Palembang merupakan kota tertua di Indonesia, yang pendiriannya ditandai oleh prasasti Kedukan Bukit. Hasil interpretasi dari prasasti tersebut memperkirakan bahwa kota Palembang sudah berdiri sejak 16 Juni 682. Banyak yang menjuluki Palembang sebagai "Venesia dari Timur", karena kota ini didominasi oleh perairan. Palembang merupakan kota terbesar kedua di pulau Sumatera (setelah Medan), dan saat ini mulai berbenah untuk menjadi kota bertaraf internasional.
Sejak sebelum berangkat, survey sudah dilakukan untuk mengetahui obyek-obyek wisata unggulan di Palembang dan sekitarnya. Namun survey membuktikan adalah *sulit* untuk memperoleh informasi yang up-to-date mengenai obyek-obyek wisata di Palembang. Padahal saya berharap cukup banyak obyek-obyek menarik yang bisa dikunjungi, secara Palembang merupakan kota tertua di Indonesia, dan di masa silam Palembang merupakan pusat kerajaan Sriwijaya yang sudah terkenal ke mancanegara.
Pada akhirnya, kami sempat berwisata di beberapa obyek "unggulan" di Palembang, yang walaupun belum bisa disamakan dengan obyek-obyek wisata di Yogya atau Bandung, namun cukup mewakili budaya dan ciri khas Palembang. Banyak dari obyek unggulan di Palembang merupakan wisata ziarah ke makam raja-raja Palembang, jadi karena kami tidak berniat untuk ziarah, kami mencoret tempat-tempat wisata ziarah tersebut dari daftar kami. Akhirnya dari sekian banyak pilihan wisata, kami memilih untuk melakukan wisata sejarah.
Pemberhentian pertama adalah museum Balaputradewa. Menurut info dari berbagai website, museum ini dikelola oleh Depdiknas, dan tampaknya kurang terpelihara (apalagi beberapa pemberitaan menyebutkan bahwa telah terjadi pencurian koleksi museum, ironis sekali...). Namun info-info itu juga menyebutkan bahwa koleksi yang terkait dengan kerajaan Sriwijaya disimpan di museum ini, jadi masa' sih nggak ada yang diliat sama sekali? Jadi kami memberanikan diri untuk masuk.
Waktu pertama kali masuk ke museumnya, museumnya sangat sepi sekali (kalimat ini terdengar berlebihan, namun pada kenyataannya hanya kami ber-5 pengunjung di museum itu), tidak ada penjaganya (tepatnya penjaganya baru menghampiri kami ketika mereka melihat kami sedang longok-longok di lobi museum). Setelah membeli karcis, petugas karcis cuma mengatakan supaya kami mengikuti temannya. Kita pikir temannya ini mau jadi guide, eh, ternyata cuman membukakan pintu saja, alahalah...
Ruang koleksi pertama adalah ruangan yang menceritakan tentang Melaka. Rupanya pada masa lalu, Palembang termasuk bagian dari kerajaan Melaka, jadi saat ini pemerintah negara Melaka menjalin kerjasama dengan pemda Sumsel, kemudian mereka membuat 1 ruangan berisi display foto2 peninggalan sejarah di Melaka (yang kata orang-orang pengelolaannya jauh lebih baik daripada di Indonesia, huh....). Masuk ruang koleksi yang berisi peninggalan kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Palembang, gelap bo... (tepatnya lampu ruangan tidak dinyalakan) jadi aja menambah kesan spooky (padahal museum ini termasuk bangunan baru, bukan bangunan lama yang dijadikan museum). Di bagian belakang museum terdapat replika rumah limas, tapi juga cuman bisa dilihat dari luar, tidak bisa melihat dalamnya. Yah, akhirnya paling foto-foto sama patung aja deh...
Patung Budha ini merupakan salah satu bukti bahwa kerajaan Sriwijaya pernah menjadi pusat agama Budha di Asia Tenggara.
Ini patung orang naik gajah, salah satu peninggalan era megalitikum di Palembang. Masyarakat menganggap patung ini merupakan bagian dari legenda Si Pahit Lidah, di mana siapa pun yang dikutuk olehnya akan berubah menjadi batu. Cerita lengkapnya bisa dilihat di sini.
Mau nggak mau akhirnya kami membandingkan dengan museum sejenis seperti Museum Sri Baduga (Museum propinsi Jawa Barat) wah, jauh banget... selain suasana museum Sri Baduga yang lebih terang benderang dan koleksinya juga lebih beragam, kami menemukan banyak anak sekolah yang (sepertinya) mendapat tugas dari sekolah dan melihat-lihat koleksi museum (padahal waktu itu hari Minggu, dan tidak terlihat ada rombongan karyawisata dengan sekolah). Belum lagi museum juga dijadikan tempat berbagai event, jadi museumnya cukup rame. Mungkin faktor lokasi yang kurang menguntungkan juga sangat berpengaruh, karena museum Balaputradewa ini tidak terletak di tepi jalan protokol.
