Museum Vulkanologi Merapi ini termasuk museum baru, karena baru dibuka pada tahun 2010, bahkan ketika saya berkunjung ke sana museum belum seluruhnya terisi lengkap. Namun koleksi yang ada sekarang sudah sangat mewakili misi yang dibawa dalam pendirian museum ini, yaitu untuk mendokumentasikan sejarah gunung Merapi, serta sebagai sarana edukasi mengenai bahaya dan dampak positif dari keberadaan gunung Merapi.
Ketika saya tiba di Museum Vulkanologi Merapi, hari masih pagi, dan museum masih sangat sepi. Tidak heran, karena museum ini tidak terletak di jalan utama menuju tempat wisata Kaliurang. Setelah membeli tiket, saya masuk kedalam museum, dan seorang pemandu menemani saya berkeliling. Koleksi pertama yang kami lihat adalah foto-foto erupsi Merapi pada Oktober 2010. Melihat foto-foto tersebut, saya hanya bisa menyebut : Masya Allah... tak terbayangkan apa yang terjadi di wilayah yang dilewati "Wedhus Gembel". Museum Vulkanologi ini terletak di area yang masuk ring bahaya, sehingga walaupun bukan merupakan jalur yang dilewati Wedhus Gembel, museum ini juga ikut terkena tutup, dan ketika para petugas datang kembali, terlihat bahwa halaman museum kotor karena hujan abu dan pasir.
Kami kemudian melanjutkan ke area dalam museum. Sebelum berbicara mengenai gunungapi, terdapat penjelasan mengenai proses terbentuknya benua dan samudra. Di seberang penjelasan tersebut, terdapat peta yang menggambarkan letak gunung api di dunia. Di sebelahnya terdapat peta yang menggambarkan letak gunung api di Indonesia. Terdapat 80 gunung api aktif di Indonesia, yang aktivitasnya dipantau selama 24 jam. Tampilan berikutnya adalah penjelasan mengenai 6 model erupsi gunung. Dulu saya pernah belajar mengenai hal ini dalam pelajaran Geografi, tapi baru sekarang saya memahami bahwa karena keunikan pola erupsinya, erupsi gunung Merapi dimasukkan dalam 1 tipe tersendiri, yaitu tipe Merapi. Menurut pemandu yang mengantar saya, Merapi sebenarnya adalah gunungapi yang sangat bersahabat, setiap kali sebelum terjadi erupsi selalu ada tanda-tanda. Hanya pada letusan terakhir Oktober 2010, karakteristik Merapi berubah menjadi letusan vulkanik.
Setelah melihat penjelasan mengenai gunungapi secara umum, koleksi berikutnya menjelaskan mengenai sejarah gunung Merapi. Berdasarkan catatan sejarah, gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali sejak tahun 1548, namun pencatatan terhadap aktivitas gunung Merapi baru dimulai sejak tahun 1768. Di tengah ruangan terdapat maket bentuk Merapi. Di dinding terdapat foto-foto satelit mengenai bentuk puncak gunung Merapi yang berubah dari tahun ke tahun. Sebagai gunungapi yang aktif, Merapi terus menerus mengalami pertumbuhan kubah lava, membuat bentuk kawah dan puncaknya senantiasa berubah.
Untuk mengamati aktivitas gunung Merapi selama 24 jam, terdapat 5 pos pengamatan yang terletak di Kaliurang, Babadan, Ngepos (Magelang), Jrakah (Klaten), dan Selo (Boyolali). Pos pengamatan ini masih dibantu dengan 1 pos di Deles, Klaten, yang khusus untuk melihat pertumbuhan kubah lava dari sisi Timur Merapi. Semula terdapat pos pengamatan di Plawangan, namun semenjak tahun 2006 pos ini tidak dipakai lagi.
Tampilan berikutnya adalah mengenai lava gunung Merapi yang mengalir melalui sungai alam yang berhulu di gunung Merapi. Lava ini bercampur dengan air sungai menjadi lahar dingin. Setidaknya terdapat tiga aliran sungai yang “menampung” lava Merapi dan mengalir sebagai lahar dingin, yaitu Kali Gendol, Kali Kuning, dan Kali Adem. Untuk menahan laju lahar dingin, dibangun Sabo Dam. “Sabo” berasal dari bahasa Jepang yang berarti sabuk. Idealnya, jarak antar dam adalah 7 km. Namun pada kenyataannya, sabo dam yang ada di aliran lahar dingin Merapi berjarak kurang dari 7 km, sehingga kurang efektif dalam menahan laju lahar dingin tersebut, dan beberapa sabo dam bahkan mengalami kerusakan ketika diterjang lahar dingin.
Tampilan terakhir menunjukkan lukisan yang menggambarkan bahwa keberadaan gunung Merapi tidak lepas dari keraton Yogyakarta. Dalam mitologi Kraton Yogyakarta, gunung Merapi memiliki tempat tersendiri, dan tidak lepas dari legenda tentang hubungan khusus antara “penunggu” Merapi Kyai Sapu Jagad dengan lingkungan Keraton Yogyakarta. Konon terdapat perjanjian antara Sutawijaya, raja pertama Mataram Islam, dengan Kyai Sapu Jagad. Sutawijaya dan keturunannya bertanggungjawab untuk memberi sesaji, dan sebagai imbalannya rakyat Mataram akan dilindungi dari bencana. Penyerahan sesaji ini diwujudkan dalam bentuk Upacara Labuhan Merapi, yang diselenggarakan setiap tahun sekali pada tanggal 25 bulan Bakdamulud (Maulid Akhir). Upacara Labuan Merapi dipimpin oleh juru kunci yang ditunjuk Keraton Yogyakarta.
Setelah 1,5 jam mengelilingi museum ini, saya kemudian pamit pada pemandu yang mengantar saya berkeliling. Rasanya hari ini saya banyak memperoleh informasi, baik informasi yang terkait ilmu pengetahuan maupun non teknis mengenai gunung Merapi. Dan walaupun museum ini terletak cukup jauh dari kota Yogyakarta, saya melihat setidaknya ada 3 rombongan wisatawan mancanegara yang juga melihat ke museum ini. Rupanya fenomena gunung Merapi juga menarik perhatian internasional.
Dalam perjalanan kembali ke kota Yogyakarta, kami melewati daerah Petung dan Cangkringan. Kami melewati salah satu Sabo Dam yang melintas di atas Kali Kuning. Sabo Dam ini bagian pinggirnya rusak, karena diterjang lahar dingin erupsi Merapi Oktober 2010. Sementara itu, di salah satu Sabo Dam yang melintas di atas Kali Gendol, saya melihat bahwa nyaris tidak ada aliran air yang tersisa di atas Kali Gendol. Masih terlihat beberapa kendaraan berat yang berusaha mengeruk lahar dingin tersebut agar sungai bisa mengalir kembali. Di atas Sabo Dam bahkan terdapat batu besar yang terbawa aliran lahar dingin, dan belum berhasil dipindahkan ke tempat lain. Sungguh pemandangan yang tak terbayangkan sebelumnya...