Saturday, October 29, 2011
Situ Babakan, Oase di tengah Jakarta
Saturday, October 22, 2011
Museum Mainan Anak Kolong Tangga
Pada akhirnya, saya berhasil menemukan museum ini, yang terletak di lantai 2 gedung Taman Budaya. Rupanya nama "Kolong Tangga" memang mencerminkan posisi museum, walaupun tidak benar-benar di bawah kolong tangga. Museum ini terletak di bawah auditorium, di belakang 2 buah tangga menuju auditorium, jadi terlihat seolah-olah di kolong tangga. Tiket masuk museum juga tidak mahal, hanya Rp 4.000. Tapi di dalam museum tidak boleh memfoto koleksi, kecuali ada obyek orangnya... (berarti foto narsis boleh ya?) Sayang sekali, saya datang sendirian, jadi tidak bisa berfoto di dalam museum.
Koleksi museum ini memang unik dan berbeda dengan museum pada umumnya, karena berupa mainan anak-anak. Tadinya saya pikir museum ini hanya menyimpan koleksi mainan anak dari seluruh wilayah Indonesia, namun ternyata koleksi mainan di museum ini berasal dari seluruh dunia! Wow! Salah satu tampilan di museum ini adalah penjelasan dan foto-foto permainan anak-anak dari seluruh dunia. Saya rasa bukan cuman anak-anak yang senang diajak ke museum ini untuk melihat berbagai jenis mainan, bahkan saya pun bisa mendapat pengetahuan baru tentang berbagai mainan dan permainan anak yang ada di dunia ini.
Salah satu koleksi museum yang paling saya ingat adalah 1 lemari berisi mainan dengan tema Winnie The Pooh, dan tentu saja ada Eeyore, si keledai biru yang selalu muram. Eeyore is my favorite, so I love this collection!
Penerbitan Buku Indie
Ide untuk menerbitkan buku secara self-publishing muncul setelah saya ikut Kursus Menulis Online yang diselenggarakan Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN) pimpinan teteh Indari Mastuti.
Kemarin waktu saya ikut KMO, iseng-iseng saya tanya tentang penerbitan Indie, berapa modal yang harus dikeluarkan, dlsb dlsb. Teh Indari merekomendasikan untuk menghubungi mas Anang Yb, karena beliau ada paket produk Rp 800.000 utk 40 eksemplar. Dari mas Anang saya diteruskan ke Red Carpet Studio (http://redcarpetstudio.net).
Setelah saya mempelajari websitenya Red Carpet dan banyak bertanya sama bagian marketingnya, di situ ada ketentuan bahwa paket itu terbatas untuk buku maksimum 100 halaman A5, black-white, belum termasuk pengurusan ISBN, desain cover dan ongkos kirim. Tentu saja kita bisa punya desain cover sendiri untuk lebih hemat, ato mau ngurus ISBN sendiri juga bisa langsung dateng ke Perpustakaan Nasional karena prosesnya tidak sulit.... Paket ini belum termasuk editing dan layout, jadi kita harus mengedit dan melayout sendiri. Mereka ada juga jasa edit dan layout, tapi harus bayar lagi... Mereka juga "mengencourage" bahwa selain hasil cetakan ini bisa dijual secara Indie, buku cetakan ini juga bisa dilampirkan untuk penawaran naskah kita ke penerbit yang sudah mapan, jadi calon penerbit tidak hanya melihat proposal naskah, tapi sudah lihat "dummy"nya. (ada beberapa testimoni pelanggan mereka di website)
Jadi saya putuskan iseng-iseng mencoba mencetak buku di Red Carpet Studio, dengan tema antologi perjalanan wisata. Saya ambil paket yang "reguler" untuk mencetak 40 eksemplar buku. Cover saya minta dari Red Carpet yang mendesain, jadi ada tambahan biaya. Bagi saya, cover itu penting karena memberikan kesan pertama, jadi tidak masalah jika saya minta mereka saja yang mendesain cover. Dokumen yang siap dicetak dibuat dalam format PDF, kemudian dikirim ke mereka. Lama pengerjaan kira-kira 2 minggu-an.
Keuntungan dari penerbitan Indie model Red Carpet Studio ini, buku sudah tercetak, kita bisa menentukan harga sendiri, dan kendali pemasaran serta distribusi sepenuhnya ada pada kita. Memang tidak mudah memasarkan buku secara online, biarpun sudah dibantu di blog sama web social networking. Saya membuktikan sendiri, setelah 2 bulan naik cetak, buku yang laku belum ada separo dari 40 eksemplar. Tapi kalau kita sudah tahu 40 eksemplar buku ini mau diapakan (apakah kita titipkan di jaringan distribusi, toko buku, untuk hadiah, atau untuk portofolio), saya kira penerbitan model begini lebih cocok.
Model lain adalah Print-On-Demand (POD), seperti yang dilakukan oleh Leutikaprio. Seperti tertulis di http://www.leutikaprio.com, untuk bisa menerbitkan buku dengan mereka, kita memodali Rp 500.000 untuk edit typo dan EYD (tidak mengedit isi), layout, cover, ISBN, 1 jam konsultasi, 1 kali proofing, serta 1 eksemplar contoh buku terbit. Mereka juga akan bantu promo buku kita di web mereka dan FB. Harga buku ditentukan oleh Leutikaprio, dan penulis akan dapat royalti 15% dari harga buku.
Untuk cara penerbitan seperti Leutikaprio, tentu ada plus minusnya juga. Di satu sisi, resiko buku tidak terjual bisa diperkecil, karena belum dicetak secara banyak. Di sisi lain, kita sudah keluar modal tapi gak langsung dapat bukunya. Cuman untuk Leutikaprio, dari keterangan di webnya mereka, ada potensi bahwa buku yang diterbitkan di Leutikaprio ini "berpindah" ke penerbit besar di grup Leutika.
Model lain untuk penerbitan secara Indie adalah dengan membuat e-book (format ePub) via Papataka.com. Dari segi resiko, karena tidak ada buku yang harus dicetak, sehingga resiko biaya baik bagi penulis maupun bagi Papataka sangat minim. Tapi... saat ini e-book belum terlalu populer di Indonesia, jadi e-book terbitan "indie" di Papataka masih belum laku keras. Memang ada saja yang beli, tapi tidak sebanyak buku-buku cetak.
Masih banyak penerbitan Indie yang lainnya, yang juga patut untuk dicoba. Mengenai anda mau memilih model yang mana, tinggal tergantung mana yang lebih cocok. Semua ada plus minusnya, tinggal cari mana yang paling cocok, apakah model cetak sedikit seperti Red Carpet Studio, model POD seperti Leutikaprio, atau e-book seperti Papataka.
