Sunday, November 27, 2022

The Many Faces of Ganapati

Ganapati -- atau lebih kita kenal sebagai Ganesa – adalah Dewa Pengetahuan dan Kecerdasan dalam mitologi Hindu. Ganesa juga dikenal sebagai Dewa Pelindung, Dewa Penolak Bala, dan Dewa Kebijaksanaan. Ganesa dipuja oeh berbagai aliran dalam agama Hindu, tanpa memedulikan golongan. Pemujaan Ganesa amat luas, hingga menjalar ke umat Jaina, Buddha, dan di luar India.

Ganesa di Kenjeran, 2010

Ciri khas Ganesa adalah memiliki kepala gajah, berperut buncit, serta memiliki empat lengan. Tangan kanan bawahnya memegang patahan gading, sedangkan tangan kiri bawahnya membawa cawan berisi kudapan manis yang dicomot dengan belalainya. Gading yang patah melambangkan menghancurkan semua penghalang, sedangkan kudapan manis melambangkan kesuksesan. Sedangkan kedua tangan yang di atas memegang kapak dan jerat. Kapak bermakna untuk menghancurkan kejahatan, sedangkan jerat bermakna memotong nafsu duniawi dan menaklukan emosi. Perwujudan Ganesa ini dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, terutama lukisan, relief, dan arca.  

Banyak versi tentang asal mula kepala gajah Ganesa. Versi pertama adalah Ganesa lahir dengan tubuh dan kepala manusia, Kemudian Siwa memenggalnya ketika Ganesa mencampuri urusan antara Siwa dan Parwati. Siwa Kemudian mengganti kepala asli Ganesa dengan kepala gajah. Versi lain dari kitab Brahmawaiwartapurana menyebutkan ketika Ganesa lahir, Parwati menunjukkannya ke hadapan para dewa. Tiba-tiba, Dewa Sani yang konon memiliki mata terkutuk, memandang kepala Ganesa sehingga kepalanya terbakar menjadi abu. Dewa Wisnu menyelamatkan dan mengganti kepala yang lenyap dengan kepala gajah. Versi lain dalam kitab Warahapurana mengisahkan bahwa Ganesa tercipta langsung oleh tawa Siwa. Karena Siwa merasa Ganesa terlalu memikat perhatian, ia memberinya kepala gajah dan perut buncit.

Ganesa datang ke Nusantara bersama kedatangan para pedagang Hindu dari India ke Nusantara. Hal ini kemungkinan terkait erat dengan Ganesa yang menjadi dewa yang menaungi kesejahteraan dan keberuntungan, sehingga Ganesa disembah oleh para pedagang. Arca Ganesa banyak ditemukan dalam berbagai bentuk di sepanjang wilayah Nusantara, terutama di Jawa, Bali dan Kalimantan.

Koleksi Ganesa di Museum di Tengah Kebun, 2018

Di antara arca-arca Ganesa yang ditemukan di Nusantara, terdapat satu arca besar seberat 3,5 ton yang ditemukan di Kedu. Arca yang diperkirakan berasal dari tahun 800-an saat ini berada di Museum di Tengah Kebun. (alm.) Bapak Sjahrial Djalil, pendiri Museum di Tengah Kebun, menyelamatkan arca ini dengan memindahkannya di malam hari, agar tidak menimbulkan keributan dengan penduduk di sekitar tempat arca. Sebagai gantinya, Pak Sjahrial membangun sekolah beserta kelengkapan fasilitasnya. Arca ini bukan satu-satunya arca Ganesa di Museum di Tengah Kebun, karena masih ada arca Ganesa lain dengan berbagai ukuran dan kisah di baliknya.

Kita juga bisa melihat berbagai arca Ganesa yang menjadi koleksi Museum Nasional Indonesia. Arca-arca ini berasal dari abad 8 hingga abad 15, dan ditemukan di berbagai daerah di Jawa. Dari abad 8-9, kebanyakan Ganesa yang dipamerkan berasal dari Semarang dan Magelang. Sedangkan dari abad 10-15, kebanyakan Ganesa yang dipamerkan berasal dari Surabaya, Kediri, dan Singosari. Arca Ganesa berukuran besar yang menjadi koleksi dari Museum Nasional adalah Ganesa yang ditemukan di Candi Banon, Magelang, dari abad 9 dan replika Ganesa yang ditemukan di Candi Singosari pada abad 13.

Koleksi Ganesa di Museum Nasional Indonesia, 2022

Di Indonesia modern, dengan mayoritas penduduk beragama Islam, Ganesa bukan menjadi sesembahan dari penduduk Indonesia. Namun Ganesa tetap menjadi symbol ilmu pengetahuan, kebijakan, dan Pendidikan, dan dijadikan logo berbagai institusi. Di antaranya adalah logo pemerintah daerah Blitar, Kota Salatiga, dan Kabupaten Kediri, mereka menggunakan Ganesa dalam lambang daerahnya.

