Saturday, February 26, 2011

Kebun Raya Bogor, Riwayatmu Kini

Hari Sabtu yang lalu, saya akhirnya "berhasil" ke Bogor (secara pergi ke Bogor belum tentu setahun sekali...), dan tentu saja, tak lupa saya mengunjungi Kebun Raya Bogor, the most popular tourist attraction in Bogor.

Sebenernya, dari rumah saya sudah membuat list tempat-tempat menarik untuk dikunjungi selain Kebun Raya Bogor, seperti Museum Peta, Museum Tanah, Museum Etnobotani, dlsb dlsb. Tapi begitu dicek lagi di internet, ternyata museum-museum itu tidak buka pada hari Sabtu atau Minggu! Ooo... (kumaha atuh, niat gak sih memajukan wisata Bogor? Gimana gak kalah populer ama Kota Tua Batavia...) Jadi balik lagi deh ke Kebun Raya, yang udah pasti buka pada hari Sabtu dan Minggu. (btw, pantesan aja Mbak-Mbak penulis buku 99 Tempat Wisata Akhir Pekan di Jawa dan Madura itu ga memasukkan museum-museum ini dalam buku mereka...wong tiap akhir pekan mereka tutup!)

Pertama kali mencapai wilayah sekitar Istana Bogor dan Kebun Raya, kami sempat memutari area itu 1x untuk mencari parkir, sebelum akhirnya memutuskan memasukkan mobil ke area Kebun Raya. Ceritanya sebenarnya kami ingin melakukan "green tourism", namanya ke Kebun Raya, harusnya area itu bebas kendaraan bermotor, ya tho? Tapi kenyataannya malah mobil-mobil dan motor-motor pengunjung bisa masuk ke area Kebun Raya, dan justru sepeda, kendaraan yang bebas polusi (tapi tidak bebas ngos-ngosan) ini yang gak boleh masuk! Aneh... tapi ada hikmahnya juga, karena mobil masuk ke area Kebun Raya, Insya Allah bisa parkir di tempat yang enak, ga perlu kuatir lecet kena senggolan angkot-angkot yang berada di jalan raya seputar area Kebun Raya. Kami juga berpikir, mungkin sepeda ga boleh masuk area Kebun Raya, karena takut dipake' untuk off road di antara tumbuh-tumbuhan cantik itu. O ya, kalau mobil boleh masuk dan boleh berkeliling di Kebun Raya, motor pengunjung hanya boleh parkir di dalam dan ga boleh dipake keliling Kebun Raya. Jadi lumayan juga, selama kami berjalan keliling Kebun Raya, walaupun sesekali ada "gangguan" berupa mobil yang mau lewat, tapi tidak ada motor pengunjung, paling-paling ketemu motor petugas Kebun Raya. Bisa kebayang, klo motor pengunjung boleh keliling Kebun Raya, jangan-jangan nanti bikin macet di dalam...

Setelah membayar tiket masuk Rp 9500 per orang dan Rp 15.500 per mobil, kami menuju lokasi pertama : Museum Zoologi. Dulu, sampai dengan tahun 2005 (terakhir kali saya ke sini), Museum Zoologi dikelola secara terpisah dari Kebun Raya Bogor, walaupun pengunjung Kebun Raya bisa masuk ke Museum Zoologi lewat pintu belakang, dan harus beli karcis lagi. Sekarang, karcisnya memang mahal, tapi dengan harga segitu kita bisa masuk ke 2 tempat. Dan dari dulu, Museum Zoologi selalu buka setiap akhir pekan, mungkin karena dari dulu peminatnya cukup banyak, terutama "limpahan" dari pengunjung Kebun Raya. Saat kami datang ke Museum Zoologi, di taman depan area museum sedang ada acara reuni yang cukup ramai. Wah, boleh juga nih idenya, kapan-kapan bikin arisan di Kebun Raya...

Masuk ke Museum Zoologi, sempat berpikir, rasanya kok ada yang aneh... (padahal koleksinya dari dulu tidak berubah, masih itu-itu saja). Ketika saya mencoba menelusuri nomor pajangan secara urut, kelihatannya masih urut kok, cuman arahnya memang jadi rada aneh... Baru ketika kami melewati sebuah ruangan kecil yang tidak ada koleksinya, kami baru sadar, dulu tempat itu adalah lobi/pintu depan Museum Zoologi. Sekarang pintu itu ditutup, dan pengunjung harus masuk lewat Kebun Raya Bogor. Memang koleksi Museum Zoologi dari dulu masih itu-itu saja dan cuman segitu-gitu aja, tapi menurut saya museum ini sangat informatif dan sangat bernilai edukatif. Primadona museum ini adalah (masih) kerangka ikan paus biru yang mati terdampar di Pameungpeuk tahun 1916. Dan yang menyenangkan mengunjungi museum ini, museumnya sangat ramai... Apalagi hari itu ada kunjungan dari beberapa rombongan, salah satunya adalah SMP dari Bekasi, mereka mungkin ada 10 kelas yang lagi karyawisata, membuat museum Zoologi dan Kebun Raya jadi penuh (soalnya hampir di setiap sudut Kebun Raya kami bertemu mereka atau guru-gurunya!).

Kerangka Ikan Paus Biru

Setelah puas melihat-lihat Museum Zoologi, kami lanjut ke Kebun Raya. Target pencarian kami adalah taman-taman yang merupakan peringatan atas jasa-jasa para pendiri dan kepala Kebun Raya terdahulu. Yang menyenangkan adalah Kebun Raya tetap dijaga bersih, tidak jorok atau terlihat banyak sampah di mana-mana. Untuk berjalan santai mengelilingi Kebun Raya, dibutuhkan waktu kurang lebih 2 jam, wah, rasanya keringat sudah di mana-mana. Kami sempat melihat ada makam Belanda yang tersembunyi di antara koleksi tanaman bambu, ketika kami melihat ke sana, tiba-tiba angin bertiup kencang, membuat rumpun-rumpun bambu itu berbunyi seperti menyayat hati... kok jadi merinding ya...

