Hari ini hari Jum'at, jadi setelah selesai Shalat Jum'at kami bergegas menuju ke daerah Kaliurang. Karena kami sempat berhenti dulu untuk makan siang, kami baru tiba di museum Ullen Sentalu pukul 15.00, 1 jam menjelang waktu tutup museum. Ketika kami pergi ke loket untuk membeli tiket, petugas museum berkata bahwa kami belum bisa membeli tiket, karena saat ini museum sedang mati listrik, dan karena museum terletak di bawah tanah, maka kondisi museum akan gelap gulita. Kami sempat kecewa, sudah jauh-jauh kami mencapai museum ini, masa' harus kembali dengan tangan hampa?
Papan Nama Museum Ullen Sentalu |
Pada akhirnya, petugas museum menawarkan apakah kami mau masuk ke museum dengan lampu darurat. Pikir punya pikir, tidak ada salahnya juga, barangkali malah jadi petualangan yang seru dan unik, melakukan kunjungan di museum dengan lampu darurat, macam Night of the Museum. Akhirnya kami membeli tiket seharga Rp 25.000,-, dan setelah menunggu sejenak di gerbang museum, kami dijemput mbak Tya, tour guide kami hari ini. Sebelum memasuki museum, di dekat pintu masuk terpasang peraturan yang menyatakan bahwa kami tidak boleh memotret di dalam museum. Yaaaaaa… (sebenarnya sudah tahu sejak lama sih, tapi tetap saja : yaaa..... )
Melangkahkan kaki melewati pintu masuk, kami disambut pemandangan hutan pinus dan hawa khas pegunungan yang sejuk. Duh, serasa masuk dunia lain, sangat berbeda dengan hiruk pikuk kota Yogyakarta. Tempat pertama yang kami masuki adalah Guwa Selo Giri. Sebenarnya ini bukan gua alam, tapi lorong berdinding batu yang dibangun mengikuti bentuk Sumur Gumuling. Dinding lorong ini terbuat dari batu andesit gunung Merapi, dengan rancangan bergaya Gothic. Sebenarnya lorong ini dilengkapi lampu, namun berhubung listriknya (masih) mati, jadi lampu darurat yang dibawa mbak Tya membuat suasana yang sudah gelap menjadi semakin syahdu dan mendebarkan! (serasa ikut syuting Dunia Lain...)
Akhirnya kami tiba di ruangan pertama, yaitu Ruang Selamat Datang. Di ruangan ini terdapat panel yang menjelaskan sejarah pendirian Museum Ullen Sentalu. Dari keterangan mbak Tya, kami tahu bahwa museum ini bertujuan untuk melestarikan peninggalan budaya Jawa yang merupakan keturunan Mataram Islam, yaitu keraton Yogyakarta, keraton Surakarta, pura Mangkunegaran dan puri Pakualaman. Sebagian besar koleksi museum berfokus pada putri-putri keraton, di mana pada masanya kisah tentang peranan mereka tidak pernah muncul dan tersimpan di balik tembok keraton. Di tengah ruangan terdapat patung Dewi Laksmi, atau di Indonesia dikenal sebagai Dewi Sri, dewi tanaman padi yang melambangkan kesuburan. Patung ini berasal dari masa kerajaan Mataram Hindu, barangkali untuk mengingatkan kembali bahwa kerajaan-kerajaan besar di Jawa lahir di sekitar gunung Merapi.
Ruangan berikutnya adalah Ruang Seni Tari dan Gamelan di sisi kanan Ruang Selamat Datang. Masih di tengah kegelapan (dan hanya diterangi lampu darurat, sambil degdegan mudah-mudahan baterainya tidak habis di tengah-tengah...), di tengah ruangan terdapat seperangkat gamelan yang merupakan hibah dari GBPH Yudha Ningrat, adik Sultan HB X dari Yogyakarta. Di dinding terdapat beberapa lukisan yang menampilkan tari-tarian yang diciptakan atau ditarikan oleh keluarga keraton. Rupanya di masa lalu, seorang Raja tidak boleh hanya tahu masalah politik, mereka juga harus menguasai kesenian, sehingga setidaknya mereka menciptakan sebuah tarian. Salah satu lukisan menampilkan tarian ciptaan HB IX mengenai putri dari Jawa dan putri Campa yang memperebutkan pangeran Jayengrono.
