Saya
sudah banyak melakukan perjalanan ke berbagai penjuru Nusantara, namun
baru kali ini ada sebuah destinasi wisata yang memberikan perasaan
seperti “jatuh cinta pada pandangan pertama”, dan tempat itu adalah
Bukittinggi. Ya, ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di kota ini
di tahun 2007, saya langsung jatuh cinta pada keindahan alamnya.
Sayangnya waktu itu saya hanya punya waktu satu malam, sehingga saya tak
sempat menjelajahi Bukittinggi yang juga terkenal dengan berbagai
peninggalan sejarahnya. Saya pun bertekad suatu hari saya harus kembali
lagi untuk menjelajahi Bukittinggi.
Akhirnya,
setahun setelah kunjungan pertama saya, saya berhasil mengajak keluarga
saya untuk berwisata di Bukittinggi, tentu saja dengan bujukan-bujukan
yang mengatakan bahwa banyak tempat menarik yang bisa dilihat di sana.
Persiapan kami lakukan kurang lebih selama sebulan untuk mengatur
itinerary, tiket pesawat, transportasi dan akomodasi selama di sana. Dan
akhirnya, bertepatan dengan libur Hari Natal tahun 2008, saya dan
keluarga menginjakkan kaki ke Bukittinggi.
Setelah
mendarat di Bandara Internasional Minangkabau, dengan menggunakan
kendaraan sewaan kami langsung berangkat ke Bukittinggi. Sepanjang
perjalanan menuju Bukittinggi, kami melewati jalur
Padang-Padangpanjang-Bukittinggi yang berbukit-bukit. Dengan pemandangan
yang begitu hijau dan rimbun, membuat anggota keluarga saya yang lain
langsung ikut jatuh cinta pada panorama alam Sumatra Barat. Pertama kali
kami berhenti di Aia Tajun Lembah Anai. Berbeda dengan air terjun yang
umumnya terletak jauh di dalam hutan atau kebun raya, air terjun
setinggi 30 meter ini terletak di pinggir jalan utama, sehingga
melihatnya saja sudah memberikan sensasi tersendiri, apalagi saat kami
turun dan menyentuhkan tangan di air yang dingin. Perasaan ini ditambah
dengan suasana segar di sekitar air terjun, serta pemandangan dramatis
berupa paduan jembatan rel kereta api dan jalan raya yang melintas area
dekat Aia Tajun Lembah Anai. Sulit mencari pemandangan seperti ini di
tempat lain yang pernah kami kunjungi.
Setelah
2 jam perjalanan dari Bandara Minangkabau, kami tiba di Bukittinggi.
Sebelum memasuki kota, dari kejauhan terlihat panorama Gunung
Singgalang, salah satu gunung yang mengapit Kota Bukittinggi. Begitu
kami keluar dari kendaraan, terasa hawa dingin khas pegunungan.
Bukittinggi memang kota paling dingin di Sumatra Barat, dengan
ketinggian 930 meter di atas permukaan laut, dan suhu udara pada rentang
16-25 derajat Celcius. Saya teringat kembali saat pertama kali
menginjakkan kaki di kota ini dan menghirup udara dingin beraroma bersih
dan segar, mungkin hal inilah yang membuat saya jatuh cinta dan ingin
kembali ke Bukittinggi.
Ketika
kami meletakkan barang-barang di hotel dan membuka jendela, terlihat
panorama kota yang penuh bangunan, yang merupakan perpaduan bangunan
modern dan bangunan bergaya tradisional. Yang membuat lebih menarik,
bangunan-bangunan ini berpadu dengan panorama alam berupa gunung yang
mengelilingi Kota Bukittinggi. Rasanya tidak bosan melihat pemandangan
yang unik seperti ini. Namun kami tak bisa berlama-lama di hotel, karena
tak sabar lagi untuk menjelajahi Kota Bukittinggi.
Salah satu tujuan kami ke Bukittinggi adalah melakukan wisata sejarah, sebuah kegiatan wisata yang merupakan passion
kami. Banyak bangunan lama dan peninggalan sejarah yang masih terawat
di kota ini, di antaranya adalah Fort de Kock, Rumah Kelahiran Bung
Hatta, Museum Rumah Adat Baanjuang, dan Lubang Jepang. Tempat yang
menjadi tujuan pertama kami adalah Taman Bundo Kanduang, untuk melihat
Fort de Kock dan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Benteng Fort de
Kock berdiri di atas Bukit Jirek, didirikan oleh Captain Bauer pada
tahun 1825. Sebenarnya nama asli dari Fort de Kock adalah “Sterreschans”, yang berarti bintang pelindung. Sedangkan yang disebut sebagai “Fort de Kock” sebenarnya adalah area di sekitar benteng Sterreschans,
yang sekarang menjadi Kota Bukittinggi. Nama Fort de Kock diambil dari
nama Jendral Baron Hendrik Markus De Kock yang ketika itu menjabat
sebagai Wakil Gubernur Jendral Hindia Belanda.
