Sunday, March 18, 2012

Batik Keraton, Salah Satu Cikal Bakal Batik Indonesia

Batik Indonesia merupakan warisan leluhur bangsa Indonesia, yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sebagai sebuah kerajinan, batik merupakan bagian dari budaya Indonesia, dan memiliki nilai seni tinggi.

Kata “batik” berasal dari kata bahasa Jawa “amba” yang berarti “menulis” dan “titik”, yang bermakna bahwa motif batik dibuat dengan menulis rangkaian titik pada kain. Batik sebenarnya merujuk pada teknik pembuatan kain bercorak yang dilakukan dengan menuliskan titik malam pada kain menggunakan canting. Ketika kain tersebut dicelupkan pada zat warna, bagian kain yang tertutup malam tidak terkena zat warna, sehingga meninggalkan pola ragam hias pada kain. Namun saat ini batik juga merujuk pada pola ragam hias yang menjadi ciri khas batik. Di masa lalu, ketrampilan membatik menggunakan canting hanya dikuasai oleh para wanita. Baru setelah ditemukan teknik membatik dengan cap pada awal abad 20, kegiatan membatik juga dilakukan oleh kaum laki-laki.

Batik telah dikenal sejak Jaman Majapahit, dan terus berkembang pada masa-masa berikutnya. Salah satu pengembangan batik Majapahit yang kemudian menjadi dasar hampir semua Batik Indonesia khususnya di Jawa adalah Batik Keraton. Batik Keraton mendapatkan namanya karena batik ini mula -mula berkembang di kalangan keraton, dan hanya dikenakan oleh raja, keluarga keraton, dan para abdi dalemnya, terutama pada upacara resmi kerajaan. Batik biasanya dikenakan untuk jarit (kain panjang), kain dodot, dan kain kemben.

Batik Keraton mulai berkembang sejak awal masa kerajaan Mataram Islam, di masa pemerintahan Panembahan Senopati. Kala itu kerajinan batik mulai berkembang di pusat pemerintahan Mataram Islam di Desa Plered. Pada masa itu batik dibuat dengan teknik batik tulis yang sangat halus, dan dikerjakan oleh para wanita, yaitu putri-putri raja dan para pembatik ahli yang hidup di lingkungan keraton. Ketrampilan ini kemudian ditularkan kepada para wanita anggota kerabat keraton lainnya, antara lain istri pada abdi dalem dan istri para prajurit keraton. Setiap motif batik yang dibuat mengandung makna filosofis mendalam sesuai dengan fungsinya. Dengan makna yang mendalam tersebut, beberapa motif batik Keraton terlarang untuk digunakan oleh rakyat biasa.

Pada akhir abad 18 hingga awal abad 19, Kerajaan Mataram Islam terbagi menjadi 4 kerajaan, yaitu Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran dan Pakualaman. Keempat kerajaan ini kemudian mengembangkan Batik Keraton dengan motif dan warna yang menjadi ciri khas masing-masing kerajaan. Batik Kasunanan Surakarta dikenal memiliki warna dominan sogan (coklat kekuningan), dengan motif bentuk geometris berukuran kecil-kecil yang berkesan luwes. Batik Kesultanan Yogyakarta memiliki ciri warna latar terang seperti putih dan krem, dengan motif geometris berukuran besar dan lebih berkesan kuno atau antik. Kadipaten Pakualaman yang berada di wilayah yang berdekatan dengan kesultanan Yogyakarta memiliki batik dengan ciri lebih mirip batik Surakarta, karena KGPA Pakualam VII menikah dengan putri Pakubuwono X, sehingga sang permaisuri membawa budaya batik Surakarta ke kadipaten Pakualaman. Batik Pura Mangkunegaran memiliki ciri motif yang sangat detail, sehingga terlihat sangat cantik. Karena berangkat dari akar budaya yang sama, yaitu kerajaan Mataram Islam, beberapa motif batik di empat wilayah kerajaan tersebut memiliki bentuk dan makna yang hampir sama, walaupun dengan nama yang berbeda.

