Saturday, December 25, 2010

Destinasi Wisata Pesisir : gemana seh???

Sebenernya niatan saya untuk menelusuri destinasi wisata di Jakarta Utara berawal dari keisengan semata : pengen tahu di mana ujung tol JORR di sisi Cilincing (karena sepengetahuan saya saat ini tol itu belum 'nyambung' dengan tol Wiyoto Wiyono). Berhubung sudah sampai daerah sana, masak cuman ngukur jalan, jadi kami merencanakan untuk mengunjungi beberapa obyek wisata di Jakarta Utara.

Baca-baca di website ini, dan menemukan 'iklan' di tol layang Wiyoto Wiyono, rupanya ada 12 Destinasi Wisata Pesisir di Jakarta Utara : Taman Margasatwa Muara Angke, Sentra Perikanan Muara Angke, Kawasan Sunda Kelapa, Kampung Luar Batang, Sentra Belanja Mangga Dua, Taman Impian Jaya Ancol (TIJA), Bahtera Jaya Ancol, Stasiun Tanjung Priok, Jakarta Islamic Center, Gereja Kampung Tugu, Kampung Marunda, Sentra Belanja Kelapa Gading (mungkin lebih tepat klo sebutannya sentra wisata kuliner, soalnya klo belanja di Kelapa Gading kan mahal ya bo...). Karena kalau dilihat di peta yang paling dekat dengan tol JORR itu daerah Marunda, jadi kami memutuskan untuk pergi ke Marunda, rencananya pengen liat Rumah si Pitung.

Berbekal keterangan dari internet dan keterangan pada buku "99 tempat liburan akhir pekan di pulau JAWA dan MADURA", begitu keluar dari tol JORR mulailah kami mencari Rumah si Pitung. Tapi ketika kami menyeberang jembatan Marunda, melihat STIP Marunda, dan mulai mencari papan berwarna kuning yang ada tulisan "Mesjid Al Alam, Rumah Pitung, Pantai Marunda" (seperti petunjuk pada buku "99 tempat liburan"), ga ketemu... bahkan kami sudah sempat menyeberang perbatasan masuk wilayah Jawa Barat yang tidak jauh lagi dari STIP Marunda. Langsung kami putuskan untuk memutar balik, logikanya sederhana aja : ga mungkin rumah si Pitung masuk wilayah Jawa Barat. (kok petunjuknya salah ya? Padahal Mbak-Mbak penulis bukunya jelas-jelas masukin foto papan kuningnya...)

Akhirnya kami memfokuskan diri pada petunjuk penting lainnya : di belakang STIP Marunda. Jadi dengan logika barangkali di sekitar STIP Marunda ada jalan keliling, kami masuk ke jalan masuk STIP Marunda (dan setelah kami perhatikan, memang tidak ada petunjuk sedikit pun di jalan masuk STIP Marunda mengenai keberadaan rumah si Pitung). Menelusuri jalan itu, sampailah kami pada jalan buntu, tepatnya jembatan yang hanya bisa dilewatin motor. Dah sempet bingung, akhirnya tanya sama penjaga warung, rupanya kami berada di jalan yang benar... jadilah mobil diparkir dekat warung, dan kami berjalan kaki ke menyeberangi jembatan yang hanya terbuat dari bambu dan kayu, menuju rumah si Pitung. Suasana di sekitar lokasi sangat unik karena berbentuk rawa-rawa, ada orang yang sedang mencari ikan, dan terlihat pohon bakau di tengah rawa.

Setelah tiba di sebuah rumah panggung (yang menurut perkiraan kami mestinya ini rumah si Pitung), ternyata rumah itu lagi direnov, banyak banget tukang yang lagi kerja. Sempat ragu-ragu, kami bertanya pada pak Satpam yang ada di situ, rupanya benar ini rumah si Pitung (akhirnya ketemu juga!). Tapi rumah itu lagi direnovasi, dan mereka ga bisa memastikan kapan renovasinya selesai. Jadi ya sudahlah, kami kembali ke mobil, dan berencana untuk kembali lagi di lain waktu (habis mau difoto juga isinya tukang bangunan sama tumpukan semen...).

Ketika kami menelusuri jalan kembali menuju jalan raya, kami masih penasaran dengan papan kuning yang katanya ada itu. Tapi sampai kembali ke jalan raya dan masuk Jl. Cilincing, sama sekali tidak ada papan kuning tersebut... Setelah baca-baca lagi buku "99 tempat liburan", di buku itu tidak ada tahun penerbitannya, jangan-jangan keterangan di buku itu yang udah kadaluwarsa... ternyata setelah dibaca lagi dengan seksama, di buku itu mbak-mbak penulisnya pergi ke Madura masih pake feri dan ada foto jembatan Suramadu masih proses konstruksi, berarti buku itu diterbitkan sebelum Juni 2009, pantes aja infonya ada yang kadaluwarsa...