Kami melanjutkan perjalanan ke lorong di sisi kiri Ruang Selamat Datang. Ketika mbak Tya mencoba menyalakan lampu, ternyata listrik sudah menyala! Hore, dunia kembali terang! Kami pun kembali menyimak penjelasan mbak Tya. Di sepanjang dinding lorong terpasang foto dan lukisan yang melukiskan raja-raja dan putri-putri dari empat kerajaan keturunan Mataram Islam : Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran dan Pakualaman. Masing-masing foto dan lukisan memiliki cerita yang menarik, misalnya Sultan HB IX yang memiliki nama Belanda Henkie, kemudian Sunan PB XII yang ganteng dan sangat dekat dengan ibundanya, Raden Ayu Kuspariyah - ibunda Sunan PB XII yang merupakan wanita modern dan pintar main piano, Sunan PB X yang merupakan raja terkaya di Jawa, Paku Alam VII dan permaisurinya Gusti Retno Puwoso yang berbusana Jawa dengan gaya modern, Gusti Nurul - putri Mangkunegara VII yang modern dan menolak poligami, serta Gusti Partini - putri Mangkunegara VII yang senang menulis dan pernah menerbitkan cerita rakyat Ande-Ande Lumut dengan nama samaran Antipurbani. Rasanya saya tidak akan bosan jika disuruh mengulang kembali memasuki lorong ini, ternyata begitu banyak peranan dan prestasi para putri di balik suksesnya kerajaan-kerajaan keturunan Mataram ini! Satu hal lagi, ketika mbak Tya mematikan lampu lorong dan kami beranjak meninggalkan lorong yang penuh foto dan lukisan ini, saya bisa menduga kenapa kami tidak boleh memfoto. Bukan karena museum ini takut lukisannya ditiru, tapi lebih karena mereka mengharapkan kita menghargai nilai-nilai yang terkandung dibalik kisah yang melatarbelakangi foto atau lukisan yang dipajang.
Kami kemudian beralih ke lokasi berikutnya, yaitu areal Kampung Kambang. Tempat ini dibangun mengikuti konsep Bale Kambang, di mana setiap ruangan terletak di atas kolam air. Ruangan pertama yang kami masuki adalah Ruang Syair untuk Tineke. Ruangan ini berisi surat-surat untuk GRAj Koes Sapariyam, putri Sunan PB XI, yang memiliki panggilan akrab Tinneke. Surat-surat yang ditulis antara tahun 1939-1947 ini ditemukan dalam buku kecil di ruangan Kaputren Keraton Surakarta, berisi puisi dan syair tersebut ditulis oleh kerabat dan teman-teman beliau dalam bahasa Belanda. Surat-surat ini ditujukan untuk menghibur Tineke yang sedang bersedih hati, karena ibunda beliau, Ibu Ageng, tidak menyetujui kekasih pujaan hatinya. Para putri penulis surat tersebut juga tak lupa menempelkan foto di surat tersebut, ah, rupanya tak hanya pandai dalam seni sastra, mereka pun ingin ikut eksis dalam surat mereka!
Beralih ke ruang berikutnya, kami masuk ke Royal Room Ratu Mas. Ratu Mas adalah permaisuri Sri Susuhunan Pakubuwono X, penguasa Keraton Surakarta. Di dalam ruangan ini dipamerkan lukisan Ratu Mas, foto-foto beliau bersama Sunan PB X dan putri mereka, serta pernak-pernik kelengkapan busana beliau. Salah satu koleksi yang menarik perhatian kami adalah koleksi topi beliau. Konon, topi-topi yang lucu tersebut adalah rancangan beliau sendiri, dan dibuat di Perancis. Wah, ternyata di masa lalu, para permaisuri ini tidak hanya modis dalam berbusana Jawa, mereka pun modis dalam berbusana ala Eropa!
Dari Royal Room Ratu Mas, kami beranjak ke ruangan batik. Terdapat dua ruangan yang menampilkan koleksi batik, satu ruangan khusus batik keraton gaya Surakarta dari masa PB X hingga PB XII, ruangan satunya adalah khusus batik keraton gaya Yogyakarta dari masa HB VII dan HB VIII. Keterangan mbak Tya tentang batik-batik ini mengingatkan kembali pada kami bahwa batik tidak sekedar kain dengan motif hias, namun memiliki makna filosofis yang mendalam. Salah satunya adalah motif Parang Sujen, parang bermakna pedang yang berarti perang, sehingga jika kita ingin menghadap raja, maka jangan sekali-sekali mengenakan motif ini, karena bisa dianggap menentang raja.
Ruangan berikutnya adalah ruangan yang wajib diinikmati, yaitu Ruang Putri Idaman. Ruang ini merupakan album hidup GRAy Siti Nurul Kamaril Ngarasati Kusumawardhani Soerjosoejarso, atau lebih dikenal dengan nama Gusti Nurul. Putri tunggal HRH Mangkunegara VII dengan permaisuri GKR Timur Mursudariyah ini merupakan salah satu putri tercantik di masanya, sehingga banyak pangeran yang ingin meminangnya. Walaupun tinggal di dalam lingkungan keraton, Gusti Nurul memiliki gaya dan pandangan hidup yang cukup modern untuk masa itu. Beliau bersekolah di sekolah Belanda, serta gemar melakukan hal-hal yang tidak lazim dilakukan oleh putri keraton pada masa itu, seperti main tenis, berenang, dan berkuda. Kegemaran berkudanya tidak main-main, karena beliau beberapa kali memenangkan berbagai perlombaan berkuda.
