Sunday, November 14, 2010

Noiseless Bencoolen

Membaca artikel mengenai tempat wisata di mancanegara dengan tajuk yang diawali dengan kata “noiseless”, ingatan saya melayang waktu berkunjung ke Bengkulu. Walaupun menyatakan diri sebagai Kota Semarak, namun kata “noiseless” lebih tepat untuk menggambarkan situasi Bengkulu. Dengan jumlah penduduk kota hanya 400 ribu orang, Bengkulu dapat dikatakan merupakan ibukota propinsi paling sepi di wilayah Indonesia bagian Barat.

Hening dan damai. Itulah kesan pertama ketika keluar dari gerbang bandara Fatmawati Soekarno. Tujuan pertama : Museum Propinsi Bengkulu. Begitu sampai di museum, udah tahu nih, sama kaya tipikal museum-museum propinsi lainnya, pasti museumnya sepi. Benar saja, bahkan penjaga loketnya pun susah banget dicari...

Memasuki museum propinsi Bengkulu, nggak kaya museum lainnya yang banyak benda bersejarah, di museum ini justru lebih banyak mengenai benda kebudayaan Bengkulu. Bahkan untuk mencari keterangan lengkap tentang bunga Rafflesia pun tidak ada... Namun demikian, saya nggak menyesal masuk ke museum ini, karena ternyata banyak keterangan tentang suku lokal yang tinggal di Bengkulu, menggambarkan betapa beraneka ragam manusia yang tinggal di propinsi Bengkulu.

Koleksi yang menurut saya a must see adalah replika barang-barang yang digunakan dalam Upacara Tabot, yaitu upacara tradisional mengenang kepahlawanan Hasan dan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW yang gugur pada perang melawan bala tentara Ubaidillah bin Zaid di Padang Karbala. Upacara ini masuk dalam agenda tahunan wisata Bengkulu. Bahkan menara yang digunakan untuk Upacara Tabot dijadikan lambang “tidak resmi” kota Bengkulu, karena hampir di setiap sudut kota dapat ditemukan menara tabot yang dijadikan hiasan kota.

Kami juga melihat mesin cetak merek “Golden Press” buatan USA tahun 1931. Mesin ini pada tahun 1947 pernah digunakan oleh percetakan Dukhery Populer sebagai mesin pencetak “uang merah”, sejenis Oeang Republik Indonesia (ORI) yang dikenal sebagai Uang Merah / Mandat PMR (Persediaan Makanan Rakyat), dan berfungsi sebagai alat tukar yang sah untuk wilayah keresidenan Bengkulu. Selain itu mesin ini juga pernah digunakan oleh Soekarno, presiden pertama Indonesia untuk mencetak naskah dan undangan grup tonil Monte Carlo.


Salah satu benda koleksi museum yang unik dan menyita perhatian kami adalah replika tongkat Raja Bengkulu. Tongkat yang terbuat dari bahan bambu kibut dan logam ini bentuknya menyerupai ular dengan bentuk badan meliuk dan ujung seperti kepala ular. Tongkat ini adalah kenang-kenangan dari raja Bengkulu kepada residen Inggris Yoseph Hurlock Esquire pada tahun 1752. Pada masa pemerintahan gubernur Razie Yahya tahun 1993, tongkat ini dikembalikan lagi ke Bengkulu. Tapi saya kok melihat tongkatnya agak-agak spooky ya... jadi takut mau foto... :( Ada juga patung yang digunakan untuk menari yang bentuknya mirip ondel-ondel, namanya Barong Landong. Boneka ini digunakan oleh suku Lembak untuk menari dalam upacara adat.

Selesai dari museum, atas saran dari salah satu pegawai museum untuk mengambil rute perjalanan yang paling efisien, kami menuju Pantai Panjang. Mobil berhenti di ujung Pantai Panjang, dan kami berkesempatan untuk menjejakkan kaki di pantai landai berpasir putih itu, sambil melihat langsung pemandangan ke arah Samudra Hindia. Pantainya bersih, dan sepi... tukang dagangan sih ada, tapi karena hari itu hari Sabtu, maka jumlahnya sedikit sekali, dan gak model ngejar-ngejar wisatawan, membuat kunjungan ke pantai ini sangat menyenangkan, sayang masih banyak obyek yang harus dikunjungi. Ketika hari Minggu-nya kami melewati lagi pantai Panjang, pantainya jauh lebih ramai, banyak tukang dagangan, dan ada berbagai atraksi untuk anak-anak, seperti odong-odong dan gajah tunggang. Namun demikian, masih terlihat banyak tempat yang kosong, tidak seperti pantai Ancol di Jakarta yang pada hari libur nyaris tidak ada lahan yang tersisa.
Keunikan dari pantai ini, sejauh mata memandang, kami tidak melihat pohon kelapa, melainkan pohon cemara. Sebenarnya bukannya tidak ada pohon kelapa sama sekali, tapi pohon kelapa pertama yang kami temui jaraknya beberapa ratus meter dari bibir pantai... Satu hal yang menarik, ketika saya mengambil foto dan mencoba mengirimnya ke salah satu situs jejaring sosial, rupanya sinyal 3G Indosat di pantai ini full!! Keren... (dan setelah mengelilingi kota Bengkulu, satu2nya tempat yang sinyal 3G Indosatnya penuh ya di pantai Panjang... tapi mungkin karena yang pakai internet tidak banyak, hampir di setiap titik di kota Bengkulu, biar kata masuk Edge, speednya cepet bou...)