Motif Batik Keraton merupakan hasil perpaduan budaya asli Jawa, Hindu, dan Islam. Pengaruh budaya asli Jawa terlihat dari bentuk yang digunakan, seperti bentuk flora dan fauna. Unsur budaya Hindu tercermin dari motif-motif khas seperti Sawat, Gurdo/Garuda dan Pohon Meru. Pengaruh budaya Islam terlihat pada motif stilasi benda-benda alam sehingga tidak menyerupai bentuk aslinya. Beberapa motif Batik Keraton tergolong motif larangan atau batik sengkeran, karena di masa lalu motif-motif tersebut khusus dikenakan oleh raja. Di Museum Batik Keraton Yogyakarta, Museum Ullen Sentalu, dan Museum Batik Kuno House of Danar Hadi, kita dapat melihat motif-motif Batik Keraton yang jarang ditiru oleh batik-batik komersial yang ada saat ini.

Beberapa motif Batik Keraton yang masih ditemui saat ini dan digunakan secara luas antara lain adalah :
• Sawat: “sawat” secara harfiah berarti melempar. Motif ini merupakan simbol senjata Batara, dewa hujan dalam mitologi Hindu. Sawat disimbolkan dengan sayap sebelah, dan bermakna barang siapa yang mengenakannya akan mendapatkan perlindungan.
• Gurdo : Gurdo adalah simbol Garuda, burung suci kendaraan Sang Hyang Wisnu, dewa pemeliharaan dalam mitologi Hindu. Motif Gurdo berbentuk dua buah sayap, yang bermakna menaungi kehidupan di bumi.
• Meru : Meru merupakan kependekan dari “Mahameru”, nama gunung suci dalam mitologi Hindu tempat bersemayamnya Dewa Trimurti yaitu Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Brahma dan Sang Hyang Siwa. Dalam mitologi Hindu, terdapat kepercayaan bahwa di puncak Mahameru terdapat air suci bernama Tirta Kamandalu, yang merupakan sumber hidup abadi. Makna dari motif ini adalah siapa pun yang mengenakan batik dengan motif ini akan memperoleh berkah .
• Truntum : pola truntum mencerminkan kuncup bunga melati. Batik pola ini digunakan oleh orang tua pengantin pada hari pernikahan, bermakna orang tua bisa menuntun calon pengantin.
• Sidomukti : “Sido” berarti berkesinambungan, dan “Mukti” berarti kesejahteraan dan kebahagiaan. Batik ini dicirikan dengan motif Gurdo, Meru dan Ukel (motif seperti koma). Kain ini digunakan oleh pengantin saat pernikahan, dengan makna filosofis agar para pengantin senantiasa dikaruniai hidup yang sejahtera dan bahagia.
• Kawung : batik ini dicirikan dengan 4 bentuk elips yang mengelilingi satu titik di tengah, melambangkan raja dan 4 “bawahannya”. Motif ini biasanya dikenakan raja dan keluarga terdekatnyanya sebagai lambang keperkasaan dan keadilan. Kawung juga merupakan kata lain dari “aren”, tumbuhan dengan berbagai macam kegunaan, sehingga banyak yang menafsirkan bahwa filosofi dari motif ini adalah siapa pun yang memakainya harus berguna bagi banyak pihak, seperti pohon kawung.
• Parang : “parang” merupakan senjata yang melambangkan kekuasaan, kekuatan, dan kecepatan, sehingga ksatria yang mengenakan batik ini bisa berlipat kekuasaannya. Status seseorang dapat dilihat dari ukuran motif parang yang dikenakan. Kerabat keraton yang berkedudukan lebih tinggi akan mengenakan batik dengan motif parang lebih besar. Motif Parang merupakan salah satu motif larangan, dan di masa lalu motif ini hanya boleh dikenakan oleh raja atau kerabat keraton.
• Semen : “Semen” berasal dari kata “Semi”, yang berarti mekar, tumbuh. Motif ini bermula dari kepercayaan bahwa di atas gunung Mahameru terdapat beberapa pohon yang selalu mekar dan tumbuh. Makna dari motif ini adalah jika seseorang mengenakannya, diharapkan ia akan selalu didekatkan dengan Yang Maha Kuasa.
• Sekarjagat : nama Sekarjagat berasal dari kata “Kar Jagat”. Kar berarti peta, dan Jagat berarti dunia, sehingga Kar Jagat atau Sekarjagat secara harfiah berarti peta dunia. Ciri dari batik ini adalah adanya banyak motif dalam selembar kain batik. Makna dari motif ini adalah siapa yang memakainya akan menaklukan dunia.
• Cakar : Pola ini dicirikan dengan bentuk motif yang seperti cakar ayam, dan biasa dikenakan pengantin pada upacara pernikahan. Motif ini merupakan symbol agar para pengantin dapat mencari rejeki yang halal, seperti ayam mencari makanan menggunakan cakarnya.
• Motif Udan Liris di Surakarta, atau Rujak Senthe di Yogyakarta. “Udan Liris” secara harfiah berarti “gerimis”. Batik ini biasanya dikenakan dengan harapan agar rejeki bisa datang terus, seperti gerimis yang walaupun kecil namun datang terus menerus.

