Tuesday, August 18, 2009

"Merah-Putih" : Nasionalisme vs. Hollywood

Tanggal 17 Bulan 8 Tahun 2009, aku memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia dengan menonton film Merah Putih. Sejujurnya, salah satu alasan utamaku menonton film ini adalah karena yang main adalah Lukman Sardi (sambil ngebatin terus menerus, duh, dia main jadi apa lagi ya???). Selain itu, pengen tahu juga tentang film ini, secara menurut saya film ini termasuk salah satu terobosan yang cukup berani, dengan menampilkan film bertema perjuangan di antara film-film horror dan komedi gak jelas yang saat ini merajai bioskop di Indonesia.

Setelah menonton filmnya, ternyata... tidak seperti yang dibayangkan (Eits, ini tidak berarti sesuatu yang negatif!). Mungkin karena referensi film perjuangan yang dulu saya tonton adalah film seperti Janur Kuning, ato karena udah sempet tahu bahwa film ini diilhami oleh Peristiwa Lengkong pada tahun 1946 (which is sebenernya tidak ada kaitannya dengan alur cerita film), atau aku juga (terlanjur) berusaha mencocokkan kejadian di film Merah Putih dengan catatan sejarah bangsa Indonesia pada masa itu, jadi filmnya tidak cocok dengan praduga awalnya. Beberapa hal yang cukup mengganggu bagiku antara lain :
(1) Pada jaman itu, tentara di Indonesia sudah bersatu dalam wadah Tentara Nasional Indonesia (tepatnya 3 Juni 1947), jadi saat Tomas diusir oleh petugas pendaftaran dan disarankan untuk pindah ke kelompok Tentara Sipil... hmmm... ada ya kelompok Tentara Sipil? Bukannya k'lo sipil itu udah pasti bukan militer? Mungkin buku sejarahnya harus sama-sama dibuka lagi...
(2) Di dalam catatan sejarah Indonesia, rasanya Tentara Belanda tidak pernah menang kalau perang melawan gerilya di dalam hutan. Belanda itu hanya menang dalam pertempuran frontal (e.g. Puputan Margarana), ato di meja perundingan (bahkan mereka "menunggangi" Sekutu waktu mau masuk Surabaya, ya tho?). Kalau di film ini digambarkan Tentara Belanda bisa menghabisi seluruh pasukan Mayor Taufik di hutan dan menyisakan 4 pemeran utama saja... kaya'nya tentara kita nggak segitunya deh.
(3) Pas udah sampe' rumah, baru aja mau cerita apa yang ditonton, rupanya bokap memperhatikan pada waktu melihat preview filmnya di TV, properti yang dipakai tidak sesuai dengan apa yang dipakai tentara Indonesia pada masa itu. Memang betul senjatanya berasal dari jaman Perang Dunia II, tapi tentara Indonesia belum punya, maklum... masih pake' senjata peninggalan/rampasan dari Jepang...

Tapi rupanya semua itu bisa dijelaskan oleh Yadi Suganda, sang sutradara. Rupanya memang baik ceritanya maupun properti pendukungnya di-fiksi-kan, sehingga para pembuat film tidak perlu melakukan riset yang sangat teliti, dan memungkinkan untuk melakukan berbagai "pelanggaran legal" tanpa mengurangi nilai ceritanya (dan mudah-mudahan lanjutan sequelnya gak terlalu melenceng juga dari sejarah, aamiin).

Mengutip pernyataan Darius Sinathrya, pemeran Marius, yang bangga dan kecewa untuk film ini, aku sepakat dengan Darius. Bangga karena pada akhirnya ada yang membuat film dengan tema perjuangan dan nasionalisme, sedikit kecewa karena... ya itu, kok idenya, pembuat ceritanya, bahkan sampai tim produksinya banyak yang "produk impor", padahal di negeri kita ini dari jaman baheula sampai saat ini sangat banyak insan perfilman yang mampu membuat film yang sangat berkualitas.

Anyway, dari sisi filmnya sendiri (terlepas dari apakah ceritanya nyambung dengan sejarah perang kemerdekaan atau tidak), film ini adalah film yang layak untuk ditonton. Dengan biaya produksi yang tinggi (konon mencapai Rp 60 miliar), tentunya penonton mengharapkan film yang berkualitas, paling tidak dari sisi sinematografinya. Dari sisi pengambilan gambar, oke banget, walaupun gayanya memang gaya film Amerika banget... (dan berhubung aku penggemar film produksi Amerika, jadi buatku nggak ada masalah, tentu saja selama kualitasnya oke!). Kemudian akting para pemainnya juga top abis! Lagi-lagi two thumbs up buat Lukman Sardi, tiap kali dia main film baru, kita tidak pernah ingat perannya di film sebelumnya. Awal-awal di film ini memang terlihat senyumannya yang khas banget, namun makin ke belakang yang terlihat bukan seorang Lukman Sardi ato Umar si Pengemudi Bajaj ato Tito si Pendaki Gunung, tapi Letnan Amir. Yang lain juga oke banget, sampe' kita membahas, yang main Tomas dan Dayan itu bukan orang Manado dan orang Bali beneran khan?? Keren... Apalagi Darius, aktingnya poll... poll "nyebelin", apalagi pas melihat Marius lari dengan ketakutan meninggalkan Soerono yang hampir tewas... two thumbs up buat Darius!

