Monday, March 09, 2009

Opera Ganesha Dies Emas ITB 2009

Setelah setahun 'vakum' dari dunia entertainment dan lebih banyak berkutat di dunia proyek (halah!), akhirnya tanggal 8 Maret 2009 ini saya 'manggung lagi bersama PSM ITB, kali ini untuk acara Opera Ganesha, dalam rangka Dies Natalis Emas ITB.

Banyak yang bertanya-tanya, kok ITB umurnya baru 50 tahun? Padahal katanya udah berdiri sejak 1920?? Jadi begini : pendidikan tinggi teknik di Indonesia memang dimulai tahun 1920, dengan berdirinya jurusan Teknik Sipil di kampus Ganesha 10. Jadi, kampus di Jl. Ganesha No. 10 itu memang sudah sejak 1920, tapi resmi bernama Institut Teknologi Bandung sejak tahun 1959, begicu...

Opera yang judulnya Opera Ganesha ini temanya adalah "Napak Tilas Gajah Kencana Meniti Kala", alias perjalanan gajah emas dari waktu ke waktu. Pengisi acaranya umumnya para mahasiswa, yang tergabung dari berbagai unit kesenian, termasuk angklung, seni tari & karawitan, kesenian Minang, marching band, orkestra, dan juga paduan suara. Ini pun masih ditambah dengan orkestranya kang Purwacaraka. Secara singkat, Opera ini isinya adalah tentang 'gajah', karena baik kostum maupun properti yang digunakan oleh para penari malam itu bertema gajah (mulai dari gagajahan, gajah lumping, dan semua penari mengenakan topeng gajah). Jadilah, malam itu Sasana Budaya Ganesha penuh dengan 'gajah-gajah berwarna emas' menari di atas panggung (hmm... I wonder, barangkali Way Kambas pas tanggal 8 Maret 2009 itu kosong melompong, karena gajahnya dipanggil semua ke Bandung, hwehehe...).

Sebagai (mantan) penari dan penyanyi, saya salut kepada semua pengisi acara (orkestra, musik tradisional, penari, dlsb), secara umum penampilannya lumayan banget (nilai 8 dari skala 10), bisa dibilang tidak ada 'kecelakaan' selama penampilan, walaupun latihannya dah mepet banget. Terutama salut kepada para penari, yang siangnya sempat (atau 'terpaksa'?) gladi bersih sampai 2 kali, cuman beberapa jam sebelum tampil! Staminanya bol-jug, euy! Tapi di satu sisi, saya kasian juga ama penarinya, udah tampil keren, tapi sepanjang pertunjukan harus pakai topeng gajah... duuh...

Tapi saya merasa bahwa Opera-nya sendiri tidak terlalu berkesan. Konsep Opera-nya kaya'nya kurang mantap, soalnya instead of 'perjalanan gajah kencana meniti kala', aku malah melihat ceritanya cuman seputar "gerakan mahasiswa", dan terkesan terlalu menonjolkan jaman-jaman kejadian era tahun 1970-an (a.l. peristiwa Rene Conrad dan saat tentara masuk kampus 1978). Bagi saya pribadi, ITB bukan cuman 'Rene Conrad' dan 'Buku Putih', ITB itu jauh lebih besar daripada itu! Udah gitu, biarpun judulnya 'Opera', tapi ternyata yang dapet porsi sangat besar adalah tim orkestra dan penari. Jadi ada juga penonton yang bertanya-tanya : mana operanya?

Saya jadi ingat waktu kami latian paduan suara, hampir semua penyanyi bertanya-tanya, ini Opera-nya tentang apa sih? Kita nyanyi di bagian mana? Tapi nggak ada yang bisa jawab (termasuk pimpro yang ada di Bandung), dan pada akhirnya jawabannya baru ditemukan last minute pas pertunjukannya! Capek deh... Belum lagi banyak perubahan yang terjadi waktu last minute... waduh, kaya'nya persiapannya ga mateng, ya... tapi kembali lagi, alhamdulillah final performance-nya lumayan baik, jadi persiapan yang kurang mateng itu gak terlalu keliatan.

Tapi saya tidak menyesali keputusan untuk ikut dalam grup paduan suara yang mendukung Opera Ganesha ini. Biarpun kami cuman nyanyi 3 lagu (sebenernya yang SATB cuman 2, yang satu kan mengiringi bapak Ketua Panitia bernyanyi unison, secara lagunya baru diganti 1 minggu sebelum acara...), tapi penampilan PSM ITB kali ini sangat khusus dan unik. Kapan lagi bisa ngumpulin penyanyi dari angkatan 1961 sampai angkatan 2008, untuk nyanyi bareng di acara-nya ITB?? Kalau diliat latar belakang, jurusannya, profesinya, etnisnya, kita beda-beda semua (ada yang mahasiswa baru masuk, ada yang dosen, ada yang pekerja kantoran, ada yang pekerja lapangan, ada yang freelance, ada juga yang pak Deputi Menteri), kita cuman sama dalam 2 hal : mahasiswa (atau minimal pernah jadi mahasiswa) ITB, dan anggota PSM ITB. Sebenernya, panitia sudah menghimbau Unit Kesenian pengisi acara lainnya untuk mendatangkan alumninya juga (secara ini kan acara Dies Emas ITB gitu loh!), tapi ternyata yang terkumpul (dan kebetulan cukup banyak) ya cuman PSM ITB. Konon kabarnya, ini lebih karena emang kitanya yang 'banci tampil' dan 'demam panggung', alias demam k'lo ga naik panggung....

