Thursday, June 28, 2012

Kota Lama Yogyakarta, Kota Paling Indonesia

Mencari sesuatu hal yang paling Indonesia ternyata susah-susah gampang. Ketika kita membicarakan sebuah produk budaya Indonesia, jika ditelusuri hingga ke akarnya ternyata banyak produk budaya Indonesia yang merupakan hasil serapan dari budaya bangsa-bangsa lain di dunia, termasuk di antaranya bahasa, tari-tarian, bahkan batik yang telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya non-benda milik bangsa Indonesia. 

Namun akhirnya saya menemukan sebuah hal yang menurut saya sangat Indonesia, yaitu Kota Lama Yogyakarta. Kota Lama Yogyakarta merupakan salah satu kota tua di Indonesia yang dirancang dengan sangat jenius, berlandaskan falsafah kehidupan masyarakat Jawa. Berbeda dengan kota-kota tua di Indonesia yang umumnya dirancang oleh pemerintah Hindia Belanda sebelum masa kemerdekaan, tata letak Kota Lama Yogyakarta merupakan hasil rancangan Sultan Hamengkubuwono I, pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Kota Lama Yogyakarta membentang dari selatan (Panggung Krapyak) sejauh 7 km ke arah utara (Tugu Yogyakarta), yang dihubungkan oleh poros imajiner, yang menghubungkan antara Gunung Merapi, Tugu, Keraton Yogyakarta dan Pantai Parangtritis. Hampir semua wilayah atau bangunan asli di sepanjang titik tersebut memiliki makna. Secara sederhana, banyak yang menafsirkan bahwa Tugu Yogyakarta merupakan perwujudan dari lingga yang melambangkan laki-laki, Panggung Krapyak dianggap perwujudan yoni yang melambangkan perempuan,  dan Keraton dianggap badan jasmani manusia yang berasal dari keduanya. Jika makna dari seluruh bagian kota lama ini dirangkaikan, akan menyiratkan falsafah “Sangkan Paraning Dumadi (dari mana manusia berasal dan ke mana manusia akan kembali). Dengan falsafah yang sangat dalam inilah, maka tata letak Kota Lama Yogyakarta diakui sebagai tata letak kota terbaik di dunia.