Wednesday, September 07, 2011
My First Indie Book : Catatan Kecil dari Pojok Nusantara
Buku ini berisi kumpulan artikel wisata dan perjalanan yang pernah dimuat di beberapa media, sekaligus sebagai catatan perjalanan ke tempat-tempat tersebut. Tak hanya menampilkan data teknis mengenai lokasi wisata dimaksud, anda juga diajak “berjalan-jalan” ke tempat-tempat tersebut, serta menikmati keunikan berbagai tempat wisata tersebut.
Jadikan buku ini teman perjalanan anda, and be inspired to visit many beautiful places in Indonesia!
Untuk pemesanan, hubungi : arini_che@yahoo.com
Sunday, August 21, 2011
Prambanan-Ratu Boko Trip
Setelah agak lama menunggu, akhirnya sarana transport yang mengangkut saya dan beberapa peserta paket hemat ini tiba, dan langsung mengangkut kami menuju Kompleks Kraton Ratu Boko. Ternyata perjalanan Prambanan-Ratu Boko tidak sedekat yang saya bayangkan. Dan yang lebih seru lagi, jalan masuk ke kompleks Ratu Boko ternyata sempit dan menanjak! Wah wah wah... sudah betul keputusan saya untuk beli paket hemat ini, mobil-mobil mereka semua bermesin diesel, kalau pakai Avanza bensin, jangan-jangan nanti ada acara dorong-mendorong untuk sampai ke tempat parkir! (Ehm, kayanya lebay deh...)
Setibanya di Kompleks Kraton Ratu Boko, eh, belum, setibanya di kantor pengelola kompleks Kraton Ratu Boko, saya tidak langsung masuk ke area candi, melainkan menarik nafas terlebih dahulu sambil menikmati pemandangan di plaza yang disediakan. Pelataran tersebut menghadap ke arah Candi Prambanan, jadi saya bisa melihat pemandangan Candi Prambanan di sisi Kali Opak, sambil membayangkan barangkali raja yang dulu bertahta di kompleks keraton ini melihat pemandangan yang serupa (tentunya tanpa rumah-rumah penduduk dan jalan raya...). Kalau cuaca cerah, kita bisa melihat Gunung Merapi di kejauhan, ah, so romantic...
Pemandangan Candi Prambanan dari Plaza Keraton Ratu Boko |
Akhirnya, setelah mengumpulkan kekuatan, saya mulai melangkahkan kaki memasuki Kompleks Keraton Ratu Boko. Ternyata... jarak dari loket sampai ke bangunan pertama jauh banget! Akhirnya dengan ngos-ngosan, saya tiba di gerbang pertama Keraton Ratu Boko. Begitu melihat kemegahan bangunan gerbang tersebut, ngos-ngosannya langsung sirna seketika... Tak terbayangkan, di masa lalu, dengan teknologi yang (supposed to be) masih sederhana, nenek moyang kita sudah mampu membuat bangunan di puncak bukit seperti ini. Setelah gerbang pertama, masih ada gerbang kedua, yang lebih besar daripada gerbang pertama. Pengennya sih ngambil foto yang perfect (yang bangunannya aja), apa daya, ada orang pacaran sambil duduk di gerbang tersebut, sehingga saya harus mencari angle yang perfect supaya dua "nyamuk" itu tidak muncul di foto saya...
Gerbang Keraton Ratu Boko (tanpa "2 nyamuk") |
Setelah mengambil foto, saya melangkahkan kaki masuk ke dalam kompleks candi. Di sisi kiri sebelah bawah terdapat bangunan Candi Batu Putih, karena pondasinya terbuat dari batu putih. Niatnya sih pengen lihat lebih dekat, tapi melihat 5 ekor kambing sedang bercengkrama di bangunan tersebut, ga jadi aja deh... ga sebanding sama resikonya...
Kambing-kambing yang sedang leyeh-leyeh di Candi Batu Putih |
Akhirnya, saya sampai di tempat yang tampaknya merupakan alun-alun. Di sisi kiri terdapat tanah yang lebih tinggi, dan di atasnya ada candi pembakaran jenazah. Sayang, candinya sedang direnovasi, jadi saya kembali mengurungkan niat untuk melihat lebih dekat. Saya menyeberangi alun-alun dan menuju situs candi yang lain. O ya, walaupun kompleks ini sudah dikelola oleh pengelola Borobudur Park, tapi di dalam masih ditemukan penduduk yang berjualan minuman, baik penjual keliling maupun warung. Tapi mengingat kompleks ini sangat luas dan terbuka, rasanya memang perlu ada para penjual minum ini. Yang nggak nahan sebenarnya bukan para pedagang minuman, tapi kambing-kambing yang pada merumput di situs ini, duh... paling takut kalau tiba-tiba kambingnya lari terus menyeruduk, males banget deh...
Karena waktu terbatas, dan saya masih ingin mengunjungi candi Prambanan sebelum tutup, setelah melihat Kaputren dan Paseban saya kembali menuju pintu masuk. Wah, padahal masih ada Gua Lanang dan Gua Wadon yang konon ada simbol lingga dan yoni-nya... next time harus balik ke sini lagi kayanya... Dan akhirnya, saya kembali meluncur menggunakan transportasi yang disediakan pengelola menuju ke kompleks Candi Prambanan.
Di kompleks Candi Prambanan, wisata jalan kaki kembali dilanjutkan. Ketika melangkan menuju Candi Prambanan, saya baru "donk", ternyata dari tadi ada pengumuman mengenai candi-candi yang berada di bawah pengelolaan Kompleks Candi Prambanan. Jadi di kompleks ini ada 4 candi : Candi Prambanan, Candi Lumbung, Candi Bubrah dan Candi Sewu. Candi Prambanan dibuat oleh Rakai Pikatan dari kerajaan Mataram Kuno dan merupakan candi Hindu. Uniknya, 3 candi yang lain (Lumbung, Bubrah, Sewu) adalah candi Buddha. Ini mencerminkan bahwa di masa lalu sudah terwujud kerukunan antar umat beragama di Indonesia.
Candi Prambanan |
Sesampainya di Candi Prambanan, ternyata saya harus kecewa. Bukan kecewa karena sulit mendapat spot foto yang sempurna (saking banyaknya pengunjung, bahkan ada turis Jepang yang sangat excited di depan arca Nandi di dalam candi Wahana, dia terus bertanya kepada guide yang mendampingi, sementara teman-temannya sudah pindah ke lain candi), tapi karena beberapa candi tidak bisa dimasuki, karena sedang proses renovasi akibat gempa Yogyakarta tahun 2006 (so sad....). Salah satu candi yang tidak bisa dimasuki adalah candi Siwa, padahal arca Durga yang lebih dikenal sebagai arca Roro Jonggrang yang tersohor itu ada di dalamnya, hiks...
