Mencari
sesuatu hal yang paling Indonesia ternyata susah-susah gampang. Ketika kita
membicarakan sebuah produk budaya Indonesia, jika ditelusuri hingga ke akarnya ternyata banyak produk budaya
Indonesia yang merupakan hasil serapan dari budaya bangsa-bangsa lain di dunia, termasuk di antaranya bahasa, tari-tarian, bahkan batik yang telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya non-benda milik bangsa Indonesia.
Namun
akhirnya saya menemukan sebuah hal yang menurut saya sangat Indonesia, yaitu
Kota Lama Yogyakarta. Kota Lama Yogyakarta merupakan salah satu kota tua di
Indonesia yang dirancang dengan sangat jenius, berlandaskan falsafah kehidupan
masyarakat Jawa. Berbeda dengan kota-kota
tua di Indonesia yang umumnya dirancang oleh pemerintah Hindia Belanda sebelum
masa kemerdekaan, tata letak Kota Lama Yogyakarta merupakan hasil rancangan
Sultan Hamengkubuwono I, pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kota Lama Yogyakarta membentang dari selatan (Panggung
Krapyak) sejauh 7 km ke arah utara (Tugu Yogyakarta), yang dihubungkan oleh poros imajiner, yang menghubungkan antara Gunung
Merapi, Tugu, Keraton Yogyakarta dan Pantai Parangtritis. Hampir semua wilayah atau bangunan asli di sepanjang titik tersebut memiliki makna. Secara sederhana, banyak yang
menafsirkan bahwa Tugu Yogyakarta merupakan perwujudan dari lingga yang
melambangkan laki-laki, Panggung Krapyak dianggap perwujudan yoni yang
melambangkan perempuan, dan Keraton
dianggap badan jasmani manusia yang berasal dari keduanya. Jika makna dari
seluruh bagian kota lama ini dirangkaikan, akan menyiratkan falsafah “Sangkan Paraning Dumadi” (dari mana manusia berasal
dan ke mana manusia akan kembali). Dengan falsafah yang sangat dalam inilah, maka tata letak Kota Lama Yogyakarta diakui sebagai tata letak kota terbaik di dunia.
Untuk
melihat filosofi Sangkan Paraning Dumadi secara komprehensif, penelusuran dapat
dimulai dari Panggung Krapyak. Panggung Krapyak merupakan sebuah bangunan 2 lantai yang
terbuat dari bata merah berlapis semen cor setinggi 10 meter, dan dahulu berfungsi sebagai menara pandang sekaligus tempat
berburu. Wilayah di sekitar bangunan
ini semula dikenal sebagai Hutan Krapyak. Poros Panggung Krapyak hingga Keraton
menggambarkan perjalanan manusia sejak dilahirkan dari rahim ibu hingga dewasa.
Di sisi utara Panggung Krapyak terdapat Kampung Mijen, yang dapat dianggap
sebagai lambang benih manusia sejak masih di dalam kandungan.
Panggung Krapyak |
Bergerak
sejauh 2 km ke arah utara, terdapat Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat.
Keraton dapat dimaknai sebagai lambang jasmani manusia. dengan Sultan sebagai
lambang jiwa sejati yang hadir ke dalam badan jasmani. Kata “Keraton” berasal dari kata “ke-Ratu-an”, yang berarti
tempat Ratu (istilah bahasa Jawa halus untuk Raja). Seperti layaknya sebuah istana,
Keraton memiliki dua fungsi, yaitu sebagai pusat pemerintahan sebuah kerajaan,
sekaligus sebagai tempat tinggal Raja dan keluarganya. Kompleks bangunan keraton dibangun antara tahun 1755-1756 dengan arsitek Sri
Sultan Hamengkubuwono I (HB I), pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keraton Yogyakarta mulai digunakan pada
tanggal 7 Oktober 1756, dan menjadi istana resmi Kesultanan Yogyakarta sampai
dengan tahun 1950, ketika pemerintah Republik Indonesia menjadikan wilayah
Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman sebagai sebuah daerah
berotonomi khusus setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jika ditinjau dari segi
arsitekturnya, bangunan-bangunan di Keraton Yogyakarta merupakan perwujudan
arsitektur Jawa tradisional, dengan sedikit sentuhan gaya Eropa dan Cina di
beberapa sudut. Setiap bagian dari Keraton, termasuk lokasi, bangunan, patung, relief, bahkan jenis
tumbuhan, memiliki filosofi yang mendalam, melambangkan berbagai aspek
kehidupan manusia menurut cara pandang masyarakat Jawa tradisional. Salah
satunya adalah Regol (pintu gerbang) Danapertapa yang dikawal oleh sepasang
patung Dwarapala bernama Cinkorobolo di sebelah kanan (perlambang kebaikan) dan Bolobuto di sebelah
kiri (perlambang kejahatan).Sepasang
Dwarapala ini bermakna bahwa manusia harus dapat membedakan antara yang baik dan yang
jahat.
Contoh lainnya adalah sepasang Waringin Sengker (Beringin Kurung) yang terletak
di alun-alun utara yang bernama Kyai Dewandaru dan Kyai Janandaru, kedua pohon
beringin ini melambangkan dualisme antara makrokosmos dan mikrokosmos, antara
rakyat dan pemimpin, serta antara manusia dan sang pencipta. Demikian pula
pohon sawo kecik yang berada di dalam kopleks Keraton, sawo kecil memiliki
makna “sarwo becik” dalam bahasa Jawa, yang berarti manusia harus hidup dengan penuh
kebaikan.
