Thursday, July 28, 2011

Museum Sonobudoyo, belajar sejarah wong Jogja

Ingin tahu sejarah orang Yogya secara singkat, jelas dan tepat? Maka tempatnya ada di museum Sonobudoyo. Museum Negeri Sonobudoyo berada di Jl. Trikora No. 6, di depan alun-alun utara Keraton Kesultanan Yogyakarta. Sebenarnya mereka terdiri dari 2 unit, Unit I yang ada di Jl. Trikora, dan Unit II yang ada di Ndalem Candranegaran, tidak jauh dari alun-alun utara. Menurut keterangan petugas museum, koleksi kedua unit ini sama saja, hanya koleksi di Unit II lebih banyak berasal dari DI Yogyakarta, sedangkan koleksi di Unit I ada yang berasal dari Bali dan Madura.

Kalau membaca sejarah museum Sonobudoyo, keberadaan museum ini ternyata jauh lebih tua daripada Republik Indonesia. Museum Sonobudoyo berawal dari Java Instituut yang diresmikan pada tahun 1935 atas prakarsa Sultan Hamengkubuwono VIII. Plakat pendirian museum dalam bahasa Belanda masih terpasang di gerbang masuk museum. Sebenarnya ada 2 plakat, plakat pertama adalah plakat pendirian, sedangkan plakat kedua saya sendiri kurang bisa memahami, karena bentuk gambanya lebih mirip orang Mesir daripada orang Jawa.

Masuk ke pendapa depan museum, kita akan disambut seperangkat gamelan. Ya, gamelan merupakan salah satu pusaka bagi keraton, sehingga mereka pun memberi nama 'Kyai' kepada gamelan tersebut. Kemudian kita akan masuk ke dalam gedung museum, melihat berbagai peninggalan prasejarah dan sejarah khususnya di wilayah DI Yogyakarta.

Beberapa koleksi yang unik di museum ini adalah sarkofagus (peti mati) yang ditemukan di bukit kapur di Gunung Kidul. Sarkofagus ini tidak dipajang seperti koleksi lainnya, melainkan "dipendam" (diletakkan di bawah lantai) dan diberi kaca, sehingga kita bisa melihat bagian dalamnya.



Koleksi lain yang juga banyak dan menarik adalah berbagai jenis wayang yang ada di Indonesia. Wayang yang dipamerkan dalam museum ini tidak terbatas pada wayang kulit yang berkembang di DI Yogyakarta, tetapi juga wayang-wayang lain, seperti Wayang Golek, Wayang Menak dari Tegal dan Karawang, Wayang Purwa Bali, dan juga wayang-wayang modern seperti Wayang Suluh, Wayang Wahyu dan Wayang Kancil.


Di bagian akhir museum, terdapat koleksi peninggalan budaya dari Bali. Selain koleksi patung dan peralatan budaya lainnya, di bagian belakang museum terdapat replika bale-bale di Bali, di mana untuk memasuki bale-bale tersebut harus melewati gapura bentar gaya Bali. Kalau foto di situ, tidak serasa di Yogya deh...



Ketika kami akan keluar museum, di dekat pintu gerbang terdapat meriam yang digunakan oleh pasukan milik Hamengkubuwana III. Tidak seperti meriam peninggalan Belanda, di badan meriam ini tertulis dalam huruf Jawa. Bisa dibayangkan, rupanya persenjataan Kesultanan Yogyakarta di masa lalu tidak kalah canggih dengan pemerintah kolonial Belanda.

