Candi Cetho terletak di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, pada ketinggian 1496 meter di atas permukaan laut. Dalam bahasa Jawa, kata ‘cetho’ berarti jelas. Nama ini diberikan pada dusun tempat candi ini berada, karena dari tempat ini kita dapat melihat pemandangan ke berbagai arah
dengan jelas. Bersama Candi Sukuh, Candi Cetho merupakan obyek pariwisata andalan
Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah.
Candi Cetho
merupakan kompleks bangunan yang dibuat pada lahan bertingkat. Dari ciri-ciri berupa
lingga dan lambang surya Majapahit yang ditemukan di Candi Cetho, diketahui
bahwa candi ini merupakan candi agama
Hindu dan berasal dari abad ke-15, kurang lebih pada masa akhir pemerintahan
Majapahit. Candi ini pernah dipugar pada tahun 1975-1976, dan hasilnya adalah
candi yang dapat dilihat pada saat ini. Hingga hari ini, Candi Cetho masih
digunakan sebagai tempat ibadah oleh penduduk sekitar candi yang beragama Hindu,
serta dijadikan tempat meditasi bagi para penganut kepercayaan Kejawen.
Memasuki kompleks
Candi Cetho, akan ditemukan banyak keunikan candi ini yang tidak ditemukan pada
candi-candi Jawa Tengah pada umumnya. Keunikan pertama yang ditemui adalah
gapura besar berbentuk candi bentar, serupa dengan gapura kompleks candi di
Jawa Timur. Saat mendaki dari loket tempat membeli karcis menuju gapura besar
tersebut, kita akan menemui beberapa arca. Berbeda dengan arca dwarapala yang
biasa menyambut di bangunan-bangunan tradisional, arca yang menyambut kita
sebelum gerbang Candi Cetho memiliki bentuk yang berbeda, dengan pembuatan yang
kurang halus dan bergaya primitif. Dari gaya serta kehalusan pembuatan arca
tersebut, para ahli menduga bahwa arca beserta kompleks bangunan Candi Cetho
tidak dibuat oleh para pekerja dan seniman istana, melainkan oleh para penduduk
dari desa sekitar candi.
Melangkahkan kaki memasuki gapura besar, dari teras pertama terlihat bahwa Kompleks Candi Cetho terletak pada lahan berteras-teras, sehingga bentuknya menyerupai pundek berundak. Jumlah total teras ketika candi ini ditemukan adalah 14 teras, namun setelah pemugaran tahun 1976 hanya tersisa 9 teras. Masing-masing teras dibatasi oleh tembok batu dan memiliki gapura. Semakin tinggi terasnya, maka pintu gapuranya semakin sempit. Menurut salah satu juru kunci Candi Cetho, teras yang bertingkat-tingkat ini melambangkan perjalanan menuju nirwana, semakin tinggi tingkatannya maka tingkat kesulitan untuk mencapainya pun semakin tinggi.
Melangkahkan kaki memasuki gapura besar, dari teras pertama terlihat bahwa Kompleks Candi Cetho terletak pada lahan berteras-teras, sehingga bentuknya menyerupai pundek berundak. Jumlah total teras ketika candi ini ditemukan adalah 14 teras, namun setelah pemugaran tahun 1976 hanya tersisa 9 teras. Masing-masing teras dibatasi oleh tembok batu dan memiliki gapura. Semakin tinggi terasnya, maka pintu gapuranya semakin sempit. Menurut salah satu juru kunci Candi Cetho, teras yang bertingkat-tingkat ini melambangkan perjalanan menuju nirwana, semakin tinggi tingkatannya maka tingkat kesulitan untuk mencapainya pun semakin tinggi.
Obyek yang menjadi
primadona di Candi Cetho adalah tataan batu mendatar di
permukaan tanah teras ketiga, yang menggambarkan
simbol phallus (simbol kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dan kura-kura raksasa. Berdasarkan interpretasi para ahli, phallus merupakan simbol penciptaan manusia, sedangkan kura-kura
merupakan simbol penciptaan alam semesta. Obyek lain yang juga menarik adalah
jajaran batu yang memuat relief kisah Sudhamala di teras keempat. Kisah Sudhamala
adalah kisah pewayangan yang mendasari upacara ruwatan, berkisah tentang Sadewa
yang berhasil merawat Uma (istri Batara Syiwa) yang dikutuk menjadi Durga. Dari
keberadaan lambang phallus, kura-kura
dan relief Sudhamala, maka para ahli menduga bahwa Candi Cetho dibangun dengan
tujuan untuk upacara ruwatan.