So... setelah melihat filmnya dan membaca berbagai komentar di web, berikut adalah kesimpulannya :
(1) Film ini belum layak disebut sebagai film perjuangan, karena bisa dibilang kaitannya kurang kuat dengan sejarah Indonesia masa itu (bandingkan dengan Enam Jam di Yogya, Kereta Api Terakhir, Doea Tanda Mata, ato film-filmnya Usmar Ismail, konon propertinya jauh lebih teliti, dan keterkaitan dengan sejarah Indonesia jauh lebih kuat)
(2) Sebagai film yang mengangkat tema nasionalisme, film ini sudah memperlihatkan nilai-nilai yang pada saat itu diperjuangkan oleh para pejuang, termasuk di antaranya mengesampingkan segala perbedaan baik suku, agama, status, dan kemudian bersatu untuk mengusir penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan. Dan terus terang, setelah menonton filmnya, film ini masih cukup "Indonesia", dan tidak terjebak menjadi film "Rambo".
(3) Bagi mereka yang mencari tontonan berkualitas, rugi kalau nggak nonton... sinematografi oke, akting pemainnya oke, ceritanya lumayan... stylenya memang cenderung ke arah film Hollywood, tapi itu berarti memperkaya khasanah film Indonesia, ya kan?

Mudah-mudahan, setelah Trilogi Merdeka ini keluar, banyak produsen film Indonesia yang "terpancing" untuk membuat film sejenis dengan kualitas yang juga oke... paling tidak bisa dimulai dengan me-remake film-film perjuangan Usmar Ismail... Badai Pasti Berlalu kan udah di-remake, sekarang giliran film perjuangan donk...

Kembali ke Yogyakarta

"Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu...Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat,
Penuh selaksa makna...
Terhanyut aku akan nostalgi...
Saat kita sering luangkan waktu,
Nikmati bersama, suasana Yogya..."

Akhirnya, setelah sekian lama, aku berkesempatan untuk menginjakkan kaki (lagi) di Yogyakarta. Sebenernya pengen juga keliling ke lebih banyak tempat, namun berhubung waktu yang terbatas (dan lagi "rada pelit"... bokek sih nggak, cuman lagi mode "aji pengiritan"), jadi kuputuskan untuk mengunjungi salah satu tempat wisata di Yogya yang paling te-o-pe be-ge-te sebagai landmark DI Yogyakarta : Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.


Perjalanan dimulai dengan KA Pramex dari Solo Balapan pukul 7, "mendarat" di stasiun Tugu pukul 8. Dari Tugu, mulailah diriku menyusuri jalan Malioboro dengan berjalan kaki (memang sudah diniatin, jadi nuwun sewu kepada pak becak, kusir delman, supir taksi dan tukang ojek yang sudah sibuk menawarkan jasanya untuk mengantar...). Eits, rupanya adikku mengajak sarapan dulu, jadi mampirlah di sebuah warung tenda di depan kantor DPRD untuk makan gudeg.

Dalam perjalanan menuju keraton, sempat juga mampir di Mirota, cari selendang-selendang lucu (soalnya k'lo di toko lain, biasanya selendangnya licin banget, ato bergaya ibu-ibu banget). Tapi berhubung "aji pengiritannya" masih cukup kuat (dan lagi mode "backpacker", jadi ga bisa bawa barang banyak-banyak), terpaksalah gak bisa beli banyak-banyak. Sungguh beruntung diriku, waktu itu karena ada promo dari salah satu kartu kredit terbitan bank lokal terkemuka, diriku mendapat diskon lumayan bo... tahu gitu belanja lagi...

