebelah.

Jam 12, aku meninggalkan 2 trainerku itu untuk kembali ke Jakarta. Begitu masuk airport Sultan Iskandar Muda, serasa udah sampe' di Medan.... langsung deh, kerudungnya dicopot (kembali ke dunia nyata, ehm...). Pulang ke Jakarta naik Garuda, wah, beda banget dari waktu berangkatnya. Jarak antar tempat duduknya lebih lebar, dapet konsumsi (yang bisa dibawa pulang, karena puasa gitu loh...), dan yang lebih menyenangkan lagi, antrian transitnya di Bandara Polonia gak separah Lion, jadi masih sempat mampir toko untuk beli Bolu Meranti (abis dari Aceh nggak bisa bawa apa-apa, karena gak jelas oleh-olehnya apa, masa' mau bawa ganja???). Udah gitu flight attendantnya gak terlalu cerewet, pengumuman seperlunya aja, dan cukup jelas (terutama buat penumpang transit, jadi jelas kita mesti ngapain). Memang, naik Garuda itu emang enak....

Mendarat nih di Cengkareng. Pas masih di atas, wah, syerem.... cuacanya berawan, entah jarak pandangnya berapa, pokoknya daratannya seperti tidak kelihatan. Udah gitu ada anak kecil yang rewel, hhh, suasananya jadi (makin) mencekam. Namun akhirnya kita mendarat dengan selamat di Cengkareng (dan paling tidak penumpang Garuda masih lebih "sopan", nggak terlalu banyak terdengar bunyi HP waktu pesawat belum berhenti di landasan...). Di ruang pengambilan bagasi, ternyata banyak counter-counter ta'jil gratis, dan alhamdulillah, terdengar adzan Maghrib... (karena tadi sahurnya di Aceh, jadi puasanya di"korting" 45 menit...)

Monday, September 03, 2007

Bukittinggi, I'll be back (soon)!!

On last week of August 2007, I went to Padang and Bukittinggi, preparing gas station training for Pertamina. Wow.... I've been planned this for months, and I'm glad I got chance to survey the location before planning a "real vacation".

We (me and training team) arrived on Minangkabau International Airport (which was not so big, as I assumed before...), then we went to Pertamina Cabang Padang (which is 25 km from the airport). Padang is a nice city : not big (but not so small), not crowded and clean. Unfortunately we didn't have much time to city tour in Padang, because we have to prepare the classroom in Bukittinggi.
After lunch (which was on Padang restaurant, of course! But the taste is rather different than Padang restaurant at Jakarta), we travelled to Bukittinggi. The scene was very beautiful, very green. The road looked like Bandung-Sumedang route at Cadas Pangeran, along the route we found rock cliff everywhere. We passed Lembah Anai and waterfall on the road side, wow, what a scene... What made the tour more dramatic was the railroad along the route, there were lot of railroad bridge and tunnel crossing the road (unfortunately, the train is not operated regularly anymore....). After Padang Panjang, we passed many village, looked very traditional and unique (although not in remote area). The village's (or disctrict, perhaps) name were sounds cute, for example, we saw a name plate written X Koto, it was read Sepuluh Koto, mean 10 villages.

After 2 hours, we arrived at Bukittinggi. It was cool, and the air was clean (not polluted by big industries gas emission). Guess what? Our room at the hotel was without air-con, but when I wake up on the next morning, it was COLD! After we prepare the meeting room for the next day, at night we went to supermarket to buy couple of things, and have dinner at Kapau restaurant (the taste was different than Padang, more spicy, I thought). I took photo on Jam Gadang, the landmark of Bukittinggi. Not a perfect photo (because it was dark, and the clock was tall), but enough to show that I has take a step at Bukittinggi.