Untuk melihat filosofi Sangkan Paraning Dumadi secara komprehensif, penelusuran dapat dimulai dari Panggung Krapyak. Panggung Krapyak merupakan sebuah bangunan 2 lantai yang terbuat dari bata merah berlapis semen cor setinggi 10 meter, dan dahulu berfungsi sebagai menara pandang sekaligus tempat berburu. Wilayah di sekitar bangunan ini semula dikenal sebagai Hutan Krapyak. Poros Panggung Krapyak hingga Keraton menggambarkan perjalanan manusia sejak dilahirkan dari rahim ibu hingga dewasa. Di sisi utara Panggung Krapyak terdapat Kampung Mijen, yang dapat dianggap sebagai lambang benih manusia sejak masih di dalam kandungan. 
Panggung Krapyak
Bergerak sejauh 2 km ke arah utara, terdapat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Keraton dapat dimaknai sebagai lambang jasmani manusia. dengan Sultan sebagai lambang jiwa sejati yang hadir ke dalam badan jasmani. Kata “Keraton” berasal dari kata “ke-Ratu-an”, yang berarti tempat Ratu (istilah bahasa Jawa halus untuk Raja). Seperti layaknya sebuah istana, Keraton memiliki dua fungsi, yaitu sebagai pusat pemerintahan sebuah kerajaan, sekaligus sebagai tempat tinggal Raja dan keluarganya. Kompleks bangunan keraton dibangun antara tahun 1755-1756 dengan arsitek Sri Sultan Hamengkubuwono I (HB I), pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keraton Yogyakarta mulai digunakan pada tanggal 7 Oktober 1756, dan menjadi istana resmi Kesultanan Yogyakarta sampai dengan tahun 1950, ketika pemerintah Republik Indonesia menjadikan wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman sebagai sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bagian depan Keraton Yogyakarta
 Jika ditinjau dari segi arsitekturnya, bangunan-bangunan di Keraton Yogyakarta merupakan perwujudan arsitektur Jawa tradisional, dengan sedikit sentuhan gaya Eropa dan Cina di beberapa sudut. Setiap bagian dari Keraton, termasuk lokasi, bangunan, patung, relief, bahkan jenis tumbuhan, memiliki filosofi yang mendalam, melambangkan berbagai aspek kehidupan manusia menurut cara pandang masyarakat Jawa tradisional. Salah satunya adalah Regol (pintu gerbang) Danapertapa yang dikawal oleh sepasang patung Dwarapala bernama Cinkorobolo di sebelah kanan (perlambang kebaikan) dan Bolobuto di sebelah kiri (perlambang kejahatan).Sepasang Dwarapala ini bermakna bahwa manusia harus dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat. Contoh lainnya adalah sepasang Waringin Sengker (Beringin Kurung) yang terletak di alun-alun utara yang bernama Kyai Dewandaru dan Kyai Janandaru, kedua pohon beringin ini melambangkan dualisme antara makrokosmos dan mikrokosmos, antara rakyat dan pemimpin, serta antara manusia dan sang pencipta. Demikian pula pohon sawo kecik yang berada di dalam kopleks Keraton, sawo kecil memiliki makna “sarwo becik” dalam bahasa Jawa, yang berarti manusia harus hidup dengan penuh kebaikan.
Dwarapala di Keraton Yogyakarta
Dari Keraton menuju Tugu akan melalui jalan yang lurus (Jl. Ahmad Yani-Jl. Malioboro-Jl. Pangeran Mangkubumi). Jalan yang lurus ini dapat diartikan sebagai proses manusia menuju kesempurnaan melalui mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, di mana di kiri-kanannya penuh dengan godaan. Godaan-godaan ini disimbolkan oleh Pasar Beringharjo, Gedung Kepatihan,  serta bangunan-bangunan buatan pemerintah kolonial Belanda (benteng Vredeburg dan Gedung Agung). Pasar Beringharjo melambangkan godaan duniawi secara fisik berupa barang-barang mewah, perhiasan, makanan lezat, wanita cantik atau lelaki tampan. Gedung Kepatihan merupakan simbol godaan duniawi berupa kekuasaan. Sedangkan  Benteng Vredeburg dan Gedung Agung yang ditambahkan kemudian ditafsirkan sebagai godaan berupa pengaruh asing.
Benteng Vredeburg
Khususnya Jalan Malioboro, sejak pertama kali jalan ini dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono I bersamaan dengan pembangunan Keraton Yogyakarta, kawasan ini merupakan pusat perdagangan di Yogyakarta. Terdapat beberapa dugaan mengenai nama “Malioboro”, salah satunya adalah Malioboro berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti karangan bunga, dikarenakan jalan ini biasanya penuh dengan karangan bunga saat sedang ada acara di keraton. Sumber lain mengatakan bahwa nama “Malioboro” berasal dari kata Maliya saka Bara atau Mulia dari Pengembaraan. Apakah kemuliaan dari pengembaraan yang dimaksud adalah pengembaraan manusia dalam mencari kemanunggalan dengan Sang Pencipta, Wallahualam.