Karena sudah sampai di daerah Cilincing, iseng-iseng saya mencari Krematorium Cilincing. Hampir salah masuk jalan kembali ke Jl. Akses Marunda, karena papan petunjuk jalan yang tidak jelas (doh, payah deh...). Namun akhirnya kami menemukan Jl. Cilincing Lama, dan berhasil menemukan jalan menuju Krematorium. Krematoriumnya sih biasa saja, dan sebenarnya saya ingin turun masuk jalan-jalan ke klenteng Wan Lin Chie dan vihara Lalitavistara yang ada di jalan masuk Jl. Cilincing Krematorium. Tapi ketika kami berputar di lapangan parkir krematorium dan melihat tukang parkir di parkiran Krematorium (dengan gaya seperti mau narik biaya parkir), tiba-tiba kami mengurungkan niat dan kembali ke jalan raya... O ya, kalau liat Indomaret yang ada di jalan itu, ditulis "Cilincing Rekreasi". I wonder, apakah itu merupakan jalan ke pantai Cilincing yang dulu tersohor itu ya...

Next destination, Stasiun KA Tanjung Priok. Waktu kecil, saya ingat kalau pergi ke TIJA untuk berenang, pasti lewat stasiun Tanjung Priok, jadi tidak sulit untuk menemukan stasiun itu. Pas masuk, kok sepi ya... apa stasiunnya masih beroperasi? Namun pertanyaan saya segera terjawab, karena terlihat papan harga tiket yang masih baru, dan di situ tercantum nama dan harga tiket KA yang masih beroperasi, OK, berarti stasiunnya fully operated.



Memasuki peron stasiun, serasa tidak berada di salah satu stasiun KA di Indonesia. Di sisi kiri terdapat panel yang menceritakan sejarah perkeretaapian di Indonesia. Kami sempat foto-foto ke arah peron. Tapi ketika kami mau foto peron yang ada perkantorannya, kami dicegat pak Satpam, ditanya buat apa foto-foto, ya buat koleksi pribadi Pak... katanya kalau mau foto-foto bagian peron yang ada kantornya, harus didampingi orang kantor. Berhubung kami males berdebat, kami pergi aja dan mengurungkan niat untuk foto-foto lebih lanjut. Katanya destinasi wisata, tapi kok nggak boleh foto-foto? Emang harus bayar ya? Males dah... kalau mau disuruh bayar, sekalian aja pasang tarif karcis foto di loket! (seperti di kraton Yogyakarta, jadi bayarnya resmi, bukan sekedar salam tempel) Atau kalau nggak boleh foto, pasang aja rambu larangan berfoto, kita kan bisa baca...

Destinasi berikutnya : Gereja Tugu. Sebenernya tadinya tidak berencana mau ke Gereja Tugu, tapi setelah membaca buku "99 tempat liburan", eh, ternyata deket aja, cuman "di belakang" Depot Pertamina Plumpang! Setelah mencari-cari, sebenarnya gerejanya langsung ketemu, hanya karena hari kami berkunjung ini adalah Hari Natal, pasti gerejanya lagi sibuk banget melayani jemaat (dan kami tidak ingin dikira mau berziarah atau kebaktian...), jadi kami hanya menandai tempat ini di peta untuk dikunjungi di lain waktu.

Kesimpulan hasil kunjungan hari ini : program "12 Destinasi Wisata Pesisir Jakarta Utara" saat ini perlu dipertanyakan. Keterangan dan petunjuk jalan yang tidak jelas (bahkan keterangan di website, buku dan peta bisa menyesatkan, seperti ketika mau ke Rumah Pitung), suasana kurang nyaman, dan petugas yang tidak kooperatif (seperti Satpam di stasiun KA Tj Priok) membuat saya bertanya-tanya, sebenernya seberapa besar niat pemerintah (terutama Pemda Jakarta Utara) untuk menjadikan lokasi-lokasi yang katanya Destinasi Wisata ini mudah, layak, dan menyenangkan untuk dikunjungi? Beberapa lokasi memang sedang berbenah (I hope so, seperti Rumah Pitung, mudah-mudahan hasil renovasi menjadikan lokasi tersebut mudah untuk dicapai), tapi lokasi yang sudah siap, seperti Stasiun Tanjung Priok, malah menyulitkan orang yang mau berwisata, mau foto-foto aja susah. Gimana industri wisata Indonesia mau maju kalau caranya seperti ini...

Tugu Pahlawan Surabaya

Saya sering banget dinas ke Surabaya, tapi belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di Tugu Pahlawan, icon-nya kota Surabaya. Abis setiap kali ada yang diajak ke sana, ada aja alasannya : entar liat apa, cuman gitu-gitu aja, rame, panas dlsb. Cuman sekali aja saya pernah menginjakkan kaki ke daerah sana waktu malam hari untuk membeli nasi bebek Tugu Pahlawan yang tersohor itu, hohoho... tapi memang bebeknya mak nyusss, gak nyesel harus berdesak-desakan untuk membeli nasi bebek rasa petis seharga Rp 10.000 per porsi itu, hmmm... yummy...
Dan akhirnya, di suatu hari Minggu ketika saya berdinas ke Surabaya, saya iseng-iseng pergi ke Tugu Pahlawan. Supir Blue Bird yang saya tumpangi pun tampaknya agak-agak heran, ngapain saya pergi ke Tugu Pahlawan?? (mungkin dia pikir saya turis dari luar kota yang aneh...) Namanya juga iseng, Pak... Begitu tiba di sana, ternyata suasananya memang ramai banget. Kalo yang tahu bazaar yang tiap hari Minggu pagi digelar di lapangan Gasibu Bandung, kira-kira suasananya mirip seperti itu : banyak kaki lima yang menggelar dagangan, sehingga jalan di sekitar Tugu Pahlawan mirip pasar tumpah di Pantura (hanya belum serapat dan serame di lapangan Gasibu).

