Sunday, August 12, 2012

[Love Journey] - Kembali ke Bukittinggi


Saya sudah banyak melakukan perjalanan ke berbagai penjuru Nusantara, namun baru kali ini ada sebuah destinasi wisata yang memberikan perasaan seperti “jatuh cinta pada pandangan pertama”, dan tempat itu adalah Bukittinggi. Ya, ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di kota ini di tahun 2007, saya langsung jatuh cinta pada keindahan alamnya. Sayangnya waktu itu saya hanya punya waktu satu malam, sehingga saya tak sempat menjelajahi Bukittinggi yang juga terkenal dengan berbagai peninggalan sejarahnya. Saya pun bertekad suatu hari saya harus kembali lagi untuk menjelajahi Bukittinggi. 

Akhirnya, setahun setelah kunjungan pertama saya, saya berhasil mengajak keluarga saya untuk berwisata di Bukittinggi, tentu saja dengan bujukan-bujukan yang mengatakan bahwa banyak tempat menarik yang bisa dilihat di sana. Persiapan kami lakukan kurang lebih selama sebulan untuk mengatur itinerary, tiket pesawat, transportasi dan akomodasi selama di sana. Dan akhirnya, bertepatan dengan libur Hari Natal tahun 2008, saya dan keluarga menginjakkan kaki ke Bukittinggi.

Setelah mendarat di Bandara Internasional Minangkabau, dengan menggunakan kendaraan sewaan kami langsung berangkat ke Bukittinggi. Sepanjang perjalanan menuju Bukittinggi, kami melewati jalur Padang-Padangpanjang-Bukittinggi yang berbukit-bukit. Dengan pemandangan yang begitu hijau dan rimbun, membuat anggota keluarga saya yang lain langsung ikut jatuh cinta pada panorama alam Sumatra Barat. Pertama kali kami berhenti di Aia Tajun Lembah Anai. Berbeda dengan air terjun yang umumnya terletak jauh di dalam hutan atau kebun raya, air terjun setinggi 30 meter ini terletak di pinggir jalan utama, sehingga melihatnya saja sudah memberikan sensasi tersendiri, apalagi saat kami turun dan menyentuhkan tangan di air yang dingin. Perasaan ini ditambah dengan suasana segar di sekitar air terjun, serta pemandangan dramatis berupa paduan jembatan rel kereta api dan jalan raya yang melintas area dekat Aia Tajun Lembah Anai. Sulit mencari pemandangan seperti ini di tempat lain yang pernah kami kunjungi.

Setelah 2 jam perjalanan dari Bandara Minangkabau, kami tiba di Bukittinggi. Sebelum memasuki kota, dari kejauhan terlihat panorama Gunung Singgalang, salah satu gunung yang mengapit Kota Bukittinggi. Begitu kami keluar dari kendaraan, terasa hawa dingin khas pegunungan. Bukittinggi memang kota paling dingin di Sumatra Barat, dengan ketinggian 930 meter di atas permukaan laut, dan suhu udara pada rentang 16-25 derajat Celcius. Saya teringat kembali saat pertama kali menginjakkan kaki di kota ini dan menghirup udara dingin beraroma bersih dan segar, mungkin hal inilah yang membuat saya jatuh cinta dan ingin kembali ke Bukittinggi.

Ketika kami meletakkan barang-barang di hotel dan membuka jendela, terlihat panorama kota yang penuh bangunan, yang merupakan perpaduan bangunan modern dan bangunan bergaya tradisional. Yang membuat lebih menarik, bangunan-bangunan ini berpadu dengan panorama alam berupa gunung yang mengelilingi Kota Bukittinggi. Rasanya tidak bosan melihat pemandangan yang unik seperti ini. Namun kami tak bisa berlama-lama di hotel, karena tak sabar lagi untuk menjelajahi Kota Bukittinggi.