Matahari yang nyaris terbenam di balik salah satu candi |
Ketika saya keluar dari Candi Prambanan, jam tangan saya sudah menunjukkan pukul 16.30, 30 menit sebelum waktu tutup. Yah, tampaknya 3 candi yang lain masih harus menunggu lain waktu... Tadinya mau mengejar kereta kelinci yang keliling, apa daya ketinggalan kereta. Jadi, setelah berjalan kaki agak jauh, akhirnya saya sampai juga ke Candi Lumbung. Namanya sudah sore, candi Lumbungnya sepiiii banget, apalagi dengan banyak batang-batang bambu untuk perbaikan, membuat penampakannya terlihat mengenaskan.
Candi Lumbung yang sedang direnovasi |
Dalam perjalanan menuju pintu keluar, saya masuk ke museum Arkeologi. Museum ini merupakan museum pendukung Kompleks Candi Prambanan, dan berisi penemuan arca di situs-situs sekitar candi. Di bagian akhir museum, dijelaskan sejarah penemuan dan restorasi candi Prambanan. Rupanya pekerjaan restorasi ini sudah dimulai sejak jaman kolonial Belanda, karena beberapa lukisan menunjukkan proses restorasi candi yang cantik ini. Ah, kapan-kapan saya harus kembali kemari lagi...
Arca Ganesha di Museum Arkeologi Prambanan |
Monday, August 01, 2011
Dan "Kampret" pun Turut Memperkuat Kekuatan Udara Kita
Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala terletak di dalam Kompleks Perumahan TNI AU Wonocatur. Museum ini tidak terlihat dari jalan raya, sehingga untuk mencapai ke museum ini harus mengikuti papan petunjuk. Jalan masuk ke museum adalah melalui Jl. Janti, kemudian mengikuti petunjuk masuk ke dalam kompleks perumahan TNI AU. Sebelum masuk, saya harus melapor dulu kepada petugas di pos jaga, dan membayar tiket mobil sebesar Rp 5000. Sambil mencatat nomor mobil yang mengantar saya, petugas bertanya apakah saya mengantar anak. Saya jawab tidak, sambil bertanya apa hari ini ada rombongan anak sekolah. Rupanya sudah ada 6 bis anak sekolah yang akan berkunjung ke museum! Langsung saya membayangkan, museumnya pasti ramai sekali...
Setelah mobil parkir di halaman museum, saya mulai berkeliling, sambil mencoba mengingat ketika pertama kali saya datang ke museum ini di tahun 1991. Setelah mencoba mengingat-ingat, saya sudah tidak ingat seperti apa dulu museumnya, kecuali koleksi pesawat yang ada di dalam hanggar.Ketika melihat pesawat yang dipasang di luar museum, rasanya seperti anak kecil yang melihat mainan kesayangannya, saya ingin berlari dan memeluk pesawat-pesawat tersebut. O ya, perlu diketahui bahwa kompleks ini sangat dekat dengan bandara Adisucipto, sehingga pemandangan yang ada di foto di bawah ini pasti bukan merupakan pemandangan asing...
Pesawat Bronco, dengan latar belakang Lion Air sedang manuver mendarat |
Pesawat pertama yang saya lihat dari dekat adalah Tu-16, pesawat pembom yang pernah digunakan TNI AU dalam Operasi Trikora merebut kembali Irian Barat. Konon pada masanya pesawat ini merupakan salah satu pesawat pembom yang paling ditakuti, membuat Indonesia kala itu menjadi salah satu negara yang paling ditakuti di Asia Tenggara.
It's very big!!! |
Koleksi pesawat terbaru milik museum adalah pesawat OV-10 Bronco dengan nomor registrasi TT 1015, yang bergabung menjadi koleksi museum pada bulan Januari 2011. Pesawat ini merupakan pengganti pesawat tempur P-51D Mustang, dan termasuk pesawat militer TNI AU yang paling lama dioperasikan sejak tahun 1976 hingga 2004. Barangkali saking barunya, bahkan terpal penutup kokpit pun belum sempat dicopot.
Ini bukan Bronco, ini A4 Skyhawk |
Memasuki ruangan museum, di ruangan pertama, terlihat Panji-panji dan pataka TNI AU, lambang TNI AU dengan semboyan “Swa Bhuwana Paksa”, serta patung empat orang perintis TNI AU : Marsekal Muda Anumerta Iswahyudi, Marsekal Muda Anumerta Abdul Halim Perdanakusuma, Marsekal Muda Anumerta Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, dan Marsekal Muda Anumerta Agustinus Adisutjipto.
Masuk ke ruangan berikutnya, saya melihat replika pesawat ringan WEL-I RI-X, pesawat pertama buatan anak bangsa. Perancang pesawat ini, Wiweko Soepono, merupakan salah satu perintis industri dunia penerbangan Indonesia. Pesawat berawak tunggal yang dikenal dengan nama WEL (Wiweko Experimental Lightplane) ini terbang pertama kali pada tanggal 27 Oktober 1948 di pangkalan udara Maospati Madiun (sekarang pangkalan udara Iswahyudi), dengan menggunakan mesin sepeda motor Harley Davidson 750 cc. Sayang sekali, pesawat ini hancur ketika dimuat dalam gerbong kereta api karena terkena granat pemberontak PKI Madiun. Di ruangan ini juga terdapat foto-foto dan benda-benda terkait peristiwa bersejarah TNI Angkatan Udara.
WEL-I RI-X, pesawat pertama buatan anak bangsa |
Memasuki bagian berikutnya, saya melihat foto-foto Operasi Militer yang pernah dilakukan TNI AU, antara lain Operasi Penumpasan DI/TII, Operasi Penumpasan Permesta (yang terkenal dengan peristiwa pengejaran pembom B-25 dengan pilot Allan Pope), Operasi Trikora, Operasi Dwikora, Operasi Penumpasan G-30-S/PKI, dan Operasi Seroja di Timor Timur. TNI AU juga melaksanakan berbagai Operasi Militer selain perang, misalnya dalam menangani bencana alam. Di salah satu vitrin terdapat foto-foto RI-001 Seulawah dan sejarah Indonesian Airways sebagai penerbangan niaga pertama milik Indonesia.
Di ruangan berikutnya, kami melihat berbagai seragam yang dikenakan TNI Angkatan Udara, mulai dari Pakaian Dinas Upacara, Pakaian Dinas Harian, Pakaian WARA (Wanita Angkatan Udara), pakaian penerbang, dan seragam Paskhas. Di bagian tengah ruangan, terdapat benda-benda memorabilia empat pahlawan perintis TNI Angkatan Udara, mulai dari foto-foto, surat keputusan pengangkatan sebagai pahlawan, dan tanda-tanda jasa yang pernah mereka terima.