Salah satu institusi yang terkenal dengan logo Ganesa-nya adalah Institut Teknologi Bandung (ITB). ITB secara resmi berdiri pada 2 Maret 1959, setelah melepaskan statusnya sebagai Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam Universitas Indonesia. Namun demikian, kampus utama ITB yang dikenal sebagai Kampus Ganesha telah berdiri sejak tahun 1920, sebagai Technische Hoogeschool te Bandoeng. Dengan berdiri sendiri sebagai ITB, tentunya ITB memerlukan lambang baru, menggantikan lambang pohon ilmu pengetahuan yang digunakan Universitas Indonesia. 

Di awal tahun 1960-an, para guru besar ITB, di antaranya Prof. Ir. Soetedjo, Prof. Sjafei Soemardja, Prof. Soemono, dan Prof. Ir. Raden Otong Kosasih, berjalan-jalan sekitar kampus untuk mencari ide. Mereka melihat dua buah patung Ganesha kecil di bawah jam di gerbang depan kampus. Patung tersebut merupakan hasil temuan arkeolog asing di situs candi Jawa Tengah yang belum didaftarkan ke Museum Nasional, Jakarta. Dari patung ini, para guru besar sepakat mengembangkan Ganesa sebagai lambang ITB. 

Ganesa di Gerbang Ganesa, 2017

Prof. Sjafei Soemardja sebagai Ketua Pelaksana Pendirian Institut Teknologi Bandung kemudian menunjuk Srihadi Soedarsono Adhikoesoemo, seorang pelukis muda lulusan baru dari Jurusan Seni Rupa ITB , untuk mengolah patung tersebut menjadi bentuk dua dimensi. Srihadi kemudian mendesain logo ITB dengan beberapa perubahan dalam makna atribut yang melekat pada Ganesa. Misalnya cawan (patta) berisi kudapan manis yang melambangkan kesuksesan, diubah maknanya menjadi berisi ilmu pengetahuan yang dihirup dengan belalai, mengambarkan ilmu yang tidak ada habisnya. Gading yang patah yang semula melambangkan penghancur semua penghalang, beralih makna menjadi pengorbanan diri untuk memecahkan masalah yang menghambat kemajuan ilmiah. Jerat yang bermakna memotong nafsu duniawi diganti menjadi tasbih yang melambangkan kebijaksanaan. Demikian juga teratai yang menjadi alas duduk Ganesa, digantikan dengan buku yang melambangkan ilmu pengetahuan.

Lambang Ganesa secara resmi dipakai pada tahun ajaran 1963-1964, ketika lambang ini pertama kali muncul pada Kartu Tanda Mahasiswa ITB. Selanjutnya dilakukan penyempurnaan logo Ganesa di decade 1980-an, di masa kepemimpinan Prof. Hariadi P. Soepangkat, PhD sebagai rektor. Hal ini disebabkan penggunaan logo Ganesa yang seringkali salah dalam proporsi, atau menggunakan atribut yang keliru. Lambang Ganesa buatan Srihadi kemudian disempurnakan oleh studio Desain Grafis ITB, dan dilengkapi buku panduan pemakaian lambang di semua bentuk yang diperlukan.

Menariknya, jauh sebelum ITB memutuskan menggunakan Ganesa sebagai lambang, pada tahun 1920 berdirilah Bandoengsch Studenten Corps (BSC), organisasi resmi mahasiswa tertua di TH Bandoeng, sekaligus organisasi mahasiswa tertua di Hindia Belanda (mungkin seperti Himpunan Mahasiswa di ITB saat ini). Sejak tahun 1922, BSC menerbitkan majalah dwibulanan dengan nama “Ganesa”, yang diberi logo bergambar dewa berkepala gajah berbadan manusia dalam mitologi Hindu. Keberadaan majalah ini menjadi ajang para mahasiswa melatih menulis secara ilmiah dan tertata baik. Saya justru jadi punya pertanyaan: apakah keberadaan majalah tersebut merupakan salah satu pemicu ide penggunaan Ganesa sebagai lambang ITB?

Saturday, February 05, 2022

[Travel Writing Mash-Up] The Many Faces of Indonesian Stone Guardian

Beberapa kebudayaan di Asia memiliki patung-patung penjaga gerbang. Patung-patung tersebut umumnya ditempatkan di gerbang tempat-tempat penting seperti candi, kuil, atau bangunan lain untuk melindungi tempat suci di dalamnya. Umumnya patung-patung penjaga ini dibuat dari batu, agar tahan terhadap cuaca. Terbukti, beberapa patung ini bertahan hingga berabad-abad. 

Patung penjaga gerbang yang banyak terdapat di kebudayaan Siwa dan Buddha di Indonesia adalah Dwarapala (Bahasa Sanskreta untuk “penjaga pintu”). Dwarapala umumnya digambarkan sebagai raksasa yang menyeramkan, berperawakan gemuk, digambarkan dalam posisi tubuh setengah berlutut dan menggenggam senjata gada. Di bangunan kuno, dwarapala banyak ditemukan di gerbang candi. Saat ini dwarapala banyak juga ditempatkan di bangunan-bangunan baru. 