Ketika
kami memasuki area benteng, kami mendapatkan sebuah “kejutan” : mana
bentengnya? Tadinya saya berharap akan melihat sebuah bangunan yang
kokoh, atau setidaknya sisa bangunan tersebut. Kami hanya menemukan
menara air, beberapa meriam dan parit perlindungan di atas bukit. Jadi
sepertinya yang disebut benteng Fort de Kock adalah area berkontur
tinggi yang digunakan sebagai sarana pertahanan terhadap serangan Kaum
Paderi di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol. Setelah puas melihat-lihat
di Fort de Kock, kami menyeberangi jembatan cantik yang dihiasi tiang
beratap gonjong (atap khas rumah gadang) bernama Jembatan Limpapeh.
Saking cantiknya, saya mencoba memotret jembatan ini dari berbagai
sudut, untuk bisa memperoleh foto yang “sempurna”. Dari atas jembatan,
kami menikmati pemandangan yang menakjubkan : keindahan alam Bukittinggi
dengan gunung dan sawah menghijau, berpadu dengan keramaian Jl. Ahmad
Yani yang berada di bawah jembatan. Rasanya tidak bosan-bosan kami melintas bolak-balik di atas jembatan yang cantik ini.
Di
sisi seberang jembatan, kami menuju Taman Margasatwa dan Budaya
Kinantan. Kebun binatang ini satu-satunya kebun binatang di Sumatra
Barat, dan merupakan salah satu kebun binatang tertua di Indonesia. Area
ini dibangun pada tahun 1900 oleh Controlleur Strom Van Govent, dan
dijadikan kebun binatang oleh Dr. J Hock pada tahun 1929. Di dekat kebun
binatang, terdapat rumah gadang yang merupakan tempat Museum Rumah Adat
Baanjuang. Rumah adat Minangkabau ini dibangun oleh Mr. Modelar
Countrolleur di tahun 1935, untuk menghimpun benda-benda sejarah dan
budaya Minangkabau. Di museum ini kami melihat bukti-bukti kekayaan
budaya khas Minangkabau, seperti pakaian adat, alat musik, alat
ketrampilan, dan senjata.
Keluar
dari Taman Bundo Kanduang, kami bergegas menuju Jam Gadang, landmark
Bukittinggi yang terletak di Taman Sabai Nan Aluih, tepat di pusat Kota
Bukittinggi. Ibaratnya, belum ke Bukittinggi kalau belum menginjakkan
kaki di Jam Gadang. Pada kunjungan saya untuk pertama kalinya di tahun
2007, saya hanya berkesempatan melihat landmark ini di malam hari. Namun
ketika saya datang lagi, melihat menara Jam Gadang yang begitu megah
dan unik, saya tahu bahwa saya tidak akan pernah bosan untuk mengunjungi
tempat ini. Secara harfiah, “Jam Gadang” berarti jam besar, dan tidak
mengherankan karena diameter jam ini berukuran 80 centimeter, jauh lebih
besar daripada ukuran jam pada umumnya. Menara Jam Gadang setinggi 26
meter ini didirikan oleh Controlleur Rook Maker pada tahun 1926, sebagai
tempat untuk meletakkan jam besar yang merupakan hadiah dari Ratu
Belanda. Bangunan menara yang ada sekarang memiliki bentuk atap gonjong
khas rumah adat Minangkabau, dan merupakan rancangan Jazid dan Sutan
Gigih Amen. Karena saat itu suasana tidak terlalu ramai, kami pun
berfoto-foto dalam berbagai posisi, sekaligus untuk menunjukkan bahwa
tak hanya London yang punya Big Ben, Bukittinggi pun punya Jam Gadang.
Setelah
makan siang, kami pergi ke Taman Panorama. Sebelum menikmati keindahan
Ngarai Sianok, kami mengunjungi Lubang Jepang. Walaupun namanya berawal
dengan kata “lubang”, tempat ini sebenarnya adalah jaringan terowongan
buatan yang digunakan tentara Jepang sebagai markas di Kota Bukittinggi.
