Tuesday, July 10, 2012

Mencari Sangkuriang di Tangkubanparahu

Hampir semua orang yang (pernah) tinggal di Bandung mengenal tahu gunung Tangkubanparahu. Ya, saat cuaca cerah, di sisi utara Bandung akan terlihat jelas gunung yang berbentuk seperti perahu “nangkub” (terbalik) itu. Gunung Tangkubanparahu merupakan salah satu tujuan wisata favorit di Bandung, baik oleh wisatawan domestik dan mancanegara dari berbagai kalangan. Terutama bagi wisatawan mancanegara, umumnya mereka takjub bahwa tak jauh dari Kota Bandung yang ramai ternyata terdapat gunungapi yang masih aktif.

Gunung Tangkubanparahu setinggi 2084 meter di atas permukaan laut berada dalam kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Tangkubanparahu. Kawasan seluas 90 hektar ini terletak di perbatasan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang, sekitar 25 km ke arah utara Kota Bandung, meliputi desa Sagalaherang, Subang dan desa Cikole, Lembang. Suhu rata-rata harian di sekitar Gunung Tangkubanparahu adalah 17derajat C pada siang hari, dan mencapai 2 derajat C pada malam hari. Gunung Tangkubanparahu tergolong gunung api aktif, yang ditandai dengan munculnya gas belerang dan adanya sumber air panas di kaki gunung, seperti sumber air panas yang terkenal di Desa Ciater, Kabupaten Subang. Keunikan gunung ini adalah bentuknya yang memanjang dari arah timur-barat sepanjang kurang lebih 1100 meter, sehingga jika dipandang dari jauh bentuknya seperti perahu terbalik. Namun jika diperhatikan baik-baik, bentuk gunung yang seperti perahu terbalik ini hanya terlihat dari sisi selatan saja, tepatnya dari Kota Bandung, sedangkan dari sisi lain bentuknya serupa seperti gunung pada umumnya.


Perjalanan ke Tangkubanparahu
Gunung Tangkubanparahu dapat dikunjungi dari arah Bandung maupun Subang. Apabila kita berjalan dari arah Subang, kita akan melewati Wisata Air Panas Ciater. Dari Ciater ke arah Tangkuban Perahu, kita bisa menikmati perkebunan teh Ciater yang dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara VIII. Sedangkan kalau kita berasal dari Bandung, kita akan melewati Kota Lembang dan Cikole. Gerbang kawasan TWA Gunung Tangkubanparahu terletak tepat di perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang.

Tiket masuk TWA Tangkubanparahu saat ini adalah Rp 13.000/orang. Jika menggunakan kendaraan pribadi, tiket masuk kendaraan adalah Rp 10.000/kendaraan. Keunikan dari Gunung Tangkubanparahu adalah adanya jalan menuju puncak gunung, yang dibangun pada tahun 1906 atas prakarsa Bandoeng Vooruit, sehingga Anda bisa membawa kendaraan Anda hingga ke puncak gunung. Di sepanjang jalan menuju puncak, terdapat panorama pepohonan pinus yang rimbun serta bunga-bunga terompet yang cantik. Namun untuk kendaraan besar seperti bis, hanya bisa mencapai terminal Jayagiri. Dari terminal tersebut terdapat shuttle resmi dari pengelola TWA Tangkubanparahu untuk menuju ke puncak gunung dengan tariff Rp 2.500 per orang sekali jalan.

Bunga Lili di Sepanjang Jalan
 Untuk mencapai gerbang kawasan TWA Tangkubanparahu dengan kendaraan umum, dapat dilakukan dengan beberapa alternatif rute :
•    Dari Terminal Subang menggunakan elf jurusan Bandung
•    Dari Terminal Leuwipanjang Bandung menggunakan elf jurusan Indramayu via Subang
•    Dari Terminal Ledeng Bandung menggunakan elf jurusan Subang
Untuk mencapai puncak gunung, Anda bisa menyewa angkot dari gerbang, dengan tariff Rp 30.000 sekali jalan sampai puncak.