Gusti Nurul juga dikenal dengan keberaniannya dalam mendobrak kebiasaan-kebiasaan lama, salah satu diantaranya adalah beliau berprinsip tidak mau dipoligami. Akhirnya beliau menikah dengan KPH Soerjosoerarso, seorang perwira Angkatan Darat, dan mereka tinggal di Bandung. Saya sendiri pernah melihat Gusti Nurul dari dekat di Keraton Mangkunegaran, ketika sedang mengantarkan nenek saya (almh.) mengikuti acara reuni Varia Orang Jauhari (VOJ) di Solo tahun 1996. Gusti Nurul merupakan salah satu aktivis VOJ di Cabang Bandung, dan bukan main, walaupun usia beliau sudah sepuh, namun aura kebangsawanan beliau masih terpancar dengan jelas!
Akhirnya, kami tiba di area luar museum. Mbak Tya kemudian membawa kami ke Sasana Sekar Bawana, melewati koridor Retja Landa. Koridor ini memajang arca dewa dewi dari abad 8-9 Masehi, atau dari masa perkembangan agama Hindu dan Buddha di tanah Jawa. Salah satu arca yang saya ingat adalah arca Ganesha, dewa ilmu pengetahuan dalam mitologi Hindu.
Di belakang koridor Retja Landa, terdapat ruang Sasana Sekar Bawana. Di dalam ruangan ini terdapat lukisan dan patung. Lukisan pertama yang kami temui adalah lukisan Sri Sultan HB X dan permaisuri Ratu Hemas sedang menerima kunjungan kenegaraan dari Pangeran Charles dan Putri Diana almh. Lukisan ini mencerminkan bahwa hubungan antara Kerajaan Inggris dan Kesultanan Yogyakarta berlangsung sangat harmonis. Di sisi kiri lukisan PB X, terdapat lukisan tari Bedaya Ketawang sedang ditarikan di hadapan Panembahan Senapati. Bedaya Ketawang termasuk tarian yang sakral, dan hanya boleh ditarikan oleh para gadis yang sedang dalam masa suci. Tarian ini ditarikan oleh 9 orang, dan dipercaya bahwa di tengah-tengah tarian, Kanjeng Ratu Kidul akan turut menari sebagai penari ke-10. Dalam lukisan tersebut, kehadiran Kanjeng Ratu Kidul ditampilkan dalam bentuk penari ke-10 yang menerawang di atas penari-penari lainnya.
Lukisan terakhir yang wajib dilihat adalah lukisan Paes Ageng, atau tata rias pengantin wanita gaya Yogyakarta. Paes Ageng merupakan busana pengantin dari keraton, dan sampai dengan masa pemerintahan Sultan HB VIII hanya boleh digunakan oleh kerabat raja. Namun pada masa pemerintahan Sultan HB IX, Paes Ageng boleh digunakan untuk masyarakat umum. Tak hanya dalam bentuk lukisan, pengantin wanita yang mengenakan Paes Ageng ini juga diabadikan dalam bentuk patung.
Di akhir kunjungan, kami beristirahat sejenak di ruangan Bale Nitik Rengganis. Tak lupa kami disuguhi minuman spesial, resepnya merupakan warisan Gusti Kanjeng Ratoe Mas, permaisuri Sunan PB X. Sambil icip-icip minumannya, kami menduga-duga, barangkali isinya terdiri dari jahe, cengkeh dan gula jawa, serta kandungan lain yang kita tidak tahu. Konon, minuman ini memberi kesehatan dan awet muda.
Bale Nitik Rengganis |
Sebelum pulang, kami sempat mampir ke toko souvenir Muse yang terletak di bawah Restoran Beukenhof. Toko Muse menjual berbagai produk UKM yang dibina yayasan Ulating Blencong. Banyak diantara pernik-pernik yang dijual bergambar lukisan-lukisan yang ada di dalam museum, seperti yang tergambar pada gantungan kunci, magnet kulkas, atau mug. Sayang sekali, hari telah senja, dan masih banyak agenda yang harus kami laksanakan di Yogyakarta, sehingga setelah memberi beberapa cenderamata kami bergegas meninggalkan tempat yang indah ini, dengan membawa sejuta kenangan dan pengetahuan yang tak mudah kami lupakan.
Salah Satu Sudut Museum Ullen Sentalu |
No comments:
Post a Comment