Malam harinya, kami kembali ke Museum Sonobudoyo untuk menonton pertunjukan wayang kulit. Tidak seperti wayang kulit klasik yang ditampilkan semalam suntuk, wayang kulit di museum Sonobudoyo ini hanya berdurasi 2 jam, dari pukul 20.00-22.00 WIB. Pertunjukan menampilkan cerita Ramayana yang dibagi dalam 8 episode, masing-masing episode berdurasi 2 jam dan dimainkan secara bergiliran setiap malam. Karena dalang memainkan wayang kulit sesuai pakem, termasuk penggunaan bahasa Jawa yang tidak umum didengarkan sehari-hari, maka bagi mereka yang tidak mengerti jalan ceritanya mungkin akan merasa pertunjukkannya membosankan. Namun saya kebetulan seorang penggemar wayang, sehingga walaupun tidak mengerti bahasanya, saya bisa mengira-ngira jalan ceritanya. Malam itu kami menonton episode Hanoman Duta, di mana Hanoman, kera putih sakti, diutus Sri Rama untuk datang ke Alengka melihat kondisi Sinta yang diculik Rahwana. Setelah bertemu Sinta, dalam perjalanan kembali ke Sri Rama, Hanoman sempat memporak-porandakan dan membakar Alengka. Dari sekian banyak penonton, barangkali selain dalang dan pemain gamelan serta sinden, hanya kami ber-4 yang pribumi, selebihnya adalah turis mancanegara. Namun para turis tersebut silih berganti keluar-masuk ruang pertunjukan, dan di akhir pertunjukan hanya tersisa 2 orang turis yang setia menonton dari awal. Yang menarik dari pertunjukan ini, panggung dibuat sedemikian rupa, sehingga penonton dapat memilih mau menonton dari mana, mau dari belakang dalang atau dari balik layar. Keduanya memberikan sensasi yang berbeda, jika kita menonton dari belakang dalang kita dapat melihat warna tokoh-tokoh wayang dan dapat dengan mudah membedakan masing-masing tokoh, sedangkan jika kita menonton dari balik layar, kita dapat melihat bayangan tokoh-tokoh wayang, di mana tatahan pada kulit membuat bayangan tersebut menjadi indah dan hidup.

Tuesday, July 26, 2011

Ullen Sentalu, Menyingkap Kehebatan Para Putri dari balik tembok Keraton

Hari ini hari Jum'at, jadi setelah selesai Shalat Jum'at kami bergegas menuju ke daerah Kaliurang. Karena kami sempat berhenti dulu untuk makan siang, kami baru tiba di museum Ullen Sentalu pukul 15.00, 1 jam menjelang waktu tutup museum. Ketika kami pergi ke loket untuk membeli tiket, petugas museum berkata bahwa kami belum bisa membeli tiket, karena saat ini museum sedang mati listrik, dan karena museum terletak di bawah tanah, maka kondisi museum akan gelap gulita. Kami sempat kecewa, sudah jauh-jauh kami mencapai museum ini, masa' harus kembali dengan tangan hampa?

Papan Nama Museum Ullen Sentalu

Pada akhirnya, petugas museum menawarkan apakah kami mau masuk ke museum dengan lampu darurat. Pikir punya pikir, tidak ada salahnya juga, barangkali malah jadi petualangan yang seru dan unik, melakukan kunjungan di museum dengan lampu darurat, macam Night of the Museum. Akhirnya kami membeli tiket seharga Rp 25.000,-, dan setelah menunggu sejenak di gerbang museum, kami dijemput mbak Tya, tour guide kami hari ini. Sebelum memasuki museum, di dekat pintu masuk terpasang peraturan yang menyatakan bahwa kami tidak boleh memotret di dalam museum. Yaaaaaa… (sebenarnya sudah tahu sejak lama sih, tapi tetap saja : yaaa..... )

Melangkahkan kaki melewati pintu masuk, kami disambut pemandangan hutan pinus dan hawa khas pegunungan yang sejuk. Duh, serasa masuk dunia lain, sangat berbeda dengan hiruk pikuk kota Yogyakarta. Tempat pertama yang kami masuki adalah Guwa Selo Giri. Sebenarnya ini bukan gua alam, tapi lorong berdinding batu yang dibangun mengikuti bentuk Sumur Gumuling. Dinding lorong ini terbuat dari batu andesit gunung Merapi, dengan rancangan bergaya Gothic. Sebenarnya lorong ini dilengkapi lampu, namun berhubung listriknya (masih) mati, jadi lampu darurat yang dibawa mbak Tya membuat suasana yang sudah gelap menjadi semakin syahdu dan mendebarkan! (serasa ikut syuting Dunia Lain...)

