Indonesia merupakan negara pertama di Asia Tenggara yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran modern. Pendidikan kedokteran di Indonesia berawal di pertengahan abad ke-19, atas prakarsa dr. Willem Bosch, Kepala Dinas Jawatan Kesehatan (Tentara dan Sipil) Hindia Belanda. Saat itu muncul berbagai wabah penyakit, dan tenaga medis pemerintah Hindia Belanda kewalahan memberantas wabah penyakit tersebut, salah satunya adalah karena kekurangan tenaga. Dr. Bosch mengusulkan untuk mendirikan korps kesehatan dengan tenaga Bumiputera, yang direspon dengan keputusan Gubernemen tahun 1849 untuk mendidik 30 pemuda Jawa di rumah sakit militer untuk menjadi asisten dokter dan “
vaccinateur” (mantri cacar).
|
Fasad Gedung STOVIA yang menjadi Museum Kebangkitan Nasional |
Tanggal 1 Januari 1851 berdirilah
Onderwijs van Inlandsche Eleves voor de Geneeskunde en Vaccine (Sekolah Pendidikan Vacinateur), yang diselenggarakan di rumah sakit militer Weltevreden (saat ini RSPAD Gatot Soebroto). Tahun 1853, pendidikan tersebut berganti nama menjadi Sekolah Dokter Jawa, dan para lulusannya diberi gelar Dokter Djawa. Lulusan Sekolah Dokter Jawa kemudian dipekerjakan sebagai mantri cacar, diperbantukan di rumah sakit, dan membantu dokter militer merangkap dokter sipil. Beberapa lulusan Sekolah Dokter Djawa yang terkenal adalah dr. Wahidin Sudirohusodo dan dr. Abdoel Rivai, yang kemudian memegang peran penting dalam perjuangan pergerakan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.
|
Diorama Suasana Kelas Terbuka di STOVIA |
Tahun 1896, dr. Hermanus Frederik Roll, seorang dokter militer, dipercaya untuk memimpin sekolah ini. Di masa kepemimpinannya sekolah ini berkembang dengan pesat dalam pendidikannya. Tahun 1898, Sekolah Dokter Jawa berganti nama menjadi STOVIA (
School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) atau Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera dengan lama pendidikan 9 tahu, dan lulusannya dapat melanjutkan pendidikan ke universitas di Belanda. Agar tidak mengganggu aktivitas rumah sakit militer, atas usul dr. Roll pada tahun 1899 dibangun gedung baru di sebelah rumah sakit militer, tepatnya di Hospitaalweg. Gedung baru ini mulai beroperasi pada tahun 1902, dan dilengkapi dengan asrama.
|
Batu Nisan HF Roll di Museum Taman Prasasti |
Sekolah ini menjadi saksi pada hari Minggu tanggal 20 Mei 1908, di salah satu ruang kelas STOVIA yang biasa digunakan untuk mata kuliah anatomi, Soetomo menyatakan bahwa hari depan bangsa dan tanah air ada di tangan mereka, dan menjelaskan gagasannya untuk mendirikan organisasi. Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Soeraji, dan para pelajar STOVIA lainya kemudian mendeklarasikan berdirinya organisasi modern pertama Boedi Oetomo, yang menjadi cikal bakal pergerakan Indonesia menuju kemerdekaan.
|
Diorama suasana Ruang Anatomi saat deklarasi berdirinya Boedi Oetomo |
Selama beroperasi di Hospitaalweg, STOVIA telah meluluskan beberapa dokter bumiputera, termasuk di antaranya dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dr. R. Soetomo (pendiri Boedi Oetomo), dr. Jacob Bernadus Sitanala (peneliti kusta), dr. Achmad Mochtar (orang Indonesia pertama yang menjadi kepala lembaga Eijkman), dan dr. RM Djoehana Wiradikarta (orang Indonesia pertama yang menjadi kepala lembaga Pasteur).