Bagian depan Keraton Yogyakarta |
Dari
Keraton menuju Tugu akan melalui jalan yang lurus (Jl. Ahmad Yani-Jl. Malioboro-Jl. Pangeran Mangkubumi). Jalan yang lurus ini dapat diartikan
sebagai proses manusia menuju kesempurnaan melalui mendekatkan diri dengan Sang
Pencipta, di mana di kiri-kanannya penuh dengan godaan. Godaan-godaan ini
disimbolkan oleh Pasar Beringharjo, Gedung
Kepatihan, serta
bangunan-bangunan buatan pemerintah kolonial Belanda (benteng Vredeburg dan
Gedung Agung). Pasar Beringharjo
melambangkan godaan duniawi secara fisik berupa barang-barang mewah, perhiasan,
makanan lezat, wanita cantik atau lelaki tampan. Gedung Kepatihan merupakan
simbol godaan duniawi berupa kekuasaan. Sedangkan Benteng Vredeburg dan Gedung Agung yang
ditambahkan kemudian ditafsirkan sebagai godaan berupa pengaruh asing.
Benteng Vredeburg |
Khususnya Jalan Malioboro, sejak pertama kali jalan ini
dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono I bersamaan dengan pembangunan Keraton
Yogyakarta, kawasan ini merupakan pusat perdagangan di Yogyakarta. Terdapat
beberapa dugaan mengenai nama “Malioboro”, salah satunya adalah Malioboro berasal dari bahasa
Sansekerta yang berarti karangan bunga, dikarenakan jalan ini biasanya penuh
dengan karangan bunga saat sedang ada acara di keraton. Sumber lain mengatakan
bahwa nama “Malioboro” berasal dari kata Maliya saka
Bara atau Mulia dari Pengembaraan. Apakah kemuliaan
dari pengembaraan yang dimaksud
adalah pengembaraan manusia dalam mencari kemanunggalan
dengan Sang Pencipta, Wallahualam.
Tugu
Yogyakarta yang merupakan bagian dari falsafah “Sangkan Paraning Dumadi” ini
bukanlah tugu yang kita kenal sekarang. Tugu yang asli setinggi 25 meter
berbentuk silinder (gilig) dengan puncak berbentuk bulat (golong), sehingga
sering disebut Tugu Golong-Gilig. Tugu ini bermakna “Manunggaling Kawulo
Gusti”, atau bersatunya Sang Pencipta dengan mahluknya. Di masa lalu ketika
belum ada bangunan, dari singgasana Sultan di Siti Hinggil Keraton, Sultan
dapat memandang Gunung Merapi sekaligus puncak tugu yang berbentuk golong. Sebagian ahli berpendapat bahwa jalan poros
Keraton sampai Tugu ini dapat diartikan sebagai simbol kesempurnaan raja dalam
proses kehidupannya, yang dilandasi dengan keimanannya kepada Sang Pencipta,
serta kesatuan tekad dengan rakyatnya (Tugu Golong-Gilig). Namun banyak yang
mengartikan tugu ini sebagai semangat persatuan antara rakyat dan penguasa
(dalam hal ini Kesultanan Yogyakarta) untuk melawan penjajah Belanda. Sayangnya,
tugu yang asli rusak akibat gempa dahsyat pada tanggal 10 Juni 1867. Setelah
terbengkalai kurang lebih 20 tahun, pemerintah kolonial Belanda membangun tugu
yang baru dengan bentuk yang kita kenal sekarang. Tugu setinggi 15 meter ini
dinamakan De Witt Paal atau Tugu Pal Putih.
Tugu (Pal Putih) Yogyakarta |
Setelah
memahami makna dari tata letak Kota Yogyakarta yang menggambarkan perjalanan
hidup manusia sejak lahir hingga mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, saya rasa
tidak berlebihan jika Kota Lama Yogyakarta dianggap sebagai salah satu produk
bangsa Indonesia yang begitu jenius, karena mampu mengintegrasikan antara tata
letak kota dengan falsafah kehidupan yang begitu luhur. Bagi saya, Kota Lama
Yogyakarta dapat dianggap sebagai salah satu hal paling Indonesia yang pernah
saya temukan dan rasakan. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita melestarikan
peninggalan-peninggalan masa lalu di kota ini dan kota-kota lainnya, sebagai bekal
dan pelajaran bagi kehidupan bangsa Indonesia di masa mendatang.
Disertakan pada Lomba Blog Paling Indonesia dari http://angingmammiri.org/
Disertakan pada Lomba Blog Paling Indonesia dari http://angingmammiri.org/
2 comments:
Semangat mengindonesiakan indonesia...
semangat Indonesia!!
salam anak negeri
Blogwalking sore & Mengundang juga blogger Indonesia hadir di
Lounge Event Tempat Makan Favorit Blogger+ Indonesia
Salam Spirit Blogger Indonesia
iya, bangunan bersejarah di Jogja awet-awet. menurut saya karena kebijakan - keberpihakan pemerintahnya utk menjaga kelestarian bangunan2 tsb.
saya bandingkan dgn kota saya, makassar.
sudah banyak lahan (situs) dan properti sejarah dilego kepada para kapitalis untuk dibuat jd hotel dan resto.
saya lupa pernah membaca dimana, seorang pakar tata kota berkata " Melestarikan bangunan bersejarah berarti menjaga ingatan sebuah kota ".. dan sepertinya, kami di Makassar sudah kehilangan ingatan.. :)
btw, nice article..
salam...
Post a Comment