Setelah melihat-lihat perjalanan sejarah TNI Angkatan Udara, saya memasuki ruangan berikutnya. Ruangan ini merupakan ruangan yang menyimpan dokumentasi berbagai pendidikan yang dilaksanakan oleh TNI Angkatan Udara, antara lain Sesko, Koharmat, Koops AU, Kohanudnas, dan Akademi Angkatan Udara. Di salah satu dinding bahkan terpampang nama lulusan Sekolah Pendidikan Sekbang TNI AU. Tak hanya masalah pendidikan, di tengah ruangan saya melihat patung dada dan berbagai benda milik KSAU dari masa ke masa. Salah satu KSAU yang paling saya ingat adalah Chappy Hakim, yang gemar menulis dan main saksofon. Buku-buku beliau juga ditampilkan dalam museum ini, antara lain yang berjudul “Awas! Ketabrak Pesawat Terbang”.
Dan akhirnya, saya masuk ke bagian hanggar, bagian favorit saya. Hanggar ini penuh sesak dengan koleksi pesawat berjumlah kurang lebih 46 buah, berbagai peralatan radar, dan persenjataan udara. Ditambah lagi para pengunjung yang terdiri dari anak-anak (dan para pengantarnya) turut memenuhi ruangan dan melihat-lihat koleksi pesawat, sehingga suasana menjadi sangat ramai. Saya sempat mengambil foto beberapa pesawat, antara lain adalah Cureng, P-51 Mustang, DC-3 Dakota dan Mig-21. Tiga pesawat yang saya sebut belakangan merupakan pesawat yang sukses di masanya. Khususnya untuk Cureng, pesawat ini merupakan pesawat bersejarah, karena digunakan Agustinus Adisucipto untuk melakukan penerbangan pertama dengan pesawat berbendera merah putih. Di salah satu sudut hanggar terdapat studio foto, yang melayani foto menggunakan seragam penerbang dengan latar belakang pesawat. Studio ini laris manis dirubung anak-anak yang ingin berfoto.
P-51 Mustang, pesawat tempur yang berjaya di masanya |
Mig-21, "tanda mata" hubungan RI dengan blok Timur |
DC-3 Dakota versi militer |
Ruangan berikutnya adalah ruang diorama perjuangan, yang berfokus pada sejarah TNI Angkatan Udara Republik Indonesia. Beberapa diorama peristiwa penting yang sempat saya amati adalah Pembentukan TKR Bagian Penerbangan, Pembukaan Pangkalan Angkatan Udara di Gadut Bukittinggi pada tanggal 24 Maret 1947, Penerbangan Pesawat Merah Putih Pertama oleh Agustinus Adisutjipto menggunakan pesawat Cureng peninggalan Jepang pada tanggal 27 Oktober 1945, dan Penerobosan Blokade Udara oleh RI-001 Seulawah dari Birma ke Aceh tanggal 8 Juni 1949. Masih terdapat beberapa diorama lain yang menampilkan operasi militer yang pernah dilaksanakan oleh TNI AU.
Ruangan berikutnya adalah ruang diorama satelit komunikasi Palapa. Di dalam ruangan terdapat peragaan yang menunjukkan posisi dan cara kerja satelit komunikasi Palapa. Salah satu vitrin menunjukkan miniatur pesawat ulang alik Challenger yang pernah membawa salah satu satelit Palapa ke orbit.
Akhirnya saya tiba di ruangan terakhir. Di ruangan ini terdapat lambang berbagai skuadron milik TNI Angkatan Udara, serta foto-foto perkembangan skuadron dari masa ke masa. Di bagian tengah ruangan, sebelum toko cenderamata, dipajang berbagai miniatur pesawat, yang merupakan sumbangan dari penggemar miniatur pesawat. Setelah puas melihat miniatur pesawat, saya bergegas keluar museum, untuk menuju tempat wisata lain di Yogyakarta.
Setelah membaca tulisan saya di atas, barangkali anda penasaran, “Kampret”nya mana? Ternyata “Kampret” adalah nama glider (pesawat peluncur) GX-001 hasil modifikasi Sekolah Teknik Udara Perwira. Sekolah ini didirikan pada tahun 1951 di bawah pimpinan Letkol Ir. C.W.A. Oyen, dan mereka menyelidiki pembuatan pesawat udara. Glider Kampret merupakan hasil modifikasi glider Gruno-Baby, yang dibuat berdasarkan data glider buatan pabrik Father Belanda di Amsterdam dengan perbaikan dan sedikit perubahan. Uniknya, sang "Kampret" tidak dipajang di bawah bersama pesawat-pesawat lain, melainkan digantung di langit-langit, entah karena hanggarnya sudah penuh sesak, atau memang ia terlihat lebih cantik jika dipajang di langit-langit hanggar.
Inilah si "Kampret", glider buatan anak bangsa |
Thursday, July 28, 2011
Museum Sonobudoyo, belajar sejarah wong Jogja
Kalau membaca sejarah museum Sonobudoyo, keberadaan museum ini ternyata jauh lebih tua daripada Republik Indonesia. Museum Sonobudoyo berawal dari Java Instituut yang diresmikan pada tahun 1935 atas prakarsa Sultan Hamengkubuwono VIII. Plakat pendirian museum dalam bahasa Belanda masih terpasang di gerbang masuk museum. Sebenarnya ada 2 plakat, plakat pertama adalah plakat pendirian, sedangkan plakat kedua saya sendiri kurang bisa memahami, karena bentuk gambanya lebih mirip orang Mesir daripada orang Jawa.
Masuk ke pendapa depan museum, kita akan disambut seperangkat gamelan. Ya, gamelan merupakan salah satu pusaka bagi keraton, sehingga mereka pun memberi nama 'Kyai' kepada gamelan tersebut. Kemudian kita akan masuk ke dalam gedung museum, melihat berbagai peninggalan prasejarah dan sejarah khususnya di wilayah DI Yogyakarta.
Beberapa koleksi yang unik di museum ini adalah sarkofagus (peti mati) yang ditemukan di bukit kapur di Gunung Kidul. Sarkofagus ini tidak dipajang seperti koleksi lainnya, melainkan "dipendam" (diletakkan di bawah lantai) dan diberi kaca, sehingga kita bisa melihat bagian dalamnya.
Koleksi lain yang juga banyak dan menarik adalah berbagai jenis wayang yang ada di Indonesia. Wayang yang dipamerkan dalam museum ini tidak terbatas pada wayang kulit yang berkembang di DI Yogyakarta, tetapi juga wayang-wayang lain, seperti Wayang Golek, Wayang Menak dari Tegal dan Karawang, Wayang Purwa Bali, dan juga wayang-wayang modern seperti Wayang Suluh, Wayang Wahyu dan Wayang Kancil.
