Saat ini aku sedang duduk di gerbong kereta yang membawaku menuju tanah kelahiranku. Beberapa hari yang lalu, aku masih berkutat dengan teman-temanku di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, menyelesaikan sebuah pekerjaan yang sangat menantang. Tanpa terasa, sudah lebih dari sebulan kami jungkir-balik menyelesaikan pekerjaan ini, dengan penuh suka duka, dalam canda dan air mata. Aku merenungi kembali masa-masa itu, sungguh tak kukira, bahwa kami memiliki tekad yang sama : menyelesaikan pekerjaan ini dengan sebaik-baiknya, dengan penuh totalitas, demi sesuatu yang lebih berharga daripada materi, yaitu nama baik. Sayup-sayup di headsetku terdengar lantunan merdu...
"Bekerja dengan cinta, bagai sang pencipta
Membentuk citra insaninya..."
Aku tersentak. Ah, apakah ini yang sesungguhnya pantas disebut sebagai "Bekerja dengan Cinta"? Bekerja dengan mencurahkan segala perasaan dan penuh totalitas untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan dengan sebaik-baiknya?
Deru roda kereta semakin kencang. Terik matahari semakin menerpa kaca jendela gerbong kereta. Aku merenung kembali, mengingat apa yang pernah dilontarkan temanku tentang "Bekerja dengan Cinta", bahwa "Bekerja dengan Cinta" itu adalah bekerja untuk seseorang yang semata-mata dilandasi oleh cinta kita pada orang itu. Namun aku melihat hasil pekerjaannya tidak menunjukkan suatu kualitas seperti yang dapat dicapai bila pekerjaan itu dilakukan dengan sepenuh hati. Apakah "cinta" yang dimaksud hanya sedangkal itu?
Kumengingat kata Sang Pujangga :
"Tapi bagaimanakah bekerja dengan rasa cinta itu? Bagaikan menenun kain dengan benang yang ditarik dari jantungmu, seolah-olah kekasihmu yang akan mengenakannya nanti."
Ah! Sang Pujangga telah menyiratkan, bahwa bekerja dengan rasa cinta itu adalah mencurahkan segala perasaan dengan penuh totalitas, sehingga akan menghasilkan suatu mahakarya yang sempurna.
Dan kemarin itu, setelah segala daya upaya tercurah, setelah segala rasa tertumpah, setelah pada akhirnya semua totalitas itu dituangkan menjadi suatu hasil karya, barulah aku sadar, mungkin inikah yang disebut dengan "Bekerja dengan Cinta"...
Bunyi peluit kereta api menyadarkanku dari lamunan, ah, ternyata kami sedang berhenti di sebuah stasiun, menunggu giliran lewat. Tanpa sadar, kaset di walkmanku sudah mencapai akhir. Aku membalik kaset di walkmanku, dan terdengarlah lantunan merdu : "Bulan merah jambu...."
Posting ini dipersembahkan bagi sahabat-sahabat terdekatku yang telah memberiku inspirasi dalam memaknai "Bekerja dengan Cinta".
1 comment:
Mengutip Zen, akan dikatakan bahwa hal itu terjadi ketika pikiran, tubuh (tangan) dan pekerjaan menjadi satu. Full concentration. Orang Jawa bilang, tanpa pamrih ...:-)
Post a Comment