Perkembangan Batik Keraton dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah adanya peperangan antar wilayah kerajaan, termasuk di antaranya dengan Belanda. Akibat peperangan, banyak kerabat keraton dan para pengrajin batik yang mengungsi dan menetap di daerah baru. Penyebaran terjadi baik ke arah barat dan ke arah timur dari wilayah kerajaan Mataram. Ke arah barat, batik keraton menyebar hingga wilayah Banyumas, Pekalongan, Tegal, Priangan dan Cirebon. Sedangkan ke arah timur, batik keraton menyebar hingga wilayah Mojokerto, Tulungagung, Gresik, Surabaya dan Madura. Batik keraton kemudian berpadu dengan budaya setempat dan menghasilkan motif dan warna khas masing-masing daerah yang dikenal hingga sekarang. Sebagai contoh, batik Madura didominasi warna hitam dan warna merah dengan motif yang lebih egaliter, seperti halnya karakter masyarakat Madura. Batik Priangan di daerah Garut dan Tasikmalaya memiliki motif serupa Batik Keraton, namun didominasi warna cerah. Batik Cirebon mendapat pengaruh Cina, salah satunya seperti yang tercermin dalam motif Mega Mendung.

Batik mulai dikenakan masyarakat di luar keraton karena mereka tertarik pada busana yang dikenakan keluarga keraton. Mereka kemudian belajar membatik dari para pengrajin Batik Keraton yang tinggal di luar keraton, dan meniru motif-motif Batik Keraton. Lama kelamaan, masyarakat di luar keraton banyak yang menjadi pengrajin batik, dan batik kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari. Namun rakyat tetap tidak berani mengenakan motif-motif larangan atau batik sengkeran, karena tidak ingin dianggap menghina raja. Sampai saat ini, hal tersebut masih diperhatikan terutama oleh para pengrajin batik di Surakarta dan Yogyakarta. Jika mereka diminta untuk membuat batik dengan motif serupa batik sengkeran, umumnya mereka akan memodifikasi batiknya sehingga tidak betul-betul serupa dengan batik sengkeran.

Di akhir abad 19, muncul Batik Sudagaran, yang dibuat oleh para saudagar batik yang umumnya merupakan pedagang Tionghoa. Para saudagar batik menciptakan motif baru yang sesuai dengan selera masyarakat. Mereka meniru motif Batik Keraton dan memodifikasi bentuknya dengan detail yang lebih halus seperti isen-isen yang rumit, serta memberikan warna yang lebih berani, sehingga menghasilkan batik yang amat indah.

Di masa kini, batik telah menjadi busana nasional Indonesia, dan telah diakui sebagai busana formal. Saat ini semua orang bisa mengenakan batik dalam berbagai bentuk, termasuk batik dengan motif-motif yang meniru motif batik Keraton. Namun pada pelaksanaan upacara di Keraton, para tamu dihimbau tidak mengenakan batik dengan motif khas Keraton, agar tidak dianggap menghina kesakralan upacara tersebut.

Disertakan pada lomba Blog Entry bertema Batik Indonesia, kerja sama Blogfam dan www.BatikIndonesia.com