Akhirnya kami tiba di ruangan pertama, yaitu Ruang Selamat Datang. Di ruangan ini terdapat panel yang menjelaskan sejarah pendirian Museum Ullen Sentalu. Dari keterangan mbak Tya, kami tahu bahwa museum ini bertujuan untuk melestarikan peninggalan budaya Jawa yang merupakan keturunan Mataram Islam, yaitu keraton Yogyakarta, keraton Surakarta, pura Mangkunegaran dan puri Pakualaman. Sebagian besar koleksi museum berfokus pada putri-putri keraton, di mana pada masanya kisah tentang peranan mereka tidak pernah muncul dan tersimpan di balik tembok keraton. Di tengah ruangan terdapat patung Dewi Laksmi, atau di Indonesia dikenal sebagai Dewi Sri, dewi tanaman padi yang melambangkan kesuburan. Patung ini berasal dari masa kerajaan Mataram Hindu, barangkali untuk mengingatkan kembali bahwa kerajaan-kerajaan besar di Jawa lahir di sekitar gunung Merapi.

Ruangan berikutnya adalah Ruang Seni Tari dan Gamelan di sisi kanan Ruang Selamat Datang. Masih di tengah kegelapan (dan hanya diterangi lampu darurat, sambil degdegan mudah-mudahan baterainya tidak habis di tengah-tengah...), di tengah ruangan terdapat seperangkat gamelan yang merupakan hibah dari GBPH Yudha Ningrat, adik Sultan HB X dari Yogyakarta. Di dinding terdapat beberapa lukisan yang menampilkan tari-tarian yang diciptakan atau ditarikan oleh keluarga keraton. Rupanya di masa lalu, seorang Raja tidak boleh hanya tahu masalah politik, mereka juga harus menguasai kesenian, sehingga setidaknya mereka menciptakan sebuah tarian. Salah satu lukisan menampilkan tarian ciptaan HB IX mengenai putri dari Jawa dan putri Campa yang memperebutkan pangeran Jayengrono.

Kami melanjutkan perjalanan ke lorong di sisi kiri Ruang Selamat Datang. Ketika mbak Tya mencoba menyalakan lampu, ternyata listrik sudah menyala! Hore, dunia kembali terang! Kami pun kembali menyimak penjelasan mbak Tya. Di sepanjang dinding lorong terpasang foto dan lukisan yang melukiskan raja-raja dan putri-putri dari empat kerajaan keturunan Mataram Islam : Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran dan Pakualaman. Masing-masing foto dan lukisan memiliki cerita yang menarik, misalnya Sultan HB IX yang memiliki nama Belanda Henkie, kemudian Sunan PB XII yang ganteng dan sangat dekat dengan ibundanya, Raden Ayu Kuspariyah - ibunda Sunan PB XII yang merupakan wanita modern dan pintar main piano, Sunan PB X yang merupakan raja terkaya di Jawa, Paku Alam VII dan permaisurinya Gusti Retno Puwoso yang berbusana Jawa dengan gaya modern, Gusti Nurul - putri Mangkunegara VII yang modern dan menolak poligami, serta Gusti Partini - putri Mangkunegara VII yang senang menulis dan pernah menerbitkan cerita rakyat Ande-Ande Lumut dengan nama samaran Antipurbani. Rasanya saya tidak akan bosan jika disuruh mengulang kembali memasuki lorong ini, ternyata begitu banyak peranan dan prestasi para putri di balik suksesnya kerajaan-kerajaan keturunan Mataram ini! Satu hal lagi, ketika mbak Tya mematikan lampu lorong dan kami beranjak meninggalkan lorong yang penuh foto dan lukisan ini, saya bisa menduga kenapa kami tidak boleh memfoto. Bukan karena museum ini takut lukisannya ditiru, tapi lebih karena mereka mengharapkan kita menghargai nilai-nilai yang terkandung dibalik kisah yang melatarbelakangi foto atau lukisan yang dipajang.

