Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala terletak di dalam Kompleks Perumahan TNI AU Wonocatur. Museum ini tidak terlihat dari jalan raya, sehingga untuk mencapai ke museum ini harus mengikuti papan petunjuk. Jalan masuk ke museum adalah melalui Jl. Janti, kemudian mengikuti petunjuk masuk ke dalam kompleks perumahan TNI AU. Sebelum masuk, saya harus melapor dulu kepada petugas di pos jaga, dan membayar tiket mobil sebesar Rp 5000. Sambil mencatat nomor mobil yang mengantar saya, petugas bertanya apakah saya mengantar anak. Saya jawab tidak, sambil bertanya apa hari ini ada rombongan anak sekolah. Rupanya sudah ada 6 bis anak sekolah yang akan berkunjung ke museum! Langsung saya membayangkan, museumnya pasti ramai sekali...
Setelah mobil parkir di halaman museum, saya mulai berkeliling, sambil mencoba mengingat ketika pertama kali saya datang ke museum ini di tahun 1991. Setelah mencoba mengingat-ingat, saya sudah tidak ingat seperti apa dulu museumnya, kecuali koleksi pesawat yang ada di dalam hanggar.Ketika melihat pesawat yang dipasang di luar museum, rasanya seperti anak kecil yang melihat mainan kesayangannya, saya ingin berlari dan memeluk pesawat-pesawat tersebut. O ya, perlu diketahui bahwa kompleks ini sangat dekat dengan bandara Adisucipto, sehingga pemandangan yang ada di foto di bawah ini pasti bukan merupakan pemandangan asing...
Pesawat Bronco, dengan latar belakang Lion Air sedang manuver mendarat |
Pesawat pertama yang saya lihat dari dekat adalah Tu-16, pesawat pembom yang pernah digunakan TNI AU dalam Operasi Trikora merebut kembali Irian Barat. Konon pada masanya pesawat ini merupakan salah satu pesawat pembom yang paling ditakuti, membuat Indonesia kala itu menjadi salah satu negara yang paling ditakuti di Asia Tenggara.
It's very big!!! |
Koleksi pesawat terbaru milik museum adalah pesawat OV-10 Bronco dengan nomor registrasi TT 1015, yang bergabung menjadi koleksi museum pada bulan Januari 2011. Pesawat ini merupakan pengganti pesawat tempur P-51D Mustang, dan termasuk pesawat militer TNI AU yang paling lama dioperasikan sejak tahun 1976 hingga 2004. Barangkali saking barunya, bahkan terpal penutup kokpit pun belum sempat dicopot.
Ini bukan Bronco, ini A4 Skyhawk |
Memasuki ruangan museum, di ruangan pertama, terlihat Panji-panji dan pataka TNI AU, lambang TNI AU dengan semboyan “Swa Bhuwana Paksa”, serta patung empat orang perintis TNI AU : Marsekal Muda Anumerta Iswahyudi, Marsekal Muda Anumerta Abdul Halim Perdanakusuma, Marsekal Muda Anumerta Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, dan Marsekal Muda Anumerta Agustinus Adisutjipto.
Masuk ke ruangan berikutnya, saya melihat replika pesawat ringan WEL-I RI-X, pesawat pertama buatan anak bangsa. Perancang pesawat ini, Wiweko Soepono, merupakan salah satu perintis industri dunia penerbangan Indonesia. Pesawat berawak tunggal yang dikenal dengan nama WEL (Wiweko Experimental Lightplane) ini terbang pertama kali pada tanggal 27 Oktober 1948 di pangkalan udara Maospati Madiun (sekarang pangkalan udara Iswahyudi), dengan menggunakan mesin sepeda motor Harley Davidson 750 cc. Sayang sekali, pesawat ini hancur ketika dimuat dalam gerbong kereta api karena terkena granat pemberontak PKI Madiun. Di ruangan ini juga terdapat foto-foto dan benda-benda terkait peristiwa bersejarah TNI Angkatan Udara.
WEL-I RI-X, pesawat pertama buatan anak bangsa |
Memasuki bagian berikutnya, saya melihat foto-foto Operasi Militer yang pernah dilakukan TNI AU, antara lain Operasi Penumpasan DI/TII, Operasi Penumpasan Permesta (yang terkenal dengan peristiwa pengejaran pembom B-25 dengan pilot Allan Pope), Operasi Trikora, Operasi Dwikora, Operasi Penumpasan G-30-S/PKI, dan Operasi Seroja di Timor Timur. TNI AU juga melaksanakan berbagai Operasi Militer selain perang, misalnya dalam menangani bencana alam. Di salah satu vitrin terdapat foto-foto RI-001 Seulawah dan sejarah Indonesian Airways sebagai penerbangan niaga pertama milik Indonesia.
Di ruangan berikutnya, kami melihat berbagai seragam yang dikenakan TNI Angkatan Udara, mulai dari Pakaian Dinas Upacara, Pakaian Dinas Harian, Pakaian WARA (Wanita Angkatan Udara), pakaian penerbang, dan seragam Paskhas. Di bagian tengah ruangan, terdapat benda-benda memorabilia empat pahlawan perintis TNI Angkatan Udara, mulai dari foto-foto, surat keputusan pengangkatan sebagai pahlawan, dan tanda-tanda jasa yang pernah mereka terima.
