Saturday, October 29, 2011

Situ Babakan, Oase di tengah Jakarta

Barangkali kita tidak pernah membayangkan bahwa di tengah kepadatan kota Jakarta, rupanya masih ada tempat yang bisa menjadi "oase" untuk melepas kejenuhan sekaligus berlibur sambil menikmati menikmati wisata alam yang murah dan mengasikkan.
Salah satu danau di Ibu Kota yang bisa dikunjungi adalah Setu Babakan. Setu Babakan terletak di Jl. Raya Moh. Kahfi II, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Dalam bahasa Betawi, Setu berarti Danau. Setu Babakan merupakan danau buatan dengan luas area 32 hektar, di mana airnya berasal dari sungai Ciliwung. Danau ini dibangun pemerintah kolonial Belanda untuk menanggulangi masalah banjir di Jakarta, sehingga selain sebagai sarana rekreasi dan cagar budaya, keberadaan Setu Babakan juga penting karena fungsinya sebagai daerah penangkap air tanah.
Setu Babakan merupakan salah satu lokasi wisata favorit, banyak orang yang datang dan duduk-duduk di sisi danau untuk menikmawi suasana segar. Setu ini juga dimanfaatkan bagi mereka yang gemar memancing. Bagi yang ingin berwisata air, dapat memanfaatkan sepeda air. Apabila bosan dengan rekreasi air, anda bisa menyewa delman untuk keliling kawasan Setu Babakan yang luasnya 165 hektar.
Selain menjadi tempat wisata alam, Setu Babakan juga merupakan cagar budaya, karena danau ini menjadi bagian dari Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, kawasan perkampungan yang ditetapkan Pemerintah Jakarta sebagai tempat pelestarian dan pengembangan warisan budaya asli Betawi. Di kawasan ini anda dapat melihat lingkungan pemukiman penduduk Betawi, dengan bentuk rumah-rumah khas Betawi yang memiliki teras luas dan bentuk atap yang unik. Sebagai pusat konservasi budaya Betawi, di Setu Babakan sering ditampilkan atraksi pertunjukan seni asli Betawi, mulai dari Qasidah, Marawis, Keroncong, Tajidor, Gambang Kromong, Lenong, Gambus, serta tari Cokek, tari Topeng dan Ondel-Ondel sebagai icon budaya Betawi. Waktu terbaik untuk berkunjung ke Setu Babakan adalah antara bulan Juni-Juli, di mana banyak diadakan festival untuk memperingati HUT kota Jakarta.
Bagi mereka yang hobi wisata kuliner, anda akan menemukan surga masakan Betawi. Di sepanjang pinggiran danau terdapat penjaja makanan tradisional Betawi, seperti soto mie, kerak telor, toge goreng, laksa, gulali, nasi uduk, kue ape, roti buaya, soto betawi, ketoprak, karedok, rujak bebek, rujak cuhi, manisan kolang kaling, sayur gabus pucung, opor jengkol, dan Bir Pletok. Selain wisata kuliner dan wisata budaya, di kawasan Setu Babakan juga terdapat wisata agro. Anda bisa mengunjungi rumah-rumah penduduk yang terdapat tanaman buah khas Betawi. Jika ingin memetik dan membawa pulang buah-buah tersebut, anda bisa minta ijin kepada pemilik rumah dan membayar buah yang anda petik.
Kawasan Setu Babakan terbuka untuk umum, dari pagi hingga sore hari pukul 18.00 WIB. Mengingat tempat ini merupakan bagian dari cagar budaya tradisi Betawi dengan adat ketimuran yang kental, sangat disarankan untuk mengenakan pakaian yang sopan dan tidak terbuka.

Saturday, October 22, 2011

Museum Mainan Anak Kolong Tangga

Museum Mainan Anak Kolong Tangga barangkali merupakan salah satu museum yang paling jarang didengar. Museum ini terletak di Yogyakarta, tepatnya di dalam kompleks Taman Budaya, Jl. Sriwedani No. 1. Saya sendiri sempat kesulitan mencari letak museum ini, padahal Taman Budaya ternyata terletak di belakang Taman Pintar/Benteng Vredeburg. Sudah sampai di Taman Budaya pun masih harus cari-cari karena tidak ada petunjuk museum ini ada di gedung mana. Untung pak Satpam berbaik hati menunjukkan tempat museum ini pada saya...

Pada akhirnya, saya berhasil menemukan museum ini, yang terletak di lantai 2 gedung Taman Budaya. Rupanya nama "Kolong Tangga" memang mencerminkan posisi museum, walaupun tidak benar-benar di bawah kolong tangga. Museum ini terletak di bawah auditorium, di belakang 2 buah tangga menuju auditorium, jadi terlihat seolah-olah di kolong tangga. Tiket masuk museum juga tidak mahal, hanya Rp 4.000. Tapi di dalam museum tidak boleh memfoto koleksi, kecuali ada obyek orangnya... (berarti foto narsis boleh ya?) Sayang sekali, saya datang sendirian, jadi tidak bisa berfoto di dalam museum.

Koleksi museum ini memang unik dan berbeda dengan museum pada umumnya, karena berupa mainan anak-anak. Tadinya saya pikir museum ini hanya menyimpan koleksi mainan anak dari seluruh wilayah Indonesia, namun ternyata koleksi mainan di museum ini berasal dari seluruh dunia! Wow! Salah satu tampilan di museum ini adalah penjelasan dan foto-foto permainan anak-anak dari seluruh dunia. Saya rasa bukan cuman anak-anak yang senang diajak ke museum ini untuk melihat berbagai jenis mainan, bahkan saya pun bisa mendapat pengetahuan baru tentang berbagai mainan dan permainan anak yang ada di dunia ini.