Untuk masuk ke area Tugu Pahlawan, tidak dipungut biaya. Di satu-satunya pintu masuk, terdapat patung Bung Karno dan Bung Hatta, sedang membacakan Proklamasi di antara tiang-tiang yang seolah merupakan bekas bangunan terkena pertempuran. Sayang, banyak orang nongkrong di situ, jadi malas mau foto. Banyak (sekali) orang yang duduk-duduk di dalam area Tugu Pahlawan, ada yang piknik keluarga, ada yang satu gank anak-anak muda, dan ada juga yang sibuk memadu kasih (seolah dunia jadi milik sendiri...). Terdapat 6 patung tokoh-tokoh terkemuka di Surabaya yang berperan ketika peristiwa 10 November 1945. Saya hanya sempat memfoto salah satu patung, dan kebetulan saya memilih patung Bung Tomo, yang menurut saya paling saya kenal di antara yang lain.


Di dalam area Tugu Pahlawan, terlihat ada 3 bangunan menyerupai piramid, rupanya itu museum yang menjadi bagian kelengkapan tugu tersebut. Dengan membayar tiket seharga Rp 2000, saya masuk ke museum, yang letaknya di bawah tanah (tepatnya tidak satu level dengan tugu). Di dalam museum terdapat berbagai diorama dan peninggalan sejarah yang terkait dengan peristiwa 10 November 1945, termasuk bendera, senjata, foto-foto, dan replika bambu runcing. Salah satu "benda unik" yang dipamerkan adalah diorama besar yang dilengkapi rekaman suara Bung Tomo pada tanggal 9 November 1945 malam dan 10 November 1945 pagi yang bertujuan untuk menyemangati rakyat Surabaya dalam menghadapi ultimatum tentara Sekutu. Sayangnya, ada diorama besar dalam teater kecil yang dilengkapi dengan special effect sepertinya sudah tidak berfungsi, hanya filmnya saja yang masih bisa ditonton. Walaupun demikian, ruangan berisi diorama besar itu tetap penuh dengan penonton (it's nice to see many Indonesian families go to museum!).



Setelah puas melihat-lihat dan foto-foto sebentar, saya memutuskan untuk melakukan perjalanan selanjutnya : memfoto Kantor Pos Krembangan Selatan, Jl. Kebonrojo. Tidak ada alasan lain selain alasan emosional : pada tahun 1950, Kakek saya pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Pos Surabaya. Karena hari Minggu, kantor posnya tutup, dan karena lahan parkirnya cukup luas, saya bisa memfoto bagian depan kantor pos dengan leluasa.
Baru saja saya menoleh ke tempat lain, saya melihat poster : pameran arkeologi yang bertempat di Kantor Pos Surabaya, dan tanggalnya masih belum terlewat! Hohoho... harus dikunjungi nih. Setelah mencari-cari sebentar, rupanya ruang pamerannya ada di sisi belakang kantor pos. Rupanya pamerannya bukan pameran benda-benda sejarah (ada sih, tapi sedikit...), lebih banyak menampilkan panel berisi keterangan-keterangan. Bagi mereka para penggemar wisata sejarah, isi pameran ini sangat menarik, karena menceritakan berbagai relief di beberapa candi di Jawa, antara lain kisah Karmawibangga di candi Borobudur dan kisah-kisah fabel di candi Penataran. Ketika saya mengisi kesan-pesan di buku tamu, ada bapak-bapak penjaga pameran yang mungkin terheran-heran melihat saya, dikira saya mahasiswa yang lagi berlibur (bukan Pak, saya pegawai yang lagi dinas dan iseng jalan-jalan mau foto kantor pos...). Eh, pulangnya malah dapet buku gratis! Ma kasih ya Pak...

Rupanya bonus "keajaiban" hari itu belum berakhir, karena ketika saya menyetop taksi untuk pergi ke toko Mirota di Jl. Sulawesi, Surabaya, supir taksinya gak tahu jalan! Haduh... untung ada teknologi GPS, dengan sedikit mencari-cari jalan menggunakan HP (sambil mencoba mengingat-ingat jalan yang biasa dilewati kalau mau ke toko itu), akhirnya ketemu juga toko Mirota. Dan untung supirnya baik, coba dia tidak mengaku gak tahu jalan, bisa-bisa aku diputar-putar gak jelas di Surabaya...