Wisata Vulkanik Tangkubanparahu
 Tak hanya memiliki bentuk yang unik, keistimewaan Gunung Tangkubanparahu yang lain adalah jumlah kawahnya yang cukup banyak. Gunung ini termasuk gunung yang aktif, dan tercatat pernah beberapa kali meletus, hingga menghasilkan Sembilan kawah yang ada saat ini. Kesembilan kawah tersebut adalah Kawah Ratu, Upas, Domas, Jarian, Badak, Siluman, dan Kawah Baru. Letusan pertama yang tercatat terjadi di Kawah Ratu dan Kawah Domas pada tanggal 4 April 1829. Saat ini aktivitas Gunung Tangkubanparahu terus dipantau, dan terkadang wisatawan tidak diperbolehkan mendaki apabila ditemukan indikasi peningkatan aktivitas vulkanik.

Kawah utama dan yang terbesar dari Gunung Takubanperahu adalah Kawah Ratu. Kawah ini dikenal juga dengan nama Kawah Pangguyangan Badak. Kawah ini berdiameter 800 meter, dan bentuknya seperti mangkuk raksasa yang luas dan dalam. Nama Kawah Ratu diberikan oleh penduduk, karena kawah ini dipercaya merupakan tempat Dayang Sumbi membenamkan diri ke dalam perut bumi karena tidak sudi dipersunting oleh Sangkuriang, anak kandungnya sendiri. Untuk mengunjungi kawah Ratu, mobil pribadi bisa mencapai ke atas dan parkir tepat di bibir kawah. Di bibir kawah terdapat pembatas pagar kayu yang dipasang untuk mencegah pengunjung terjatuh. Saat cuaca cerah, kita bisa melihat dengan jelas dasar kawah dan lekukan-lekukan di dinding kawah, disertai asap yang keluar dari kawah, menciptakan pemandangan yang spektakuler dan menggetarkan hati. Tanah di sekitar kawah Ratu berwarna putih, dengan beberapa batu belerang berwarna kuning. Untuk turun ke dasar kawah, perlu dipertimbangkan resiko adanya akumulasi gas beracun yang keluar dari kawah.

Kawah Ratu Saat Cuaca Cerah
Kawah Ratu yang Tidak Kelihatan Saat Cuaca Berkabut
Kawah Upas terletak bersebelahan dengan Kawah Ratu, dan merupakan kawah tertua di gunung Tangkuban Perahu. Kawah ini bentuknya lebih kecil dan dasarnya lebih dangkal dan datar dibandingkan Kawah Ratu. Kawah Upas dapat ditempuh dengan berjalan kaki kurang lebih 25 menit dari Menara Pandang, mengitari tepi Kawah Ratu dengan arah berlawanan jarum jam. Di salah satu sisi dasar kawah, kita bisa melihat pepohonan liar tampak banyak tumbuh, namun di sisi barat kita bisa melihat sisa pepohonan yang hancur karena terpapar uap sulfur secara terus menerus. Dari sisi Kawah Upas, kita bisa melihat pemandangan Kawah Ratu dari sisi yang berbeda, karena terdapat sisi Kawah Ratu dan Kawah Upas yang menyatu dalam satu jalur pendakian.

Kawah Domas terletak lebih bawah daripada Kawah Ratu. Terdapat 2 cara menuju Kawah Domas, bisa melalui pintu gerbang menuju Kawah Domas yang terletak di bawah, atau jika dari kawasan Kawah Ratu menggunakan jalur menurun kurang lebih 1200 meter. Atraksi yang menarik dan unik dari kawah ini adalah adanya sumber mata air panas di dasar Kawah Domas, sehingga jika kita memasukkan telur ke dalam kawah, maka telur tersebut akan matang menjadi telur rebus. Sepanjang jalan menuju Kawah Domas, banyak warung yang menjual telur ayam dan bebek mentah, yang biasanya ditawarkan untuk “direbus” dalam air Kawah Domas. Telur yang direbus di Kawah Domas ini mengandung belerang, sehingga dinamakan “telur dewa”, dan konon berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit kulit. Untuk mencapai Kawah Domas memakan waktu ¾ sampai 1 jam, dan disarankan untuk menggunakan jasa pemandu karena banyak rerimbunan semak dan tumbuhan serta anjing-anjing liar berkeliaran di jalur menuju kawah tersebut.

Gunung Tangkubanparahu sangat ideal untuk dinikmati ketika cuaca sedang cerah, sehingga selain cuaca lebih hangat dan ramah. akan terlihat bentuk kawah dan kepulan asap yang menandakan bahwa gunung tersebut masih aktif. Namun jika Anda kurang beruntung dan menemukan kabut pekat sedang menutupi Gunung Tangkubanparahu, jangan buru-buru kecewa karena Anda tak bisa menikmati panorama kawah-kawah di Gunung Tangkubanparahu tersebut. Anda tetap bisa menikmati sensasi berada di puncak gunung di sela-sela kabut yang mungkin sulit Anda temui di tempat lain.