Di bagian akhir museum, terdapat koleksi peninggalan budaya dari Bali. Selain koleksi patung dan peralatan budaya lainnya, di bagian belakang museum terdapat replika bale-bale di Bali, di mana untuk memasuki bale-bale tersebut harus melewati gapura bentar gaya Bali. Kalau foto di situ, tidak serasa di Yogya deh...
Ketika kami akan keluar museum, di dekat pintu gerbang terdapat meriam yang digunakan oleh pasukan milik Hamengkubuwana III. Tidak seperti meriam peninggalan Belanda, di badan meriam ini tertulis dalam huruf Jawa. Bisa dibayangkan, rupanya persenjataan Kesultanan Yogyakarta di masa lalu tidak kalah canggih dengan pemerintah kolonial Belanda.
Malam harinya, kami kembali ke Museum Sonobudoyo untuk menonton pertunjukan wayang kulit. Tidak seperti wayang kulit klasik yang ditampilkan semalam suntuk, wayang kulit di museum Sonobudoyo ini hanya berdurasi 2 jam, dari pukul 20.00-22.00 WIB. Pertunjukan menampilkan cerita Ramayana yang dibagi dalam 8 episode, masing-masing episode berdurasi 2 jam dan dimainkan secara bergiliran setiap malam. Karena dalang memainkan wayang kulit sesuai pakem, termasuk penggunaan bahasa Jawa yang tidak umum didengarkan sehari-hari, maka bagi mereka yang tidak mengerti jalan ceritanya mungkin akan merasa pertunjukkannya membosankan. Namun saya kebetulan seorang penggemar wayang, sehingga walaupun tidak mengerti bahasanya, saya bisa mengira-ngira jalan ceritanya. Malam itu kami menonton episode Hanoman Duta, di mana Hanoman, kera putih sakti, diutus Sri Rama untuk datang ke Alengka melihat kondisi Sinta yang diculik Rahwana. Setelah bertemu Sinta, dalam perjalanan kembali ke Sri Rama, Hanoman sempat memporak-porandakan dan membakar Alengka. Dari sekian banyak penonton, barangkali selain dalang dan pemain gamelan serta sinden, hanya kami ber-4 yang pribumi, selebihnya adalah turis mancanegara. Namun para turis tersebut silih berganti keluar-masuk ruang pertunjukan, dan di akhir pertunjukan hanya tersisa 2 orang turis yang setia menonton dari awal. Yang menarik dari pertunjukan ini, panggung dibuat sedemikian rupa, sehingga penonton dapat memilih mau menonton dari mana, mau dari belakang dalang atau dari balik layar. Keduanya memberikan sensasi yang berbeda, jika kita menonton dari belakang dalang kita dapat melihat warna tokoh-tokoh wayang dan dapat dengan mudah membedakan masing-masing tokoh, sedangkan jika kita menonton dari balik layar, kita dapat melihat bayangan tokoh-tokoh wayang, di mana tatahan pada kulit membuat bayangan tersebut menjadi indah dan hidup.
Tuesday, July 26, 2011
Ullen Sentalu, Menyingkap Kehebatan Para Putri dari balik tembok Keraton
Papan Nama Museum Ullen Sentalu |
Beralih ke ruang berikutnya, kami masuk ke Royal Room Ratu Mas. Ratu Mas adalah permaisuri Sri Susuhunan Pakubuwono X, penguasa Keraton Surakarta. Di dalam ruangan ini dipamerkan lukisan Ratu Mas, foto-foto beliau bersama Sunan PB X dan putri mereka, serta pernak-pernik kelengkapan busana beliau. Salah satu koleksi yang menarik perhatian kami adalah koleksi topi beliau. Konon, topi-topi yang lucu tersebut adalah rancangan beliau sendiri, dan dibuat di Perancis. Wah, ternyata di masa lalu, para permaisuri ini tidak hanya modis dalam berbusana Jawa, mereka pun modis dalam berbusana ala Eropa!
Dari Royal Room Ratu Mas, kami beranjak ke ruangan batik. Terdapat dua ruangan yang menampilkan koleksi batik, satu ruangan khusus batik keraton gaya Surakarta dari masa PB X hingga PB XII, ruangan satunya adalah khusus batik keraton gaya Yogyakarta dari masa HB VII dan HB VIII. Keterangan mbak Tya tentang batik-batik ini mengingatkan kembali pada kami bahwa batik tidak sekedar kain dengan motif hias, namun memiliki makna filosofis yang mendalam. Salah satunya adalah motif Parang Sujen, parang bermakna pedang yang berarti perang, sehingga jika kita ingin menghadap raja, maka jangan sekali-sekali mengenakan motif ini, karena bisa dianggap menentang raja.
Ruangan berikutnya adalah ruangan yang wajib diinikmati, yaitu Ruang Putri Idaman. Ruang ini merupakan album hidup GRAy Siti Nurul Kamaril Ngarasati Kusumawardhani Soerjosoejarso, atau lebih dikenal dengan nama Gusti Nurul. Putri tunggal HRH Mangkunegara VII dengan permaisuri GKR Timur Mursudariyah ini merupakan salah satu putri tercantik di masanya, sehingga banyak pangeran yang ingin meminangnya. Walaupun tinggal di dalam lingkungan keraton, Gusti Nurul memiliki gaya dan pandangan hidup yang cukup modern untuk masa itu. Beliau bersekolah di sekolah Belanda, serta gemar melakukan hal-hal yang tidak lazim dilakukan oleh putri keraton pada masa itu, seperti main tenis, berenang, dan berkuda. Kegemaran berkudanya tidak main-main, karena beliau beberapa kali memenangkan berbagai perlombaan berkuda.
Gusti Nurul juga dikenal dengan keberaniannya dalam mendobrak kebiasaan-kebiasaan lama, salah satu diantaranya adalah beliau berprinsip tidak mau dipoligami. Akhirnya beliau menikah dengan KPH Soerjosoerarso, seorang perwira Angkatan Darat, dan mereka tinggal di Bandung. Saya sendiri pernah melihat Gusti Nurul dari dekat di Keraton Mangkunegaran, ketika sedang mengantarkan nenek saya (almh.) mengikuti acara reuni Varia Orang Jauhari (VOJ) di Solo tahun 1996. Gusti Nurul merupakan salah satu aktivis VOJ di Cabang Bandung, dan bukan main, walaupun usia beliau sudah sepuh, namun aura kebangsawanan beliau masih terpancar dengan jelas!
Akhirnya, kami tiba di area luar museum. Mbak Tya kemudian membawa kami ke Sasana Sekar Bawana, melewati koridor Retja Landa. Koridor ini memajang arca dewa dewi dari abad 8-9 Masehi, atau dari masa perkembangan agama Hindu dan Buddha di tanah Jawa. Salah satu arca yang saya ingat adalah arca Ganesha, dewa ilmu pengetahuan dalam mitologi Hindu.
