Monday, April 16, 2007
Nagabonar (jadi) 2 : Apa Kata Dunia??
2 minggu yang lalu, kami baru aja nonton film Nagabonar (Jadi) 2. Setelah melalui perjuangan yang cukup heboh (udah sempet mau nonton di Plangi, tapi ternyata di Plangi 21 gak ada, hiks....), sambil sempet icip-icip masakan India di Sarinah (which very very Indian taste... gak nyesel sih ke sana, tapi k'lo mau ke sana lagi, tunggu ada yang traktir dech, hehehe), akhirnya kami berhasil mencapai Jakarta Theatre XXI. Buat aku (yang mana terakhir kali nonton di Jakarta Theatre mungkin udah lebih dari 15 tahun yang lalu), udah banyak banget yang berubah di Jakarta Theatre, termasuk setting bioskop yang lebih canggih dibandingin 15 tahun yang lalu.
Mulailah filmnya diputar. Adegan pertama, Bonaga yang bergaya metroseksual, sedang naik mobil melintasi perkebunan kelapa sawit, sambil dengerin i-Pod. Alamak, E'i' s'kalee!! (note : E'i' itu teman kami yang juragan kelapa sawit beneran dari Medan :-) ) Jadi, pada saat penonton yang lain (mungkin) baru berpikir "ooh... ini si Bonaga", kami udah tertawa duluan, karena langsung kebayang si E'i' yang lagi inspeksi kebun kelapa sawitnya...
Adegan demi adegan bergulir, menggambarkan konflik antar generasi yang dikemas ala komedi satire yang (cukup) ringan, tapi dalem banget. Bagi mereka yang belum pernah nonton Nagabonar 1 (which is ternyata salah satu adekku juga belum pernah nonton), ada beberapa hal (baik yang lucu maupun serius) yang mungkin perlu waktu untuk dipahami (soalnya k'lo gak ngerti, ketawanya suka telat, hehehe). Misalnya tentang paman Bujang, yang mati saat ia memakai seragam Nagabonar dan bertempur melawan Belanda hingga tewas. Kalau kita nggak pernah nonton Nagabonar 1, ada kemungkinan kita nggak faham kenapa Nagabonar marah-marah kepada Bujang yang sudah terbujur kaku di liang kubur, dimakan cacing pula. Dan mungkin juga kita nggak tahu bahwa paman Bujang itu bukan adiknya Nagabonar, tapi sobatnya Nagabonar.
K'lo secara keseluruhan, filmnya cukup menghibur. Memang mungkin ada beberapa hal yang gak pas, ato gak logis, ato maksa. Salah satunya adalah adegan bajaj di Bundaran HI, mana mungkin bajaj bisa masuk wilayah itu, lah wong semua akses ke Bundaran HI ketutup buat bajaj... (anyway, adegannya cukup lucu, dan nyindir abissss....) Untuk akting para aktornya, berhubung filmnya judulnya Nagabonar (jadi) 2, sah-sah aja k'lo bang Deddy Mizwar mendominasi hampir semua bagian cerita di film itu (karena kaya'nya yang ditonjolin di film ini adalah konflik batin tokoh Nagabonar yang masih kebayang-bayang jaman kemerdekaan, sementara jaman sudah berubah dan yang ada di depan mata adalah jaman internet), dan aktingnya Bang Deddy masih tetep oke (sambil berusaha ngebayangin kembali, 20 tahun yang lalu Nagabonar kaya' apa ya?). Sedangkan untuk tokoh Bonaga yang dimainkan Tora Sudiro, buat kami para penggemar Extravaganza, susah banget untuk menghilangkan image Tora sebagai komedian Extravaganza. Film ini ngingetin kita juga, bahwa Tora punya sisi lain dalam kemampuannya berakting, di mana Tora gak cuman bisa ngocol di sketsa Extravaganza, tapi bisa juga berakting di film yang serius. Anyway, aku gak kebayang k'lo tokoh Bonaga ini dimainin aktor lain, mengingat tokoh Nagabonar yang sableng abis, mestinya anaknya juga rada sableng, jadi harus diperankan oleh aktor yang bisa berakting sableng (walopun ternyata Bonaga gak sesableng bapaknya, hahahaha...). K'lo aktor-aktor lain, well done, terutama buat Lukman Sardi yang memerankan Umar si tukang bajaj ngerangkep guru ngaji, sama Indra Birowo si tukang karpet (yang namanya udah muncul dari credit title awal, tapi orangnya baru nongol menjelang akhir, kita nunggu-nunggu loh, kapan Indra-nya keluar...)
Satu pesan yang sangat dalam dari film ini adalah : segala permasalahan bisa diselesaikan dengan cinta. Yang aku suka dari film ini, dari awal kita tahu bahwa film ini akan menampilkan konflik antar generasi, tapi konflik itu ditampilkan dengan sangat indah, tidak ditunjukkan dengan kekerasan, lebih banyak ke main kata-kata dan ekspresi. Digambarkan juga bahwa kesuksesan Bonaga tidak membuat ia lupa diri, karena digambarkan Bonaga seorang yang idealis dan sangat menghormati Bapak-nya. Nilai-nilai seperti ini yang sangat jarang kita temukan di televisi kita, yang cenderung lebih banyak menonjolkan kekerasan, anak berkelahi dan tidak hormat sama orang tua, dlsb dlsb.
Bagi mereka para pecinta sinema yang mengharapkan film ini bisa setara dengan Nagabonar 1, siap-siap aja, karena mungkin ekspektasi anda tidak akan terpenuhi. K'lo penilaianku, k'lo Nagabonar 1 nilainya 9 skala 10, Nagabonar (Jadi) 2 ini nilainya 8, lah. Dari segi alur cerita, kadang-kadang terasa agak kurang enak ngikutinnya, kaya' loncat-loncat. Kemudian ada beberapa adegan terasa gak logis ato maksa. Tapi dari segi ide cerita, dialog, sentilan, dan berbagai nilai yang disampaikan, film ini sangat orisinil, beda banget dengan film-film lokal lain yang saat ini beredar di pasaran, dan lebih bisa dinikmati semua umur, gak terbatas penonton dewasa (bisa dianggap film keluarga lah). Maka, bagi mereka yang nonton film ini untuk cari hiburan, film ini Te-O-Pe Be-Ge-Te alias TOPH BUANGETTT!!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
dari 1-10? nilainya 12. even more. buat gue film ini justru bukan film komedi, dan tidak sekedar film menghibur. film ini soalnya bikin gue berpikir banyak. banyak banget. setiap adegannya punya makna yang sangat dalam, bahkan mimik mukanya. konon, banyak yang bilang di dalam film ada adegan yang rada "ga logis", tapi booo, ternyata semua terbantahkan loh. sial gue lupa linknya :D
just my two cents anyway
Setuj-setuj mbak mel, itu filem bukan komedi. Itu film penuh makna dan analisis sosio-historis-eko-polnya dalem. Hmmm btw jadinya gak mudah untuk mengapresiasinya buat mereka yang gak cukup punya sociological imagination yang baik. Film hebat dan dasyat... Mudah-mudahan penonton tidak memaknainya secara dangkal, sekadar memenuhi dahaga tertawa di tengah kemirisan realitas Indonesia saat ini. Beruntung sekali aku bisa menontonnya dengan seorang gerilyawan berusia 82 tahun, sehingga begitu banyak konteks yang kutemukan setelah mendialogkan film itu dengannya.
Post a Comment