Dwarapala di Candi Plaosan Lor

Di antara dwarapala yang ada di Indonesia, salah satu dwarapala yang unik adalah dwarapala yang terdapat di kompleks Candi Plaosan Lor. Berbeda dengan dwarapala pada umumnya yang menghadap ke arah luar, setiap pasang dwarapala di Candi Plaosan dibuat saling berhadapan. Salah satu patung memegang gada di tangan kanan, dengan tangan kiri tertumpang di atas lutut. Sedangkan patung yang lain memegang ular di tangan kanan, dengan gada dipegang di tangan kiri menghadap ke bawah. Dwarapala digambarkan memiliki ekspresi dengan mata melotot, taring besar, serta senyum tipis yang menyiratkan keramahan sekaligus ketegasan secara bersamaan. 

Dwarapala Raksasa di Singosari

Dwarapala terbesar di Jawa terdapat di Singosari, 200 meter dari Candi Singosari. Dwarapala ini terbuat dari batu andesit utuh setinggi 4 meter dengan berat 15 ton. Dwarapala ini memiliki keunikan gadanya menghadap ke bawah, serta memiliki ekspresi tersenyum. 

Dwarapala di Bali

Di Bali, dwarapala yang ada di gerbang-gerbang bangunan memiliki gaya yang berbeda dengan yang ada di Jawa. Dwarapala di Bali umumnya mengenakan kain poleng yang berwarna hitam putih. Dwarapala diyakini sebagai cerminan manusia yang akan memasuki tempat suci. Ekspresinya diharapkan dapat mengingatkan umat untuk berintrospeksi, membersihkan pikiran, perkataan dan perbuatan sebelum memasuki tempat suci. Tidak seperti di Jawa di mana dwarapala umumnya berbentuk raksasa kembar, dwarapala di Bali bisa terdiri dari pasangan tokoh seperti kakak adik Subali-Sugriwa, pasangan suami-istri Pan Brayut-Men Brayut, atau pasangan ayah dan anak Merdah-Tualen. Pasangan dwarapala Bali juga dapat mengikuti tatanan aturan atau tradisi di lingkungan setempat. 

Kiri: Patung Singa di Borobudur.
Kanan: Patung Singa di Vihara Mendur

Sedikit berbeda dengan di candi-candi lain, Candi Borobudur tidak memiliki dwarapala. Tetapi mereka memiliki patung singa, yang dipercaya sebagai symbol penjaga dharma atau ajaran Sang Buddha. Dalam kebudayaan kuno India, singa merupakan hewan yang dihormati. Patung Budha sebagai Manjusri digambarkan sedang menunggang seekor Singa Asia. Singa juga digunakan sebagai motif hiasan pada tempat duduk Bodhisattva, dan sepasang patung singa juga mulai diletakkan sebagai pelindung Bodhisattva. Singa dianggap memiliki kekuatan untuk menghalau kejahatan, sehingga singa diletakkan untuk menjaga gerbang. 

Salah Satu Pasangan Shishi di Klenteng Sam Poo Kong, Semarang

Selain dwarapala dan patung singa di Candi Borobudur, Indonesia juga memiliki berbagai jenis Shishi, atau patung singa penjaga gerbang khas kebudayaan Tiongkok. Shishi biasanya dibuat berpasangan dan menghadap ke arah luar. Di sisi kanan adalah patung shishi jantan yang menggenggam bola dunia, melambangkan kekuasaan atau kesuksesan. Sedangkan di sisi kiri adalah patung shishi betina yang mengasuh anak shishi, melambangkan kesuburan atau keluarga. 

Shishi memiliki bentuk seperti singa, karena pengaruh agama Buddha yang masuk di Tiongkok melalui Jalur Sutra. Walaupun saat itu orang Tiongkok sudah mengetahui bentuk fisik singa yang sebenarnya, pembuat Shishi mengombinasikan bentuk fisik singa dengan Qilin (sejenis binatang dalam mitologi Tiongkok) atau binatang-binatang lain dalam legenda Tiongkok hingga menjadi model Shishi yang kita kenal sekarang. 

Shishi di Museum Tanjungpandan, Belitung

Salah satu Shishi yang unik di Indonesia adalah Shishi yang terdapat di Museum Tanjungpandan. Shishi setinggi 1,5 meter ini semula “mengawal” rumah Kapitan Ho A Jun, kepala komunitas Tionghoa pertama pada tahun 1852. Bentuk dan gaya patung Shishi yang ada di museum ini berbeda dengan gaya patung sejenis yang pernah saya lihat di tempat lain. Jika patung Shishi umumnya memiliki ornamen yang detail dan kaya warna, patung Shishi ini justru sangat sederhana. Ini mungkin merupakan representasi masyarakat Tionghoa yang ada di Belitung berasal dari pekerja pertambangan yang sederhana.