Pemberhentian berikutnya adalah museum Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II). Museum ini dikelola oleh Pemda, dan menempati bangunan tua dan antik bekas kantor residen pada masa kolonial Belanda. Konon kabarnya lokasi tempat berdirinya bangunan ini merupakan situs bekas Benteng Kuto Lamo yang merupakan keraton tempat Sultan Palembang bertahta, yang dibumihanguskan oleh Belanda, untuk kemudian dibangun lagi menjadi bangunan yang kita lihat sekarang. Museumnya jauh lebih kecil daripada Balaputradewa, dengan koleksinya yang kurang lebih sama : replika prasasti, barang-barang kebudayaan Sumatera Selatan, dan sejarah kesultanan Palembang. Tapi kalau kita mencoba mencari di search engine, museum ini jauh lebih populer dibandingkan museum Balaputradewa (531000 entry untuk "museum SMB II", dibandingkan 2450 entry untuk "museum Balaputradewa").
Secara lokasi, museumnya memang jauh lebih mudah ditemukan, karena terletak sangat dekat dengan jembatan Ampera dan Monpera sebagai landmark utama kota Palembang. Kemudian penjaga museumnya lebih mudah ditemukan, sehingga kami tidak kesulitan untuk bertanya dan beli karcis. Suasana di dalam museum pun tidak menyeramkan, karena penerangan lampu yang cukup. Selain itu museum ini juga banyak pengunjung, yang walaupun tidak sepadat museum Geologi di Bandung, namun cukup untuk membuat suasana tidak terlalu sepi.
Di sisi kanan museum terdapat Benteng Kuto Besak, yaitu benteng pertahanan buatan Belanda, yang juga menjadi salah satu landmark kota Palembang. Benteng ini dibangun oleh Sultan Mahmud Badaruddin I pada tahun 1780 selama 17 tahun. Sayangnya, benteng ini tidak dibuka untuk umum, karena digunakan untuk kantor Kodim. Kalau melihat sisi benteng yang menghadap Sungai Musi, tampilannya sih oke. Tapi kalau melihat sisi benteng yang menghadap Jl. Rumah Bari / Kantor Ledeng, halah... mbok ya temboknya itu dicat... abis keliatan dekil... :(
Kami juga sempat mengunjungi Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS) di daerah Bukit Siguntang dan Bukit Besar, yang diduga merupakan situs pusat kerajaan Sriwijaya, karena di daerah tersebut banyak ditemukan benda-benda peninggalan sejarah. Kalau lihat penjelasan di website dan informasi di hotel, sepertinya Taman Purbakala ini menarik untuk dikunjungi. Tapi kalau menurut supir rental mobil yang kami tanya (dan keterangan dari pelaku wisata yang pernah mengunjungi Bukit Siguntang), katanya kok cuman tempat pacaran aja. Ah, udah sampai Palembang kok nggak nyobain ke situ...
Ternyata... apa yang dikatakan supir rental mobil itu benar adanya... (hiks...) Di TPKS Bukit Siguntang, kami cuman melihat pohon dan pohon (dan orang pacaran...). Memang ada makam Putri Kembang Dadar, tapi karena kami tidak berniat wisata ziarah, jadi kami juga nggak berziarah ke makam keramat tersebut. Tidak ada keterangan atau tanda-tanda yang menunjukkan bahwa tempat itu merupakan tempat menemukan peninggalan sejarah. Ato paling nggak mereka menaruh replika prasasti atau patung di tempat semula ditemukan. Sayang banget... Pada akhirnya, tempat ini bisa berfungsi sebagai "hutan kota", lumayan lah...
Di Bukit Besar (daerah Kedukan), kita malah disambut dua acara pernikahan. Wow... kondisinya kurang lebih sama seperti TPKS Bukit Siguntang, yang kelihatan hanya pohon dan pohon (dan tamu-tamu undangan pernikahan). Sebenarnya kami melihat bangunan museum Sriwijaya, tapi kok tutup dan kaya nggak terawat gitu? Gak jadi (lagi) deh... Tanpa sadar saya membandingkan kondisi ini dengan kondisi Candi Borobudur dan Candi Prambanan (serta candi-candi lain di Jateng dan DIY) sebagai situs bekas kerajaan Mataram Hindu, kok pengelolaan situs sejarah ini nggak bisa seperti candi-candi itu ya? Sayang aja, mengingat Sriwijaya merupakan negara besar yang sudah terkenal ke mancanegara, namun di tempat di mana diduga merupakan letak kerajaan Sriwijaya tersebut malah tidak bisa "mengangkat" kembali kebesaran Sriwijaya tersebut.