Di belakang koridor Retja Landa, terdapat ruang Sasana Sekar Bawana. Di dalam ruangan ini terdapat lukisan dan patung. Lukisan pertama yang kami temui adalah lukisan Sri Sultan HB X dan permaisuri Ratu Hemas sedang menerima kunjungan kenegaraan dari Pangeran Charles dan Putri Diana almh. Lukisan ini mencerminkan bahwa hubungan antara Kerajaan Inggris dan Kesultanan Yogyakarta berlangsung sangat harmonis. Di sisi kiri lukisan PB X, terdapat lukisan tari Bedaya Ketawang sedang ditarikan di hadapan Panembahan Senapati. Bedaya Ketawang termasuk tarian yang sakral, dan hanya boleh ditarikan oleh para gadis yang sedang dalam masa suci. Tarian ini ditarikan oleh 9 orang, dan dipercaya bahwa di tengah-tengah tarian, Kanjeng Ratu Kidul akan turut menari sebagai penari ke-10. Dalam lukisan tersebut, kehadiran Kanjeng Ratu Kidul ditampilkan dalam bentuk penari ke-10 yang menerawang di atas penari-penari lainnya.
Lukisan terakhir yang wajib dilihat adalah lukisan Paes Ageng, atau tata rias pengantin wanita gaya Yogyakarta. Paes Ageng merupakan busana pengantin dari keraton, dan sampai dengan masa pemerintahan Sultan HB VIII hanya boleh digunakan oleh kerabat raja. Namun pada masa pemerintahan Sultan HB IX, Paes Ageng boleh digunakan untuk masyarakat umum. Tak hanya dalam bentuk lukisan, pengantin wanita yang mengenakan Paes Ageng ini juga diabadikan dalam bentuk patung.
Bale Nitik Rengganis |
Salah Satu Sudut Museum Ullen Sentalu |
Tuesday, June 14, 2011
Ke Yogyakarta aku kan kembali
Berawal dari ketika saya mendarat di Yogyakarta dan naik taksi menuju hotel pertama saya di Jl. Dagen, di sekitar Malioboro. Kenapa hotel pertama? Karena beberapa hari kemudian, saya pindah hotel ke Jl. Parangtritis. Alasan kepindahan ini bukan karena saya tidak suka hotel yang di Jl. Dagen, tapi karena pada hari tersebut saya bergabung dengan rombongan yang lebih besar, dan karena alasan operasional kami memilih menginap di Jl. Parangtritis. Dua daerah ini memiliki atmosfer yang berbeda, dan saya menikmati dua-duanya.
Bagi mereka yang ingin mendekati keramaian, sangat disarankan untuk memilih hotel di dekat Malioboro, seperti Jl. Pasar Kembang (yang terkenal karena... ehm... ehm...), Jl. Sosrowijayan dan Jl. Dagen. Atau kalau memang punya anggaran lebih, silakan menginap di hotel bintang di Jl. Malioboro. Sangat mudah mencari tempat belanja dan tempat makan, karena tempat makan dan toko souvenir, baik dalam bentuk toko permanen maupun pedagang pinggir jalan, umumnya baru tutup pukul 21.00. Ketika mereka tutup pukul 21.00, keberadaan mereka digantikan oleh lesehan. Jam 7 pagi, ketika mall, toko batik dan souvenir belum buka, banyak warung-warung tenda yang menjajakan sarapan pagi, tinggal pilih saja, mau sarapan umum seperti bubur ayam, atau sarapan khas Yogya seperti gudeg?
Ketika pindah ke daerah Jl. Parangtritis, saya merasakan agak sulit untuk memuaskan hasrat berbelanja, karena di sepanjang Jl. Parangtritis jarang terdapat toko yang menjual souvenir atau oleh-oleh. Tak hanya hasrat berbelanja, bahkan untuk makan pun agak sulit mencari tempat yang representatif, karena restoran atau kafe yang ada umumnya dirancang untuk memenuhi kebutuhan para wisman, misalnya suasananya agak remang-remang (duh, males banget deh kalau harus makan di tempat seperti ini!). Hanya ada satu-dua restoran yang representatif, itu pun terkadang harus berjalan kaki agak jauh dari hotel. Namun bagi mereka yang mencari ketenangan dan keteduhan (alih-alih mencari keramaian), atmosfer di daerah Jl. Parangtritis sangat cocok untuk anda kunjungi. Tinggal pilih, mau merenung di hotel yang pakai kolam renang, atau mau menyepi di hotel bergaya rumah Jawa klasik, semua ada di Jl. Parangtritis.
Kembali ke saat pertama saya mendarat di Yogyakarta dan naik taksi ke Jl. Dagen. Ini bukan pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Yogyakarta, namun barangkali baru kali ini saya pergi ke Yogyakarta dengan nawaitu untuk berwisata secara full-time dalam durasi yang panjang. Selama ini saya pergi ke Yogyakarta dengan tujuan untuk berdinas, acara keluarga, atau hanya numpang lewat saat pulang mudik Lebaran. Sangat jarang saya bisa berwisata secara full-time, sehingga kedatangan kali ini cukup istimewa bagi saya. Mungkin karena itu, saya merasakan atmosfer yang agak berbeda ketika melihat suasana sepanjang jalan menuju ke hotel. Selama ini saya beranggapan, Yogya lebih mirip Bali, tempat liburan favorit semua orang, apalagi dengan banyaknya wisman yang berkunjung ke Yogya. Tapi kenapa saya justru merasa kota ini lebih mirip Bandung, yang penuh dengan kreativitas warganya? Mungkin karena sepanjang jalan, saya melihat banyak poster yang mempromosikan acara-acara di kota Yogya, mengingatkan saya pada suasana Jl. Cihampelas. Namun ada satu hal unik yang saya rasakan di Yogya. Saya merasakan bahwa di tengah kota Yogya yang modern, masih terasa hawa tradisional yang sangat kental. Sangat besar kemungkinan hal ini dipengaruhi dengan keberadaan keraton Yogyakarta, di mana kami merasakan sendiri bahwa rakyat Yogya memang bangga terhadap Kesultanan Ngayogyakarta, tak hanya mereka yang masih tinggal di Yogya, tapi juga mereka-mereka yang sudah pindah ke daerah lain. Kebanggaan ini yang tidak saya rasakan di tempat lain, bahkan di "negara tetangga" keraton Solo, rasanya hiruk-pikuk masyarakatnya tidak sedinamis kota Yogyakarta.