Tugu Yogyakarta yang merupakan bagian dari falsafah “Sangkan Paraning Dumadi” ini bukanlah tugu yang kita kenal sekarang. Tugu yang asli setinggi 25 meter berbentuk silinder (gilig) dengan puncak berbentuk bulat (golong), sehingga sering disebut Tugu Golong-Gilig. Tugu ini bermakna “Manunggaling Kawulo Gusti”, atau bersatunya Sang Pencipta dengan mahluknya. Di masa lalu ketika belum ada bangunan, dari singgasana Sultan di Siti Hinggil Keraton, Sultan dapat memandang Gunung Merapi sekaligus puncak tugu yang berbentuk golong.  Sebagian ahli berpendapat bahwa jalan poros Keraton sampai Tugu ini dapat diartikan sebagai simbol kesempurnaan raja dalam proses kehidupannya, yang dilandasi dengan keimanannya kepada Sang Pencipta, serta kesatuan tekad dengan rakyatnya (Tugu Golong-Gilig). Namun banyak yang mengartikan tugu ini sebagai semangat persatuan antara rakyat dan penguasa (dalam hal ini Kesultanan Yogyakarta) untuk melawan penjajah Belanda. Sayangnya, tugu yang asli rusak akibat gempa dahsyat pada tanggal 10 Juni 1867. Setelah terbengkalai kurang lebih 20 tahun, pemerintah kolonial Belanda membangun tugu yang baru dengan bentuk yang kita kenal sekarang. Tugu setinggi 15 meter ini dinamakan De Witt Paal atau Tugu Pal Putih.
Tugu (Pal Putih) Yogyakarta
Setelah memahami makna dari tata letak Kota Yogyakarta yang menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak lahir hingga mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, saya rasa tidak berlebihan jika Kota Lama Yogyakarta dianggap sebagai salah satu produk bangsa Indonesia yang begitu jenius, karena mampu mengintegrasikan antara tata letak kota dengan falsafah kehidupan yang begitu luhur. Bagi saya, Kota Lama Yogyakarta dapat dianggap sebagai salah satu hal paling Indonesia yang pernah saya temukan dan rasakan. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita melestarikan peninggalan-peninggalan masa lalu di kota ini dan kota-kota lainnya, sebagai bekal dan pelajaran bagi kehidupan bangsa Indonesia di masa mendatang.


Disertakan pada Lomba Blog Paling Indonesia dari http://angingmammiri.org/  
 

Friday, June 15, 2012

Menelusuri Jejak Akhir Majapahit di Candi Cetho



Candi Cetho terletak di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, pada ketinggian 1496 meter di atas permukaan laut. Dalam bahasa Jawa, kata ‘cetho’ berarti jelas. Nama ini diberikan pada dusun tempat candi ini berada, karena dari tempat ini kita dapat melihat pemandangan ke berbagai arah dengan jelas. Bersama Candi Sukuh, Candi Cetho merupakan obyek pariwisata andalan Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah.

Candi Cetho merupakan kompleks bangunan yang dibuat pada lahan bertingkat. Dari ciri-ciri berupa lingga dan lambang surya Majapahit yang ditemukan di Candi Cetho, diketahui bahwa candi ini merupakan candi  agama Hindu dan berasal dari abad ke-15, kurang lebih pada masa akhir pemerintahan Majapahit. Candi ini pernah dipugar pada tahun 1975-1976, dan hasilnya adalah candi yang dapat dilihat pada saat ini. Hingga hari ini, Candi Cetho masih digunakan sebagai tempat ibadah oleh penduduk sekitar candi yang beragama Hindu, serta dijadikan tempat meditasi bagi para penganut kepercayaan Kejawen.

Memasuki kompleks Candi Cetho, akan ditemukan banyak keunikan candi ini yang tidak ditemukan pada candi-candi Jawa Tengah pada umumnya. Keunikan pertama yang ditemui adalah gapura besar berbentuk candi bentar, serupa dengan gapura kompleks candi di Jawa Timur. Saat mendaki dari loket tempat membeli karcis menuju gapura besar tersebut, kita akan menemui beberapa arca. Berbeda dengan arca dwarapala yang biasa menyambut di bangunan-bangunan tradisional, arca yang menyambut kita sebelum gerbang Candi Cetho memiliki bentuk yang berbeda, dengan pembuatan yang kurang halus dan bergaya primitif. Dari gaya serta kehalusan pembuatan arca tersebut, para ahli menduga bahwa arca beserta kompleks bangunan Candi Cetho tidak dibuat oleh para pekerja dan seniman istana, melainkan oleh para penduduk dari desa sekitar candi.