Salah satu penyanyi, Jukie, sudah menulis tentang apa yang ia rasakan setelah melihat penampilan kami di Opera Ganesha, katanya "Hanya PSM ITB yang bisa begini", dan saya sangat setuju dengannya. Dengan bernyanyi, kita menyatukan perbedaan di antara kita, dan menjadi satu identitas : PSM ITB. Belum tentu sebulan, setahun, bahkan sepuluh tahun lagi kita bisa mengumpulkan anggota dan bernyanyi di occasion yang unik seperti ini lagi, and I'd love to be part of it!

One more things, pemilihan lagu Naik Delman, yang walaupun menurut saya gak nyambung sama sekali dengan narasi di Opera-nya, itu oke banget. Lagu ini diaransir oleh alm. pak Sudjoko, sesepuh PSM ITB yang aransemennya sangat khas (walaupun pak Djoko seringkali 'menabrak' kaidah-kaidah kepaduansuaraan, but that's pak Djoko!). Biarpun banyak suara-suara protes terutama dari penyanyi sepuh yang merasa bahwa lagunya jadi 'kurang pak Djoko' (karena ada pemotongan sedikit di sana-sini), tapi karena musik pengiringnya diaransir sedemikian rupa, kemudian ditambah iringan tradisional dari angklung dan gamelan, it sounds great!

Trip to Bandung, March 2009

Bandung is always a hometown for me. In fact, it is my "second hometown". If everybody goes to Bandung for shopping or eating, I go to Bandung just for "moving to the other bedroom" (a.k.a. 'pindah tidur').

On March 2009, my trip to Bandung is a different one than usual. I planned to go to Bandung by train. It was a nostalgic trip, since before the era of Cipularang tollroad, I always go from-to Bandung by Parahyangan train, at Business class (as students at that time, we have to be very economist, hehehe). But after the tollroad is opened, there were lot of travel, and we prefer use travels since it cut the trip duration significantly.

So, in the morning of March 6th 2009, I went to the Gambir station, bought Parahyangan ticket, and enjoyed the trip. It really a nostalgic one... The scene is a little bit different from the last time I went to Bandung by train. The towers, the train station buildings, and the trees still looks the same, only this time we could see many tall bridges of Cipularang tollroad across the hills. What a scene! Maybe trip by train is not as fast as by travel, but the sensation is still different. And if you took trip by train, you can enjoy the trip, even you can open your laptop and get work done while you still on the road (you may not do this on travel, it can disturb the person who sit next to you!).

Here are some photos from my trip to Bandung by train :


Situation outside and inside the executive wagon


Tall buildings of Jakarta


Train passed bridge crossing above the Cipularang tollroad (around Purwakarta).


Jatiluhur lake from the distance



Terrasering rice field at Purwakarta



Cikubang tollroad bridge (length 520 meter, height 60 meter) , viewed from Sasaksaat railway bridge


Cipada tollroad bridge (length 600 meter, height 45 meter)


Near Cikamuning tollgate, we can see the arteri road (Padalarang-Purwakarta old route) and Cipularang tollroad side-by-side


Bandung train station tower


Train monument at old Bandung train station.

I also took some walking at Braga street, and bought the book about Braga at Djawa bookstore, the famous small old bookstore at the middle of Braga steet. After reading the book, I just realized, there are not much different between the people at 1900 era and 2000 era, they all come to Bandung for some refreshment and entertainment, including shows performance, fashion shopping, and last but not least : culinary tourism! The different only if at the 1900 era the visitor are Dutchs from the plantation, but in nowaday, the visitor is Indonesian who came from many places, especially Jakarta.

But when I returned to Jakarta by car, things is really different. The Cipularang tollroad was very full, it was the longest traffic jam I ever seen! At 16.00 WIB, we enter the Pasteur tollgate, and near the Cimahi/Baros tollgate, the traffic just started to stuck. I turned on the radio, and found out that the traffic jam occur along the Cipularang tollroad until km 57 of Cikampek tollroad! Oooo... if we continue the trip, we would trapped in the traffic jam, and it must be a tired one. So we decide to turn back and return to my grandma's home, waiting until the traffic is not so crowded. At last, we start the trip back to Jakarta at 02.00 WIB in the middle of the night, and we safely arrive at our home at 06.00 WIB in the morning, phew... (and the traffic is not so clear at all, since we still found the jam at Karawang for several kilometres).