Salah satu koleksi museum yang paling saya ingat adalah 1 lemari berisi mainan dengan tema Winnie The Pooh, dan tentu saja ada Eeyore, si keledai biru yang selalu muram. Eeyore is my favorite, so I love this collection!

Penerbitan Buku Indie

Di posting yang lalu, saya memperkenalkan buku self-publishing pertama saya, "Catatan Kecil dari Pojok Nusantara". Ini salah satu percobaan penerbitan buku secara Indie, dan ternyata tidak sulit untuk menerbitkan buku secara Indie. Postingan ini merupakan editan dari postingan original di grup Ibu-Ibu Doyan Nulis DKI :

Ide untuk menerbitkan buku secara self-publishing muncul setelah saya ikut Kursus Menulis Online yang diselenggarakan Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN) pimpinan teteh Indari Mastuti.
Kemarin waktu saya ikut KMO, iseng-iseng saya tanya tentang penerbitan Indie, berapa modal yang harus dikeluarkan, dlsb dlsb. Teh Indari merekomendasikan untuk menghubungi mas Anang Yb, karena beliau ada paket produk Rp 800.000 utk 40 eksemplar. Dari mas Anang saya diteruskan ke Red Carpet Studio (http://redcarpetstudio.net).


Setelah saya mempelajari websitenya Red Carpet dan banyak bertanya sama bagian marketingnya, di situ ada ketentuan bahwa paket itu terbatas untuk buku maksimum 100 halaman A5, black-white, belum termasuk pengurusan ISBN, desain cover dan ongkos kirim. Tentu saja kita bisa punya desain cover sendiri untuk lebih hemat, ato mau ngurus ISBN sendiri juga bisa langsung dateng ke Perpustakaan Nasional karena prosesnya tidak sulit.... Paket ini belum termasuk editing dan layout, jadi kita harus mengedit dan melayout sendiri. Mereka ada juga jasa edit dan layout, tapi harus bayar lagi... Mereka juga "mengencourage" bahwa selain hasil cetakan ini bisa dijual secara Indie, buku cetakan ini juga bisa dilampirkan untuk penawaran naskah kita ke penerbit yang sudah mapan, jadi calon penerbit tidak hanya melihat proposal naskah, tapi sudah lihat "dummy"nya. (ada beberapa testimoni pelanggan mereka di website)


Jadi saya putuskan iseng-iseng mencoba mencetak buku di Red Carpet Studio, dengan tema antologi perjalanan wisata. Saya ambil paket yang "reguler" untuk mencetak 40 eksemplar buku. Cover saya minta dari Red Carpet yang mendesain, jadi ada tambahan biaya. Bagi saya, cover itu penting karena memberikan kesan pertama, jadi tidak masalah jika saya minta mereka saja yang mendesain cover. Dokumen yang siap dicetak dibuat dalam format PDF, kemudian dikirim ke mereka. Lama pengerjaan kira-kira 2 minggu-an. 

Keuntungan dari penerbitan Indie model Red Carpet Studio ini, buku sudah tercetak, kita bisa menentukan harga sendiri, dan kendali pemasaran serta distribusi sepenuhnya ada pada kita. Memang tidak mudah memasarkan buku secara online, biarpun sudah dibantu di blog sama web social networking. Saya membuktikan sendiri, setelah 2 bulan naik cetak, buku yang laku belum ada separo dari 40 eksemplar. Tapi kalau kita sudah tahu 40 eksemplar buku ini mau diapakan (apakah kita titipkan di jaringan distribusi, toko buku, untuk hadiah, atau untuk portofolio), saya kira penerbitan model begini lebih cocok.


Model lain adalah Print-On-Demand (POD), seperti yang dilakukan oleh Leutikaprio. Seperti tertulis di http://www.leutikaprio.com, untuk bisa menerbitkan buku dengan mereka, kita memodali Rp 500.000 untuk edit typo dan EYD (tidak mengedit isi), layout, cover, ISBN, 1 jam konsultasi, 1 kali proofing, serta 1 eksemplar contoh buku terbit. Mereka juga akan bantu promo buku kita di web mereka dan FB. Harga buku ditentukan oleh Leutikaprio, dan penulis akan dapat royalti 15% dari harga buku.

Untuk cara penerbitan seperti Leutikaprio, tentu ada plus minusnya juga. Di satu sisi, resiko buku tidak terjual bisa diperkecil, karena belum dicetak secara banyak. Di sisi lain, kita sudah keluar modal tapi gak langsung dapat bukunya. Cuman untuk Leutikaprio, dari keterangan di webnya mereka, ada potensi bahwa buku yang diterbitkan di Leutikaprio ini "berpindah" ke penerbit besar di grup Leutika.

Model lain untuk penerbitan secara Indie adalah dengan membuat e-book (format ePub) via Papataka.com. Dari segi resiko, karena tidak ada buku yang harus dicetak, sehingga resiko biaya baik bagi penulis maupun bagi Papataka sangat minim. Tapi... saat ini e-book belum terlalu populer di Indonesia, jadi e-book terbitan "indie" di Papataka masih belum laku keras. Memang ada saja yang beli, tapi tidak sebanyak buku-buku cetak.


Masih banyak penerbitan Indie yang lainnya, yang juga patut untuk dicoba. Mengenai anda mau memilih model yang mana, tinggal tergantung mana yang lebih cocok. Semua ada plus minusnya, tinggal cari mana yang paling cocok, apakah model cetak sedikit seperti Red Carpet Studio, model POD seperti Leutikaprio, atau e-book seperti Papataka.