Minggu, 25 Januari 2009, aku dan adik-adikku ikut Plesiran Tempo Doeloe di Kota Tua Batavia. K'lo liat dari milis dan websitenya, acaranya menarik banget, apalagi diselenggarakan dengan jalan kaki, wah, pasti banyak yang bisa diliat nih. Belum lagi setelah baca novelnya ES Ito si Rahasia Meede, sapa tahu beneran ketemu ada terowongan di bawah (ex-)Stadhuis, huehehehe...
Sehari sebelum acara, aku iseng-iseng mengemail koordinatornya, nanya berapa jumlah pesertanya. Dijawablah : 900-an orang. (DOINK!!!!) Banyak banget?! Ini teh mau plesir ato mau lomba gerak jalan? (diinget-inget, perasaan jaman karyawisata dulu, k'lo 1 sekolah mau karyawisata, jumlahnya per angkatan max 600-an orang, itu pun udah dibagi jadi 3 gelombang @ 200-an peserta max) Tapi ya udahlah... cuman bisa berdoa, mudah-mudahan panitia cukup siap menghadapi peserta yang segini banyak.
Pas dateng ke tempat kumpul di Museum Bank Mandiri, terlihat panitia udah membagi peserta ke loket-loket sesuai dengan nomor pendaftarannya. Ohh... lumayan... gak perlu berebut daftar ulang. Tapi ternyata, nomor terakhir pendaftaran itu 1100!! (DOINKINKINK!!!) Buset, dah... lebih mirip orang mau kampanye ato demo deh kaya'nya... Udah gitu pas jam 7, panitia keliatan belum siap, jadi aja peserta yang jumlahnya 1000-an itu pada berkeliaran di Museum Bank Mandiri, untung banyak yang diliat di sana, jadi gak bosen-bosen amat.
Akhirnya, setelah beberapa saat, loket dibuka. Alhamdulillah, peserta cukup tertib. Tapi rupanya, mulai ada yang gak 'kena'. Masa' bisa kami tidak kebagian roti buaya buat sarapan, padahal panitia sendiri yang membagi tiap loket dibatasin 100 peserta sesuai nomor pendaftaran??? Memang sih, pada akhirnya roti itu bisa diklaim ke panitia setelah acara presentasi, tapi udah keburu sebel aja (cuman masih belum bete, baru sebeleun).
Setelah proses pendaftaran, peserta "digiring" ke lantai atas untuk mendengarkan presentasi. Eh, gak disediain kursi... jadilah kita duduk di lantai. Kebayang donk, untuk masukin 1100 peserta ke dalam ruangan yang sempit, prosesnya lama... udah gitu presentasinya nggak selesai-selesai. Pas presentasi yang pertama oleh pak Liliek Suratminto, kebetulan beliau gaya presentasinya enak, ditambah yang dijelaskan itu padat-singkat-mengena (mungkin juga karena udah diwanti-wanti bahwa jam 8 harus udah jalan). Salah satu penjelasan pak Liliek yang paling berkesan untuk saya adalah bahwa ternyata JP Coen membangun kota Batavia dengan kanal-kanal seperti di Venezia, tapi kanal-kanalnya kemudian ditimbun oleh Daendels (Gubernur Jendral merangkap "pemborong bangunan") karena menjadi sumber penyakit. Oalah... rupanya bukan cuman orang Indonesia yang suka menggusur tempat-tempat bersejarah, tapi rupanya mental itu diturunkan oleh para penjajahnya jaman dahulu kala... (amit-amit!)
Eh, lah kok udah jam 8.15, presentasi diteruskan oleh pak Andy Alexander! Payah niy yang ngatur jadwal... padahal presentasinya pak Andy cukup panjang (mungkin malah buat saya terlalu panjang...). Jadi aja, jam 9 kurang masih di ruang presentasi. Terang aja semua orang udah pada gelisah, ruangannya sempit, ada 1100 orang (mungkin oksigennya udah mulai berkurang), presentasi gak selesai-selesai, jalan-jalannya gak mulai-mulai. Tiba-tiba, saat presentasi pak Andy kurang 8 slide lagi, power pointnya nggak mau nampilin gambar, malahan pet! Presentasinya tiba-tiba hilang dari layar dan tak mau kembali (mungkin laptop ama LCDnya juga dah bete kali...). Jadi aja, para peserta, yang mungkin sebagian besar udah bosen dan bete, langsung pada berdiri dan bergerak keluar. Himbauan panitia untuk berkelompok sesuai nomor pendaftaran pun udah gak didengerin, semua pengen cepet turun, semua pengen cepet acaranya segera mulai, secara matahari juga udah semakin panas.
