Friday, May 27, 2011

Surabaya Heritage Track

Beberapa minggu yang lalu saya menyempat(-nyempat)kan diri untuk ikut Surabaya Heritage Track (SHT). Udah lama tahu ada program ini, tapi baru berkesempatan untuk mengikutinya kali ini.
Begitu pesawat mendarat di Juanda, setelah mengambil bagasi dan menemukan mobil rental yang saya pesan sebelumnya, kami meluncur ke kawasan Surabaya Utara, tepatnya ke House of Sampoerna (HoS), sebuah gedung sekaligus museum yang menyimpan benda-benda bersejarah milik PT Sampoerna, salah satu korporasi besar Indonesia yang lahir di Surabaya.
Saya sudah 2 kali ke HoS, dan ini kali ke-3 saya ke sana. Situasi masih tetap sama, ketika memasuki pintu museum, tercium aroma tembakau yang kuat, diiringi musik-musik jazz klasik, ditambah perabot-perabot antik koleksi pendiri PT Sampoerna, membuat saya sejenak kembali ke masa lalu. Benda-benda yang dulu saya lihat sebagian besar masih ada, namun banyak juga yang sudah tidak terlihat, seperti fasilitas multimedia di bagian belakang museum. Ketika saya ke lantai atas untuk liat toko suvenir, perasaan kios yang jualan suvenir ukurannya makin kecil, tapi jualan batik (khususnya batik Madura) malah makin banyak. Berarti batik Madura lagi trend neh...
Namun saya tak bisa berlama-lama menikmati suasana jadul di museum, karena hari itu perjalanan SHT hanya ada 3 kali, dan saya harus segera mendaftar sebelum kehabisan tempat. Benar saja, hampir aja saya kehabisan tempat, untung masih ada tempat untuk 1 orang! Karena hari ini adalah akhir pekan, jadi saya kebagian rute panjang (1,5 jam).
Sebelum berangkat, untuk mengisi waktu saya masuk ke cafe di sisi Timur museum. Bagi mereka yang senang wisata kuliner tradisional, apalagi mencari makanan khas Surabaya/Jawa Timur, cafe ini mungkin kurang cocok, soalnya mereka menjual makanan Asia yang umum, sama makanan Barat. Tapi buat mereka yang suka nongkrong, kafe in te o pe be ge te, karena menampilkan suasana jadul yang cozy, namun dengan pelayanan yang modern. Di saat bersamaan, terdapat 20 orang bule yang lagi makan di sana. Klo liat bahasanya, kemungkinan orang Belanda, tapi kayanya ga mungkin mereka-mereka yang lagi bernostalgia pernah tinggal di Indonesia, soalnya kelihatan relatif muda. Dan kayanya mereka menikmati banget suasana kafe dan makanannya... saya juga kok...
Usai makan, masih ada sedikit waktu menunggu keberangkatan, jadi saya menyempatkan diri melihat pameran di galeri yang terletak di belakang kafe. Rupanya hari itu lagi ada pameran tenun ikat dari suku Sikka, pulau Flores, NTT. Dengan ramah tamah mereka menjelaskan cara membuat tenun ikat, mulai dari panen kapas, memintal benang dari kapas, membuat pola dengan mengikat benang (kira-kira mirip tie-dye, tapi ikatannya kecil-kecil dan banyak), mencelup benang dengan warna alam, baru kemudian ditenun. Seru, karena cara membuatnya diperagakan secara live! Untuk pewarna alam, warna biru mereka dapatkan dari pohon nila, warna merah dari kulit kayu ditambah kemiri, warna kuning dari kunyit dan kulit pohon nangka, warna hijau dari buah nila, kunyit dan daun pohon nangka. Gara-gara melihat ini semua, saya jadi maklum kenapa harga tenun ikat jadi mahal sekali, dan membuat saya makin menghargai karya seni anak bangsa ini.