Hari pertama di Yogya, saya menikmati sore hari di Jl. Malioboro. Saya sempat mencoba naik delman dengan rute Kotagede-Jl. Rotowijayan-Bakpia Pathuk-kembali ke Jl. Malioboro. Untuk rute sejauh itu, saya membayar Rp 50.000. Tentu saja, pak kusir membawa saya mampir ke toko-toko suvenir, seperti toko kerajinan perak, toko Dagadu, toko batik, dan toko oleh-oleh di Pathuk. Sudah jadi rahasia umum, bahwa pak becak, pak kusir dan supir rental mendapat persenan apabila membawa tamu mengunjungi toko-toko suvenir seperti itu. Yah, namanya sama-sama cari rejeki, mudah-mudahan barokah ya Pak... Ketika saya keluar dari salah satu toko, saya baru memperhatikan, rupanya tiap kali kami berhenti, pak kusir memberi makan kudanya. Tadinya saya pikir rumput dan air itu disediakan oleh pemilik toko, rupanya rumput dan air itu dibawa dalam ember besi, dan digantung di bawah delman! Oalah, kasihan kudanya, sudah harus menarik delman, masih ketambahan beban satu ember besar air dan rumput!
Selama melintas di Jl. Malioboro, saya baru sadar, salah satu keunikan Jl. Malioboro adalah "one-stop-shopping". Bukan sekedar karena semua oleh-oleh khas Yogya (baik makanan maupun barang) bisa diperoleh di Jl. Malioboro, namun di Jl. Malioboro kita bisa menemukan banyak hal : toko souvenir, makanan khas Yogya, pasar tradisional, mall modern, wisatawan lokal, wisatawan mancanegara, kantor pemerintahan, becak, delman, mobil, pengamen bergitar, pengamen angklung, wisata sejarah (ada benteng Vredeburg), budget hotel, dan hotel berbintang. Di mana lagi saya bisa menemukan lokasi selengkap ini?
Salah satu kesulitan dalam mengatur perjalanan di Yogya adalah masalah itinerary. Sebenarnya, jarak antar lokasi di Yogya satu sama lain tidak terlalu jauh. Yang bermasalah justru mengatur waktunya, karena kebanyakan tempat menarik di Yogya buka jam 8-9, dan jam 2 siang sudah tutup, padahal dalam 1 tempat banyaaaak sekali yang harus dilihat. :( Dalam waktu 1 hari, paling-paling hanya bisa ke 1-2 tempat, padahal daftar tunggu yang harus dikunjungi di Yogya sudah sedemikian panjang. Untuk mengatasi ini, mau tidak mau saya harus menyusun prioritas, dan prioritas yang saya buat berdasarkan beberapa hal : tempat tersebut menarik atau tidak, ramai atau tidak, pernah dikunjungi atau tidak, aksesnya susah atau tidak, dlsb. Setelah melakukan survey kecil-kecilan di internet, akhirnya saya memutuskan mencoret beberapa tempat, karena ternyata tempat tersebut tidak ramai dikunjungi orang alias sepi, malas kan kalau harus berwisata di tempat sepi?
Akhirnya, setelah seminggu menikmati suasana kota Yogyakarta, saya berkesimpulan Yogya memang merupakan perpaduan antara Bali dan Bandung, di mana keindahan alam, peninggalan tradisional dan para wisman berpadu dengan kreativitas warga di tengah kehidupan sehari-hari masyarakat Yogyakarta. Dan dengan begitu banyak tempat menarik yang harus dikunjungi (mulai dari museum, desa wisata, tempat kerajinan, dan jangan lupakan wisata kuliner!), rasanya seminggu di Yogya tak cukup, jadi kapan-kapan saya harus kembali lagi ke Yogyakarta...
Friday, May 27, 2011
Surabaya Heritage Track
Jam 14.55, pintu "trem" SHT dibuka (tepatnya itu adalah bis tanggung yang casing-nya dibuat mirip trem, kendaraan umum yang dulu malang melintang di Surabaya), dan para tracker (demikian mereka menyebut peserta SHT) mulai mengambil tempat di trem. Tepat pukul 15.00, trem berangkat dari HoS. Saat berangkat, Mas-Mas Guide menjelaskan bahwa program SHT ini terselenggara atas kerjasama PT Sampoerna dengan Pemda Surabaya (duh, harus ada sponsor dulu ya baru bisa ada program bagus kaya beginian...) Mas-Mas Guide mulai menjelaskan bangunan bersejarah dan gedung-gedung tua (dan terkadang tak terawat :( ) yang ada di seputar Surabaya Utara, mulai dari (mantan) Penjara Kalisosok, gedung Internatio tempat tewasnya Brigjen Mallaby, Jembatan Merah, Tugu Pahlawan, Siola (yang rencananya akan direvitalisasi lagi jadi pusat perbelanjaan), Hotel Majapahit (d/h hotel Oranje tempat perobekan bendera Belanda jadi merah putih), Gedung Grahadi dan Balai Pemuda. Sayang, si Mas-Mas Guide ga mention patung Joko Dolog yang tersembunyi di taman Apsari, yang letaknya kira-kira di depan Gedung Grahadi.
Di Balai Kota, para tracker turun dan dibawa ke lobi Balai Kota untuk melihat patung suro-boyo dan sejarah kota Surabaya (dan gedung balai kota khususnya). Bangunan ini sebenarnya bangunan tua, tapi tidak terlihat jadul. Rupanya terdapat banyak versi tentang asal mula nama suro-boyo, mulai dari versi fabel dari Von Faber, sampai versi sejarah untuk memperingati kemenangan pasukan Majapahit atas serbuan tentara Mongol. Wait, kemaren mas-masnya menyebut kemenangan pasukan Singosari, waduh, kayanya kita harus baca buku sejarah lagi, yang perang ama tentara Mongol itu pasukan Majapahit!
Dari Balai Kota, rombongan bergerak lagi ke pemberhentian selanjutnya di Gedung Cak Durasim. Di perjalanan, Mas-Mas Guide ga lupa menyebutkan titik-titik wisata kuliner terkenal di Surabaya, seperti salah satunya sate klopo Ondemohen. Wah, harus dicoba bo... Mas-mas Guide juga menyebutkan, bahwa HoS kadang-kadang punya program SHT tematik di luar program reguler yang gratisan, misalnya bulan Mei 2011 ini mereka punya program kunjungan ke museum-museum ga umum di Surabaya, seperti Museum Loka Jala Srana (yang terletak di kompleks AAL), Museum Kesehatan (yang lebih dikenal sebagai Museum Santet), dan Museum Perjuangan (1 kompleks dengan Tugu Pahlawan). Tarifnya murah meriah juga, berkisar antara Rp 1500-3000 per orang. Kalau saya hitung-hitung, itu sebenernya cuman untuk mengganti tiket masuk ke museum, tapi kan lumayan, masuk museumnya raramean!
