Setelah menonton filmnya, ternyata... tidak seperti yang dibayangkan (Eits, ini tidak berarti sesuatu yang negatif!). Mungkin karena referensi film perjuangan yang dulu saya tonton adalah film seperti Janur Kuning, ato karena udah sempet tahu bahwa film ini diilhami oleh Peristiwa Lengkong pada tahun 1946 (which is sebenernya tidak ada kaitannya dengan alur cerita film), atau aku juga (terlanjur) berusaha mencocokkan kejadian di film Merah Putih dengan catatan sejarah bangsa Indonesia pada masa itu, jadi filmnya tidak cocok dengan praduga awalnya. Beberapa hal yang cukup mengganggu bagiku antara lain :
(1) Pada jaman itu, tentara di Indonesia sudah bersatu dalam wadah Tentara Nasional Indonesia (tepatnya 3 Juni 1947), jadi saat Tomas diusir oleh petugas pendaftaran dan disarankan untuk pindah ke kelompok Tentara Sipil... hmmm... ada ya kelompok Tentara Sipil? Bukannya k'lo sipil itu udah pasti bukan militer? Mungkin buku sejarahnya harus sama-sama dibuka lagi...
(2) Di dalam catatan sejarah Indonesia, rasanya Tentara Belanda tidak pernah menang kalau perang melawan gerilya di dalam hutan. Belanda itu hanya menang dalam pertempuran frontal (e.g. Puputan Margarana), ato di meja perundingan (bahkan mereka "menunggangi" Sekutu waktu mau masuk Surabaya, ya tho?). Kalau di film ini digambarkan Tentara Belanda bisa menghabisi seluruh pasukan Mayor Taufik di hutan dan menyisakan 4 pemeran utama saja... kaya'nya tentara kita nggak segitunya deh.
(3) Pas udah sampe' rumah, baru aja mau cerita apa yang ditonton, rupanya bokap memperhatikan pada waktu melihat preview filmnya di TV, properti yang dipakai tidak sesuai dengan apa yang dipakai tentara Indonesia pada masa itu. Memang betul senjatanya berasal dari jaman Perang Dunia II, tapi tentara Indonesia belum punya, maklum... masih pake' senjata peninggalan/rampasan dari Jepang...
Tapi rupanya semua itu bisa dijelaskan oleh Yadi Suganda, sang sutradara. Rupanya memang baik ceritanya maupun properti pendukungnya di-fiksi-kan, sehingga para pembuat film tidak perlu melakukan riset yang sangat teliti, dan memungkinkan untuk melakukan berbagai "pelanggaran legal" tanpa mengurangi nilai ceritanya (dan mudah-mudahan lanjutan sequelnya gak terlalu melenceng juga dari sejarah, aamiin).
Mengutip pernyataan Darius Sinathrya, pemeran Marius, yang bangga dan kecewa untuk film ini, aku sepakat dengan Darius. Bangga karena pada akhirnya ada yang membuat film dengan tema perjuangan dan nasionalisme, sedikit kecewa karena... ya itu, kok idenya, pembuat ceritanya, bahkan sampai tim produksinya banyak yang "produk impor", padahal di negeri kita ini dari jaman baheula sampai saat ini sangat banyak insan perfilman yang mampu membuat film yang sangat berkualitas.
Anyway, dari sisi filmnya sendiri (terlepas dari apakah ceritanya nyambung dengan sejarah perang kemerdekaan atau tidak), film ini adalah film yang layak untuk ditonton. Dengan biaya produksi yang tinggi (konon mencapai Rp 60 miliar), tentunya penonton mengharapkan film yang berkualitas, paling tidak dari sisi sinematografinya. Dari sisi pengambilan gambar, oke banget, walaupun gayanya memang gaya film Amerika banget... (dan berhubung aku penggemar film produksi Amerika, jadi buatku nggak ada masalah, tentu saja selama kualitasnya oke!). Kemudian akting para pemainnya juga top abis! Lagi-lagi two thumbs up buat Lukman Sardi, tiap kali dia main film baru, kita tidak pernah ingat perannya di film sebelumnya. Awal-awal di film ini memang terlihat senyumannya yang khas banget, namun makin ke belakang yang terlihat bukan seorang Lukman Sardi ato Umar si Pengemudi Bajaj ato Tito si Pendaki Gunung, tapi Letnan Amir. Yang lain juga oke banget, sampe' kita membahas, yang main Tomas dan Dayan itu bukan orang Manado dan orang Bali beneran khan?? Keren... Apalagi Darius, aktingnya poll... poll "nyebelin", apalagi pas melihat Marius lari dengan ketakutan meninggalkan Soerono yang hampir tewas... two thumbs up buat Darius!
So... setelah melihat filmnya dan membaca berbagai komentar di web, berikut adalah kesimpulannya :
(1) Film ini belum layak disebut sebagai film perjuangan, karena bisa dibilang kaitannya kurang kuat dengan sejarah Indonesia masa itu (bandingkan dengan Enam Jam di Yogya, Kereta Api Terakhir, Doea Tanda Mata, ato film-filmnya Usmar Ismail, konon propertinya jauh lebih teliti, dan keterkaitan dengan sejarah Indonesia jauh lebih kuat)
(2) Sebagai film yang mengangkat tema nasionalisme, film ini sudah memperlihatkan nilai-nilai yang pada saat itu diperjuangkan oleh para pejuang, termasuk di antaranya mengesampingkan segala perbedaan baik suku, agama, status, dan kemudian bersatu untuk mengusir penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan. Dan terus terang, setelah menonton filmnya, film ini masih cukup "Indonesia", dan tidak terjebak menjadi film "Rambo".
(3) Bagi mereka yang mencari tontonan berkualitas, rugi kalau nggak nonton... sinematografi oke, akting pemainnya oke, ceritanya lumayan... stylenya memang cenderung ke arah film Hollywood, tapi itu berarti memperkaya khasanah film Indonesia, ya kan?
Mudah-mudahan, setelah Trilogi Merdeka ini keluar, banyak produsen film Indonesia yang "terpancing" untuk membuat film sejenis dengan kualitas yang juga oke... paling tidak bisa dimulai dengan me-remake film-film perjuangan Usmar Ismail... Badai Pasti Berlalu kan udah di-remake, sekarang giliran film perjuangan donk...