Setelah puas bermain air dan foto-foto sejenak, kami melanjutkan perjalanan. Menyusuri pantai, baru kami tahu alasan pantai ini diberi nama Pantai Panjang, karena panjangnya yang mencapai 7 km. Di beberapa tempat, pantai cukup lebar, sehingga banyak keluarga yang bermain air, atau anak-anak bermain bola di pantai. Namun anda tidak akan menemukan orang yang mandi-mandi di laut. Konon ada legenda yang terkait dengan Putri Gading Cempaka yang membuat orang tak berani mandi-mandi di pantai ini, namun mungkin juga bukan karena itu, mengingat pantai ini langsung berhadapan dengan Samudra Hindia yang arus bawahnya sangat kuat sehingga berbahaya jika kita berenang.

Semula dari Pantai Panjang kami langsung menuju Benteng Marlborough yang tersohor, namun sayang cuaca mendung, sehingga kami mengurungkan niat dan melanjutkan perjalanan menuju obyek selanjutnya. Tibalah kami di rumah pengasingan Bung Karno. Bengkulu punya romantisme tersendiri dalam perjalanan hidup Bung Karno, karena selama di pengasingan di Bengkulu beliau bertemu dengan Fatmawati, yang di kemudian hari menjadi Ibu Negara pertama Republik Indonesia.

Waktu kami tiba rumah pengasingan Bung Karno, tiba-tiba hujan! Kami lari-lari untuk berteduh ke dalam rumah. Bersamaan dengan kedatangan kami, terdapat serombongan anak sekolah yang juga berlari-lari untuk berteduh, membuat rumah yang kecil itu menjadi penuh. Rupanya mereka juga bermaksud untuk melakukan kunjungan, karena tidak lama kemudian guru pendamping mereka menyusul dan mengumpulkan mereka di beranda belakang rumah tersebut.

Di rumah ini tersimpan beberapa perabot seperti kursi tamu, tempat tidur dan lemari yang dipakai keluarga Bung Karno, serta sepeda yang pernah digunakan oleh Bung Karno. Banyak juga foto-foto selama Bung Karno beraktifitas dalam pengasingan di Bengkulu. Selain itu terdapat 2 lemari yang berisikan seragam kelompok tonil Monte Carlo, grup sandiwara asuhan Bung Karno. Namun yang paling berharga dari koleksi tersebut adalah buku-buku Bung Karno yang mencapai ratusan buah, sayangnya kondisinya sebagian besar rapuh atau hancur termakan usia. Di beranda belakang rumah, terdapat kios yang menjual oleh-oleh khas Bengkulu dan buku-buku terbitan terbaru tentang Bung Karno. O ya, di halaman belakang rumah terdapat sumur keramat, konon barang siapa yang mencuci muka di sumur itu akan memperoleh kesuksesan, wallahu alam...
Usai dari rumah pengasingan Bung Karno, kami mencoba mencari rumah keluarga Ibu Fatmawati. Sayang, supir mobil rental yang membawa kami kurang mengetahui letak rumahnya, rupanya tempat ini kalah beken dibandingkan rumah pengasingan Bung Karno. Akhirnya dengan dipandu informasi dari internet, kami mencoba mencari rumah tersebut, dan untungnya ketemu, tak jauh dari pusat kota (dan ternyata tak terlalu jauh dari rumah pengasingan Bung Karno). Namun saat itu kami tak menemukan penjaga sama sekali, jadi kami tak berani masuk. Baru keesokan harinya kami berhasil bertemu penjaganya dan masuk ke dalam rumah. Koleksi di dalam rumah ini tidak sebanyak di rumah pengasingan Bung Karno. Walaupun sepi, rumah ini bersih dan cukup terawat. Terdapat beberapa perabot dan foto milik pribadi keluarga Ibu Fatmawati. Di salah satu kamar, kami juga melihat mesin jahit yang digunakan ibu Fatmawati untuk menjahit bendera pusaka.

