Cerita diawali dari usaha Empat Sekawan yang berusaha membebaskan Melati dan Senja di perkebunan kopi Lembongan Lor. Mereka berhasil membebaskan para pekerja perkebunan, namun tawanan mereka, Major van Grotten, berhasil meloloskan diri. Empat sekawan kemudian bergerilya menembus hutan, berusaha mencari pasukan Tentara Nasional Indonesia di bawah pimpinan jendral Sudirman. Setelah menemui pasukan TNI, mereka mendapat misi khusus untuk menghancurkan pangkalan udara yang baru dibangun tentara Belanda. Dalam menunaikan misi tersebut, Empat Sekawan itu menemui berbagai rintangan, termasuk di antaranya pertempuran dengan tentara Belanda, tertangkapnya anggota mereka, pertemuan dengan tentara Islam, dan adanya pengkhianat di antara pasukan TNI. Namun pada akhirnya, misi berhasil mereka tuntaskan.
Melihat film ini, sekali lagi saya harus mengerutkan kening sambil (sekali lagi) berusaha mencamkan dalam hati, ini BUKAN FILM SEJARAH (kan dari awal sutradaranya udah bilang!). Banyak adegan dalam film ini yang tidak cocok dengan tempat dan waktu dalam sejarah Indonesia. Seperti adegan Jendral Sudirman yang memimpin gerilya dari atas tandu, setting film ini adalah di Jawa Tengah, namun setahu saya, pergerakan gerilya Jendral Sudirman baru dimulai pada Desember 1947 ketika mulai clash kedua, dan lebih banyak di wilayah Jawa Timur. Kemudian adanya tentara Islam, setahu saya pada masa itu memang kita menghadapi 2 musuh : NICA dan tentara DI/TII. Namun lagi-lagi setahu saya, tentara DI/TII lebih banyak bergerak di wilayah Jawa Barat, gak cocok lagi khan? Jadi kaya'nya yang menulis cerita memang hanya sekedar memasukkan fakta2 ini untuk menjadi 'bumbu' dalam cerita, dan tidak mencocokkan fakta-fakta tersebut dalam setting cerita.
Tapi, balik lagi, karena dari sejak film pertama sudah dinyatakan dalam disclaimer bahwa trilogi ini merupakan fiksi yang berbasis pada sejarah, jadi sah-sah saja, khan? (anggap aja seperti nonton film Rambo ato Tour of Duty, yang base on perang Vietnam, tapi seperti ga ada hubungannya sama sejarah, hehehe) Sebagai film, sinematografinya menarik, top banget, dan sama seperti film yang pertama, gayanya Hollywood banget. Tidak hanya dalam efek-efek khusus yang ditampilkan (terutama adegan tembak-menembak dan ledakan), namun juga dalam dialog-dialog para pemerannya. Secara keseluruhan, film ini lebih seru dan menegangkan dibandingkan film pertama. Namun di akhir film, saya merasa bahwa film ini tidak sedramatis film yang pertama, mungkin juga karena film pertama dirilis bertepatan dengan 17 Agustus 2009, sehingga pada saat itu tema filmnya lebih sesuai. Bisa juga ini bagian dari strategi pembuat film, supaya film terakhir dari trilogi ini bisa memberikan klimaks yang lebih dramatis.
Banyak juga hal kurang logis yang ditemukan di film ini. Seperti ketika Senja menyamar menjadi bagian dari tentara elite TNI, rasanya tidak mungkin teman-temannya tidak tahu kalau ia ikut, karena mereka berjalan bersama-sama di hutan (walaupun digambarkan Sersan Yanto mengetahui bahwa ada tentara wanita di antara mereka). Kemudian bagaimana Dayan bisa menyusul teman-temannya yang sedang berusaha menghancurkan pangkalan udara Belanda, dan bahkan memberikan elemen kejutan untuk membantu meloloskan diri dari pangkalan udara tersebut.
Kesimpulannya, dari segi cerita, mungkin anda akan menonton sambil sedikit mengernyitkan dahi. Tapi kalau anda terbiasa menikmati film tanpa terlalu memikirkan ceritanya, well, jauh lebih mending nonton film ini daripada nonton film horror atau komedi yang gak bermutu!