Setelah melihat-lihat perjalanan sejarah TNI Angkatan Udara, saya memasuki ruangan berikutnya. Ruangan ini merupakan ruangan yang menyimpan dokumentasi berbagai pendidikan yang dilaksanakan oleh TNI Angkatan Udara, antara lain Sesko, Koharmat, Koops AU, Kohanudnas, dan Akademi Angkatan Udara. Di salah satu dinding bahkan terpampang nama lulusan Sekolah Pendidikan Sekbang TNI AU. Tak hanya masalah pendidikan, di tengah ruangan saya melihat patung dada dan berbagai benda milik KSAU dari masa ke masa. Salah satu KSAU yang paling saya ingat adalah Chappy Hakim, yang gemar menulis dan main saksofon. Buku-buku beliau juga ditampilkan dalam museum ini, antara lain yang berjudul “Awas! Ketabrak Pesawat Terbang”.
Dan akhirnya, saya masuk ke bagian hanggar, bagian favorit saya. Hanggar ini penuh sesak dengan koleksi pesawat berjumlah kurang lebih 46 buah, berbagai peralatan radar, dan persenjataan udara. Ditambah lagi para pengunjung yang terdiri dari anak-anak (dan para pengantarnya) turut memenuhi ruangan dan melihat-lihat koleksi pesawat, sehingga suasana menjadi sangat ramai. Saya sempat mengambil foto beberapa pesawat, antara lain adalah Cureng, P-51 Mustang, DC-3 Dakota dan Mig-21. Tiga pesawat yang saya sebut belakangan merupakan pesawat yang sukses di masanya. Khususnya untuk Cureng, pesawat ini merupakan pesawat bersejarah, karena digunakan Agustinus Adisucipto untuk melakukan penerbangan pertama dengan pesawat berbendera merah putih. Di salah satu sudut hanggar terdapat studio foto, yang melayani foto menggunakan seragam penerbang dengan latar belakang pesawat. Studio ini laris manis dirubung anak-anak yang ingin berfoto.
P-51 Mustang, pesawat tempur yang berjaya di masanya |
Mig-21, "tanda mata" hubungan RI dengan blok Timur |
DC-3 Dakota versi militer |
Di salah satu hanggar, terdapat Ruang Hipobarik, atau Ruang Bertekanan Rendah. Ruangan ini digunakan untuk melatih para penerbang mengenai pengaruh ruang tekanan rendah terhadap kondisi fisik maupun kondisi mental awak pesawat, terutama untuk mendeteksi gejala-gejala Hipoksia. Tak hanya ruangannya, bahkan di luar terdapat kompresor yang digunakan untuk mengatur tekanan di dalam Ruang Hipobarik. Karena peralatannya masih utuh, saya jadi penasaran, alat yang di museum ini kira-kira masih dipakai atau tidak ya?
Ruangan berikutnya adalah ruang diorama perjuangan, yang berfokus pada sejarah TNI Angkatan Udara Republik Indonesia. Beberapa diorama peristiwa penting yang sempat saya amati adalah Pembentukan TKR Bagian Penerbangan, Pembukaan Pangkalan Angkatan Udara di Gadut Bukittinggi pada tanggal 24 Maret 1947, Penerbangan Pesawat Merah Putih Pertama oleh Agustinus Adisutjipto menggunakan pesawat Cureng peninggalan Jepang pada tanggal 27 Oktober 1945, dan Penerobosan Blokade Udara oleh RI-001 Seulawah dari Birma ke Aceh tanggal 8 Juni 1949. Masih terdapat beberapa diorama lain yang menampilkan operasi militer yang pernah dilaksanakan oleh TNI AU.
Ruangan berikutnya adalah ruang diorama satelit komunikasi Palapa. Di dalam ruangan terdapat peragaan yang menunjukkan posisi dan cara kerja satelit komunikasi Palapa. Salah satu vitrin menunjukkan miniatur pesawat ulang alik Challenger yang pernah membawa salah satu satelit Palapa ke orbit.
Akhirnya saya tiba di ruangan terakhir. Di ruangan ini terdapat lambang berbagai skuadron milik TNI Angkatan Udara, serta foto-foto perkembangan skuadron dari masa ke masa. Di bagian tengah ruangan, sebelum toko cenderamata, dipajang berbagai miniatur pesawat, yang merupakan sumbangan dari penggemar miniatur pesawat. Setelah puas melihat miniatur pesawat, saya bergegas keluar museum, untuk menuju tempat wisata lain di Yogyakarta.
Setelah membaca tulisan saya di atas, barangkali anda penasaran, “Kampret”nya mana? Ternyata “Kampret” adalah nama glider (pesawat peluncur) GX-001 hasil modifikasi Sekolah Teknik Udara Perwira. Sekolah ini didirikan pada tahun 1951 di bawah pimpinan Letkol Ir. C.W.A. Oyen, dan mereka menyelidiki pembuatan pesawat udara. Glider Kampret merupakan hasil modifikasi glider Gruno-Baby, yang dibuat berdasarkan data glider buatan pabrik Father Belanda di Amsterdam dengan perbaikan dan sedikit perubahan. Uniknya, sang "Kampret" tidak dipajang di bawah bersama pesawat-pesawat lain, melainkan digantung di langit-langit, entah karena hanggarnya sudah penuh sesak, atau memang ia terlihat lebih cantik jika dipajang di langit-langit hanggar.
Inilah si "Kampret", glider buatan anak bangsa |
1 comment:
Terima kasih sudah di ceritakan dengan lengkap.
Kebetulan ayah saya ikut membuat si 'Kampret', dan bahkan beliau bersama saya sempat mengunjungi Jendral (Purn.) Oyen di rumah kediamannya. Beliau masih ingat dengan jelas jaman pendidikkan ayah saya dan teman2nya yang kemudian team SPTU I tersebut juga di kirim ke Amerika untuk menjemput C-130 pertama yang di beli oleh Indonesia (satu2 nya negara asing yang boleh mengimport C-130, karena pamornya Soekarno sewaktu itu.)
Post a Comment