Aku sama adik-adikku menunggu sampai peserta yang pada berebutan turun kira-kira hampir habis (jadi mungkin kami ada di rombongan terakhir), dan pada akhirnya, dimulailah acara jalan kaki. Tujuan pertama : Toko Merah. Pas di depan tokonya, halah... gimana mau foto-foto? Beranda Toko Merah dah berubah jadi "Lautan Manusia"! Akhirnya kami cuman bisa foto bangunannya aja, abis ga nemu posisi yang bagus buat foto, terlalu penuh bo...
Tujuan berikutnya : Jembatan Kota Intan. Lagi-lagi, susah banget cari spot foto yang optimum, abis ada 1100 orang ngantri mau foto semua... tapi lebih susah lagi mencari 4 narasumber yang disediakan, soalnya 1100 orang juga pada pengen dengerin penjelasan para narasumber. Akhirnya bisa juga foto di Jembatan Kota Intan, tapi... ya gitu deh, ga optimum (masih ditambah ngeri-ngeri dikit karena ada puluhan orang sekaligus di atas jembatan tua itu...).
Dari Jembatan Kota Intan, rombongan (yang tadinya masih berjalan per 100 orang, tapi udah jadi rombongan besar beranggotakan 1100 orang) berjalan kaki lewat kolong rel KA dan jembatan layang tol menuju ke sisa-sisa Kastil Batavia (yang udah gak bersisa sama sekali). Untuk mendengarkan penjelasan dari para narasumber, kami memilih mengikuti bapak-bapak pemegang speaker (salut sama para bapak yang memegangi speaker sepanjang perjalanan!). Dan ternyata, selain 1100 peserta yang mengikuti penjelasan para narasumber, terdapat beberapa pedagang es krim Walls yang sangat jeli menangkap kebutuhan para peserta yang sedang kepanasan ini... O ya, aku sempat melihat ada salah satu peserta yang menggunakan kursi roda, salut ya Mbak untuk semangatnya.
Dari kolong layang tol, kita bergerak ke arah Museum Bahari, melewati sebuah bangunan tua yang agak tidak begitu jelas apa isinya. Ternyata itu bekas galangan kapal VOC. Tapi galangan kapalnya sendiri udah nggak keliatan bekasnya sebagai galangan, melainkan sudah jadi restoran dan toko-toko. Di sini kami sempat foto di seberang menara syahbandar (soalnya dah kebayang, kalau ada 1100 orang foto di depannya menara syahbandar, bisa-bisa antrian foto baru selesai pas Maghrib... ato Subuh hari berikutnya).
Setelah itu kita masuk ke Museum Bahari. Mau liat-liat di dalam, dah malas, soalnya di dalam penuh banget... (kaya'nya lebih penuh daripada bis PATAS kail ya...) Ceritanya kami duduk-duduk di halaman dalam, sambil mendengarkan penjelasan para narasumber, serta menunggu minuman dingin yang dijanjikan di milis dan website. Tapi sampai akhir kunjungan, minuman dingin itu tak kunjung datang!! Grrrrr.... Ya sudahlah, pasrah aja (bahkan ngeliat kotak mang-mang Walls pun udah gak berminat) ... akhirnya cuman foto di depan jendela antik ini... itu pun karena bentuk jendelanya lucu.
Dari Museum Bahari, gerombolan 1100 orang berpindah ke pelataran Menara Syahbandar. Ceritanya sih mau sesi tanya jawab, tapi pertanyaan kedua membuatku rada-rada bete, karena si penanya membanding-bandingkan antara Kota Tua Malaka dengan Kota Tua Batavia, dan dia bilang Batavia lebih tua dari Malaka. Salah, Mas... Malaka lebih tua daripada Batavia, secara Malaka tahun 1511 sudah diserbu Portugis, padahal JP Coen baru membangun Batavia sekitar tahun 1619. Yang lebih tua daripada Malaka adalah pelabuhan Sunda Kelapa, bukan Batavia. Pertanyaannya sebenernya nyambung banget (karena mempertanyakan kenapa kita tidak bisa mempertahankan peninggalan sejarah seperti Malaka), cuman sebel aja, kenapa nanyanya di bawah Menara Syahbandar... dah pada kepanasan niy... k'lo di forum lain (terutama yang diselenggarakan di ruangan ber-AC dengan kursi yang nyaman), mungkin pertanyaannya bisa dibahas panjang lebar dan tuntas. Eh, lah kok para narasumber malah bilang "Iya, saya kagum dengan Malaka", oi, rumput tetangga kan emang selalu lebih hijau! Kenapa sih kita malah kagum ama mereka? Daripada terkagum-kagum, ayo kita benahi yang ada di Indonesia ini! Masa' Pemda DKI kalah ama Pemda Sawahlunto, kota yang sepi begitu aja berani membangun museum Goedang Ransum dan bekas tambang dengan sangat menarik, dan mempromosikannya via website... (daripada membandingkan ama Malaka, lebih baik membandingkan ama Sawahlunto, masih sama-sama di tanah Nusantara...)
Dari Museum Bahari, kita lewat Jl. Cengkeh dan Jl. Kopi, langsung menuju Stadhuis alias Museum Fatahillah alias Museum Sejarah Jakarta (one of my favorite!). Sebenernya masih ada 1 site lagi di sekitar Jl. Cengkeh, yaitu tempat batu padrao, ato prasasti perjanjian antara Portugis dengan kerajaan Sunda. Tapi karena hari semakin siang, stamina semakin turun, dan juga perasaan semakin bete (salah satunya karena tidak menemukan minuman dingin yang dijanjikan!), jadi saat narasumber yang dikelilingi oleh para pendengar setianya masih menjelaskan di Jl. Cengkeh, sebagian besar rombongan meneruskan perjalanan ke Stadhuis. O ya, sempat juga liat bangunan Dasad Musin, I wonder, mungkinkah di dalam gedung itu si Kalek dan Batu lagi nyangkul untuk mencari pintu terowongan ke arah Istana Merdeka...
Di Stadhuis, alamak, rame banget!! Rupanya lagi ada lomba burung berkicau, jadi ada 2 tratak besar yang isinya sangkar-sangkar burung, dan para pemiliknya sedang memancing burung-burungnya untuk berkicau. Waduh, serasa kembali ke jaman kolonial, di mana lapangan depan balai kota dipenuhi para pedagang dan rakyat untuk menikmati hiburan (which is di jaman kolonial, menurut keterangan pak Liliek atau pak Andy, salah satu hiburannya adalah hukum gantung, hiii....syerem...). Di depan pintu museum, gak ada panitia yang menunggu, jadi aja para peserta pada kleleran gak jelas di halaman museum. Haduh, makin menambah bete ajah...
Akhirnya, salah satu panitia kelihatan mengarahkan peserta untuk kembali ke Museum Bank Mandiri. Berhubung kami bertiga sudah bosan dengan segala ketidakpastian, kami memutuskan untuk langsung pulang dengan busway... huh...
O ya, buat panitia Plesiran Tempo Doeloe : Kota Tua Batavia yang kebetulan membaca blog ini, jangan marah dulu, ini adalah curahan hati dari segelintir peserta yang mungkin punya ekspektasi ketinggian terhadap acara ini. Kami ngerti kok, kalau rombongannya sangat besar, akan sangat sulit untuk bisa terus mengikuti dan mendengarkan informasi dari narasumber. Tapi paling nggak next time kami berharap pengaturan peserta dan flow acaranya bisa lebih baik daripada yang tanggal 25 Januari 2009 ini, jangan sampe' belum berangkat orang udah pada bete. Ato paling nggak jumlah pesertanya dibatasin. Ato k'lo emang niatnya mau menjaring peserta sebanyak-banyaknya (hmmm... mau dimasukin ke rekor MURI, kah?), peserta bisa dibagi jadi beberapa rombongan besar dengan rute yang berbeda. Anyway, jumlah peserta sebesar 1100 itu sebenernya mencerminkan bahwa masih banyak anak bangsa ini yang peduli terhadap peninggalan sejarah. Jadi acara semacam ini memang perlu diadakan lebih sering lagi, tapi dengan pengaturan yang lebih baik, supaya pada saat acara selesai, kita pulang ke rumah gak cuman bawa foto-foto aja, tapi juga pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik mengenai sejarah bangsa Indonesia. Karena kalau pengaturan acaranya kurang baik, selain kita jadi malas mau ikut lagi, malu juga sama beberapa bule yang ikutan, nanti dia pikir bangsa Indonesia emang mampunya cuman segini doank...