Naik terus menuju teras tertinggi melalui gapura-gapura yang semakin sempit, di teras kedelapan terdapat 2 buah arca yang diletakkan di dalam pondok kecil. Masyarakat setempat mempercayai bahwa kedua arca ini adalah perwujudan Sabdopalon dan Nayagenggong, abdi sekaligus penasehat spiritual Prabu Brawijaya V, raja terakhir dari kerajaan Majapahit. Sedangkan di teras kesembilan terdapat 2 buah arca yang diletakkan dalam pondok kecil. Arca yang terletak di sisi utara berbentuk lingga, sedangkan arca yang terletak di sisi selatan dipercaya merupakan arca Prabu Brawijaya V dalam wujud Mahadewa. Arca-arca di teras kedelapan dan kesembilan ini tidak sehalus arca yang ditemukan di candi-candi Jawa Tengah, Jawa Timur atau Bali, namun memberikan ciri khas tersendiri.
Naik terus menuju teras tertinggi melalui gapura-gapura yang semakin sempit, di teras kedelapan terdapat 2 buah arca yang diletakkan di dalam pondok kecil. Masyarakat setempat mempercayai bahwa kedua arca ini adalah perwujudan Sabdopalon dan Nayagenggong, abdi sekaligus penasehat spiritual Prabu Brawijaya V, raja terakhir dari kerajaan Majapahit. Sedangkan di teras kesembilan terdapat 2 buah arca yang diletakkan dalam pondok kecil. Arca yang terletak di sisi utara berbentuk lingga, sedangkan arca yang terletak di sisi selatan dipercaya merupakan arca Prabu Brawijaya V dalam wujud Mahadewa. Arca-arca di teras kedelapan dan kesembilan ini tidak sehalus arca yang ditemukan di candi-candi Jawa Tengah, Jawa Timur atau Bali, namun memberikan ciri khas tersendiri.
Di teras tertinggi,
terdapat bangunan batu berbentuk punden berundak, yang diberi pintu teralis
yang terkunci. Di dalam bangunan tersebut terlihat sebuah bangunan batu persegi
empat yang ujungnya terlihat dari luar. Pengunjung boleh masuk ke dalam
bangunan tersebut untuk berdoa atau bermeditasi di dalamnya, dengan minta izin
kepada juru kunci. Di dalam bangunan, akan terlihat bahwa bangunan batu persegi
empat yang ada di dalamnya diberi kain merah putih mengelilingi keempat
sisinya. Agar doanya terkabul, juru kunci akan minta pengunjung untuk
mengelilingi bangunan batu tersebut sebanyak tiga kali sebelum memanjatkan doa.
Candi Cetho merupakan sebuah cagar budaya sekaligus obyek wisata yang menarik untuk
dikunjungi karena keunikannya. Walaupun letaknya cukup jauh dari Kota Surakarta
sebagai kota besar terdekat (kurang lebih 40 km), namun akses menuju ke sana
cukup mudah, karena tersedia angkutan umum menuju ke Desa Cetho. Bagi yang
membawa kendaraan sendiri, tersedia lahan parkir. Tiket masuk ke candi ini pun
cukup murah, untuk wisatawan domestik Rp 3.000,- dan untuk wisatawan
mancanegara Rp 10.000. Di hari-hari biasa, obyek wisata ini cukup sepi, namun
di hari-hari libur seperti Hari Raya Idul Fitri, obyek ini ramai dikunjungi tak
hanya oleh penduduk sekitar, namun juga wisatawan dari kota-kota lainnya.
Disertakan pada lomba Blog Dalam Rangka HUT Komunitas Blogger Nganjuk ke-3 http://kotaangin.com
Disertakan pada lomba Blog Dalam Rangka HUT Komunitas Blogger Nganjuk ke-3 http://kotaangin.com
1 comment:
keren catatan perjalanannya Mba Arin, semoga sukses dengan lombanya..salam
Post a Comment