Salah satu tujuan kami ke Bukittinggi adalah melakukan wisata sejarah, sebuah kegiatan wisata yang merupakan passion kami. Banyak bangunan lama dan peninggalan sejarah yang masih terawat di kota ini, di antaranya adalah Fort de Kock, Rumah Kelahiran Bung Hatta, Museum Rumah Adat Baanjuang, dan Lubang Jepang. Tempat yang menjadi tujuan pertama kami adalah Taman Bundo Kanduang, untuk melihat Fort de Kock dan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Benteng Fort de Kock berdiri di atas Bukit Jirek, didirikan oleh Captain Bauer pada tahun 1825. Sebenarnya nama asli dari Fort de Kock adalah “Sterreschans”, yang berarti bintang pelindung. Sedangkan yang disebut sebagai “Fort de Kock” sebenarnya adalah area di sekitar benteng Sterreschans, yang sekarang menjadi Kota Bukittinggi. Nama Fort de Kock diambil dari nama Jendral Baron Hendrik Markus De Kock yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Gubernur Jendral Hindia Belanda. 

Ketika kami memasuki area benteng, kami mendapatkan sebuah “kejutan” : mana bentengnya? Tadinya saya berharap akan melihat sebuah bangunan yang kokoh, atau setidaknya sisa bangunan tersebut. Kami hanya menemukan menara air, beberapa meriam dan parit perlindungan di atas bukit. Jadi sepertinya yang disebut benteng Fort de Kock adalah area berkontur tinggi yang digunakan sebagai sarana pertahanan terhadap serangan Kaum Paderi di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol. Setelah puas melihat-lihat di Fort de Kock, kami menyeberangi jembatan cantik yang dihiasi tiang beratap gonjong (atap khas rumah gadang) bernama Jembatan Limpapeh. Saking cantiknya, saya mencoba memotret jembatan ini dari berbagai sudut, untuk bisa memperoleh foto yang “sempurna”. Dari atas jembatan, kami menikmati pemandangan yang menakjubkan : keindahan alam Bukittinggi dengan gunung dan sawah menghijau, berpadu dengan keramaian Jl. Ahmad Yani yang berada di bawah jembatan. Rasanya tidak bosan-bosan kami melintas bolak-balik di atas jembatan yang cantik ini.

Di sisi seberang jembatan, kami menuju Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Kebun binatang ini satu-satunya kebun binatang di Sumatra Barat, dan merupakan salah satu kebun binatang tertua di Indonesia. Area ini dibangun pada tahun 1900 oleh Controlleur Strom Van Govent, dan dijadikan kebun binatang oleh Dr. J Hock pada tahun 1929. Di dekat kebun binatang, terdapat rumah gadang yang merupakan tempat Museum Rumah Adat Baanjuang. Rumah adat Minangkabau ini dibangun oleh Mr. Modelar Countrolleur di tahun 1935, untuk menghimpun benda-benda sejarah dan budaya Minangkabau. Di museum ini kami melihat bukti-bukti kekayaan budaya khas Minangkabau, seperti pakaian adat, alat musik, alat ketrampilan, dan senjata.

Keluar dari Taman Bundo Kanduang, kami bergegas menuju Jam Gadang, landmark Bukittinggi yang terletak di Taman Sabai Nan Aluih, tepat di pusat Kota Bukittinggi. Ibaratnya, belum ke Bukittinggi kalau belum menginjakkan kaki di Jam Gadang. Pada kunjungan saya untuk pertama kalinya di tahun 2007, saya hanya berkesempatan melihat landmark ini di malam hari. Namun ketika saya datang lagi, melihat menara Jam Gadang yang begitu megah dan unik, saya tahu bahwa saya tidak akan pernah bosan untuk mengunjungi tempat ini. Secara harfiah, “Jam Gadang” berarti jam besar, dan tidak mengherankan karena diameter jam ini berukuran 80 centimeter, jauh lebih besar daripada ukuran jam pada umumnya. Menara Jam Gadang setinggi 26 meter ini didirikan oleh Controlleur Rook Maker pada tahun 1926, sebagai tempat untuk meletakkan jam besar yang merupakan hadiah dari Ratu Belanda. Bangunan menara yang ada sekarang memiliki bentuk atap gonjong khas rumah adat Minangkabau, dan merupakan rancangan Jazid dan Sutan Gigih Amen. Karena saat itu suasana tidak terlalu ramai, kami pun berfoto-foto dalam berbagai posisi, sekaligus untuk menunjukkan bahwa tak hanya London yang punya Big Ben, Bukittinggi pun punya Jam Gadang.