Kami kemudian beralih ke lokasi berikutnya, yaitu areal Kampung Kambang. Tempat ini dibangun mengikuti konsep Bale Kambang, di mana setiap ruangan terletak di atas kolam air. Ruangan pertama yang kami masuki adalah Ruang Syair untuk Tineke. Ruangan ini berisi surat-surat untuk GRAj Koes Sapariyam, putri Sunan PB XI, yang memiliki panggilan akrab Tinneke. Surat-surat yang ditulis antara tahun 1939-1947 ini ditemukan dalam buku kecil di ruangan Kaputren Keraton Surakarta, berisi puisi dan syair tersebut ditulis oleh kerabat dan teman-teman beliau dalam bahasa Belanda. Surat-surat ini ditujukan untuk menghibur Tineke yang sedang bersedih hati, karena ibunda beliau, Ibu Ageng, tidak menyetujui kekasih pujaan hatinya. Para putri penulis surat tersebut juga tak lupa menempelkan foto di surat tersebut, ah, rupanya tak hanya pandai dalam seni sastra, mereka pun ingin ikut eksis dalam surat mereka!

Beralih ke ruang berikutnya, kami masuk ke Royal Room Ratu Mas. Ratu Mas adalah permaisuri Sri Susuhunan Pakubuwono X, penguasa Keraton Surakarta. Di dalam ruangan ini dipamerkan lukisan Ratu Mas, foto-foto beliau bersama Sunan PB X dan putri mereka, serta pernak-pernik kelengkapan busana beliau. Salah satu koleksi yang menarik perhatian kami adalah koleksi topi beliau. Konon, topi-topi yang lucu tersebut adalah rancangan beliau sendiri, dan dibuat di Perancis. Wah, ternyata di masa lalu, para permaisuri ini tidak hanya modis dalam berbusana Jawa, mereka pun modis dalam berbusana ala Eropa!

Dari Royal Room Ratu Mas, kami beranjak ke ruangan batik. Terdapat dua ruangan yang menampilkan koleksi batik, satu ruangan khusus batik keraton gaya Surakarta dari masa PB X hingga PB XII, ruangan satunya adalah khusus batik keraton gaya Yogyakarta dari masa HB VII dan HB VIII. Keterangan mbak Tya tentang batik-batik ini mengingatkan kembali pada kami bahwa batik tidak sekedar kain dengan motif hias, namun memiliki makna filosofis yang mendalam. Salah satunya adalah motif Parang Sujen, parang bermakna pedang yang berarti perang, sehingga jika kita ingin menghadap raja, maka jangan sekali-sekali mengenakan motif ini, karena bisa dianggap menentang raja.

Ruangan berikutnya adalah ruangan yang wajib diinikmati, yaitu Ruang Putri Idaman. Ruang ini merupakan album hidup GRAy Siti Nurul Kamaril Ngarasati Kusumawardhani Soerjosoejarso, atau lebih dikenal dengan nama Gusti Nurul. Putri tunggal HRH Mangkunegara VII dengan permaisuri GKR Timur Mursudariyah ini merupakan salah satu putri tercantik di masanya, sehingga banyak pangeran yang ingin meminangnya. Walaupun tinggal di dalam lingkungan keraton, Gusti Nurul memiliki gaya dan pandangan hidup yang cukup modern untuk masa itu. Beliau bersekolah di sekolah Belanda, serta gemar melakukan hal-hal yang tidak lazim dilakukan oleh putri keraton pada masa itu, seperti main tenis, berenang, dan berkuda. Kegemaran berkudanya tidak main-main, karena beliau beberapa kali memenangkan berbagai perlombaan berkuda.

Gusti Nurul juga dikenal dengan keberaniannya dalam mendobrak kebiasaan-kebiasaan lama, salah satu diantaranya adalah beliau berprinsip tidak mau dipoligami. Akhirnya beliau menikah dengan KPH Soerjosoerarso, seorang perwira Angkatan Darat, dan mereka tinggal di Bandung. Saya sendiri pernah melihat Gusti Nurul dari dekat di Keraton Mangkunegaran, ketika sedang mengantarkan nenek saya (almh.) mengikuti acara reuni Varia Orang Jauhari (VOJ) di Solo tahun 1996. Gusti Nurul merupakan salah satu aktivis VOJ di Cabang Bandung, dan bukan main, walaupun usia beliau sudah sepuh, namun aura kebangsawanan beliau masih terpancar dengan jelas!

Akhirnya, kami tiba di area luar museum. Mbak Tya kemudian membawa kami ke Sasana Sekar Bawana, melewati koridor Retja Landa. Koridor ini memajang arca dewa dewi dari abad 8-9 Masehi, atau dari masa perkembangan agama Hindu dan Buddha di tanah Jawa. Salah satu arca yang saya ingat adalah arca Ganesha, dewa ilmu pengetahuan dalam mitologi Hindu.

Di belakang koridor Retja Landa, terdapat ruang Sasana Sekar Bawana. Di dalam ruangan ini terdapat lukisan dan patung. Lukisan pertama yang kami temui adalah lukisan Sri Sultan HB X dan permaisuri Ratu Hemas sedang menerima kunjungan kenegaraan dari Pangeran Charles dan Putri Diana almh. Lukisan ini mencerminkan bahwa hubungan antara Kerajaan Inggris dan Kesultanan Yogyakarta berlangsung sangat harmonis. Di sisi kiri lukisan PB X, terdapat lukisan tari Bedaya Ketawang sedang ditarikan di hadapan Panembahan Senapati. Bedaya Ketawang termasuk tarian yang sakral, dan hanya boleh ditarikan oleh para gadis yang sedang dalam masa suci. Tarian ini ditarikan oleh 9 orang, dan dipercaya bahwa di tengah-tengah tarian, Kanjeng Ratu Kidul akan turut menari sebagai penari ke-10. Dalam lukisan tersebut, kehadiran Kanjeng Ratu Kidul ditampilkan dalam bentuk penari ke-10 yang menerawang di atas penari-penari lainnya.

Lukisan terakhir yang wajib dilihat adalah lukisan Paes Ageng, atau tata rias pengantin wanita gaya Yogyakarta. Paes Ageng merupakan busana pengantin dari keraton, dan sampai dengan masa pemerintahan Sultan HB VIII hanya boleh digunakan oleh kerabat raja. Namun pada masa pemerintahan Sultan HB IX, Paes Ageng boleh digunakan untuk masyarakat umum. Tak hanya dalam bentuk lukisan, pengantin wanita yang mengenakan Paes Ageng ini juga diabadikan dalam bentuk patung.

Di akhir kunjungan, kami beristirahat sejenak di ruangan Bale Nitik Rengganis. Tak lupa kami disuguhi minuman spesial, resepnya merupakan warisan Gusti Kanjeng Ratoe Mas, permaisuri Sunan PB X. Sambil icip-icip minumannya, kami menduga-duga, barangkali isinya terdiri dari jahe, cengkeh dan gula jawa, serta kandungan lain yang kita tidak tahu. Konon, minuman ini memberi kesehatan dan awet muda.


Bale Nitik Rengganis


Sebelum pulang, kami sempat mampir ke toko souvenir Muse yang terletak di bawah Restoran Beukenhof. Toko Muse menjual berbagai produk UKM yang dibina yayasan Ulating Blencong. Banyak diantara pernik-pernik yang dijual bergambar lukisan-lukisan yang ada di dalam museum, seperti yang tergambar pada gantungan kunci, magnet kulkas, atau mug. Sayang sekali, hari telah senja, dan masih banyak agenda yang harus kami laksanakan di Yogyakarta, sehingga setelah memberi beberapa cenderamata kami bergegas meninggalkan tempat yang indah ini, dengan membawa sejuta kenangan dan pengetahuan yang tak mudah kami lupakan.


Salah Satu Sudut Museum Ullen Sentalu