Friday, June 15, 2012

Menelusuri Jejak Akhir Majapahit di Candi Cetho



Candi Cetho terletak di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, pada ketinggian 1496 meter di atas permukaan laut. Dalam bahasa Jawa, kata ‘cetho’ berarti jelas. Nama ini diberikan pada dusun tempat candi ini berada, karena dari tempat ini kita dapat melihat pemandangan ke berbagai arah dengan jelas. Bersama Candi Sukuh, Candi Cetho merupakan obyek pariwisata andalan Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah.

Candi Cetho merupakan kompleks bangunan yang dibuat pada lahan bertingkat. Dari ciri-ciri berupa lingga dan lambang surya Majapahit yang ditemukan di Candi Cetho, diketahui bahwa candi ini merupakan candi  agama Hindu dan berasal dari abad ke-15, kurang lebih pada masa akhir pemerintahan Majapahit. Candi ini pernah dipugar pada tahun 1975-1976, dan hasilnya adalah candi yang dapat dilihat pada saat ini. Hingga hari ini, Candi Cetho masih digunakan sebagai tempat ibadah oleh penduduk sekitar candi yang beragama Hindu, serta dijadikan tempat meditasi bagi para penganut kepercayaan Kejawen.

Memasuki kompleks Candi Cetho, akan ditemukan banyak keunikan candi ini yang tidak ditemukan pada candi-candi Jawa Tengah pada umumnya. Keunikan pertama yang ditemui adalah gapura besar berbentuk candi bentar, serupa dengan gapura kompleks candi di Jawa Timur. Saat mendaki dari loket tempat membeli karcis menuju gapura besar tersebut, kita akan menemui beberapa arca. Berbeda dengan arca dwarapala yang biasa menyambut di bangunan-bangunan tradisional, arca yang menyambut kita sebelum gerbang Candi Cetho memiliki bentuk yang berbeda, dengan pembuatan yang kurang halus dan bergaya primitif. Dari gaya serta kehalusan pembuatan arca tersebut, para ahli menduga bahwa arca beserta kompleks bangunan Candi Cetho tidak dibuat oleh para pekerja dan seniman istana, melainkan oleh para penduduk dari desa sekitar candi.

 Melangkahkan kaki memasuki gapura besar, dari teras pertama terlihat bahwa Kompleks Candi Cetho terletak pada lahan berteras-teras, sehingga bentuknya menyerupai pundek berundak. Jumlah total teras ketika candi ini ditemukan adalah 14 teras, namun setelah pemugaran tahun 1976 hanya tersisa 9 teras. Masing-masing teras dibatasi oleh tembok batu dan memiliki gapura. Semakin tinggi terasnya, maka pintu gapuranya semakin sempit. Menurut salah satu juru kunci Candi Cetho, teras yang bertingkat-tingkat ini melambangkan perjalanan menuju nirwana, semakin tinggi tingkatannya maka tingkat kesulitan untuk mencapainya pun semakin tinggi.

Obyek yang menjadi primadona di Candi Cetho adalah tataan batu mendatar di permukaan tanah teras ketiga, yang menggambarkan simbol phallus (simbol kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dan kura-kura raksasa. Berdasarkan interpretasi para ahli, phallus merupakan simbol penciptaan manusia, sedangkan kura-kura merupakan simbol penciptaan alam semesta. Obyek lain yang juga menarik adalah jajaran batu yang memuat relief kisah Sudhamala di teras keempat. Kisah Sudhamala adalah kisah pewayangan yang mendasari upacara ruwatan, berkisah tentang Sadewa yang berhasil merawat Uma (istri Batara Syiwa) yang dikutuk menjadi Durga. Dari keberadaan lambang phallus, kura-kura dan relief Sudhamala, maka para ahli menduga bahwa Candi Cetho dibangun dengan tujuan untuk upacara ruwatan.


 Naik terus menuju teras tertinggi melalui gapura-gapura yang semakin sempit, di teras kedelapan terdapat 2 buah arca yang diletakkan di dalam pondok kecil. Masyarakat setempat mempercayai bahwa kedua arca ini adalah perwujudan Sabdopalon dan Nayagenggong, abdi sekaligus penasehat spiritual Prabu Brawijaya V, raja terakhir dari kerajaan Majapahit. Sedangkan di teras kesembilan terdapat 2 buah arca yang diletakkan dalam pondok kecil. Arca yang terletak di sisi utara berbentuk lingga, sedangkan arca yang terletak di sisi selatan dipercaya merupakan arca Prabu Brawijaya V dalam wujud Mahadewa. Arca-arca di teras kedelapan dan kesembilan ini tidak sehalus arca yang ditemukan di candi-candi Jawa Tengah, Jawa Timur atau Bali, namun memberikan ciri khas tersendiri.


Di teras tertinggi, terdapat bangunan batu berbentuk punden berundak, yang diberi pintu teralis yang terkunci. Di dalam bangunan tersebut terlihat sebuah bangunan batu persegi empat yang ujungnya terlihat dari luar. Pengunjung boleh masuk ke dalam bangunan tersebut untuk berdoa atau bermeditasi di dalamnya, dengan minta izin kepada juru kunci. Di dalam bangunan, akan terlihat bahwa bangunan batu persegi empat yang ada di dalamnya diberi kain merah putih mengelilingi keempat sisinya. Agar doanya terkabul, juru kunci akan minta pengunjung untuk mengelilingi bangunan batu tersebut sebanyak tiga kali sebelum memanjatkan doa.


Candi Cetho merupakan sebuah cagar budaya sekaligus obyek wisata yang menarik untuk dikunjungi karena keunikannya. Walaupun letaknya cukup jauh dari Kota Surakarta sebagai kota besar terdekat (kurang lebih 40 km), namun akses menuju ke sana cukup mudah, karena tersedia angkutan umum menuju ke Desa Cetho. Bagi yang membawa kendaraan sendiri, tersedia lahan parkir. Tiket masuk ke candi ini pun cukup murah, untuk wisatawan domestik Rp 3.000,- dan untuk wisatawan mancanegara Rp 10.000. Di hari-hari biasa, obyek wisata ini cukup sepi, namun di hari-hari libur seperti Hari Raya Idul Fitri, obyek ini ramai dikunjungi tak hanya oleh penduduk sekitar, namun juga wisatawan dari kota-kota lainnya.



Disertakan pada lomba Blog Dalam Rangka HUT Komunitas Blogger Nganjuk ke-3 http://kotaangin.com






1 comment:

Anonymous said...

keren catatan perjalanannya Mba Arin, semoga sukses dengan lombanya..salam