Wisata lain yang juga menjadi andalan kota Palembang dan sangat menarik untuk dicoba adalah wisata Musi. Sungai sepanjang 750 km yang membelah kota Palembang ini merupakan sungai terpanjang di pulau Sumatera, dan juga berperan sebagai sarana transportasi. Di atas sungai Musi membentang jembatan Ampera sebagai sarana menghubungkan Seberang Ulu dan Seberang Ilir dari kota Palembang. Jembatan ini juga menjadi landmark kota Palembang. Jembatan ini dibangun pada tahun 1962 atas prakarsa Bung Karno, dan semula diberi nama Jembatan Bung Karno. Pada masa itu, jembatan ini merupakan jembatan terpanjang di Asia Tenggara. Namun pada masa awal orde baru, jembatan ini berganti nama menjadi Jembatan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera). Pada awalnya badan jembatan ini bisa diangkat sehingga kapal besar bisa melintas di bawahnya, namun sejak tahun 1970 tidak pernah diangkat lagi karena mengganggu lalu lintas. Untuk mengurangi kepadatan lalu lintas dan beban jembatan Ampera, saat ini terdapat Jembatan Musi II, dan rencananya akan dibangun juga Jembatan Musi III.
Di depan museum SMB II terdapat dermaga Benteng Kuto Besak, di mana kalau kita ingin wisata menyusuri sungai Musi, banyak tukang perahu yang menawarkan kapalnya. Selain itu Pemda Sumsel juga menyediakan KM Putri Kembang Dadar yang melayani wisatawan untuk menyusuri sungai Musi setiap Sabtu, Minggu dan hari libur nasional, dengan harga tiket Rp 70.000 per orang. Waktu mendarat di Palembang, sebenarnya kami ingin langsung naik KM Putri Kembang Dadar, namun ketika menghubungi petugasnya, rupanya kapalnya sudah dicarter oleh salah seorang pejabat negeri ini yang merupakan putra daerah Sumatera Selatan. Yah, suds lah... sering-sering aja ya Pak, biar tamu-tamu dan teman-temannya makin kenal Palembang dan sungai Musi, hehehe...
Akhirnya, 2 hari kemudian kami berkesempatan juga naik kapal ini. Naik KM Putri Kembang Dadar, banyak hal menarik yang ditemukan, antara lain rumah rakit yang menjadi pemukiman penduduk, PT Pusri, pelabuhan, Kompleks Perumahan Pertamina Bagus Kuning, dan pulau Kemaro (sayangnya kapal KM Putri Kembang Dadar tidak bisa merapat di pulau Kemaro, jadi kalau mau ke pulau itu disarankan untuk memanfaatkan jasa sewa perahu perorangan berupa kapal kayu atau speedboat dari dermaga Benteng Kuto Besak). Hal menarik lainnya adalah kita bisa melihat bahwa masih banyak masyarakat di Sumsel yang memanfaatkan sungai Musi sebagai sarana transportasi. Kami melihat beberapa kapal tradisional mengangkut bahan makanan, termasuk gas LPG dalam tabung 3 kg, dalam kapal-kapal tersebut.
Wisata lain yang wajib dicoba di Palembang adalah wisata kuliner. Mulai dari pempek sebagai makanan khas Palembang, mulai dari kapal selam, lenjer, adaan, pistel, dan pempek keriting. Belum lagi "kawan-kawan"nya pempek : model tekwan, laksan, celimpungan, burgo, dlsb. Banyak jenis pempek yang tidak bisa dibawa sebagai oleh-oleh jarak jauh, jadi cara menikmatinya ya harus makan di tempat. :) Kemudian ada mie celor, dengan mie yang besar-besar berkuah dan diberi udang. Ada juga sambal tempoyak, tapi unfortunately kami nggak doyan duren, maaph ya... Ada juga martabak Har, yang isinya fully egg (sangat beda dengan martabak telur yang kita kenal), bisa milih mo telur ayam atau telur bebek. Jangan lupa juga mencoba es kacang (merah), hmmm...
Yang top markotop adalah masakan pindang dari berbagai daerah Sumsel (ada 4 macam pindang : Palembang, Musi Rawas, Meranjat, Pegagan) yang bisa diperoleh warung sederhana di pinggir jalan Kertapati-Indralaya, sampai ke restoran besar seperti RM Sri Melayu di Jl. Lebar Daun. Pindang ini bisa dibuat dari ikan (biasanya ikan patin), daging (disebut pindang tulang), ato udang. Kalau belum makan pindang di Palembang, hmmm.... belum lengkap bo!
So, where will we go for the next trip??