Thursday, April 26, 2012

Social Media dan Complaint Handling

Kemarin malam, saya dan keluarga pergi ke sebuah toko roti yang selalu woro-woro di social media (socmed) bahwa setelah pukul 6 sore produk mereka didiskon. Sampai di toko roti itu, yang ada kami "dipermalukan" oleh kasir, katanya hanya produk tertentu yang didiskon, dan produk yang sudah terlanjur kami beli tidak termasuk (saat itu kami merasa tertipu oleh promo yang digembargemborkan di socmed!). Belakangan, ketika kami tanyakan kembali, ternyata harusnya produk yang kami beli bisa didiskon, namun kasir hanya meminta maaf dan tidak bersedia mengembalikan kelebihan pembayaran kami. Yang membuat ibu saya sangat kesal adalah sikap kasir yang plin plan dan hanya cengar-cengir tanpa mencari solusi masalah tersebut, jadi kami mendapat kesan kasirnya ternyata bego.

Karena kesal, kami pergi dari toko tersebut sambil menggerutu, dan langsung mereply pengumuman di socmed tentang promo diskon toko tersebut dengan menyampaikan keluhan kami. Baru 1 jam kemudian keluhan tersebut ditanggapi. Sayangnya, tanggapannya adalah mereka menjanjikan akan memberi diskon dan mengembalikan uang kami. Dari tadi kemana aja? Dan sayangnya, solusinya yang ditawarkan menurut saya tidak masuk akal. Kami sudah pergi dari toko itu sejak 1 jam yang lalu, bagaimana caranya dia mau menemukan kami untuk mengembalikan uang kami? Saya langsung tepok jidat sendiri, kok cara menanggapi keluhannya bego begini. Saya balas lagi, bukan masalah uangnya yang membuat kami kesal, tapi sikap dan perlakuan kasir yang menjadi sumber kekesalan kami. Jadi begitu saya mendapat tanggapan keluhan yang sama-sama bego, langsung deh ambil kesimpulan, ternyata manajemen tokonya bego juga... Baru belakangan mereka minta kami mengirimkan data diri untuk mengembalikan uang kami, tapi kami sudah keburu ill-feel karena kebegoaan mereka, jadi kami sudah malas menanggapi posting yang minta kami mengirimkan data diri. Perasaan tertipu oleh promo yang digembar-gemborkan di socmed dan perasaan marah karena perlakuan kasir dan cara penanganan admin socmed yang bego jauh lebih menyakitkan daripada nilai uang yang mau mereka kembalikan.

Saya tiba-tiba teringat tim trainer kami yang selalu mengajarkan kepada murid-muridnya masalah penanganan keluhan pelanggan. Kami selalu mengingatkan pada para siswa, bahwa terkadang pelanggan tidak perlu solusi yang njelimet, mereka kadang-kadang hanya perlu didengar. Terkadang mengatakan maaf saja sudah menyelesaikan masalah, kecuali jika keluhan tersebut menjadi berkepanjangan. Lebih jauh lagi, kita seharusnya menghindari keluhan pelanggan dengan menjalankan SOP dengan baik. Saya lalu berpikir, apakah kasus kami di atas merupakan cerminan bahwa toko roti itu tidak punya SOP pelayanan pelanggan yang benar? Apakah manajemen pemilik toko sudah menginformasikan program promo mereka dengan benar kepada seluruh pekerjanya? Jika tidak, berarti kesalahan bukan semata-mata pada kasir yang bloon, tetapi manajemen pemilik tokonya juga tidak peduli pada moment-of-truth saat pelanggan ada di toko, dan hanya peduli dengan masalah promo-promo di socmed. Pada akhirnya, moment-of-truth kepuasan pelanggan terjadi saat pelanggan berinteraksi langsung dengan penjual, bukan melalui promo-promonya.

Ini bukan pertama kali internet dan socmed digunakan untuk menyampaikan keluhan dan menyebarkan ketidakpuasan pelanggan atas sebuah layanan. Kita masih ingat kasus Prita yang berbuntut panjang, karena Prita menceritakan keluhannya atas pelayanan yang tidak menyenangkan dari sebuah rumah sakit. Walaupun pada akhirnya Prita yang didakwa bersalah, namun rumah sakit tersebut pastinya sudah mengalami kerugian, baik moril maupun materiil. Memanfaatkan internet dan socmed untuk promo memang berbiaya rendah dan efektif, tapi kalau sudah ada komplain, ya efeknya juga tersebar ke mana-mana. Kalau mau memanfaatkan socmed, belajarlah dari perusahaan-perusahaan lokal besar yang sudah memanfaatkan jasa socmed, salah satunya adalah perusahaan taksi berlogo burung berwarna biru. Mereka memanfaatkan socmed untuk mendapat suara pelanggan. Sebagian besar pelanggan menyatakan puas, tapi saya pernah juga komplain masalah aplikasi mereka yang baru, dan cara mereka menanggapi keluhan saya membuat saya yakin bahwa perusahaan sebesar mereka sudah siap untuk memanfaatkan internet dan socmed sebagai sarana berkomunikasi dengan pelanggan.

Sebenarnya dengan saya menyampaikan keluhan melalui socmed, tanpa sengaja saya membuat black campaign. Saya sebenarnya tidak ingin melakukannya, tapi saya pikir kalau hal ini tidak disampaikan, berapa banyak lagi pelanggan yang akan "tertipu" dengan program promo yang tidak konsisten? Harus diingat, pelanggan yang kesal dan merasa tertipu bisa melakukan apa saja. Mungkin tidak semua pelanggan yang tidak puas akan menulis di socmed, tapi mereka bisa bercerita pada teman-temannya dan mengajak teman-temannya untuk tidak berbelanja di tempat itu. Berdasarkan teori, jumlah pelanggan yang tidak puas dan tidak menyampaikan keluhan jauh lebih banyak daripada yang menyampaikan keluhan. Jika keluhan di socmed ditanggapi dengan pernyataan yang "bodoh", sebuah produk tengah "menggali lubang" dan membuat black campaignnya semakin parah. Ingat, berita di socmed menyebar jauh lebih cepat daripada infotainment.

Jadi, saran saya, kalau Anda belum bisa konsisten melakukan SOP pelayanan pelanggan, dan belum bisa menangani keluhan pelanggan dengan bijak, nggak usah sok-sokan bikin program-program promo lewat socmed. Bisa jadi, socmed justru jadi bumerang jika Anda tidak bisa melayani pelanggan dengan benar.