Setelah makan siang, kami pergi ke Taman Panorama. Sebelum menikmati keindahan Ngarai Sianok, kami mengunjungi Lubang Jepang. Walaupun namanya berawal dengan kata “lubang”, tempat ini sebenarnya adalah jaringan terowongan buatan yang digunakan tentara Jepang sebagai markas di Kota Bukittinggi. Terowongan ini dibuat pada tahun 1942 di bawah pimpinan Jendral Watanabe, dan ditinggalkan saat Jepang menyerah pada Sekutu di tahun 1945. Tahun 1946, penduduk secara tak sengaja menemukan terowongan ini. Pemda Bukittinggi kemudian merenovasi terowongan dan menambahkan fasilitas seperti tangga, lampu dan pemandu bersertifikat, sehingga wisatawan dapat masuk ke dalam terowongan dengan nyaman, sekaligus mendapatkan informasi mengenai kisah sejarah terowongan tersebut.
Hari itu kami dipandu pak Jeffri, pemandu bersertifikat di Taman Panorama. Ia menjelaskan bahwa Lubang Jepang merupakan jaringan terowongan di kedalaman 50 meter dengan total panjang mencapai 1470 meter, membuat Lubang Jepang sebagai gua Jepang terpanjang di Indonesia. Untuk memasuki terowongan, pak Jeffri membawa kami ke pintu masuk yang terletak di Taman Panorama. Pintu ini sebenarnya adalah lubang ventilasi, yang kemudian diperbesar dan diberi anak tangga berjumlah 128 buah. Ketika kami menuruni anak tangga tersebut, ternyata 40 meter itu tidak dekat, karena rasanya tidak sampai-sampai.
Di dalam terowongan, Pak Jeffri menjelaskan bahwa terowongan ini dibangun dengan tangan manusia tanpa menggunakan alat berat. Terowongan ini tak hanya berupa lorong-lorong, tetapi juga terdapat beberapa ruangan seperti barak militer, tempat tidur, ruang amunisi, ruang makan romusha dan ruang sidang. Sebagai pelengkap, terdapat ruang dapur dan ruang penjara. Pak Jeffri bercerita bahwa di dekat ruang dapur terdapat lubang tempat pembuangan sampah dapur dan mayat tahanan tentara Jepang yang sudah tewas. Rasanya merinding membayangkan keadaan pada masa itu, mengingat para romusha bekerja membangun terowongan dengan tangannya, serta bagaimana para tahanan tewas dengan mengenaskan dan dibuang keluar. Setelah melihat-lihat di sepanjang terowongan, kami pun kembali mendaki anak tangga sejauh 40 meter, dan rasanya lega sekali setelah kami tiba di permukaan.
Keluar dari Lubang Jepang, mulailah kami menikmati panorama Ngarai Sianok, “The Grand Canyon of Indonesia”. Ngarai Sianok adalah lembah curam sedalam 100 meter yang terletak di jantung kota Bukittinggi, dan memanjang sejauh 15 km dari selatan Koto Gadang hingga Palupuh, Agam. Nama “Sianok” berarti diam, yang diberikan karena pada jaman dahulu di dasar ngarai banyak ditemukan jenasah korban penyiksaan tentara Jepang, yang hanya ‘membisu’ ketika dilempar dari atas ngarai. Di dasar ngarai, terdapat sungai Batang Sianok yang jernih. Kami berkesempatan untuk naik ke menara pandang, agar dapat menyaksikan pemandangan Ngarai Sianok dengan lebih leluasa. Melihat betapa panjang dan luasnya Ngarai Sianok, hati ini bergetar, betapa indahnya panorama Kota Bukittinggi.

Paduan keindahan panorama alam yang menakjubkan, hawa sejuk segar tanpa polusi, serta banyaknya peninggalan sejarah dan kekayaan budaya Bukittinggi, membuat sulit untuk tidak jatuh cinta pada kota ini. Sayang sekali, waktu kami di Bukittinggi terbatas, sehingga kami belum bisa menjelajahi seluruh penjuru kota. Masih banyak obyek peninggalan sejarah yang belum sempat kami kunjungi, seperti Rumah Kelahiran Bung Hatta dan Museum Perjuangan Eka Sapta Darma. Seandainya diberi kesempatan lagi, saya ingin sekali kembali ke Bukittinggi, untuk meneruskan penjelajahan di kota yang penuh romansa ini.


Note : Kenang-kenangan posting di Multiply untuk ikut lomba travelling blog [Love Journey], pindahan dari : http://tathagati.multiply.com/journal/item/111/Love-Journey-Kembali-ke-Bukittinggi

No comments: