Tuesday, June 14, 2011

Ke Yogyakarta aku kan kembali

Tulisan ini mengawali rangkaian tulisan wisata keliling Yogyakarta yang baru saya jalani di pertengahan bulan Juni yang lalu. Saya tergelitik untuk membuat "preambule" ini, untuk menampung beberapa pengalaman menarik selama di Yogyakarta yang tak bisa saya masukkan dalam tulisan-tulisan berikutnya.
Berawal dari ketika saya mendarat di Yogyakarta dan naik taksi menuju hotel pertama saya di Jl. Dagen, di sekitar Malioboro. Kenapa hotel pertama? Karena beberapa hari kemudian, saya pindah hotel ke Jl. Parangtritis. Alasan kepindahan ini bukan karena saya tidak suka hotel yang di Jl. Dagen, tapi karena pada hari tersebut saya bergabung dengan rombongan yang lebih besar, dan karena alasan operasional kami memilih menginap di Jl. Parangtritis. Dua daerah ini memiliki atmosfer yang berbeda, dan saya menikmati dua-duanya.
Bagi mereka yang ingin mendekati keramaian, sangat disarankan untuk memilih hotel di dekat Malioboro, seperti Jl. Pasar Kembang (yang terkenal karena... ehm... ehm...), Jl. Sosrowijayan dan Jl. Dagen. Atau kalau memang punya anggaran lebih, silakan menginap di hotel bintang di Jl. Malioboro. Sangat mudah mencari tempat belanja dan tempat makan, karena tempat makan dan toko souvenir, baik dalam bentuk toko permanen maupun pedagang pinggir jalan, umumnya baru tutup pukul 21.00. Ketika mereka tutup pukul 21.00, keberadaan mereka digantikan oleh lesehan. Jam 7 pagi, ketika mall, toko batik dan souvenir belum buka, banyak warung-warung tenda yang menjajakan sarapan pagi, tinggal pilih saja, mau sarapan umum seperti bubur ayam, atau sarapan khas Yogya seperti gudeg?
Ketika pindah ke daerah Jl. Parangtritis, saya merasakan agak sulit untuk memuaskan hasrat berbelanja, karena di sepanjang Jl. Parangtritis jarang terdapat toko yang menjual souvenir atau oleh-oleh. Tak hanya hasrat berbelanja, bahkan untuk makan pun agak sulit mencari tempat yang representatif, karena restoran atau kafe yang ada umumnya dirancang untuk memenuhi kebutuhan para wisman, misalnya suasananya agak remang-remang (duh, males banget deh kalau harus makan di tempat seperti ini!). Hanya ada satu-dua restoran yang representatif, itu pun terkadang harus berjalan kaki agak jauh dari hotel. Namun bagi mereka yang mencari ketenangan dan keteduhan (alih-alih mencari keramaian), atmosfer di daerah Jl. Parangtritis sangat cocok untuk anda kunjungi. Tinggal pilih, mau merenung di hotel yang pakai kolam renang, atau mau menyepi di hotel bergaya rumah Jawa klasik, semua ada di Jl. Parangtritis.
Kembali ke saat pertama saya mendarat di Yogyakarta dan naik taksi ke Jl. Dagen. Ini bukan pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Yogyakarta, namun barangkali baru kali ini saya pergi ke Yogyakarta dengan nawaitu untuk berwisata secara full-time dalam durasi yang panjang. Selama ini saya pergi ke Yogyakarta dengan tujuan untuk berdinas, acara keluarga, atau hanya numpang lewat saat pulang mudik Lebaran. Sangat jarang saya bisa berwisata secara full-time, sehingga kedatangan kali ini cukup istimewa bagi saya. Mungkin karena itu, saya merasakan atmosfer yang agak berbeda ketika melihat suasana sepanjang jalan menuju ke hotel. Selama ini saya beranggapan, Yogya lebih mirip Bali, tempat liburan favorit semua orang, apalagi dengan banyaknya wisman yang berkunjung ke Yogya. Tapi kenapa saya justru merasa kota ini lebih mirip Bandung, yang penuh dengan kreativitas warganya? Mungkin karena sepanjang jalan, saya melihat banyak poster yang mempromosikan acara-acara di kota Yogya, mengingatkan saya pada suasana Jl. Cihampelas. Namun ada satu hal unik yang saya rasakan di Yogya. Saya merasakan bahwa di tengah kota Yogya yang modern, masih terasa hawa tradisional yang sangat kental. Sangat besar kemungkinan hal ini dipengaruhi dengan keberadaan keraton Yogyakarta, di mana kami merasakan sendiri bahwa rakyat Yogya memang bangga terhadap Kesultanan Ngayogyakarta, tak hanya mereka yang masih tinggal di Yogya, tapi juga mereka-mereka yang sudah pindah ke daerah lain. Kebanggaan ini yang tidak saya rasakan di tempat lain, bahkan di "negara tetangga" keraton Solo, rasanya hiruk-pikuk masyarakatnya tidak sedinamis kota Yogyakarta.
Hari pertama di Yogya, saya menikmati sore hari di Jl. Malioboro. Saya sempat mencoba naik delman dengan rute Kotagede-Jl. Rotowijayan-Bakpia Pathuk-kembali ke Jl. Malioboro. Untuk rute sejauh itu, saya membayar Rp 50.000. Tentu saja, pak kusir membawa saya mampir ke toko-toko suvenir, seperti toko kerajinan perak, toko Dagadu, toko batik, dan toko oleh-oleh di Pathuk. Sudah jadi rahasia umum, bahwa pak becak, pak kusir dan supir rental mendapat persenan apabila membawa tamu mengunjungi toko-toko suvenir seperti itu. Yah, namanya sama-sama cari rejeki, mudah-mudahan barokah ya Pak... Ketika saya keluar dari salah satu toko, saya baru memperhatikan, rupanya tiap kali kami berhenti, pak kusir memberi makan kudanya. Tadinya saya pikir rumput dan air itu disediakan oleh pemilik toko, rupanya rumput dan air itu dibawa dalam ember besi, dan digantung di bawah delman! Oalah, kasihan kudanya, sudah harus menarik delman, masih ketambahan beban satu ember besar air dan rumput!
Selama melintas di Jl. Malioboro, saya baru sadar, salah satu keunikan Jl. Malioboro adalah "one-stop-shopping". Bukan sekedar karena semua oleh-oleh khas Yogya (baik makanan maupun barang) bisa diperoleh di Jl. Malioboro, namun di Jl. Malioboro kita bisa menemukan banyak hal : toko souvenir, makanan khas Yogya, pasar tradisional, mall modern, wisatawan lokal, wisatawan mancanegara, kantor pemerintahan, becak, delman, mobil, pengamen bergitar, pengamen angklung, wisata sejarah (ada benteng Vredeburg), budget hotel, dan hotel berbintang. Di mana lagi saya bisa menemukan lokasi selengkap ini?
Salah satu kesulitan dalam mengatur perjalanan di Yogya adalah masalah itinerary. Sebenarnya, jarak antar lokasi di Yogya satu sama lain tidak terlalu jauh. Yang bermasalah justru mengatur waktunya, karena kebanyakan tempat menarik di Yogya buka jam 8-9, dan jam 2 siang sudah tutup, padahal dalam 1 tempat banyaaaak sekali yang harus dilihat. :( Dalam waktu 1 hari, paling-paling hanya bisa ke 1-2 tempat, padahal daftar tunggu yang harus dikunjungi di Yogya sudah sedemikian panjang. Untuk mengatasi ini, mau tidak mau saya harus menyusun prioritas, dan prioritas yang saya buat berdasarkan beberapa hal : tempat tersebut menarik atau tidak, ramai atau tidak, pernah dikunjungi atau tidak, aksesnya susah atau tidak, dlsb. Setelah melakukan survey kecil-kecilan di internet, akhirnya saya memutuskan mencoret beberapa tempat, karena ternyata tempat tersebut tidak ramai dikunjungi orang alias sepi, malas kan kalau harus berwisata di tempat sepi?
Akhirnya, setelah seminggu menikmati suasana kota Yogyakarta, saya berkesimpulan Yogya memang merupakan perpaduan antara Bali dan Bandung, di mana keindahan alam, peninggalan tradisional dan para wisman berpadu dengan kreativitas warga di tengah kehidupan sehari-hari masyarakat Yogyakarta. Dan dengan begitu banyak tempat menarik yang harus dikunjungi (mulai dari museum, desa wisata, tempat kerajinan, dan jangan lupakan wisata kuliner!), rasanya seminggu di Yogya tak cukup, jadi kapan-kapan saya harus kembali lagi ke Yogyakarta...