On the next day, after lunch, I got to go back to Padang, catch the flight to Jakarta. Before leaving Bukittinggi, I stopped by Ngarai Sianok, the famous canyon at Bukittinggi (which was only a stone throw away from the hotel!). The scene is very beautiful, very unique. After that, I bought some souvenirs at Pasar Atas. The most popular souvenirs was needleworks clothes, it was very beautiful, and also rather expensive... :-) Unfortunately, since I didn't have much time, I haven't survey the Rumah Gadang, Bung Hatta's house, and other interesting place at Bukittinggi. So, after buying some special food from Bukittinggi (the famous krupuk Sanjay, of course!), I left Bukittinggi to the airport at Padang.

He-uh, what a travelling, should be back there soon...

Tuesday, June 26, 2007

Bali, unforgetable getaway

Early of June, I made a trip to Bali (this is my 9th trip to Bali!). Since I had to stay there on weekend (before my program started on the next Monday), then I arranged trip to some tourism and historical object (later, my plan was interrupted by the car rental owner! Anyway, I still have lots of fun...).

One of the interesting place is Bedugul, a cool and peaceful place. You can find a Hindu temple on Bratan lake (like a floating temple), and also a Budhist stupa (I think the place is suitable for meditation, it is cool, calm, with beautiful scenery). See the photo, you can see the Ulun Danu temple on the background.

My trip ended at Dreamland, a "virgin" beach (but not so virgin after all... many tourists, still), where I watched sunset. The sunset scenery looks very awesomeeee... Just a perfect place to forget all your troubles (for a while, before returning to reality, hehehe...).

Monday, April 16, 2007

Nagabonar (jadi) 2 : Apa Kata Dunia??


2 minggu yang lalu, kami baru aja nonton film Nagabonar (Jadi) 2. Setelah melalui perjuangan yang cukup heboh (udah sempet mau nonton di Plangi, tapi ternyata di Plangi 21 gak ada, hiks....), sambil sempet icip-icip masakan India di Sarinah (which very very Indian taste... gak nyesel sih ke sana, tapi k'lo mau ke sana lagi, tunggu ada yang traktir dech, hehehe), akhirnya kami berhasil mencapai Jakarta Theatre XXI. Buat aku (yang mana terakhir kali nonton di Jakarta Theatre mungkin udah lebih dari 15 tahun yang lalu), udah banyak banget yang berubah di Jakarta Theatre, termasuk setting bioskop yang lebih canggih dibandingin 15 tahun yang lalu.

Mulailah filmnya diputar. Adegan pertama, Bonaga yang bergaya metroseksual, sedang naik mobil melintasi perkebunan kelapa sawit, sambil dengerin i-Pod. Alamak, E'i' s'kalee!! (note : E'i' itu teman kami yang juragan kelapa sawit beneran dari Medan :-) ) Jadi, pada saat penonton yang lain (mungkin) baru berpikir "ooh... ini si Bonaga", kami udah tertawa duluan, karena langsung kebayang si E'i' yang lagi inspeksi kebun kelapa sawitnya...

Adegan demi adegan bergulir, menggambarkan konflik antar generasi yang dikemas ala komedi satire yang (cukup) ringan, tapi dalem banget. Bagi mereka yang belum pernah nonton Nagabonar 1 (which is ternyata salah satu adekku juga belum pernah nonton), ada beberapa hal (baik yang lucu maupun serius) yang mungkin perlu waktu untuk dipahami (soalnya k'lo gak ngerti, ketawanya suka telat, hehehe). Misalnya tentang paman Bujang, yang mati saat ia memakai seragam Nagabonar dan bertempur melawan Belanda hingga tewas. Kalau kita nggak pernah nonton Nagabonar 1, ada kemungkinan kita nggak faham kenapa Nagabonar marah-marah kepada Bujang yang sudah terbujur kaku di liang kubur, dimakan cacing pula. Dan mungkin juga kita nggak tahu bahwa paman Bujang itu bukan adiknya Nagabonar, tapi sobatnya Nagabonar.