Setelah pada hari itu kami tidak berhasil masuk rumah Ibu Fatmawati, cuaca mulai cerah, sehingga kami buru-buru mengunjungi Benteng Marlborough, takut keburu hujan lagi. Sebelum sampai benteng, kami mampir dulu ke monumen Thomas Parr, yang berjarak hanya 600 meter dari benteng Malrborough. Monumen yang juga dikenal sebagai Kuburan Bulek ini dibangun Inggris untuk memperingati peristiwa pembunuhan residen Inggris Thomas Parr pada tahun 1807. Konon Thomas Parr dibunuh oleh orang Bugis yang menjadi salah satu anggota keamanan East India Company (EIC), karena berusaha mengurangi peranan mereka di anggota keamanan EIC.

Selain monumen Parr, di Bengkulu juga terdapat tugu Hamilton. Tugu ini konon merupakan nisan dari Captain Robert Hamilton, kapten Angkatan Laut Inggris, namun sudah dipindahkan dari tempatnya semula dan diletakkan di pertigaan Jl. Soekarno-Hatta. Belakangan kami baru menyadari bahwa tugu ini tidak sepopuler monumen Thomas Parr, karena supir mobil rental yang membawa kami semula tidak bisa mengidentifikasi lokasi tepatnya dari tugu ini, padahal sudah beberapa kali kami melewatinya!

Akhirnya, kami berhasil mencapai Benteng Marlborough! Benteng ini merupakan benteng peninggalan Inggris, didirikan oleh EIC pada tahun 1713-1719. Pada masanya, benteng ini merupakan benteng terkuat Inggris di daerah Timur setelah benteng St. George di Madras, dan menjadi benteng terbesar Inggris di Asia Tenggara. Waktu kami bayar karcis masuk, mas-mas penjaga loketnya menawarkan jasa pemandu, dan akhirnya kami didampingi oleh pemandu dari dinas pariwisata yang bernama mas Leo. Mas Leo sangat sabar dan detail dalam menjelaskan sejarah benteng Marlborough, dimulai dari fakta bahwa benteng ini pernah berpindah tangan dan dikuasai oleh 4 negara : Inggris, Perancis, Belanda, Jepang. Benteng seluas 44100 meter persegi ini didirikan di atas bukit buatan, yang dibangun dengan menimbun karang dengan tanah. Desain dasar benteng ini berbentuk segi empat dan menyerupai kura-kura, ditandai dengan empat bastion di sudut benteng berbentuk seperti kaki, serta satu kelompok bangunan (yang sekarang menjadi pintu masuk) menyerupai bagian kepala kura-kura. Benteng dikelilingi parit selebar 3,6 meter dengan kedalaman 1,8 meter, dan pintu masuk benteng tersambung dengan jembatan ke gerbang dalam.

Di salah satu ruangan, rupanya ada eksebisi mengenai sejarah Bengkulu, sejarah kehadiran Inggris di Bengkulu, bagaimana EIC mulai beraktifitas di Bengkulu, termasuk Raffless dan penyerahan Bengkulu ke tangan Belanda. Well... saya menduga Raffless mungkin sudah melihat kalau Singapura jauh lebih strategis daripada Bengkulu, makanya dia mau aja menyerahkan Bengkulu kepada Belanda ya...

Di salah satu ruangan yang pernah dijadikan sel tawanan, kami melihat gambar kompas yang digambar oleh orang Belanda yang ditawan oleh Jepang, serta pesan yang ditulis dalam bahasa Belanda, yang kalau diterjemahkan kira-kira bunyinya “Barang siapa mengamati kompas ini janganlah memarahi yang membuat kompas ini, ingatlah bahwa kesengsaraan dan waktu lah yang membuat saya mencoret-coret dan waktu saya menulis ini.” Waduh… tak terbayangkan bagaimana perasaan si tawanan ketika ia menggambar kompas di dinding dekat jendela…

Naik ke bastion benteng yang menghadap ke pantai Tapak Paderi, kami melihat meriam yang bisa berputar 360°. Meriam buatan Belanda ini memiliki kaki yang dapat dipasang pada rel berbentuk lingkaran, yang memungkinkan meriam berputar. Bisa dibayangkan, jaman dulu meriamnya pasti lebih berat daripada sekarang, gimana coba memutarnya... Dari bastion ini, kita bisa melihat pantai Tapak Paderi dengan leluasa. Di masa lalu, pantai Tapak Paderi merupakan pelabuhan alami kota Bengkulu. Menurut mas Leo, orang-orang tua Bengkulu lebih mengenal pelabuhan alam ini sebagai Pelabuhan Bom, konon karena banyaknya bom yang dilontarkan ke pelabuhan ini ketika musuh menyerbu benteng Marlborough. Dari kejauhan, kami bisa melihat bunker buatan Jepang tepat di area parkir mobil di pantai.