Selama berkeliling Kebun Raya, di setiap sudut terlihat banyak pengunjung melakukan berbagai kegiatan. Ada yang hanya duduk-duduk di tepi danau, ada yang berkumpul sambil berdiskusi, ada juga yang hunting foto, ada juga yang lagi foto gaya (bukan cuman foto narsis, tapi memang foto untuk pre-wed atau model) ada yang berjalan-jalan (terutama kalau ketemu turis asing, biasanya mereka berjalan keliling Kebun Raya), ada juga yang lagi ehem... ehem.... Walaupun sesekali ada mobil melintas, membuat para pejalan kaki ini harus minggir sejenak, tapi pada umumnya hawa di Kebun Raya cukup segar, mengingatkan kita akan kebutuhan untuk berelaksasi di tempat yang menyenangkan setelah selama seminggu dihujani kesibukan.

Ada beberapa spot yang harus dikunjungi, antara lain Monumen Lady Raffless, Kolam Teratai (yang berbatasan langsung dengan bagian belakang Istana Bogor), Taman Mexico (berisi berbagai jenis kaktus yang cantik), Taman Teysmann dan Taman Sujana Kassan (taman terbuka untuk relaksasi), Orchidarium (the real Taman Anggrek, surga para pecinta anggrek), Jalan Astrid (boulevard yang ditanami bunga untuk menyambut kedatangan putri Astrid dari Belgia tahun 1928), dan Jembatan Gantung. Bagi para pecinta tumbuhan, tempat ini bagaikan surga tumbuh-tumbuhan, karena terdapat berbagai macam tumbuhan yang ditanam di sini. Kalau beruntung, anda bisa menemukan Bunga Bangkai yang berbunga setiap 3-4 tahun sekali (biasanya ketika bunga ini mekar, dari pihak Kebun Raya akan mengumumkan, karena bunga ini hanya mekar selama seminggu). O ya, bunga bangkai primadona Kebun Raya ini bukan bunga Rafflesia, walaupun bunga Rafflesia juga seringkali disebut sebagai Bunga Bangkai.

Jalan Astrid

Menjelang pulang dari Kebun Raya, saya menyempatkan untuk mampir ke toko suvenir yang terletak di dekat pintu masuk (sebenernya tadinya gak niat masuk, karena yang kelihatan cuman tumbuh-tumbuhan, tapi rupanya di situ dijual juga suvenir seperti kaos dan buku-buku). Saya membeli pin bergambar Rafflesia Patma (karena gak nemu pin bundar bergambar Bunga Bangkai yang satunya). Doh, kemaren dah jauh-jauh ke Bengkulu, kok nemu pin Rafflesia-nya malah di sini... Klo menurut Mbak penjaga toko suvenir, Kebun Raya Bogor punya koleksi Rafflesia Patma, dan merupakan satu-satunya bunga Rafflesia yang tumbuh di luar Bengkulu. Hanya saja, bunga itu tumbuhnya 81 tahun setelah ditanam... (duh, berapa puluh tahun lagi kami harus menunggu bunga itu mekar di Kebun Raya Bogor?)

Monday, February 21, 2011

Another Episode of Mbatik Yuk : Batik dengan Cap

Tanggal 21 Februari 2011 yang lalu, saya berkesempatan (lagi) untuk ikut kursus Mbatik Yuuk yang diberikan oleh ibu Indra Tjahjani. Kali ini temanya lain dari yang lain : membatik dengan cap. Duh, jadi penasaran...

Sebelum acara cap-capan dimulai, bu Indra kembali memberikan sedikit presentasi tentang batik, apa yang dimaksud dengan "batik", dan jenis-jenis batik yang populer serta maknanya. Ternyata, batik cap masih bisa dikategorikan "batik", karena walaupun tidak menggunakan canting, namun proses pembuatannya kurang lebih sama seperti batik tulis : malam diletakkan membentuk pola di atas kain-kain diberi warna-malamnya di"lorot" (tepatnya dilarutkan dengan air panas), and... voila! Jadilah batik cap!

Selesai presentasi, mulailah kami bereksperimen dengan cetakan batik cap. Pas liat mas-mas yang memperagakan, kok kayanya gampang ya... begitu mencoba sendiri, haduh, ternyata cetakannya panas, euy... mana kalau malamnya kebanyakan, langsung membentuk "noda-noda yang tak diinginkan". Tapi itu tidak mengurangi semangat para peserta untuk mencoba men-cap-kan malam di atas kainnya masing-masing. Setelah acara cap-capan selesai, kainnya masih boleh dihias menggunakan canting atau parafin, sebelum kemudian diberi pewarna. Pas dikasih pewarna terus malamnya dilorot, eh, lumayan juga hasilnya, hehehe...

Lagi-lagi, setelah merasakan sendiri bagaimana (susahnya) membuat batik cap, kembali saya harus menyampaikan rasa kagum kepada bapak-bapak pengrajin batik cap. Cetakan yang mereka pakai jauh lebih besar dari yang kami gunakan saat kursus (dan tentunya lebih berat), namun mereka bisa membatik dengan cepat dan rapih, luar biasa khan? Kesimpulan dari workshop ini adalah : mari kita semakin menghargai hasil karya para pengrajin batik!