Setelah menyebrang alun-alun utara (sambil berusaha menolak dengan sopan tawaran pak becak, malah ada yang berusaha ngibulin dengan bilang kraton lagi tutup, enak aja, kata siapa kraton tutup?!), akhirnya tibalah diriku di sitihinggil. Sambil melihat-lihat, sempat ngebatin juga, kok perasaan dulu kratonnya lebih besar ya... selidik punya selidik, ternyata bagian kraton yang besar (bagian dalam kraton) ada di belakang (musti jalan lagi kira-kira 200 meter), dan musti beli karcis lagi! Ouh... Pas beli karcis masuk ke bagian dalam, Mbak-Mbak penjaga loketnya kaya'nya sempat bingung karena aku datang sendiri, terus dia menyuruh aku bergabung dengan rombongan lain. Ndak usah bingung tho Mbak, selama masih ada yang bisa bicara bahasa Indonesia (dan bahasa Jawa huruf latin), kan ada yang bisa ditanya...


Ternyata, di bagian dalam Kraton suasananya lebih rame daripada di sitihinggil, dan isinya kebanyakan turis asing (dan keluarganya). Bahkan rombongan anak sekolah pun jumlahnya lebih sedikit daripada turis asingnya. Sempet bingung, sekaligus bangga, ternyata para turis asing itu masih banyak yang berani berwisata di tanah air, biarpun sempat ada serangan bom di JW Marriot dan Ritz Carlton...

Sempat juga nonton kelompok gamelan. Sebenernya emang niatnya menunggu pertunjukan wayang orang di pendopo yang diadakan tiap hari Minggu jam 11. Tapi pada waktu yang ditentukan, ternyata tarian pembukanya aja udah makan waktu 1 jam sendiri, lah terus kapan cerita wayangnya mulai?? Dah keburu laper nih... Akhirnya setelah look around di dalam kraton, lihat-lihat Museum Batik dan Museum HB IX, dan sempat "menghibur" Abdi Dalem yang mencoba memperlihatkan tipuan optik di lukisan para Sultan terdahulu, akhirnya aku menyudahi kunjunganku di kraton. Senangnya melihat warisan budaya kita masih terpelihara...



Waktu aku berjalan kembali menuju alun-alun utara, di sisi kiri terlihat ada Museum Kareta Karaton (demikian yang tertulis di papan namanya). Masuk dulu ahhh... (sebenarnya yang membuat tertarik bukan keretanya, tapi karena ada 2 patung kepala kuda di pintu masuk museum...). Tapi walaupun museumnya kecil (lebih tepatnya museum itu adalah "garasi"nya kereta milik kraton), isinya luar biasa... keretanya antik-antik, sambil membayangkan di masa lalu kereta itu diimpor dari Eropa, kemudian digunakan untuk pelesir, ato untuk upacara.

Keluar dari Museum Kereta, lah kok ada 2 ekor kuda di dalam kandang... setelah ditanya lebih lanjut sama orang-orang di sekitar situ, rupanya itu bukan kudanya keraton, tapi kuda penarik delman wisata, ohh... sempat aku men(curi)dengar salah satu guide di dalam museum kereta, konon pada waktu dilakukan salah satu upacara, dibutuhkan 8 ekor kuda berwarna putih, dan kuda-kuda itu didatangkan dari pasukan kavaleri di Bandung. Oalah, ternyata bukan hanya keretanya saja yang diimpor dari seberang lautan, kudanya juga diimpor dari propinsi tetangga!

Pas mau keluar, ada delman lagi parkir di halaman museum. Eh, kok ada ibu-ibu penjual minuman menawarkan barangkali aku mau foto sama delmannya. Eh lah kok aku meng-iya-kan... untung mas-mas kusirnya baik, dia mau mengambilkan foto, jadilah aku foto dengan delman (dan jaran, eh, kuda-nya...).

Puas melihat museum, aku kembali menelusuri alun-alun utara, masih sambil menolak tawaran pak becak. Bukan apa-apa, emangnya pak becak bersedia nggenjot dari alun-alun sampai Jl. Kaliurang?? Jauh lho Pak... Akhirnya di Jl. A. Yani, aku menghentikan sebuah taksi yang mengantarku ke hotel di Jl. Kaliurang.

Dalam perjalanan pulang ke Jakarta via bandara Adisucipto, rupanya diriku berkesempatan "mencicipi" pesawat 737 seri 800 NG keluaran terbaru milik Garuda. Jarak antar kursinya sebenarnya lebih sempit dibandingkan 737 seri 300, 400 ato 500 yang biasa dipake' Garuda, tapi ada TV-nya di masing-masing tempat duduk... tapi aku "gak sempat" menikmati TV-nya, soalnya ternyata yang duduk di sebelahku adalah kakak kelasku yang sempat nyanyi bareng di ITB Voice Night, lebih seru ngobrolnya tho daripada acara TV-nya...


Kapan ya ke Jogja lagi...

"Walau kini kau t'lah tiada tak kembali...
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi...
Ijinkanlah aku untuk s'lalu pulang lagi...
Bila hati mulai sepi tanpa terobati..."
(KLa Project - Yogyakarta)