Di Gedung Cak Durasim, para tracker dipersilakan turun lagi. Konon gedung ini tadinya merupakan kraton Kanoman Kadipaten Surabaya, di bawah pimpinan Adipati Jayengsrono. Mengenai kebenarannya, akan kita cek lagi di Wikipedia. Gedung ini merupakan gedung kesenian yang menjadi pusat pengembangan kebudayaan Jawa Timur. Sayangnya, pas kami berkunjung sedang tidak ada event kebudayaan, jadi kami hanya melihat-lihat saja. Sayangnya juga, si Mas-Mas Guide ga menjelaskan siapakah Cak Durasim, dan apa jasanya sehingga namanya diabadikan menjadi nama gedung kesenian tersebut.
Tanpa terasa, sudah 1 jam 20 menit kami keliling Surabaya Utara, dan sudah waktunya mengakhiri perjalanan yang seru ini. Bagi saya, orang luar Surabaya yang cukup sering ke Surabaya (dan pernah melintasi rute tersebut sehingga gedung-gedung itu tidak asing lagi bagi saya), ide tournya OK banget (pengennya di Jakarta juga ada yang kaya begini, ada ga ya?), cuman kurang "nendang" sedikit, perlu tambahan polesan-polesan dan pengetahuan yang lebih dalam, sehingga Mas-Mas Guide-nya bisa "ngoceh" lebih seru lagi mengenai sejarah masing-masing gedung bersejarah itu. Tapi klo melihat para tracker, kayanya cuman saya aja yang bukan orang Surabaya, sisanya adalah orang Surabaya, and they all enjoy the trip, so it's worthed to have the trip!
Saturday, February 26, 2011
Kebun Raya Bogor, Riwayatmu Kini
Kerangka Ikan Paus Biru |
Setelah puas melihat-lihat Museum Zoologi, kami lanjut ke Kebun Raya. Target pencarian kami adalah taman-taman yang merupakan peringatan atas jasa-jasa para pendiri dan kepala Kebun Raya terdahulu. Yang menyenangkan adalah Kebun Raya tetap dijaga bersih, tidak jorok atau terlihat banyak sampah di mana-mana. Untuk berjalan santai mengelilingi Kebun Raya, dibutuhkan waktu kurang lebih 2 jam, wah, rasanya keringat sudah di mana-mana. Kami sempat melihat ada makam Belanda yang tersembunyi di antara koleksi tanaman bambu, ketika kami melihat ke sana, tiba-tiba angin bertiup kencang, membuat rumpun-rumpun bambu itu berbunyi seperti menyayat hati... kok jadi merinding ya...
Selama berkeliling Kebun Raya, di setiap sudut terlihat banyak pengunjung melakukan berbagai kegiatan. Ada yang hanya duduk-duduk di tepi danau, ada yang berkumpul sambil berdiskusi, ada juga yang hunting foto, ada juga yang lagi foto gaya (bukan cuman foto narsis, tapi memang foto untuk pre-wed atau model) ada yang berjalan-jalan (terutama kalau ketemu turis asing, biasanya mereka berjalan keliling Kebun Raya), ada juga yang lagi ehem... ehem.... Walaupun sesekali ada mobil melintas, membuat para pejalan kaki ini harus minggir sejenak, tapi pada umumnya hawa di Kebun Raya cukup segar, mengingatkan kita akan kebutuhan untuk berelaksasi di tempat yang menyenangkan setelah selama seminggu dihujani kesibukan.
Ada beberapa spot yang harus dikunjungi, antara lain Monumen Lady Raffless, Kolam Teratai (yang berbatasan langsung dengan bagian belakang Istana Bogor), Taman Mexico (berisi berbagai jenis kaktus yang cantik), Taman Teysmann dan Taman Sujana Kassan (taman terbuka untuk relaksasi), Orchidarium (the real Taman Anggrek, surga para pecinta anggrek), Jalan Astrid (boulevard yang ditanami bunga untuk menyambut kedatangan putri Astrid dari Belgia tahun 1928), dan Jembatan Gantung. Bagi para pecinta tumbuhan, tempat ini bagaikan surga tumbuh-tumbuhan, karena terdapat berbagai macam tumbuhan yang ditanam di sini. Kalau beruntung, anda bisa menemukan Bunga Bangkai yang berbunga setiap 3-4 tahun sekali (biasanya ketika bunga ini mekar, dari pihak Kebun Raya akan mengumumkan, karena bunga ini hanya mekar selama seminggu). O ya, bunga bangkai primadona Kebun Raya ini bukan bunga Rafflesia, walaupun bunga Rafflesia juga seringkali disebut sebagai Bunga Bangkai.
Jalan Astrid |
Monday, February 21, 2011
Another Episode of Mbatik Yuk : Batik dengan Cap
Tanggal 21 Februari 2011 yang lalu, saya berkesempatan (lagi) untuk ikut kursus Mbatik Yuuk yang diberikan oleh ibu Indra Tjahjani. Kali ini temanya lain dari yang lain : membatik dengan cap. Duh, jadi penasaran...
Sebelum acara cap-capan dimulai, bu Indra kembali memberikan sedikit presentasi tentang batik, apa yang dimaksud dengan "batik", dan jenis-jenis batik yang populer serta maknanya. Ternyata, batik cap masih bisa dikategorikan "batik", karena walaupun tidak menggunakan canting, namun proses pembuatannya kurang lebih sama seperti batik tulis : malam diletakkan membentuk pola di atas kain-kain diberi warna-malamnya di"lorot" (tepatnya dilarutkan dengan air panas), and... voila! Jadilah batik cap!
Selesai presentasi, mulailah kami bereksperimen dengan cetakan batik cap. Pas liat mas-mas yang memperagakan, kok kayanya gampang ya... begitu mencoba sendiri, haduh, ternyata cetakannya panas, euy... mana kalau malamnya kebanyakan, langsung membentuk "noda-noda yang tak diinginkan". Tapi itu tidak mengurangi semangat para peserta untuk mencoba men-cap-kan malam di atas kainnya masing-masing. Setelah acara cap-capan selesai, kainnya masih boleh dihias menggunakan canting atau parafin, sebelum kemudian diberi pewarna. Pas dikasih pewarna terus malamnya dilorot, eh, lumayan juga hasilnya, hehehe...
Lagi-lagi, setelah merasakan sendiri bagaimana (susahnya) membuat batik cap, kembali saya harus menyampaikan rasa kagum kepada bapak-bapak pengrajin batik cap. Cetakan yang mereka pakai jauh lebih besar dari yang kami gunakan saat kursus (dan tentunya lebih berat), namun mereka bisa membatik dengan cepat dan rapih, luar biasa khan? Kesimpulan dari workshop ini adalah : mari kita semakin menghargai hasil karya para pengrajin batik!