Sore hari, ketika berjalan-jalan menikmati angin laut di pantai Tapak Paderi, kami sempat berfoto di papan nama jalan bertuliskan “Bencoolen Street”. Barangkali pernah dengar jalan Bencoolen Street di Singapura, nama jalan ini sengaja diberikan oleh Raffles untuk mengenang kehadiran Inggris di Bengkulu. Namun tak perlu jauh-jauh ke Singapura jika ingin ke Bencoolen Street, mampir saja ke pantai Tapak Paderi dan temukan papan nama jalan tersebut.

Bagi yang ingin berwisata kuliner, terdapat beberapa buffet dan lepau yang menjual hidangan khas Bengkulu. supir rental yang kami sewa membawa kami ke restoran Inga Raya, Jl. Pantai Pasar Bengkulu, tepat di depan pantai Jakat. Walaupun secara sepintas makanan khas Bengkulu mirip dengan makanan Minang, namun Bengkulu memiliki makanan khas yang tidak ditemukan di tempat lain, seperti bager hiu (semacam rendang dari daging ikan hiu), pendap (dari daun keladi, ikan dan kelapa, mirip seperti buntil), pais ikan kecil-kecil (seperti pepes), lawar (seperti urap), dan balado ikan Beleberan (sejenis ikan kecil-kecil). Mmm… padek nian! Konon untuk memasak pendap, perlu 1 hari penuh untuk memastikan daun keladi yang dimasak bebas dari getah yang membuat gatal.


Jangan lupa beli oleh-oleh khas Bengkulu. Sentra oleh-oleh khas Bengkulu terdapat di Jl. Soekarno-Hatta, Anggut Atas, tidak jauh dari rumah pengasingan Bung Karno. Makanan khas Bengkulu yang biasa dijadikan oleh-oleh antara lain lempuk durian, emping melinjo, gelamai (semacam dodol), perut punai (makanan yang terbuat dari ketan bersalut gula aren), kacang siput, manisan terong, roti bay tat (sejenis pai nanas), dan kopi bubuk. Rata-rata makanan khas Bengkulu rasanya manis dan gurih. Selain makanan, tersedia juga kerajinan khas Bengkulu yang terbuat dari kulit lantung, umumnya dijadikan hiasan dinding, gantungan kunci, atau tas wanita.

Toko oleh-oleh di Anggut Atas juga menjual batik Besurek, batik khas Bengkulu. Besurek artinya ‘bersurat’, karena ciri khas batik ini adalah adanya motif huruf Arab. Konon batik Besurek awalnya adalah kain yang sakral, karena hanya digunakan untuk upacara adat. Dalam pengembangan selanjutnya, untuk memperlihatkan khas Bengkulu, batik ini juga dilengkapi motif bunga Rafflesia. Kebanyakan batik Besurek memiliki warna-warna yang tegas. Tentu saja, saya memilih membeli batik printing, kalau mau beli yang sutra, mana tahan...

Kami menginap di hotel Samudra Dwinka, yang terletak tepat di depan Masjid Jamik. Letak masjid ini sangat unik, karena tepat di tengah pertigaan. Masjid Jamik menjadi cagar budaya yang bersejarah, karena selain merupakan masjid tertua, masjid ini pernah direnovasi oleh Bung Karno ketika beliau berada dalam pengasingan pada tahun untuk 1938. Rancangan atap mesjid ini agak berbeda dengan atap mesjid di Bengkulu yang umumnya bulat, lebih mengingatkan kepada atap mesjid Demak. Keunikan lainnya adalah atap mesjid ini terbuat dari seng. Konon kabarnya atap seng lebih tahan terhadap gempa, sehingga mengurangi resiko kerusakan apabila terjadi gempa, mengingat Bengkulu adalah daerah yang rawan gempa. Selain masjid Jamik, di Bengkulu banyak terdapat masjid di seluruh penjuru kota, mulai dari yang berukuran kecil, sedang, maupun mesjid besar. Ini menakjubkan bagi kami, mengingat penduduk kota Bengkulu hanya 400.000 jiwa, namun mesjidnya banyak dan ada di mana-mana.

Malam itu kami menghabiskan waktu di kamar hotel, dari jendela kami bisa melihat jalan-jalan utama kota Bengkulu yang ramai, namun sama sekali tidak macet. Saat kami membuka internet untuk mengetahui apa yang terjadi di belahan dunia yang lain, kami melihat laporan lalu lintas yang mengatakan hari itu Jakarta macet, bahkan di daerah Lebak Bulus terjadi kemacetan total. Ahhh… rasanya hari itu kami bahagia sekali, karena untuk sejenak bisa lepas dari kemacetan Ibu Kota, mencari kedamaian di noiseless town of Bengkulu…