Terowongan ini dibuat pada tahun 1942 di bawah pimpinan Jendral
Watanabe, dan ditinggalkan saat Jepang menyerah pada Sekutu di tahun
1945. Tahun 1946, penduduk secara tak sengaja menemukan terowongan ini.
Pemda Bukittinggi kemudian merenovasi terowongan dan menambahkan
fasilitas seperti tangga, lampu dan pemandu bersertifikat, sehingga
wisatawan dapat masuk ke dalam terowongan dengan nyaman, sekaligus
mendapatkan informasi mengenai kisah sejarah terowongan tersebut.
Hari
itu kami dipandu pak Jeffri, pemandu bersertifikat di Taman Panorama.
Ia menjelaskan bahwa Lubang Jepang merupakan jaringan terowongan di
kedalaman 50 meter dengan total panjang mencapai 1470 meter, membuat
Lubang Jepang sebagai gua Jepang terpanjang di Indonesia. Untuk memasuki
terowongan,
pak Jeffri membawa kami ke pintu masuk yang terletak di Taman Panorama.
Pintu ini sebenarnya adalah lubang ventilasi, yang kemudian diperbesar
dan diberi anak tangga berjumlah 128 buah. Ketika kami menuruni anak
tangga tersebut, ternyata 40 meter itu tidak dekat, karena rasanya tidak sampai-sampai.
Di dalam terowongan, Pak Jeffri menjelaskan bahwa terowongan
ini dibangun dengan tangan manusia tanpa menggunakan alat berat.
Terowongan ini tak hanya berupa lorong-lorong, tetapi juga terdapat
beberapa ruangan seperti barak militer, tempat tidur, ruang amunisi,
ruang makan romusha dan ruang sidang. Sebagai pelengkap, terdapat ruang
dapur dan ruang penjara. Pak Jeffri bercerita bahwa di dekat ruang dapur
terdapat lubang tempat pembuangan sampah dapur dan mayat tahanan
tentara Jepang yang sudah tewas. Rasanya merinding membayangkan
keadaan pada masa itu, mengingat para romusha bekerja membangun
terowongan dengan tangannya, serta bagaimana para tahanan tewas dengan
mengenaskan dan dibuang keluar. Setelah melihat-lihat di sepanjang
terowongan, kami pun kembali mendaki anak tangga sejauh 40 meter, dan
rasanya lega sekali setelah kami tiba di permukaan.
Keluar
dari Lubang Jepang, mulailah kami menikmati panorama Ngarai Sianok,
“The Grand Canyon of Indonesia”. Ngarai Sianok adalah lembah curam
sedalam 100 meter yang terletak di jantung kota Bukittinggi, dan
memanjang sejauh 15 km dari selatan Koto Gadang hingga Palupuh, Agam.
Nama “Sianok” berarti diam, yang diberikan karena pada jaman dahulu di
dasar ngarai banyak ditemukan jenasah korban penyiksaan tentara Jepang,
yang hanya ‘membisu’
ketika dilempar dari atas ngarai. Di dasar ngarai, terdapat sungai
Batang Sianok yang jernih. Kami berkesempatan untuk naik ke menara
pandang, agar dapat menyaksikan pemandangan Ngarai Sianok dengan lebih
leluasa. Melihat betapa panjang dan luasnya Ngarai Sianok, hati ini
bergetar, betapa indahnya panorama Kota Bukittinggi.
Paduan
keindahan panorama alam yang menakjubkan, hawa sejuk segar tanpa
polusi, serta banyaknya peninggalan sejarah dan kekayaan budaya
Bukittinggi, membuat sulit untuk tidak jatuh cinta pada kota ini. Sayang
sekali, waktu kami di Bukittinggi terbatas, sehingga kami belum bisa
menjelajahi seluruh penjuru kota. Masih banyak obyek peninggalan sejarah
yang belum sempat kami kunjungi, seperti Rumah Kelahiran Bung Hatta dan
Museum Perjuangan Eka Sapta Darma. Seandainya diberi kesempatan lagi,
saya ingin sekali kembali ke Bukittinggi, untuk meneruskan penjelajahan
di kota yang penuh romansa ini.
Note : Kenang-kenangan posting di Multiply untuk ikut lomba travelling blog [Love Journey], pindahan dari : http://tathagati.multiply.com/journal/item/111/Love-Journey-Kembali-ke-Bukittinggi
No comments:
Post a Comment