 Melangkahkan kaki memasuki gapura besar, dari teras pertama terlihat bahwa Kompleks Candi Cetho terletak pada lahan berteras-teras, sehingga bentuknya menyerupai pundek berundak. Jumlah total teras ketika candi ini ditemukan adalah 14 teras, namun setelah pemugaran tahun 1976 hanya tersisa 9 teras. Masing-masing teras dibatasi oleh tembok batu dan memiliki gapura. Semakin tinggi terasnya, maka pintu gapuranya semakin sempit. Menurut salah satu juru kunci Candi Cetho, teras yang bertingkat-tingkat ini melambangkan perjalanan menuju nirwana, semakin tinggi tingkatannya maka tingkat kesulitan untuk mencapainya pun semakin tinggi.

Obyek yang menjadi primadona di Candi Cetho adalah tataan batu mendatar di permukaan tanah teras ketiga, yang menggambarkan simbol phallus (simbol kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dan kura-kura raksasa. Berdasarkan interpretasi para ahli, phallus merupakan simbol penciptaan manusia, sedangkan kura-kura merupakan simbol penciptaan alam semesta. Obyek lain yang juga menarik adalah jajaran batu yang memuat relief kisah Sudhamala di teras keempat. Kisah Sudhamala adalah kisah pewayangan yang mendasari upacara ruwatan, berkisah tentang Sadewa yang berhasil merawat Uma (istri Batara Syiwa) yang dikutuk menjadi Durga. Dari keberadaan lambang phallus, kura-kura dan relief Sudhamala, maka para ahli menduga bahwa Candi Cetho dibangun dengan tujuan untuk upacara ruwatan.


 Naik terus menuju teras tertinggi melalui gapura-gapura yang semakin sempit, di teras kedelapan terdapat 2 buah arca yang diletakkan di dalam pondok kecil. Masyarakat setempat mempercayai bahwa kedua arca ini adalah perwujudan Sabdopalon dan Nayagenggong, abdi sekaligus penasehat spiritual Prabu Brawijaya V, raja terakhir dari kerajaan Majapahit. Sedangkan di teras kesembilan terdapat 2 buah arca yang diletakkan dalam pondok kecil. Arca yang terletak di sisi utara berbentuk lingga, sedangkan arca yang terletak di sisi selatan dipercaya merupakan arca Prabu Brawijaya V dalam wujud Mahadewa. Arca-arca di teras kedelapan dan kesembilan ini tidak sehalus arca yang ditemukan di candi-candi Jawa Tengah, Jawa Timur atau Bali, namun memberikan ciri khas tersendiri.


Di teras tertinggi, terdapat bangunan batu berbentuk punden berundak, yang diberi pintu teralis yang terkunci. Di dalam bangunan tersebut terlihat sebuah bangunan batu persegi empat yang ujungnya terlihat dari luar. Pengunjung boleh masuk ke dalam bangunan tersebut untuk berdoa atau bermeditasi di dalamnya, dengan minta izin kepada juru kunci. Di dalam bangunan, akan terlihat bahwa bangunan batu persegi empat yang ada di dalamnya diberi kain merah putih mengelilingi keempat sisinya. Agar doanya terkabul, juru kunci akan minta pengunjung untuk mengelilingi bangunan batu tersebut sebanyak tiga kali sebelum memanjatkan doa.


Candi Cetho merupakan sebuah cagar budaya sekaligus obyek wisata yang menarik untuk dikunjungi karena keunikannya. Walaupun letaknya cukup jauh dari Kota Surakarta sebagai kota besar terdekat (kurang lebih 40 km), namun akses menuju ke sana cukup mudah, karena tersedia angkutan umum menuju ke Desa Cetho. Bagi yang membawa kendaraan sendiri, tersedia lahan parkir. Tiket masuk ke candi ini pun cukup murah, untuk wisatawan domestik Rp 3.000,- dan untuk wisatawan mancanegara Rp 10.000. Di hari-hari biasa, obyek wisata ini cukup sepi, namun di hari-hari libur seperti Hari Raya Idul Fitri, obyek ini ramai dikunjungi tak hanya oleh penduduk sekitar, namun juga wisatawan dari kota-kota lainnya.



Disertakan pada lomba Blog Dalam Rangka HUT Komunitas Blogger Nganjuk ke-3 http://kotaangin.com