Jam 14.55, pintu "trem" SHT dibuka (tepatnya itu adalah bis tanggung yang casing-nya dibuat mirip trem, kendaraan umum yang dulu malang melintang di Surabaya), dan para tracker (demikian mereka menyebut peserta SHT) mulai mengambil tempat di trem. Tepat pukul 15.00, trem berangkat dari HoS. Saat berangkat, Mas-Mas Guide menjelaskan bahwa program SHT ini terselenggara atas kerjasama PT Sampoerna dengan Pemda Surabaya (duh, harus ada sponsor dulu ya baru bisa ada program bagus kaya beginian...) Mas-Mas Guide mulai menjelaskan bangunan bersejarah dan gedung-gedung tua (dan terkadang tak terawat :( ) yang ada di seputar Surabaya Utara, mulai dari (mantan) Penjara Kalisosok, gedung Internatio tempat tewasnya Brigjen Mallaby, Jembatan Merah, Tugu Pahlawan, Siola (yang rencananya akan direvitalisasi lagi jadi pusat perbelanjaan), Hotel Majapahit (d/h hotel Oranje tempat perobekan bendera Belanda jadi merah putih), Gedung Grahadi dan Balai Pemuda. Sayang, si Mas-Mas Guide ga mention patung Joko Dolog yang tersembunyi di taman Apsari, yang letaknya kira-kira di depan Gedung Grahadi.
Di Balai Kota, para tracker turun dan dibawa ke lobi Balai Kota untuk melihat patung suro-boyo dan sejarah kota Surabaya (dan gedung balai kota khususnya). Bangunan ini sebenarnya bangunan tua, tapi tidak terlihat jadul. Rupanya terdapat banyak versi tentang asal mula nama suro-boyo, mulai dari versi fabel dari Von Faber, sampai versi sejarah untuk memperingati kemenangan pasukan Majapahit atas serbuan tentara Mongol. Wait, kemaren mas-masnya menyebut kemenangan pasukan Singosari, waduh, kayanya kita harus baca buku sejarah lagi, yang perang ama tentara Mongol itu pasukan Majapahit!

Dari Balai Kota, rombongan bergerak lagi ke pemberhentian selanjutnya di Gedung Cak Durasim. Di perjalanan, Mas-Mas Guide ga lupa menyebutkan titik-titik wisata kuliner terkenal di Surabaya, seperti salah satunya sate klopo Ondemohen. Wah, harus dicoba bo... Mas-mas Guide juga menyebutkan, bahwa HoS kadang-kadang punya program SHT tematik di luar program reguler yang gratisan, misalnya bulan Mei 2011 ini mereka punya program kunjungan ke museum-museum ga umum di Surabaya, seperti Museum Loka Jala Srana (yang terletak di kompleks AAL), Museum Kesehatan (yang lebih dikenal sebagai Museum Santet), dan Museum Perjuangan (1 kompleks dengan Tugu Pahlawan). Tarifnya murah meriah juga, berkisar antara Rp 1500-3000 per orang. Kalau saya hitung-hitung, itu sebenernya cuman untuk mengganti tiket masuk ke museum, tapi kan lumayan, masuk museumnya raramean!
Di Gedung Cak Durasim, para tracker dipersilakan turun lagi. Konon gedung ini tadinya merupakan kraton Kanoman Kadipaten Surabaya, di bawah pimpinan Adipati Jayengsrono. Mengenai kebenarannya, akan kita cek lagi di Wikipedia. Gedung ini merupakan gedung kesenian yang menjadi pusat pengembangan kebudayaan Jawa Timur. Sayangnya, pas kami berkunjung sedang tidak ada event kebudayaan, jadi kami hanya melihat-lihat saja. Sayangnya juga, si Mas-Mas Guide ga menjelaskan siapakah Cak Durasim, dan apa jasanya sehingga namanya diabadikan menjadi nama gedung kesenian tersebut.

Tanpa terasa, sudah 1 jam 20 menit kami keliling Surabaya Utara, dan sudah waktunya mengakhiri perjalanan yang seru ini. Bagi saya, orang luar Surabaya yang cukup sering ke Surabaya (dan pernah melintasi rute tersebut sehingga gedung-gedung itu tidak asing lagi bagi saya), ide tournya OK banget (pengennya di Jakarta juga ada yang kaya begini, ada ga ya?), cuman kurang "nendang" sedikit, perlu tambahan polesan-polesan dan pengetahuan yang lebih dalam, sehingga Mas-Mas Guide-nya bisa "ngoceh" lebih seru lagi mengenai sejarah masing-masing gedung bersejarah itu. Tapi klo melihat para tracker, kayanya cuman saya aja yang bukan orang Surabaya, sisanya adalah orang Surabaya, and they all enjoy the trip, so it's worthed to have the trip!