|
Lembaga Eijkman di RSCM |
dr. Achmad Mochtar adalah salah satu asisten dr. Christian Eijkman dalam meneliti penyakit beri-beri. Di masa pendudukan Jepang, dr. Mochtar bersama koleganya ditahan Kempetai dengan tuduhan mencemari vaksin TCD sehingga menyebabkan kematian para romusha. dr. Mochtar mengajukan diri untuk melindungi koleganya, sehingga koleganya dibebaskan dan sejak itu dr. Mochtar tak diketahui nasibnya. Pencarian jejak dr. Mochtar dilakukan oleh prof Sangkot dan Kevin Baird, hingga menemukan bahwa dr. Mochtar telah menjadi korban kekejaman Kempetai dan dimakamkan di Ereveld Ancol.
|
Nisan Makam Prof. dr. Achmad Mochtar di Ereveld Ancol |
Tahun 1916, pemerintah Hindia Belanda mulai memikirkan untuk memindahkan STOVIA ke lokasi baru. Lokasi baru dipilih di Salemba, untuk mendirikan bangunan sekolah yang lebih representatif dan rumah sakit terpadu yang dapat menampung lebih banyak pelajar. Peletakan batu pertama Gedung di Salemba dilaksanakan pada tanggal 26 Agustus 1916 oleh istri gubernur jenderal Hindia Belanda Catharina Maria Rolina van Limburg Stirum.
|
Prasasti Peletakan Batu Pertama Gedung GHS di Salemba (koleksi iMuseum FKUI) |
Pada tahun 1919 berdiri Rumah Sakit Pusat
Centrale Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ, sekarang menjadi RSCM), yang merupakan rumah sakit pendidikan pelajar STOVIA, karena sarana dan prasarananya lebih lengkap dan modern. Selanjutnya dibangun gedung baru di sebelah CBZ sebagai tempat pendidikan. Tanggal 5 Juli 1920, dengan berdirinya gedung pendidikan kedokteran di sebelah Rumah Sakit Pusat CBZ, seluruh fasilitas Sekolah Pendidikan Dokter Hindia dipindahkan ke gedung tersebut (sekarang dikenal sebagai Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia). Adapun gedung STOVIA lama sempat dipergunakan sebagai asrama pelajar, karena para pelajar STOVIA diberi kebebasan untuk memilih tetap tinggal di asrama STOVIA, atau kos di rumah penduduk di sekitar Salemba.
Tanggal 9 Agustus 1927, STOVIA resmi berubah menjadi
Geneeskundige Hoogeschol (pendidikan tinggi kedokteran), dan syarat masuknya semakin diperketat, yaitu minimum lulusan
Hogere Burger School (HBS) atau
Algemene Middelbare School (AMS). Lulusan GHS bergelar Arts dan setara dengan dokter dari Belanda. Beberapa lulusan GHS yang terkenal di antaranya adalah dr. Johannes Leimena (wakil perdana menteri 2 kabinet Soekarno), dr. Abdoel Patah, dr. Moewardi, dr. Abdulrachman Saleh (bapak faal Indonesia, perintis radio, dan tokoh AURI), dan dr. Julie Sulianti Saroso.
|
Patung dr. Abdulrachman Saleh di FKUI Salemba |
Ketika masa kolonialisme Belanda di Hindia Belanda berakhir pada tahun 1942, GHS sempat ditutup selama beberapa waktu, sebelum pemerintah Jepang mendirikan sekolah kedokteran Ika Daigaku. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, pada 19 Agustus 1945 Ika Daigaku berubah menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran, yang merupakan salah satu fakultas Badan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (BPTRI). Saat tentara NICA menguasai Jakarta, BPTRI “mengungsi” ke Klaten, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang. Tahun 1946, NICA mendirikan
Geneeskundige Faculteit-Nood Universiteit di Jakarta. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia di akhir tahun 1949, BPTRI kembali ke Jakarta. Pada tahun 1950 Perguruan Tinggi Kedokteran dan
Geneeskundige Faculteit-Nood Universiteit dilebur menjadi satu, menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang berkedudukan di Jl. Salemba 6.
No comments:
Post a Comment