Suasana Tangkubanparahu Saat Cerah
Suasana Tangkubanparahu Saat Berkabut
Jangan khawatir mengenai fasilitas umum di sekitar puncak Gunung Tangkubanparahu. Di dekat Menara Pandang terdapat pusat informasi wisata di mana wisatawan bisa bertanya mengenai Tangkubanparahu dan wisata Bandung lainnya. Tersedia pula fasilitas toilet dan mushola, serta atraksi kuda tunggang mengitari kawah yang menjadi favorit anak-anak. Bagi mereka yang ingin membeli cemilan, tersedia makanan dan minuman hangat seperti mie rebus, bandrek, ketan bakar, dan lain sebagainya. Anda bisa juga membawa oleh-oleh seperti syal, kupluk, tas, pernik asesoris, pajangan dari kayu, atau bubuk belerang dan akar pohon pakis naga yang bermanfaat untuk obat.
Kuda Tunggang di Tepi Kawah Ratu
  
Legenda Sangkuriang
Gunung Tangkubanparahu tidak bisa lepas dari legenda Sasakala Sangkuriang. Dikisahkan Sangkuriang adalah anak Dayang Sumbi dengan seekor anjing bernama Tumang. Suatu hari Sangkuriang membunuh Tumang, dan Dayang Sumbi mengusirnya dari rumah. Beberapa tahun kemudian, Sangkuriang kembali ke desanya, dan ia jatuh cinta dan bermaksud mempersunting Dayang Sumbi yang tetap awet muda, tanpa menyadari bahwa Dayang Sumbi adalah ibu kandungnya. Untuk menggagalkan niat anaknya menikahinya, Dayang Sumbi mengajukan syarat bahwa Sangkuriang harus bisa membuat perahu dalam semalam sebelum fajar terbit. Menjelang terbit fajar, Dayang Sumbi berlari ke puncak bukit sambil mengibarkan selendangnya, membuat ayam jantan mengira hari telah pagi, dan ia mulai berkokok. Karena perahu yang dibuat Sangkuriang belum selesai ketika ayam berkokok, Sangkuriang dinyatakan gagal. Ketika usahanya gagal, Sangkuriang marah dan menendang perahu itu, sehingga mendarat dalam keadaan terbalik, dan kemudian mengejar Dayang Sumbi. Dalam usahanya melarikan diri, Dayang Sumbi melompat ke dalam dalam perut bumi, dan meninggalkan lubang yang sangat besar. Perahu yang terbalik kemudian membentuk Gunung Tangkubanparahu, sedangkan lubang yang ditinggalkan Dayang Sumbi kemudian menjadi kawah yang dikenal sebagai Kawah Ratu.

Relief Legenda Sangkuriang di Menara Pandang
 Legenda Sangkuriang menjadi daya pikat tersendiri bagi Gunung Tangkubanparahu, sehingga dua orang guru besar geologi berkebangsaan Belanda dari Technische Hogeschool (sekarang Institut Teknologi Bandung), Prof. H. Th. Klompe dan Prof. George Adrian de Neve, pernah mewasiatkan agar abu jenazahnya disebarkan ke dalam Kawah Ratu. Namun ternyata kisah Sangkuriang tidak berhenti sebagai sekedar legenda. Berdasarkan penelitian mengenai pembentukan Gunung Tangkubanparahu, para ahli geologi justru mengkaitkan legenda tersebut dengan teori Gunung Sunda purba. Mereka meyakini bahwa legenda Sangkuriang yang merupakan cerita masyarakat di sekitar kawasan Tangkubanparahu diyakini merupakan sebuah dokumentasi masyarakat kawasan Gunung Sunda purba terhadap peristiwa geologis pada saat itu yang kemudian membentuk Lembah Bandung dan menyisakan Gunung Tangkubanparahu sebagai sisa Gunung Sunda purba tersebut.


Disertakan pada lomba Blog Dalam Rangka HUT Komunitas Blogger Nganjuk ke-3 http://kotaangin.com

1 comment:

kiky said...

eh dia ngeblog juga ternyata...