K'lo secara keseluruhan, filmnya cukup menghibur. Memang mungkin ada beberapa hal yang gak pas, ato gak logis, ato maksa. Salah satunya adalah adegan bajaj di Bundaran HI, mana mungkin bajaj bisa masuk wilayah itu, lah wong semua akses ke Bundaran HI ketutup buat bajaj... (anyway, adegannya cukup lucu, dan nyindir abissss....) Untuk akting para aktornya, berhubung filmnya judulnya Nagabonar (jadi) 2, sah-sah aja k'lo bang Deddy Mizwar mendominasi hampir semua bagian cerita di film itu (karena kaya'nya yang ditonjolin di film ini adalah konflik batin tokoh Nagabonar yang masih kebayang-bayang jaman kemerdekaan, sementara jaman sudah berubah dan yang ada di depan mata adalah jaman internet), dan aktingnya Bang Deddy masih tetep oke (sambil berusaha ngebayangin kembali, 20 tahun yang lalu Nagabonar kaya' apa ya?). Sedangkan untuk tokoh Bonaga yang dimainkan Tora Sudiro, buat kami para penggemar Extravaganza, susah banget untuk menghilangkan image Tora sebagai komedian Extravaganza. Film ini ngingetin kita juga, bahwa Tora punya sisi lain dalam kemampuannya berakting, di mana Tora gak cuman bisa ngocol di sketsa Extravaganza, tapi bisa juga berakting di film yang serius. Anyway, aku gak kebayang k'lo tokoh Bonaga ini dimainin aktor lain, mengingat tokoh Nagabonar yang sableng abis, mestinya anaknya juga rada sableng, jadi harus diperankan oleh aktor yang bisa berakting sableng (walopun ternyata Bonaga gak sesableng bapaknya, hahahaha...). K'lo aktor-aktor lain, well done, terutama buat Lukman Sardi yang memerankan Umar si tukang bajaj ngerangkep guru ngaji, sama Indra Birowo si tukang karpet (yang namanya udah muncul dari credit title awal, tapi orangnya baru nongol menjelang akhir, kita nunggu-nunggu loh, kapan Indra-nya keluar...)

Satu pesan yang sangat dalam dari film ini adalah : segala permasalahan bisa diselesaikan dengan cinta. Yang aku suka dari film ini, dari awal kita tahu bahwa film ini akan menampilkan konflik antar generasi, tapi konflik itu ditampilkan dengan sangat indah, tidak ditunjukkan dengan kekerasan, lebih banyak ke main kata-kata dan ekspresi. Digambarkan juga bahwa kesuksesan Bonaga tidak membuat ia lupa diri, karena digambarkan Bonaga seorang yang idealis dan sangat menghormati Bapak-nya. Nilai-nilai seperti ini yang sangat jarang kita temukan di televisi kita, yang cenderung lebih banyak menonjolkan kekerasan, anak berkelahi dan tidak hormat sama orang tua, dlsb dlsb.

Bagi mereka para pecinta sinema yang mengharapkan film ini bisa setara dengan Nagabonar 1, siap-siap aja, karena mungkin ekspektasi anda tidak akan terpenuhi. K'lo penilaianku, k'lo Nagabonar 1 nilainya 9 skala 10, Nagabonar (Jadi) 2 ini nilainya 8, lah. Dari segi alur cerita, kadang-kadang terasa agak kurang enak ngikutinnya, kaya' loncat-loncat. Kemudian ada beberapa adegan terasa gak logis ato maksa. Tapi dari segi ide cerita, dialog, sentilan, dan berbagai nilai yang disampaikan, film ini sangat orisinil, beda banget dengan film-film lokal lain yang saat ini beredar di pasaran, dan lebih bisa dinikmati semua umur, gak terbatas penonton dewasa (bisa dianggap film keluarga lah). Maka, bagi mereka yang nonton film ini untuk cari hiburan, film ini Te-O-Pe Be-Ge-Te alias TOPH BUANGETTT!!